Wednesday, February 4, 2009

Berpikir Ulang Tentang Keindonesiaan di Tengah Kepungan Perubahan Global


Bersyukurlah bahwa para founding fathers kita adalah orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan Bung Tan Malaka. Pola pikir dan praksis yang mereka terapkan telah melahirkan sebuah negara merdeka. Akan jadi seperti apakah Indonesia jika mereka tidak ada. Tetapi sepeninggal mereka, semangat dan perjuangan mereka tidak serta merta dilanjutkan oleh generasi penerus, bahkan tahun-tahun belakangan ini justru muncul pertanyaan, mau ke manakah Indonesia ini.
Mungkin kalau salah satu dari mereka, saat ini masih hidup, akan bergumam dalam hati: “Indonesiaku malang, Indonesiaku tersayang”. Cita-cita dan perjuangan yang mereka kerjakan dulu tampaknya mulai meredup atau bahkan hilang sama sekali. Cita-cita mereka tentang ke-Indonesiaan yang satu dan utuh telah berubah menjadi fragmen-fragmen yang terpecah-pecah. Baru saja Timor-timur memisahkan diri, sekarang Aceh dan Papua meminta yang sama. Baru saja ada kerusuhan di Ambon sekarang sudah muncul gerakan separatis yang mengatasnamakan agama, yang berbuah bom Bali dan Marriot. Malang sekali nasibmu Indonesiaku. Apakah akhirnya gumaman itu akan berakhir sampai di situ saja, tanpa ada rasa terima kasih.
Mereka sebenarnya sama sekali tidak mengharapkan terima kasih dari kita. Yang mereka harapkan adalah rasa tanggungjawab kita terhadap bangsa kita, rasa kebangsaan kita, rasa ke-Indonesiaan kita.
Memang tidak adil rasanya kalau kita begitu saja takluk pada kehebatan para Bung, Bapak pendiri bangsa kita. Tidak adil rasanya kalau kita dicap tidak pernah berjuang sama sekali. Kita lupa ternyata memelihara memang lebih sulit ketimbang memulai. Indonesia hidup dalam sebuah sejarah dan kita tahu bahwa sejarah adalah ‘sungai ada’ yang membawa banyak peristiwa, di mana kita tidak akan pernah masuk pada aliran sungai yang sama.

“Itu semua hanyalah dalih dan pembelaan diri,” sanggah para Bung. Bukan itu maksudnya. Justru semakin bertambah waktu yang dilewati semakin banyak perubahan dan semakin diperlukan pemaknaan baru atas kebangsaan kita. Memang perlu diwaspadai bentuk-bentuk pelencengan, makanya perlu berprinsip back to the basic. Bagaimanakah kita memaknai kebangsaan ini dengan kerangka berpikir yang dicita-citakan para founding fathers tanpa meninggalkan semua realitas yang melingkupi bangsa kita?
Inilah kerangka tulisan yang hendak penulis bahas, yakni berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan di dalam sebuah realitas perubahan global yang begitu cepatnya.

Persatuan bukan Per-sate-an: Belajar dari Founding Fathers
Dari Soekarno kita belajar banyak pada ide dan praksis ke-Indonesiaan yang bersatu. Dari Hatta kita berhutang pada demokrasi populisnya, yakni demokrasi kerakyatan sampai ke praksis ekonomi koperasi. Dari Syahrir kita menimba nilai kemartabatan kemanusiaan yang merelatifkan nasionalisme sempit. Dan dari Tan Malaka kita belajar menyadari ketotalan transformasi sistem tidak hanya fisik, ekonomis, politis tetapi pula perubahan mentalitas dan kerangka berpikir berhadapan realitas dengan aktif, dialektis dan logis mengolahnya.
