Tuesday, May 10, 2011

Jogjakarta, City of Tolerance

(Artikel ini pernah dimuat di harian Jawa Pos-Jogja Raya, tanggal 21 April 2011 yang lalu. Selamat membaca!)

Kota Jogjakarta sudah sedemikian dikenal oleh banyak orang sebagai city of tolerance. Siapapun yang singgah dan tinggal di kota ini bisa merasakan betapa damainya kota ini. Berbagai orang, dengan beragam latar belakang, bisa membaur menjadi satu tanpa ada kecurigaan satu sama lain, saling berbagi dan menerima.


Setiap akhir pekan dan masa liburan sekolah, ribuan orang datang ke Jogjakarta. Mereka datang tidak pertama-tama hanya untuk berwisata, tetapi mereka juga ingin merasakan kedamaian dan keramahan warganya dan ditambah ingin merasakan sejuknya hawa kota Jogjakarta. Sebagai warga Jogjakarta, kita sepantasnya patut bangga dengan predikat city of tolerance ini.



Tetapi, belakangan ini, sebagian dari pengunjung itu mulai resah. Mereka mulai merasakan terjadi banyak perubahan di kota Jogjakarta. Jogjakarta tidak bisa dikatakan lagi sebagai kota yang berhawa sejuk. Kendaraan bermotor sudah terlalu banyak. Pepohonan sudah mulai berkurang banyak. Sawah-sawah mulai berkurang seiring dengan tumbuhnya gedung dan perumahan baru.


Meski sebutan city of tolerance merujuk pada sikap toleran warga dalam menerima kehadiran orang lain, tetapi rujukan itu masihlah kurang. Rujukan toleransi seharusnya juga mewujud dalam sikap toleransi terhadap lingkungan hidup. Selama ini, konsep yang warga pahami dan hidupi lewat city of tolerance baru sampai pada tataran antroposentrisme. Padahal, kita sebagai mahluk Tuhan mesti pula menyadari kesadaran hidup secara holistik. Itu berarti kita mesti memperhatikan matra kehidupan yang lain.


Sikap antroposentrisme pada dasarnya hanya melegitimasi bahwa manusia sajalah yang mempunyai hak untuk mendayagunakan alam ini. Sementara mahluk lain hanyalah infra-human, bukan-manusia, yang tidak pantas punya hak yang sama. Dari sikap semacam inilah, kerusakan dan eksploitasi terhadap alam menunjukkan wajahnya.


James Lovelock dalam teori Gaia (1979), mengatakan bahwa seluruh ciptaan yang ada di bumi ini adalah sebuah satu kesatuan yang tumbuh bersama dan saling melengkapi. Semua unsur membentuk sebuah korelasi yang saling tergantung satu sama lain. Tidak ada yang dominan. Meskipun manusia, adalah mahluk yang paling mampu, itu tidak berarti manusia bisa bebas berbuat apa saja. Justru manusia semestinya menjadi wakil dari seluruh mahluk Tuhan, yang bisa diminta mengedepankan kemaslahatan seluruh ciptaan. Mahluk lain yang non-human, seperti hewan dan tumbuhan adalah kolega dari manusia. Inilah yang dimaksud Lovelock dengan sikap biosentrisme.


Maka dari itu, kota Jogjakarta sebagai city of tolerance mestinya bisa sampai pada sikap biosentrisme ini. Kita mesti bisa menciptakan kesadaran bahwa lingkungan hidup begitu penting bagi kita. Wajah lingkungan hidup adalah wajah kehidupan kita sendiri. Jika kita mengatakan bahwa kota Jogjakarta adalah kota damai, maka itu berarti ada wujud damai juga antara manusia dan lingkungannya.


Miris juga kalau kita melihat fakta empiris di jalan-jalan kota ini. Hampir di sepanjang jalan-jalan utama, kemacetan sedemikian mudah terjadi. Jumlah kendaraan bermotor dari hari ke hari semakin meningkat. Beberapa dekade yang lalu, jarang sekali kita melihat kota ini mengalami kemacetan. Kita masih dengan mudah melihat warga berkendaraan sepeda. Tetapi sekarang, pemandangan itu jarang sekali terjadi. Kota ini telah berubah. Kemacetan menjadi biang polusi udara. Tidaklah mustahil, dalam hitungan beberapa tahun lagi, kota ini akan menjadi seperti Jakarta, di mana kemacetan dan polusi niscaya menjadi santapan harian.

