Thursday, December 4, 2008

Agama Sebagai Realitas Sosial

Buku The Sacred Canopy adalah salah satu usaha Berger memberikan pemahaman secara sosiologis atas agama sebagai produk historis. Bagi Berger buku ini bukanlah “sosiologi agama”. Namun menurut Jeffrey K. Hadden dalam sebuah tinjauannya, buku ini merupakan sumbangan paling penting terhadap studi sosiologi agama setelah terbitnya karya klasik Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Terlepas dari pengakuan itu, buku ini sendiri dibagi menjadi dua uraian, yaitu uraian sistematis dan uraian historis. Uraian sistematis bisa dikatakan sebagai pembahasan teoretis. Sedangkan uraian historis membahas sekularisasi yang memperlihatkan “ganjaran” dari perspektif teoretis dalam kerangka suatu pemahaman atas situasi-situasi sosio-historis spesifik.
Untuk memahami lebih jauh pemikiran Berger, berikut ini penulis memberikan ringkasan penting dari keseluruhan isi buku tersebut.

Sacred Canopy
Agama dalam perspektif Berger dimengerti sebagai hasil konstruksi manusia melalui tiga tahap dialektik, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dunia yang dikonstruksikan tersebut menjadi nomos yang mengatur kehidupan manusia agar terbebas dari ancaman anomi dan khaos.
Melalui proses sosialisasi, agama melakukan pelanggengan dunia yang telah dikonstruksikan manusia. Di samping itu, agama melegitimasi realitas sosial yang ada. Agama membutuhkan struktur plausibilitas atau basis sosial guna mendukung keberadaannya.
Berger menggunakan konsep Teodisi untuk memberikan makna terhadap penderitaan yang dialami manusia di dunia, dengan sekaligus menjanjikan kebahagiaan ‘di dunia sana’. Dalam hubungan ini agama jelas merupakan sebuah kekuatan alienasi. Alienasi oleh Berger dimengerti sebagai terputusnya hubungan dialektik antara individu dengan dunianya. Meski sebaliknya agama juga memiliki kekuatan dealienasi.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat modern, Berger melihat proses sekularisasi sebagai lepasnya berbagai sektor kehidupan masyarakat dari dominasi institusi dan simbol agama. Sedang sekularisasi itu sendiri berakar pada tradisi masyarakat Israel kuno sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Lama. Hal ini jelas terlihat dalam konsep transendentalisasi Tuhan, motif historisasi dan rasionalisasi etis yang sangat mewarnai Perjanjian Lama.
Berger menganggap agama sebagai peta kognitif yang digunakan manusia untuk memahami berbagai kerangka makna. Agama berhasil menjelaskan berbagai realitas sosial, sehingga menjadikan hidup manusia bermakna.

Memahami Sacred Canopy: Agama Sebagai Realitas Sosial
Sosiologi Berger sangat diwarnai oleh pentingnya kedudukan sosiologi pengetahuan. Pendekatannya bersifat eklektik, dan menggunakan metode fenomenologi. Berger memahami agama sebagai sebuah fenomena sentral dalam realitas sosial yang dimengerti dalam konteks sosiologi pengetahuan. Agama merupakan realitas sosial yang dikonstruksikan secara sosial oleh manusia. Dalam proses konstruksi realitas tersebut, manusia melalui tindakan dan interaksinya secara terus-menerus menciptakan realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara faktual dan penuh makna subjektif secara objektif. Sesuai dengan metode fenomenologi yang digunakannya, Berger menganggap bahwa semua pengetahuan manusia tentang fakta objektif dalam dunia ditentukan dan diwarnai oleh lingkungan sosial di mana pengetahuan tersebut dikonstruksikan, ditransmisikan, dan dipelajari. Dengan kata lain, Berger menganggap bahwa manusia tak pernah dapat menangkap realitas yang berada di luar proses yang dialaminya.
Berger beranggapan bahwa manusia melalui proses konstruksi realitas sosial berada dalam dunia konfigurasi makna yang bersifat koheren dan membutuhkan legitimasi yang dirumuskan secara eksplisit. Sejarah umat manusia memperlihatkan bahwa agama memainkan peranan yang sangat penting dalam proses konstruksi dan pemeliharaan dunia. Agama merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang telah mencapai status objektif dan sekaligus memiliki makna subjektif yang mendalam. Agama secara terus-menerus melakukan legitimasi.