Demikianlah pola pikir dan perjuangan kebangsaan yang mereka lakukan. Masing-masing perjuangan ini bukanlah perjuangan perorangan tetapi perjuangan yang saling menopang. Semuanya adalah suatu entitas yang satu walaupun berbeda. Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan yang terjadi karena perbedaan yang saling menopang. Persatuan ini bukanlah anut-grubyug (ikut-ikutan beramai-ramai dengan gerombolan), mangan ora mangan waton kumpul (makan atau tidak, yang penting bersama-sama), salah ora salah pokoke sedulur (salah atau tidak salah, saudara harus dibela), right or wrong is my country, dan segala variannya. Persatuan ini bukanlah persatuan gotong royong tradisional suku tertutup dari orang-orang yang tidak merasa perlu berpikir sendiri selaku pribadi mandiri yang berprinsip. Persatuan semut atau celakanya rayap. Bung Hatta amat tajam tetapi jelas memperoloknya sebagai per-sate-an, rangkaian cuilan-cuilan daging yang ditusuk jadi satu oleh sang maha pemimpin.
Makna persatuan seperti yang disebutkan di atas tadilah yang selayaknya menjadi contoh pola persatuan dan semangat kebangsaan yang diharapkan pula saat ini. Memang Persatuan dan semangat kebangsaan yang dibangun oleh founding fathers di atas adalah dalam konteks memerangi politik divide et impera dari kaum penjajah, lalu persatuan dan semangat kebangsaan yang bagaimana dalam tahap Indonesia menyejarah selanjutnya?

Penyelewengan I: Penindasan Kebangsaan oleh Negara
Sebelum membahas kontekstualisasi kebangsaan kita lebih dalam lagi, penulis sengaja terlebih dahulu menganalisis peristiwa-peristiwa yang justru cenderung menyimpang (menyeleweng) dari semangat kebangsaan yang dicita-citakan oleh founding fathers.
Kebangsaan itu terjadi dan terbentuk sesuai dengan penjadian dan pembentukan sejarah. Karena sejarah itu terbuka, maka pembentukan dan penjadian itu tak mengenal finalitasnya. Celakanya, begitu digabungkan dengan negara menjadi negara-kebangsaan, maka kebangsaan itu mau tak dikenai dengan batasan-batasan.
Kebangsaan itu bukan negara. Akan tetapi, kebangsaan itu mempunyai negara. Dengan kata lain, bukan negara melainkan kebangsaan itulah yang seharusnya menentukan dan mengatur negara. Akan tetapi, yang kebanyakan terjadi, negaralah yang mengatur kebangsaan kita sedemikian rupa sampai negara akhirnya menjadi kebangsaan sendiri. Apa yang dimaukan oleh negara, dan itu sering berarti apa yang dimaukan oleh penguasa harus terjadi pada bangsa. Itulah yang terjadi pada masa Orde Baru di bawah Soeharto maupun Orde Lama di bawah Soekarno Tua.
Sekian lama kebangsaan kita ditindas oleh negara, dengan segala aparat penindasannya, mulai dari ideologi Nasakom, demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, kemudian P4, SARA, ketertiban dan kemanan sampai tentara dan sebagainya di zaman Orde Baru. Kebangsaan kita bukan lagi sejarah tetapi ideologi penguasa. Oleh ideologi itu kebangsaan kita hampir mati tercekik. Bukti kematiannya adalah fakta bahwa hidup berbangsa dan kita demikian homogen sampai di tingkat lokal, padahal di tingkat lokal itu kebangsaan kita sebenarnya demikian heterogen. Pantaslah jika sekarang di tingkat lokallah paling terjadi keresahan dan kegelisahan kelompok masyarakat untuk mencari dan menemukan identitas dan keunikannya sendiri.

Penyelewengan II: Universalisasi Vs Fortifikasi
Fakta bahwa terjadi keresahan dan kegelisahan kelompok masyarakat dalam menemukan identitas kebangsaan adalah karena realitas baru yang mesti dihadapi oleh bangsa ini. Seperti yang sudah saya katakan dalam pengantar bahwa realita bangsa kita saat ini adalah kepungan perubahan global. Perubahan global ini dinamakan globalisasi.
Globalisasi rupanya telah menghasilkan dua format kebudayaan yakni kebudayaan global yang koheren dan homogen (kekuatan ‘sentripetal’ universalisasi budaya), tetapi juga fragmen-fragmen budaya yang plural dan heterogen (kekuatan ‘sentrifugal’ fortifikasi).