Meskipun pemerintah kota sudah mencanangkan program toleransi terhadap lingkungan dengan gerakan Sego Segawe, tetapi gerakan ini tidak mendapat sambutan yang cukup luas. Meskipun di sebagian ruas jalan sudah dibuat jalur khusus buat pesepeda, dan di perhentian lampu merah dibuat ruang khusus bagi pengguna sepeda, tetapi tetap saja tidak banyak orang yang memilih bersepeda.
Dalam mengembangkan kesadaran biosentrisme di ruang publik, kita bisa memulainya dengan memaksimalkan obyek-obyek eko-wisata yang ada sebagai sarana pendidikan ekologi. Agrowisata Turi, Hutan Wanagama, Taman kota Kotabaru, dan Museum Gunungapi Kaliurang perlu digarap, dikembangkan, dan dipublikasikan dengan baik, sehingga tidak kalah saing dengan obyek wisata yang lain. Pemerintah secara khusus perlu merencanakan penambahan ruang ekologis dalam kota. Satu-satunya hutan kota hanyalah hutan UGM di Bulaksumur. Pemerintah perlu memikirkan untuk membangun taman kota yang apik. Selain itu, ‘gerakan reboisasi’ di jalan-jalan padat reklame mulai perlu dicanangkan. Sementara itu, para warga diharapkan tidak seenaknya menebang pohon dan jika membangun rumah, tidak lupa untuk menyediakan lahan hijau di dekatnya.


Dengan demikian, jika pemerintah dan semua warga sungguh memperhatikan hal ini, maka Jogjakarta sungguh-sungguh telah menjadi city of tolerance, kota yang sungguh berhati nyaman. Tidak hanya orang-orangnya ramah, tetapi lingkungan hidupnya juga bersahabat. Semoga!***
Read more...

Friday, April 22, 2011

Perempuan dan Emansipasi Kejahatan


Dalam beberapa minggu terakhir ini, kita disuguhi berita keterlibatan tiga perempuan cantik dalam tindak kriminalitas. Ketiga perempuan itu adalah Melinda Dee, Selly Yustiawati dan Putri Arie Sigit. Melinda Dee melakukan kejahatannya dengan cara memindahkan uang total sebesar 17 milyar dari rekening nasabah-nasabah Citibank, tempat di mana dia bekerja, ke rekening perusahaan pribadinya. Selly Yustiawati melakukan kejahatannya dengan melancarkan aksi penipuan dengan modus jual beli ponsel dan bisnis pulsa kepada ratusan orang. Sementara itu, Putri Arie Sigit melakukan kejahatannya lewat keterlibatannya dalam kasus narkoba bersama temannya di sebuah hotel di Jakarta.

(insert: Foto Sandra Avila Beltran, seorang gembong kartel perempuan dari Meksiko)

Kasus-kasus ini sekilas memperlihatkan peran perempuan dalam tindak kriminalitas. Perempuan tidak lagi menjadi pemain di belakang layar, tetapi sudah menjadi pemain utamanya. Lalu muncul pertanyaan, apakah ini bagian dari sebuah emansipasi?

Secara empiris, dalam sebuah analisa lintas budaya, ada kesimpulan bahwa laki-laki membuat sumbangan lebih tinggi dalam angka kriminalitas dibandingkan perempuan. Faktor umum pemicu kriminalitas itu adalah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan psikologi pribadi yang bersangkutan (Budi Sucahyono, 1966). Lalu, muncul pertanyaan kedua, apakah faktor-faktor itu juga memicu kriminalitas dengan perempuan sebagai aktornya?

Nature dan Nurture
Secara alamiah (nature), laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kodrati yang tidak bisa dipertukarkan. Jenis kelamin, perkembangan fisik antara perempuan dan laki-laki amatlah identik dan itu melekat pada diri sejak lahir. Sementara itu, sifat-sifat yang dibawa oleh laki-laki dan perempuan sebagai sifat diri, yang pada laki-laki identik dengan berani, keras dan rasional, sedangkan pada perempuan identik dengan lemah, lembut dan perasa adalah hasil konstruksi sosial dan budaya (nurture).

Sifat-sifat nurture berbeda dengan sifat kodrati (nature). Sifat-sifat nurture bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Sementara sifat-sifat kodrati (nature) sama sekali tidak bisa dipertukarkan. Kita sering menemukan ada perempuan yang sifatnya berani, keras dan rasional. Sebaliknya, kita juga tidak sulit menemukan laki-laki yang sifatnya lemah, lembut dan perasa. Lalu, apakah itu sebuah keanehan? Senyatanya tidak, karena para aktivis emansipasi perempuan memang memperjuangkan demitologisasi semacam ini, supaya mitos-mitos bentukan budaya yang telah mengakar lambat laun semakin terkikis. Maka dari itu, keterlibatan perempuan dalam sebuah kriminalitas, dalam arti ini, bisa jadi merupakan bagian dari bentuk emansipasi.

Faktor Khusus
Pada dasarnya, motif seorang perempuan melakukan sebuah tindak kejahatan amatlah berbeda dibandingkan dengan motif laki-laki dalam melakukan tindakan kejahatan. Kejahatan yang dibuat laki-laki amat dipengaruhi oleh berbagai alasan. Sementara motif yang dibuat oleh perempuan amatlah terbatas (Pamela Davies, 1999). Davies menyebutkan 4 motif perempuan dalam melakukan tindakan kriminalitasnya. Pertama, faktor ekonomi. Budaya patriarkal yang kuat telah membuat kedudukan perempuan sangat subordinatif, termasuk pula dalam besaran peluang perempuan untuk bisa mengakses sumber-sumber ekonomi. Problem prostitusi, perempuan-perempuan pengutil adalah beberapa contoh kriminalitas yang terjadi karena faktor ekonomi.