Dalam perspektif Berger pengetahuan manusia adalah terbentuk secara sosial. Oleh karena itu, tugas sosiologi pengetahuan adalah menganalisis bentuk-bentuk sosial pengetahuan manusia. Secara umum Berger mendefinisikan sosiologi pengetahuan sebagai sub-disiplin sosiologi yang mempelajari keseluruhan hubungan antara struktur sosial dan kesadaran. Sosiologi pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai bentuk kegiatan ideosinkartik di kalangan sosiologi yang cenderung mengarah pada sejarah ide-ide dan ditempatkan pada bagian paling sentral dalam teori sosiologi.
Konsekuensi rumusan sosiologi pengetahuan sebagaimana tersebut di atas adalah bahwa sosiologi agama dipandang sebagai integral dan sentral dalam sosiologi pengetahuan. Tugas sosiologi agama adalah melakukan analisis kognitif dan normatif yang diperlukan untuk meligitimasikan semesta yang dikonstruksikan secara sosial.
Karena adanya pengetahuan, manusia dan masyarakat dipahami. Dan melalui pengetahuan itu pula individu secara subjektif mengintegrasikan dan mendudukkan dirinya dalam tertib institusional. Dengan demikian institusi dan identitas menjadi bersifat koheren. Berger menekankan bahwa pengetahuan merupakan sarana bagi manusia untuk memahami realitas dan mengorientasikan dirinya.
Dalam perspektif Berger, pengalaman selalu dilegitimasikan secara terus-menerus. Untuk itu, Berger membedakan tingkat-tingkat legitimasi. Legitimasi itu sendiri dimengerti sebagai proses objektivasi makna-makna yang lebih tinggi tingkatnya daripada objektivasi biasa (a second-order objectivation). Melalui legitimasi diciptakan makna-makna baru yang perlu untuk mengintegrasikan makna-makna yang telah ada dengan proses-proses institusional yang berbeda-beda. Sedang fungsi legitimasi adalah untuk menjadikan objektivasi tingkat pertama (first-order legitimation) terdapat secara objektif dan memiliki basis sosial atau plausibilitas secara subjektif.
Legitimasi tidak lagi diperlukan dalam tahap pertama institusionalisasi. Sebab institusi tersebut tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut atau telah diterima begitu saja. Legitimasi dibutuhkan bila sebuah institusi hendak diwariskan kepada generasi berikut, agar institusi tersebut dapat diterima oleh generasi penerima.
Legitimasi menjelaskan tertib institusional dengan cara memberikan kesahihan kognitif terhadap makna yang diojektivasikannya. Legitimasi sekaligus membenarkan tertib institusional dengan memberikan status normatif bagi keharusan-keharusan praktis. Jadi legitimasi memiliki dimensi kognitif dan normatif sekaligus, artinya legitimasi bukan sekedar ‘nilai’ tetapi juga merupakan ‘pengetahuan’ yang harus diikuti.
Berbeda dengan para ahli sosiologi dari tradisi positivistik maupun Marxis, Berger menganggap bahwa agama secara historis adalah tidak bersifat berada di luar realitas yang dapat dipikirkan. Anggapan Berger ini didasarkan pada realitas bahwa agama secara terus-menerus melegitimasi dunia sosial. Legitimasi agama merupakan legitimasi yang paling efektif karena kemampuannya untuk menjelaskan tertib masyarakat dalam kerangka acuan tertib semesta yang sakral. Lebih lanjut, Berger menganggap bahwa agama memiliki kemampuan mentransendentalisasikan faktor-faktor manusiawi ke dalam realitas supra-manusiawi, misalnya sejarah umat manusia ditempatkan dalam konteks waktu yang sakral.

Sekularisasi: Proses Perubahan Sosial
Mengingat bahwa realitas yang dikonstruksikan manusia adalah bersifat rapuh, maka realitas tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan. Dalam sejarah agama-agama, perubahan sosial yang sangat signifikan terdapat dalam proses sekularisasi. Sekularisasi oleh Berger dipandang sebagai proses di mana sektor-sektor masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol agama.