Kekuatan yang pertama akan mendorong pembentukan budaya global –sistem nilai, perilaku, gaya hidup– yang semakin universal dan mengerucut menjadi satu format budaya yang koheren dan homogen. Sementara kekuatan kedua merupakan ekspresi perlawanan dan mekanisme ‘pertahanan diri’ terhadap serangan yang demikian intensif dari arus besar universalisasi dan penyeragaman budaya global tersebut. Kalau universalisasi mendorong terbentuknya homogenitas budaya global, maka fortifikasi ini, justru sebaliknya mendorong terjadinya ‘pembelahan-pembelahan’ budaya global menjadi fragmen-fragmen kecil yang pada akhirnya tentu saja akan mengarah pada pluralitas dan keberagaman. Karena fortifikasi ini, budaya global pada gilirannya akan membentuk semacam mosaik yang begitu sarat dengan ekspresi-ekspresi budaya berdasarkan etnik, tradisi lokal, agama, bahasa, dan sebagainya. Kekuatan yang pertama disebut sentripetal karena mendorong konvergensi dan keseragaman, sementara yang kedua disebut sentrifugal karena memicu divergensi dan keberagaman budaya global.
Universalisasi dan fortifikasi ini bekerja secara simultan, sama kuat pengaruhnya dan bergerak dalam arah yang saling berlawanan. Akan tetapi walaupun saling berseberangan keduanya memiliki semacam ‘love-hate relationship’. Di satu sisi universalisasi merupakan ancaman bagi fortifikasi, di sisi lain, ia sekaligus juga yang menjadikan fortifikasi ini terbarui, tumbuh dan berkembang biak secara luas. Berkembang pesatnya nilai-nilai universal budaya pop Amerika ke seluruh pelosok dunia, misalnya justru memicu dan mendorong –bukannya melemahkan— semakin menguatnya ekspresi budaya-budaya lokal di Indonesia. Sebaliknya fortifikasi memang merupakan sikap penolakan terhadap universalisasi, namun di sisi lain, ia sekaligus juga memperkuatnya. Keduanya sudah seperti layaknya yin dan yang dalam filosofi dualistik Cina. Karena kenyataan ini, format budaya global yang saat ini terus berjalan akan diwarnai oleh adanya paradoks-paradoks sebagai akibat dari adanya benturan pengaruh dua arus besar ini. Paradoks global ini akan berlangsung di level global, level regional, negara dan daerah yang pada gilirannya akan bekerja, baik langsung maupun tidak langsung mempengarungi sistem budaya, sistem nilai (values), dan perilaku (behavior) di level individu.
Di level global, arus universalisasi ini antara lain ditandai oleh munculnya kecenderungan besar ke arah terbentuknya konvergensi cita rasa, perilaku, dan gaya hidup global, yang umumnya banyak bersumber dari budaya Barat, terutama budaya pop Amerika. Beberapa istilah diberikan oleh para pakar untuk menamai kecenderungan ini: “Coca-colonization” (Huntington, 1996) atau “Mcworld” (Barber, 1994). Arus besar yang terutama difasilitasi oleh munculnya globalisasi pasar dan serangan media komunikasi-informal global ini, cenderung mengarahkan siapapun individu di muka bumi ini untuk mengkonsumsi produk-produk global (MTV, Hollywood) dan mengadopsi perilaku dan gaya hidup universal yang umumnya bersumber dari peradaban Barat (individualisme, rasionalitas, sekularisme, kebebasan individu dan sebagainya).
Universalisasi juga ditandai oleh kecenderungan yang makin cepat akselerasinya ke arah pembentukan apa yang oleh Fukuyama (1992) disebut sebagai “universal and homogeneous state”. Berakhirnya Perang Dingin, harus diakui, menyebabkan popularitas konsep demokrasi liberal (demokrasi representatif) sebagai tool untuk mengelola kekuasaan dan politik negara mulai meroket demikian cepat. Di samping itu, konsep free market sebagai formula ampuh untuk mengelola perekonomian negara juga mendapatkan popularitas yang sama. Karena konsistensi keberhasilannya selama beberapa dekade terakhir, dua konsep yang bersumber dari peradaban Barat ini kini mulai dianggap sebagai konsep universal yang diyakini akan mampu mengantarkan negara-negara mencapai kesuksesan. Karena keyakinan ini, tak heran jika kemudian negara-negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan Eropa Timur, satu per satu mulai mengadopsi konsep free market democracy, konsep negara yang menerapkan baik sistem free-market economy maupun representative democracy.