Kedua, faktor biologis. Kondisi perempuan yang tidak selalu stabil, terutama karena kondisi biologisnya yang setiap bulan harus melewati fase menstruasi, membuat kesadaran psikologis perempuan seringkali mudah terganggu. Pada saat tertentu, terutama pada masa-masa haid, sifat ofensif mudah muncul dalam diri perempuan. Ketiga, faktor keluarga. Latar belakang kehidupan keluarga amatlah rentan mempengaruhi psikologis seorang perempuan. Kurangnya perhatian (afeksi) dari keluarga amat begitu mudah mempengaruhi hidup seorang anak perempuan, dibandingkan kepada anak laki-laki. Faktor perceraian orangtua menjadi pintu yang paling efektif bagi perempuan untuk akhirnya terlibat dalam kriminalitas, seperti misalnya terlibat dalam aktivitas narkoba. Itulah yang terjadi pada Putri Arie Sigit dan Selly.

Keempat, faktor eksistensi diri. Struktur patriarkal yang amat kuat mengesankan bahwa posisi laki-laki dan perempuan amatlah berbeda. Seorang laki-laki akan mengidentifikasikan dirinya sebagai ‘Subyek’ dan ‘Ada yang bebas’. Sementara itu, laki-laki akan menempatkan perempuan dalam ruang ‘Liyan’. Begitulah Simone de Beauvoir (The Second Sex, 1974) menyebutkan. Perempuan diakui sebagai ‘Liyan’, yang menjalankan perannya sebagai subordinasi dari peran laki-laki. Maka dari itu, guna membongkar sumber ketidaksetaraan ini, perempuan akan berusaha merebut kekuasaan yang dipegang laki-laki dengan jalan menunjukkan eksistensinya, lewat pekerjaan-pekerjaan yang biasa dikerjakan laki-laki (pekerjaan-pekerjaan halus). Tidak semua upaya perempuan mengubah dirinya dari ruang ‘Liyan’ dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Pada dasarnya, memang demikianlah yang dibuat oleh mayoritas perempuan modern. Tetapi, beberapa di antaranya menjadi perilaku menyimpang. Apa yang dibuat Melinda, termasuk ke dalam kategori ini. Melinda berusaha menunjukkan eksistensinya sebagai pribadi yang mampu mengikat banyak orang. Tetapi daya pikatnya ini kemudian disalahgunakan untuk memperkaya dirinya dengan cara menipu orang lain.
Kuasa yang Setara

Emansipasi kejahatan yang dibuat oleh tiga perempuan di atas pada dasarnya bukanlah bagian dari perjuangan emansipasi perempuan sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh Kartini dan rekan-rekan aktivis gender. Jika Kartini masih hidup dan melihat ketiga kasus ini, beliau akan heran dan menangis. Apa yang diperjuangkannya adalah upaya yang mulia, sementara yang dibuat oleh ketiga perempuan tadi adalah perilaku yang penuh murka.

Sebagaimana diutarakan Beauvoir, salah satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah memberi kuasa padanya. Posisi perempuan harus diangkat dari posisi ‘Liyan’ menuju setara dengan laki-laki. Dengan demikian, ada kesetaraan di antara keduanya. Kuasa yang setara antara laki-laki dan perempuan membuat keduanya mampu mengambil peran yang seimbang, tanpa mendiskreditkan dan saling men-subordinasi.

Pada dasarnya, sumber-sumber kriminalitas banyak terjadi karena kepemilikan kuasa yang tidak setara. Demikianpun yang terjadi pada sebagian besar faktor pemicu terjadinya kriminalitas perempuan. Bila kesetaraan kuasa itu diupayakan, saya yakin bahwa berbagai bentuk kriminalitas, tidak hanya pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki, akan berkurang secara signifikan.***

Read more...

Tuesday, April 12, 2011

Ujian Nasional dan Pentingnya Peran Pendampingan

Tidak sampai seminggu lagi, siswa/i SMA se-Indonesia akan menjalani UAN. Persisnya itu akan dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 18 April 2011. Polemik di seputar pelaksanaan UAN dari tahun ke tahun sudah semakin terminimalisir. Masukan-masukan dari para ahli pendidikan cukup diakomodasi, meski mungkin dalam beberapa hal masih ada sedikit kekurangan, tapi itu tetap perlu dikritisi lagi.

Untuk tahun ini, pemerintah membuat 5 bentuk soal yang berbeda dengan tingkat kesulitan yang sama untuk setiap ruang ujian. Artinya, dari 20 siswa yang akan mengikuti ujian, hanya ada 4 siswa saja yang memiliki soal yang sama. Pemerintah telah menentukan bahwa pemberian soal akan dibuat secara random. Tentu saja, ini adalah sebuah usaha untuk menghindarkan kebocoran soal dan jual-beli jawaban, yang tahun-tahun sebelumnya amat jamak terdengar. Meski mungkin sudah diminimalisir, tentu saja pengawas-sekolah-pemerintah harus tetap berhati-hati. Bukan tidak mungkin bahwa cara baru kecurangan dalam ujian diusahakan oleh oknum-oknum tertentu.