Berger memandang sekularisasi sebagai sebuah situasi yang benar-benar baru. Legitimasi dan plausibilitas agama mengalami kegoncangan yang bersifat global. Namun demikian Berger berbeda dengan para ahli sosiologi zaman Aufklarung maupun para ahli sosiologi Marxis yang menganggap bahwa agama tidak lagi dibutuhkan oleh manusia dan masyarakat. Auguste Comte, sangat yakin bahwa agama hanya merupakan salah satu tahap yang harus dilewati dalam rangkaian tiga tahap perkembangan masyarakat, yaitu tahap teologis, metafisis dan positif. Bila tahap positif telah tiba, maka dengan sendirinya agama akan lenyap dan digantikan oleh pengetahuan positif manusia. Sedangkan para ahli sosiologi Marxis secara sepihak memandang agama sebagai bentuk suprastruktur yang ditentukan oleh infrastruktur masyarakatnya. Perubahan dalam infrastruktur akan mengakibatkan perubahan dalam agama, dan bahkan agama akan lenyap dengan sendirinya.
Pandangan Berger tentang hubungan antara perubahan sosial dan agama adalah bersifat dialektik. Di satu pihak, agama bisa menjadi faktor penentu bagi perubahan sosial, dan di lain pihak agama bisa menjadi sesuatu yang ditentukan. Jelas bahwa dalam hubungan ini Berger banyak memperoleh pengaruh dari Max Weber tentang bagaimana Protestantisme ternyata mampu mempengaruhi proses perubahan sosial masyarakatnya. Tetapi di sisi lain Berger juga menerima pengaruh Karl Marx bahwa agama merupakan bentuk proyeksi manusia. Berger beranggapan bahwa manusia membutuhkan agama bukan semata-mata merupakan pemenuhan realisasi dirinya secara palsu, sebagaimana kata Marx. Tetapi juga karena manusia memang membutuhkan agama sebagai sarana untuk mengatasi ancaman anomi yang melanda dirinya. Di sini sekaligus memperlihatkan pengaruh Durkheim dalam sosiologi agama Berger, bahwa manusia pada dasarnya berada dalam ancaman anomi.
Kekhususan Berger dalam memahami proses perubahan sosial terletak pada interpretasi bahwa sekularisasi bukan merupakan kemerosotan atau kehancuran agama, melainkan proses transformasi dalam agama itu sendiri. Sebagaimana telah dikemukakannya, proses sekularisasi adalah tak terelakkan dalam sejarah perkembangan masyarakat modern. Meskipun demikian, agama tetap berfungsi dalam masyarakat karena hanya agama yang dapat memberikan makna atas keberadaan individu. Perkembangan ilmu dan teknologi memang dapat menjelaskan berbagai fenomena yang semula hanya dapat dijelaskan oleh agama. Tetapi untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan akhir kehidupan dan penderitaan yang harus ditanggung manusia, agama tetap memegang peranan penting. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hingga kini agama tetap belum tergantikan oleh ilmu dan teknologi yang tampaknya secara dominan mempengaruhi kehidupan setiap masyarakat modern.

Catatan Akhir: Kesimpulan
Teori sosiologi agama Berger yang menjadi pokok pembahasan tulisan ini bertolak dari konsep dialektika tiga tahap. Agama, oleh Berger dipandang sebagai salah satu bentuk realitas sosial yang dikonstruksikan oleh manusia. Masalah yang muncul adalah apakah seseorang beragama akan tetap dapat meyakini agamanya setelah ia mengetahui bahwa agama tersebut adalah sebuah konstruksi sosial?
Pada hakekatnya agama bagi para penganutnya ialah bersifat adiduniawi dan mengacu pada realitas yang melampaui realitas kehidupan manusia, maka sosiologi tidak dapat mensahkan atau membatalkan setiap pernyataan keagamaan apapun juga. Berger menganggap bahwa dari sebuah pernyataan sosiologi tidak dapat ditarik sebuah kesimpulan etis. Sikap Berger ini adalah sejalan dengan tradisi humanistik yang terdapat dalam semua sosiologi Berger. Bagi Berger, sosiologi tidak boleh memberikan pedoman moral atau menjadi sebuah doktrin penyelamatan.
Dengan meminjam istilah agama, Berger mengatakan bahwa sosiologi hendaknya dapat menjaga sifatnya yang agnostik, yaitu sifat yang menganggap bahwa rasio manusia adalah tak mampu untuk mengetahui adanya Tuhan. Oleh karena itu, sosiologi agama harus tetap bersifat agnostik sebab apapun yang dikemukakan tentang fenomena agama harus tetap dianalisis secara empirik. Bila sebuah penalaran sosiologis telah dipakai untuk mendukung atau menentang sikap agama tertentu, maka menurut Berger hal tersebut telah menyalahi prosedur metode sosiologi itu sendiri.