Sementara fortifikasi di level global ditandai oleh adanya kecenderungan maraknya bermunculan kelompok-kelompok yang berupaya memperkuat identitas budayanya yang spesifik berdasarkan kesamaan etnik, tradisi, bahasa, maupun agama. Salah satu bentuk dari kecenderungan ini adalah makin maraknya arus tribalisme, upaya kelompok-kelompok etnik tertentu untuk melepaskan diri dari pengaruh dan kekuasaan negara. Di Uni Soviet, Yugoslavia, Iran, Irak, Filipina, Sudan, Papua New Guinea, Afganistan dan terakhir –tentu saja Indonesia—gerakan tribalisme ini begitu marak yang tidak jarang berakhir dengan pecahnya negara tersebut hingga menjadi belasan negara kecil. Ironisnya, arus tribalisme ini justru didorong oleh arus demokratisasi yang seperti diungkapkan di atas, merupakan komponen penting dari universalisasi. Mengapa? Karena semakin demokratis suatu negara semakin terbuka luas bagi masyarakatnya untuk mengekspresikan hak dan keinginannya, termasuk untuk memisahkan diri dari negara.
Di level regional Asia, tarik-menarik antara arus universalisasi dan fortifikasi ini juga intensif berlangsung, dan semakin menguat menyusul pecahnya krisis ekonomi di kawasan ini sejak 7 tahun lalu. Sebelum krisis meletus, bangsa Asia melihat bahwa kunci dari keajaiban Asia ini adalah Asian values, keluarga patriarkal, konsensus bukannya konfrontasi, hirarki dan social ordering, hormat pada atasan dan penguasa, deference to societal interest, conservatism in social mores.
Namun dengan meletusnya krisis Asia, optimisme dan kepercayaan diri terhadap Asian values ini kemudian merosot drastis. Mereka mulai berbalik pandangan, Asian values merupakan sumber kebobrokan pengelolaan ekonomi bangsa Asia, nilai-nilai keluarga patriarkal memicu menjamurnya nepotisme; personal relationship mendorong tumbuhnya kroni; begitu juga konsensus mendorong berkembangbiaknya korupsi. Berubahnya pandangan ini semakin mendorong bangsa Asia semakin serius menengok sistem yang berlaku di Barat. Beberapa waktu lalu majalah Far Eastern Economic Review misalnya, melaporkan bahwa kini muncul kecenderungan perusahaan-perusahaan besar Asia termasuk Sony, Samsung hingga Acer mulai berlomba mengadopsi pola manajemen Barat dengan mengedepankan corporate governance, praktik pengelolaan yang dulunya kurang begitu tampak di Asia.
Namun kecenderungan yang mendorong universalisasi ini kemudian harus menghadapi arus fortifikasi ketika ternyata proses pemulihan ekonomi Asia berlangsung sangat cepat. Dalam jangka waktu tidak sampai 2 tahun ternyata negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, termasuk tentu Cina mampu pulih dengan reinventing the wheel, dan saat ini, posisi mereka praktis tak jauh berbeda dengan posisi sebelum terjadi krsis. Kondisi ini tentu saja menumbuhkan optimisme dan kepercayaan diri baru di kalangan bangsa Asia mengenai keampuhan Asian values.
Di level nasional, universalisasi yang semula terwujud dalam bentuk Coca-colonization, sejak beberapa tahun terakhir sudah berkembang ke penghormatan HAM dan demokrasi. Akibatnya Indonesia pun kemudian semakin menyatu dengan banyak bagian dunia lain, bukan hanya dalam cita-rasa, perilaku dan gaya hidup tetapi juga mulai berkembang pada sistem nilai, mind-set, dan cara pandang. Yang menarik, timbulnya global shared value berupa penghormatan HAM dan demokrasi ini justru mendorong penghormatan akan keragaman budaya, agama, suku bangsa dan negara bangsa. Oleh sebab itu, meski penduduk di seluruh dunia memiliki semakin banyak kesamaan dalam kebiasaan, sikap dan perilaku tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga berusaha mempertahankan dan memperkuat identitas kelompok berdasarkan agama, tradisi budaya, bahasa ataupun suku bangsa. Akan tetapi karena penguatan identitas tersebut terjadi bersamaan dengan adanya penghormatan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM, ia malah melahirkan pengakuan terhadap kemajemukan. Bukan hanya dalam pola pikir, sistem nilai, tetapi juga cita rasa dan perilaku.