Terlepas dari soal itu, tahun ini pemerintah sudah mengakomodasi ujian sekolah sebagai salah satu komponen penentu kelulusan siswa, meski prosentasenya hanya 40%. Tentu saja ini sebuah langkah maju, karena dengan demikian kekhasan masing-masing sekolah diakomodasi. Hanya saja, kecurangan tetap bisa terjadi, misalnya pihak sekolah melakukan upgrade nilai untuk nilai sekolah, sebagai antisipasi jikalau nilai UAN-nya jeblok. Untung, pemerintah tanggap atas kemungkinan buruk ini. Pemerintah sudah mengancam akan menghukum sekolah yang berlaku demikian jika itu terjadi.

Berbicara tentang Ujian Nasional, saya sendiri merasa ujian itu memang termasuk penting. Ujian Nasional memang bisa dijadikan tolok ukur. Tapi, memang jangan dibuat sebagai tolok ukur satu-satunya. Pada tulisan kali ini, saya mau bercerita tentang pengalaman 3 tahun lalu, ketika UAN masih menjadi satu-satunya tolok ukur kelulusan.

******

Masih membekas dalam ingatan saya, kejadian 3 tahun lalu, persis setelah Ujian Nasional selesai dilaksanakan, seorang siswa, yang pernah saya dampingi membuat pernyataan yang membuat saya agak syok sekaligus tertegun. “Buat apa kami sekolah dan belajar selama 3 tahun, kalau nasib kami hanya ditentukan oleh 5 hari ujian? Mending kami di-drill 1 bulan saja, khusus untuk mempersiapkan ujian ini, sehingga kami bisa lulus!”

Kejadian yang substansinya serupa terjadi lagi setahun lalu, meski dalam bentuk yang berbeda. Seorang siswa, yang juga pernah saya dampingi, menduga bahkan cenderung yakin bahwa beberapa temannya mengambil jalan pintas dengan membeli bocoran jawaban dari pihak-pihak tertentu yang menawarkan jasa kunci jawaban. Sungguh prihatin saya mendengarkan berita ini.

Melihat situasi dan kondisi ini, mungkin Anda juga ikut prihatin. Pertama-tama keprihatinan kita diarahkan pada ujian nasional itu sendiri. Ada oto-kritik langsung terhadap kebijakan itu. Pikiran sesaat yang menyatakan bahwa buat apa susah-susah belajar 3 tahun menandakan keputusasaan terhadap situasi dan keadaan yang ditimbulkan oleh kebijakan itu. Seolah-olah, bagi mereka, target terpenting dari belajar di sekolah adalah agar lulus. Sementara untuk lulus-tidaknya tenggatnya hanya 5 hari saja. Proses 3 tahun yang sudah dilewati sama sekali tak terperhatikan, apalagi untuk diendapkan dan direfleksikan. Bagi mereka, sepertinya, tiga tahun itu tiada gunanya, sia-sia dan membuang waktu. Sungguh miris pernyataan ini bila dibandingkan dengan usaha yang telah kita buat, sebagai guru, mendampingi mereka sekian tahun.

The value is in the process
Terlepas dari diskusi pro-kontra pelaksanaan ujian nasional yang sudah sering kita dengar dan perbincangkan, entah dalam forum apapun, saya dalam refleksi singkat ini ingin menunjukkan bahwa kisah beberapa siswa tadi bisa menjadi cermin refleksi. Menetapkan ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan sebenarnya membuat kita melupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami oleh siswa sendiri, si subyek pelaku pendidikan itu. Kita tampaknya hanya memikirkan bagaimana sistem dan cara yang tepat. Seolah-olah yang paling penting adalah sistemnya. Tapi kita lupa dan sering tidak memperhatikan si subyek yang menjalani sekolah itu sendiri, yang sedang belajar, yakni para siswa.

Tuntutan semu siswa tadi yang menganjurkan agar sebaiknya pendidikannya hanya ditempuh 1 bulan saja, menunjukkan ada value yang hilang dalam cara bagaimana kita mendidik seorang anak. Dalam pernyataan itu, dinamika dan proses belajar seorang manusia diabaikan. Yang terpenting dalam hidup adalah hasil. The goal is the value. Padahal bagi seorang anak, prinsip ini tidak bisa diterapkan, seperti kita bisa menerapkannya dalam suatu perusahaan sebagai bukti sebuah pencapaian.

Sama halnya ketika kita membicarakan sistem pendidikan dasar 9 tahun. Dalam sistem itu, intrinsik bahwa yang terpenting bukan saja seorang anak bisa sekolah dan punya modal ilmu untuk hidup mereka di kemudian hari. Tetapi, di dalam kurun waktu 9 tahun itu tersirat sebuah proses.