Sosiologi agama pada dasarnya merupakan studi tentang aspek ‘neosis’ (kesadaran) keagamaan dan ‘neoma’ (yang disadari dari pengalaman) keagamaan yang hanya muncul dalam bentuk ‘penangguhan’ status ontologis pernyataan-pernyataan agama yang semuanya bersifat di luar jangkauan analisis empirik.
Berger menandaskan keyakinannya bahwa studi ilmiah tentang agama harus menangguhkan kebenaran terakhir sebagaimana dinyatakan oleh subjeknya. Dalam studi tentang realitas agama, Berger menganggap bahwa sebuah definisi agama tidak dapat dikatakan ‘benar’ atau ‘salah’ melainkan apakah definisi tersebut bermanfaat atau tidak. Berger tampak kurang setuju dengan penggunaan definisi fungsional, yaitu definisi yang merumuskan apa yang dilakukan oleh agama dan fungsi-fungsi apa yang dijalankan oleh agama bagi individu dan masyarakatnya. Definisi fungsional tersebut oleh Berger dianggap terlalu luas dan cenderung mengesampingkan makna-makna manusiawi yang terdapat di dalamnya, sebagaimana sangat ditekankan dalam metodologi Weber.
Sebaliknya Berger lebih menyukai definisi agama yang bersifat substantif, yaitu definisi agama yang menyangkut makna dan kompleks makna yang mengacu pada entitas transenden, meliputi Tuhan, dewa, dan kekuatan supraempirik (kesemuanya itu tergolong dalam entitas metaempirik). Berger beranggapan bahwa dengan menggunakan definisi substantif akan dapat memahami makna-makna agama dari dalam dengan tidak mengesampingkan fungsi-fungsi agama bagi individu dan masyarakat.
Keseluruhan sosiologi agama Berger menunjukkan sifat eklektik yang memang merupakan ciri khas Berger. Berger banyak mengambil alih teori Durkheim, Weber dan Marx dalam hal pemahaman realitas sosial dan realitas agama khususnya. Sedangkan berbagai macam asumsi tentang manusia yang berkaitan dengan konstitusi biologisnya, Berger sangat terpengaruh oleh pemikiran Gehlen, Plessner dan Portmann.
Dari Rudolf Otto, seorang ahli fenomenologi agama, Berger mengambil alih konsep bahwa agama merupakan sebuah mysterium tremendum et fascinosum. Sedangkan dari Martin Heidegger, seorang tokoh eksistensialisme, Berger mengambil anggapan bahwa manusia senantiasa hidup dalam keprihatinan dan kecemasan (Sorge und Angst). Berger menganggap bahwa pada dasarnya setiap individu akan selalu cemas menghadapi kematian sebagai peristiwa eksistensial yang tiba-tiba menerobos dalam hidup seseorang. Kecemasan tersebut menurut Berger merupakan dasar mengapa seseorang membutuhkan agama. Agama hingga kini tetap merupakan institusi yang paling mampu menjelaskan realitas kematian. Kematian oleh agama diberi serangkaian makna yang mendalam, sehingga seseorang yang beragama akan tetap menganggap bahwa kematiannya bermakna dan kecemasannya berkurang.
Agama dalam sosiologi Berger dipandang sebagai bagian integral dan penting artinya dalam susunan pengetahuan manusia. Agama merupakan bentuk pengetahuan manusia yang telah mencapai status objektif, tetapi sekaligus mempunyai makna subjektif yang mendalam. Dalam hubungan ini, walaupun Berger secara eksplisit menolak untuk mereduksikan realitas sosial yang satu ke dalam realitas sosial yang lain, tetapi ia telah melakukan reduksi agama ke dalam pengetahuan manusia.
Oleh karena itu, setiap usaha untuk memahami sosiologi agama Berger hendaknya didasari pemahaman yang memadai tentang proses konstruksi realitas sosial. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa agama merupakan stock of knowledge yang terdapat dalam setiap masyarakat. Agama menjadi berarti bukan karena keberadaannya sendiri, melainkan karena fungsi yang dijalankannya dalam pelanggengan dunia.
Read more...