Di Indonesia contoh dari paradoks antara universalisasi dan fortifikasi antara lain tampak dari McDonald’s misalnya yang menyediakan nasi dan ayam goreng, yang kita tahu di negeri asalnya tidak ada. Mengapa? Karena masyarakat Indonesia membutuhkan ‘konteks’ universal-western, sementara ‘konten’-nya lokal.
Universalisasi versus fortifikasi dalam hal cita rasa itu belum apa-apa. Di Indonesia kita juga melihat kenyataan bahwa universalisasi yang berkembang melalui jaringan informasi global dan globalisasi ekonomi ternyata tidak serta merta berujung pada dominannya rasionalitas. Hal ini tampak antara lain dari semakin banyaknya orang Indonesia yang bergantung pada klenik, jin atau tuyul dalam memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi. Berbeda dengan kasus McDonald’s dan Marlboro di atas, belum berkembangnya rasionalitas atau perubahan pola pikir bukan lahir karena kebutuhan akan pengakuan pada identitas yang berbeda tapi lebih karena disorientasi.
Disorientasi ini pula yang menyebabkan universalitas penghormatan HAM dan demokratisasi membuat Indonesia terancam disintegrasi bangsa. Seperti kita lihat, saat ini sejumlah daerah ingin melepaskan diri dari Indonesia dan membentuk sebuah negara sendiri berdasakan kesamaan identitas tertentu. Menariknya, keinginan semacam ini ternyata bukan hanya dipicu oleh fenomena Yugoslavia, Uni Soviet maupun merdekanya Timor Timur, tetapi juga oleh internet dan globalisasi ekonomi. Internet di satu sisi memang merupakan medium tempat bertukar dan berbagi nilai-nilai dan budaya universal, namun di sisi lain ia juga menjadi ajang mengekspresikan dan berbagi nilai-nilai dan budaya etnis atau separatis yang memiliki situs di internet tempat mereka berinteraksi dan mengekspresikan identitas etnik mereka. Bukan hanya warga Basque atau Quebec yang memiliki situs di internet, kini GAM di Aceh pun memiliki situs untuk mengkampanyekan ide pemisahan diri mereka.
Sementara itu globalisasi ekonomi mendorong negara sebagaimana sekarang tampak jelas terjadi di Eropa Barat, semakin kehilangan arti dan relevansinya. Akibat globalisasi ini Jerman atau Perancis misalnya rela untuk tidak lagi punya mata uang sendiri tetapi memakai mata uang bersama Eropa, Euro. Globalisasi ekonomi dengan pembentukan EU ini tak bisa diingkari akan semakin mendorong kelompok-kelompok etnik di kawasan tersebut untuk membentuk negara baru. Alasannya sederhana, kalau Basque misalnya akhirnya merdeka seperti Kroasia dan kemudian bergabung dengan EU, maka ia akan mendapatkan privilese karena akan diperlakukan sama dengan negara besar seperti Jerman. Dengan kata lain, akibat adanya globalisasi ekonomi ini, membentuk sebuah negara baru menjadi semakin mudah.
Akan tetapi harus diingat globalisasi ekonomi sekaligus juga identik dengan keinginan memperluas pasar yang melampaui batas negara. Kroasia, Ukraina, Estonia atau Latvia didukung untuk memerdekakan diri karena memiliki potensi memperluas pasar. Itu pula sebabnya Brunei misalnya yang begitu makmur justru ingin segera ‘menyatu’ dengan Indonesia yang punya penduduk dan pasar begitu besar melalui percepatan AFTA. Dengan kata lain, kalau terbentuknya sebuah negara justru akan menghambat terbentuknya pasar yang lebih luas seperti dalam kasus Aceh, Riau atau Papua, wajar kalau tidak ada negara yang mendukung. Yang terjadi justru adalah banyak negara yang mengharapkan terjaganya integritas teritorial Indonesia. Sama halnya dengan banyak negara yang tidak mendukung Hongkong, Shanghai, Fujian atau Guangdong lepas dari RRC.