Jika kita memperkirakan usia rata-rata seorang anak memulai pendidikan dasar 9 tahun-nya adalah umur 6 tahun, secara psikologis, umur itu adalah tahap matang di mana seorang anak mulai mengenal lingkungannya secara lebih luas. Umur 6 tahun adalah masa di mana seorang anak mulai meninggalkan masa balitanya, meninggalkan masa pertama di mana dia mengenal kehidupan kodratiahnya sebagai manusia. Dia mulai memasuki sebuah wilayah kehidupan yang lebih maju lagi, mulai mengenal pengetahuan di luar lingkungan keluarganya (aspek competence), mengenal teman-temannya (aspek compassion), serta mengenal prinsip-prinsip hidup dan ruang adi-kodrati (aspek conscience). Ibaratnya, anak yang berumur 6 tahun itu masih seperti kertas kosong, yang perlu kita dampingi agar mereka dapat mengisi kertas itu dengan catatan-catatan dan tulisan yang baik, sebagaimana kita mengusahakannya lewat pendidikan mereka.

Demikianlah seharusnya yang terjadi dalam dinamika proses pendidikan mereka sampai menjelang ujian. Jika proses ini diabaikan, dan kita hanya berpikir yang penting hasilnya saja, sehingga yang penting anak bisa lulus ujian nasional, kita akan menulis sesuatu ‘yang buruk’ dalam diri mereka. Pengalaman itu akan terpatri dalam hidup mereka. Maka wajar saja, kadang kita mengelus dada, melihat generasi muda kita sekarang, menstigmatisasi mereka sebagai generasi instan. Itu bukan salah mereka, sebab sejak kecil mereka memang sudah kita didik demikian.

Belajar untuk Hidup
Mungkin saja ada seorang anak yang benar-benar genius, sehingga ketika dia diberi materi pelajaran tertentu, dia akan dengan mudah mencecap dan mencernanya dengan baik. Sehingga ketika di-drill dalam sebulan, dia bisa siap menghadapi ujian nasional. Tetapi sebagai manusia, dia kehilangan pembelajaran dalam 2 aspek lainnya, yakni aspek compassion dan aspek conscience tadi. Kelak, dia akan menjadi manusia yang tidak terbentuk dan tidak terdidik dengan baik. Dengan analogi kertas kosong tadi, hidupnya sekarang tinggallah kertas yang penuh dengan sobekan. Meskipun di sebagian kertasnya terisi tulisan-tulisan yang baik, yang isinya keberhasilan-keberhasilan saat menjalani ujian, tetapi ada bagian yang sobek, yang menandai sisi kehidupan dirinya yang hilang.

Benarlah ujaran Seneca, sang filsuf Romawi, yang memperingatkan muridnya Lucilius untuk memperhatikan masa studinya. Non scholae sed vitae discimus. Studi di sekolah tidak semata-mata demi raihan nilai dan hasil yang sempurna dengan lulus ujian. Itu memang penting. Tetapi, jangan lupa bahwa yang terpenting dari sekolah adalah untuk mengerti hal-hal yang akan dijalani dalam hidup.

Maka, menjadi guru pertama-tama bukannya memberikan materi dan setelah bahannya habis, tugas kita selesai. Menjadi guru berarti menjadi teman berproses. Berproses dalam arti menenemani mereka bergumul dalam hidupnya selama 3 tahun, di mana mereka belajar mengenal kehidupan secara holistik. Kalau hal itu yang terjadi, hidup studi mereka akan memberikan pencerahan. Kalau kita tidak sadar hal ini, hal sebaliknya yang bisa terjadi, sekolah bisa menjadi bayang-bayang menakutkan dalam hidup mereka. Semoga lewat pengalaman ini kita bisa menjadi guru yang baik, artinya kita mau ikut terlibat dalam proses belajar siswa.***
Read more...

Wednesday, April 6, 2011

Nelayan dan Paradoks Negara Kepulauan

(Tulisan ini dibuat sebagai peringatan Hari Nelayan Nasional, yang jatuh pada hari ini, tanggal 6 April)

Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 6 April adalah Hari Nelayan Indonesia. Pada umumnya, yang kita tahu hanyalah tempat-tempat kuliner yang menyediakan makanan laut (seafood), yang sumber bahannya diperoleh dari para nelayan.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, di mana wilayah lautnya 2/3 dari keseluruhan dan garis pantainya sepanjang 95.181 km, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan lautan yang sangat besar. Apalagi, hampir 65% penduduk Indonesia saat ini tinggal di wilayah pesisir, di mana di situ tumbuh kota-kota besar dan modern. Sebut saja misalnya Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar.

Tetapi, fakta tak bisa dipungkiri. Di tengah potensi besar sumber daya kelautan, kantong-kantong kemiskinan justru berada persis di wilayah pesisir dan pemukiman nelayan. Daerah Muara Angke dan Cilincing di Jakarta, Tambak Mulyo dan Tanjung Mas di Semarang, Kenjeran di Surabaya dan daerah Untia dan Barombong di Makassar adalah kampung-kampung nelayan yang kondisinya amat memprihatinkan. Di sana tampak pemandangan yang berbanding terbalik dengan kota-kota besar, yang kebutuhan pangannya didukung dan ditopang oleh para nelayan. Begitulah paradoks negeri kepulauan ini. Para nelayan mengalami nasib yang berbeda dengan warga kotanya.

Faktor Penyebab
Sebagai negara kepulauan atau negara maritim, Indonesia sampai saat ini tidaklah pernah menjadi negara yang digdaya dalam hal kuantitas produksi hasil perikanan. Fakta menunjukkan bahwa kita masih mengimpor ikan dari luar negeri. Selain itu, kita juga tak pernah kuat di lautan. Kita sering mendengar berita nelayan kita yang justru ditangkap oleh polisi laut negara tetangga. Ditambah lagi dengan sedemikian mudahnya pertahanan laut kita jebol karena aksi pencurian oleh nelayan asing (KIARA, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, 2010).

Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah mengapa dengan kondisi sumber daya laut yang sedemikian besar, masyarakat nelayan kita masih tetap miskin dan terbelakang? Memang ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Faktor pertama adalah kecilnya kesejahteraan yang dihasilkan bila hidup menjadi nelayan. Faktor ini membuat banyak para nelayan atau kelompok masyarakat yang secara tradisi menggantungkan hidup dari penghasilan sebagai nelayan meninggalkan pekerjaan ini. Mereka lebih tertarik bekerja di kota, entah sebagai buruh atau sebagai pedagang. Menurut laporan KIARA, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ada sekitar 1,2 juta nelayan yang sudah meninggalkan laut.

Faktor kedua adalah terbatasnya prasarana dan teknologi penangkapan yang mereka gunakan. Sebagian besar nelayan kita masih menggunakan kapal-kapal kecil dan teknologi sederhana, yang tentunya amat membatasi jumlah tangkapan. Selain itu, keterbatasan sarana ini juga membatasi mereka untuk bisa melaut lebih jauh ke perairan dalam, di mana di daerah itu biasanya jumlah ikannya lebih beragam dan banyak.

Faktor ketiga, kurangnya pengetahuan para nelayan kita. Meski mereka sudah memiliki modal kearifan lokal yang diwarisi secara turun-temurun, seperti bagaimana melaut, kapan waktunya untuk melaut, mereka selayaknya diberi juga pengetahuan lain. Misalnya, pengetahuan teknologi kelautan, supaya mereka bisa mampu meningkatkan hasil tangkapan; cara membaca laporan BMG, agar mereka bisa mengukur sejauhmana mereka tetap bisa melaut dan wawasan lingkungan hidup agar mereka tidak semena-mena mengeksplorasi sumber daya kelautan.

Faktor keempat, kurangnya dukungan pemerintah terhadap pekerjaan mereka. Dengan kondisi harga minyak dunia yang fluktuatif seperti saat ini, sebagian besar dari mereka ketar-ketir jika dalam waktu dekat BBM jadi dinaikkan. Kenaikan harga BBM tentu saja akan berpengaruh pada pemasukan. Selain itu, kurang tegasnya pemerintah dalam mengawasi laut Indonesia membuat nelayan-nelayan kita menjadi seperti tidak mampu menghadapi nelayan-nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah kita. Nelayan-nelayan asing itu sudah pasti menggunakan kapal besar dan peralatan yang lebih canggih, yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nelayan kita. Ditambah lagi faktor pengawasan pasar yang masih kurang. Tidak jarang di antara nelayan kita, hidupnya justru dalam jeratan utang. Mereka dipermainkan oleh para tengkulak dan harga pasar.
Mengubah Nasib
Saat ini, jumlah nelayan Indonesia berkisar sekitar 2,7 juta jiwa. Jumlah ini adalah jumlah yang amat besar untuk negara abaikan. Nah, daripada DPR sibuk menggolkan usulan anggaran pembangunan gedung DPR baru sebesar 1,17 trilyun, lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk mengembangkan potensi kelautan dan memberdayakan hidup para nelayan. Sudah sewajarnyalah, mereka, sebagai wakil rakyat memikirkan nasib para nelayan ini. Jika ke depannya nasib mereka tak pernah berubah, sungguh semakin mirislah hidup para nelayan kita. Sudah hidup dan tinggal jauh di pinggir kota, nasibnya juga tak pernah kunjung berubah. Mati segan, hidup pun tak mampu!***
Read more...

Sunday, March 27, 2011

Membangun Kesadaran Ekologis Warga

(Setelah berkutat dengan kuliah dan kegiatan macam-macam selama hampir setahun lebih, beberapa minggu terakhir ini saya kembali ke minat lama, yakni menulis. Syukur alhamdullilah, satu tulisan dimuat lagi di sebuah harian, yakni Jawa Pos, untuk wacana lokal "Jogja Raya". Selamat membaca!)

Sungguh miris melihat gambar pada cover depan Jogja Raya tanggal 16 Maret 2011. Di salah satu ruas jalan di kota Yogyakarta terpapar ratusan papan reklame, yang saling berlomba unjuk diri. Terlepas dari masalah estetika yang memang mengurangi rasa keindahan salah satu sudut kota, fakta ini menunjukkan sebuah paradoks lain. Sementara ratusan reklame itu semakin menjadi ‘rimba belantara’ tiang-tiang masif, di sisi lain, dari hari ke hari, ruang hijau untuk tumbuhnya pepohonan, yang merupakan rimba belantara sesungguhnya justru semakin berkurang.