Epilog: Sebuah Solusi
Dalam Indonesia menyejarah kita menemukan penyelewengan pertama terjadi justru ketika pemimpin bangsa mengatasnamakan negara menindas bangsanya sendiri dengan ideologi dan pahamnya sendiri. Penyelewengan kedua terjadi ketika bertabrakan dengan kompleksitas realitas yang memasuki dunia global. Di satu sisi terjadi universalisasi, di sisi lain terjadi fortifikasi. Baik ekstrim ini maupun ekstrim itu, kedua-duanya merupakan suatu penyelewengan terhadap cita-cita dan semangat kebangsaan yang diharapkan oleh founding fathers.
Dari landasan ini, ketika mencoba berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan dengan kembali ke semangat founding fathers tanpa meninggalkan segala konsekuensi realistis yang dihadapi, penulis sengaja mencari jawaban ke manakah Indonesia layak berlayar.
Tentu saja jawaban yang pasti adalah menghindari segala kemungkinan yang kembali mengarah pada penyelewengan-penyelewengan yang sudah disebutkan di atas. Maka dari itu, pertama-tama yang mesti diperhatikan adalah kedudukan lembaga eksekutif kepresidenan. Berpijak dari pengalaman Soekarno dan Soeharto yang memerintah sekian lama, dan mengingat kelemahan manusia, maka waktu pemerintahan yang ada mesti dibatasi. Soekarno muda ataupun Soeharto pada awalnya memang mengemban amanat rakyat, tetapi lama-kelamaan menyeleweng. Maka dari itu pembatasan periodik ini adalah suatu hal yang penting. Kemudian perlu ditekankan lagi bahwa sebenarnya kepentingan bangsa mesti di atas segala-galanya atau dengan kata lain bangsa mengatur negara bukan negara mengatur bangsa.
Kedua, dalam universalisai vs fortifikasi, kita mengambil jalan tengah, tidak ekstrim ini maupun tidak ekstrim itu. Mengapa? Karena sama sekali bangsa kita tidak bisa menghindar dari konstelasi dunia, karena memang bangsa kita adalah bagian dari dunia universal. Lalu bagaimana bentuk jalan tengah itu? Kita tidak ingin bangsa ini jatuh pada kehancuran, terpecah-pecah dan memisahkan diri, seperti yang dialami oleh negara-negara Balkan, apalagi keterpecahan ini didasarkan pada sentimen kelompok. Kita juga tidak ingin menjadi negara satu dan besar tetapi menjadi budak bangsa lain di dalam konteks globalisasi. Maksudnya, kita hanya menjadi pasar bagi bangsa-bangsa lain. Selain itu, memang perlu diubah sistem negara kesatuan model UUD’45 yang mendorong penyedotan seluruh kekayaan daerah Nusantara secara memusat ke Jakarta, yang akhirnya timbul konflik laten amat berbahaya antara Jakarta lawan Daerah, Pusat melawan Pinggiran, Jawa melawan Luar Jawa, seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, dsb. Maka dari itu, jalan tengahnya adalah diberikannya otonomi daerah seluas-luasnya atau, janganlah terkejut, dibentuknya negara Republik Indonesia Serikat (federal). Model pemerintahan ini akan mendamaikan pertarungan antara universalisasi vs fortifikasi (ini cocok dengan wacana yang berkembang saat ini ‘mengglobal dengan budaya lokal’).
Dari solusi ini mungkin masih dipertanyakan lagi apakah ini yang namanya berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan dengan semangat founding fathers tanpa meninggalkan realitas. Dengan berani saya akan mengatakan memang demikianlah yang diharapkan oleh para pioneer bangsa kita. Semangat kebangsaan demikianlah yang diharapkan. Persatuan bukanlah per-sate-an. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah anut-grubyug.
Read more...