Sejumlah Fakta
Pada tahun 2009, Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mencatat suhu tertinggi di Yogyakarta mencapai 37,7 derajat celcius. Suhu tertinggi sebelumnya adalah 35,1 derajat (2004); 35,7 derajat (2005); 35,0 derajat (2007); dan 35,6 derajat (2008). Meningkatnya suhu kota ini berbanding lurus dengan penurunan jumlah pepohonan. Belum lagi menghitung aktivitas manusia yang menciptakan gas rumah kaca sehingga semakin meningkat, seperti lewat pembakaran bahan bakar fosil, yang dibuat oleh industri, transportasi dan rumah tangga. Bapeda DIY sendiri melaporkan bahwa sepanjang tahun 2004-2008 tercatat kasus pencemaran udara sebanyak 14 kali, atau 39 persen dari total kasus pencemaran yang mencuat dalam kurun waktu tersebut. Selain itu, pada kurun waktu yang sama, tercatat seperlima dari total 148 desa di DIY pernah mengalami pencemaran udara karena pengaruh kegiatan di wilayahnya. Alih-alih meningkatkan ruang hijau dan tumbuhnya pepohonan yang mampu menopang kenyamanan hidup warga kota Yogyakarta, kota ini justru lebih banyak memberi ruang tumbuhnya ‘pepohonan’ tiang-tiang reklame.
Menurut Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup D.I. Yogyakarta, diperkirakan sekarang ini ada 1 juta sepeda motor dan 200.000 mobil beredar di kota ini. Jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan pertumbuhan sekitar 5% per tahun, menandakan adanya pertambahan tingkat polusi udara yang dihasilkan kendaraan tersebut. Selain itu, faktor bertambahnya kebutuhan pemukiman di kota Yogyakarta juga semakin memperparah kondisi ekologi yang kritis. Meski tumbuhnya pemukiman menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi penduduk, pada kenyataanya hal ini justru menimbulkan efek samping yang sangat signifikan, yakni hilangnya atau berkurangnya lahan hijau, seperti sawah dan hutan desa. Belum lagi ditambah dengan kebiasaan kecil yang dibuat oleh orang per orang, seperti membuang sampah sembarangan, penggunaan listrik yang boros dan penggunaan air bersih yang tidak efektif. Semua ini semakin menandakan wajah warga kota yang semakin tidak arif terhadap lingkungan.

Langkah Antisipatif
Melihat kenyataan hal ini, penulis hendak menawarkan beberapa hal yang perlu diperhatikan secara khusus untuk membangun kesadaran ekologis warga kota. Pertama, pentingnya usaha penanaman nilai-nilai ekologis di dalam kurikulum pengajaran di sekolah, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Seperti yang dikatakan oleh Daniel Goleman (2009), kecerdasan ekologis adalah salah satu kecerdasan yang perlu dikembangkan, selain kecerdasan kognisi, emosi, dan spiritual. Pendidikan ekologis penting dijadikan muatan di dalam pendidikan karakter, yang akhir-akhir ini semakin diwacanakan dalam pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan ekologis ini sama pentingnya dengan penekanan pendidikan anti-korupsi.

Kedua, pentingnya peningkatan kebijakan publik yang berperspektif ekologis. Program Sego Segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe) yang dicanangkan oleh Herry Zudianto, walikota Yogyakarta adalah program yang pro-lingkungan. Ketiga, perlunya kerjasama antar komponen masyarakat, terutama antar pemuka agama. Masalah lingkungan dan ancaman kerusakan alam bukan saja persoalan sosiologis dan geografis. Ini adalah juga persoalan moral! Maka dari itu, masing-masing pemimpin agama dan umat beriman diharapkan saling berkolaborasi untuk semakin melihat dan menyadari bahwa alam adalah saudara dekat, yang harus kita cintai dan kita rawat. Mereka juga adalah ciptaan Tuhan yang hidup sama seperti manusia.

Keempat, dalam tataran mikro, sebagai pribadi, kita perlu memperhatikan pola laku dan kebiasaan buruk yang dapat merusak lingkungan. Mulailah untuk mempergunakan listrik seperlunya, membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah organik dan non-organik, dan mulai menggunakan kendaraan bermotor seperlunya. Jika jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, lebih baik menggunakan sepeda atau jalan kaki. Bila keempat hal ini sungguh-sungguh kita perhatikan, kelak kita akan melihat wajah kehidupan kita yang berbeda. Syukur-syukur kota ini tidak hanya menjadi semakin indah tertata, tetapi juga nyaman untuk ditinggali. Memetri bumi anjejagi gesang. Memelihara bumi sama artinya dengan menjaga kehidupan kita sendiri.*

dimuat pada tanggal 26 Maret 2011 di harian Jawa Pos (Jogja Raya)
Read more...

Wednesday, June 3, 2009

Mempertanyakan Berarti Berpikir

Sekilas kata-kata Heidegger di atas membuat kita bertanya, apakah pernyataan ini tepat, logis dan bisa dibuktikan? Apakah berpikir itu berarti tindakan mempertanyakan? Dewasa ini, orang berpendapat bahwa berpikir itu tidak hanya mempertanyakan, tapi justru yang terpenting adalah menemukan jawaban, menemukan ‘temuan’ yang bisa mereduksi pertanyaan-pertanyaan yang selalu membingungkan manusia. Temuan itu akhirnya mempermudah kehidupan dan mengurangi kebingungan manusia, maka wajarlah orang yang berpikir untuk menemukan jawaban (temuan) itu disanjung-sanjung.

Inilah kenyataan pendapat manusia zaman ini. Semakin banyak ilmu-ilmu spesialisasi. Semakin banyak ruang-ruang kecil dalam hidup kita, yang menyulitkan dan membingungkan terjawab.
Tapi, manusia tidak sadar karena terjebak pada pendangkalan kebudayaan. Dengan banyaknya spesialisasi, para spesialis hanya terfokus pada suatu masalah saja, sedangkan masalah lain tidak terpikirkan atau dibiarkan saja, biar orang lain yang menyelesaikan. Ada semacam jurang pemisah antara disiplin ilmu, dan justru semakin menimbulkan banyak pertanyaan yang tak terjawabkan. Di sisi lain, banyak orang yang bukan termasuk spesialis manapun, terkhusus generasi-generasi baru, hanya mendapatkan jawaban-jawaban ‘instant’ melalui teknologi-teknologi yang tidak jelas bagaimana semuanya itu terjadi. Generasi ini hanya tahu memakainya saja, tidak mau bertanya. Di sinilah spesialisasi atau teknologi sebagai hasilnya, membuahkan kekerasan bagi generasi baru manusia.

Filsafat sebagai ilmu ‘kuno’, yang saat ini mungkin tidak diminati oleh banyak orang lagi, tetap akan eksis, karena melalui filsafatlah hubungan antar ilmu menjadi terjembatani. Filsafat mengajak berpikir dengan selalu mempertanyakan. Apakah mempertanyakan pertanyaan itu harus terjawab? Menjawab bukanlah tujuan dari filsafat. Justru, filsafat hadir sebagai ilmu yang mencintai kebijaksanaan, bertindak secara objektif. Filsafat yang adalah berpikir dengan mempertanyakan, terbuka terhadap segala realita hidup manusia, bijaksana terhadap segala masukan dan perubahan, dan membawa manusia menuju pada kehidupan yang lebih baik.
Tepatlah pendapat seorang filsuf, “Ilmu alam (science) itu tidak berpikir karena ia hanya mencoba memahami gejala, hanya para filosoflah yang berpikir karena ia merefleksikan gejala”. Memahami dan merefleksikan merupakan suatu sisi yang berbeda. Memahami berarti menemukan jawaban, sedangkan merefleksikan berarti memantulkan lagi dengan cara mempertanyakan.
Walaupun tidak ada ilmu apapun yang bebas dari nilai di dunia ini, filsafat adalah cara bijaksana untuk bersikap terhadap teknologi/pemikiran yang mengkalkulasi dewasa ini.
“Questioning is The Piety of Thought”. Mempertanyakan berarti berpikir. Berpikir berarti mempertanyakan.
Read more...

Saturday, April 25, 2009

Belajarlah dari Founding Fathers!


Masih ingatkan teman-teman dengan pelajaran sejarah di SD!

Siapa bapak pendiri Negara kita?
Dengan mudah kita bisa menjawab: Soekarno-Hatta.
Perhimpunan orang Indonesia berskala nasional, pertamakali didirikan tahun berapa?
Dengan sedikit berpikir, muncullah jawaban: 1908.
Apa nama perhimpunan itu?
Indische Vereeniging
Lha, apa hubungannya Soekarno-Hatta dengan perhimpunan ini?
Nah, critanya begini:
Seabad yang lalu, asal-muasal ide tentang Negara kita, Negara Indonesia, bermula dari sini. Dua tokoh pemuda yang sedang belajar di negeri Belanda, yakni Sutan Kasayangan dan Noto Suroto, memprakarsai berdirinya Indische Vereeniging. Pada awalnya, kelompok ini adalah hanya semacam kelompok interest dari pelajar-pelajar Indonesia yang sedang belajar di Negeri Kincir Angin tersebut. Namun, berkembang kemudian, dengan masuknya beberapa orang lain, seperti Cipto Mangunkusumo, Ki hajar Dewantara, dan Muhammad Hatta, kelompok ini mulai memikirkan masa depan bangsa kita.
Siapa yang bisa menyangka, karena kelompok kecil inilah, ide tentang Kenegaraan kita terwujud.


Nah, kalo begitu, apa salahnya kalo kita bisa belajar di Belanda.
Di Negara itulah, semangat-semangat perjuangan pemuda Indonesia dahulu dimulai.
Daripada mesti studi di Negara lain, mendingan kita timba ilmu di negeri Kincir angin, kita timba semangat perjuangan yang dulu pernah ada. Apalagi, sekarang, Negara kita sungguh sangat butuh generasi-generasi baru, yang memiliki semangat juang seperti para founding fathers kita itu. Read more...