Sunday, March 27, 2011

Membangun Kesadaran Ekologis Warga

(Setelah berkutat dengan kuliah dan kegiatan macam-macam selama hampir setahun lebih, beberapa minggu terakhir ini saya kembali ke minat lama, yakni menulis. Syukur alhamdullilah, satu tulisan dimuat lagi di sebuah harian, yakni Jawa Pos, untuk wacana lokal "Jogja Raya". Selamat membaca!)

Sungguh miris melihat gambar pada cover depan Jogja Raya tanggal 16 Maret 2011. Di salah satu ruas jalan di kota Yogyakarta terpapar ratusan papan reklame, yang saling berlomba unjuk diri. Terlepas dari masalah estetika yang memang mengurangi rasa keindahan salah satu sudut kota, fakta ini menunjukkan sebuah paradoks lain. Sementara ratusan reklame itu semakin menjadi ‘rimba belantara’ tiang-tiang masif, di sisi lain, dari hari ke hari, ruang hijau untuk tumbuhnya pepohonan, yang merupakan rimba belantara sesungguhnya justru semakin berkurang.

Sejumlah Fakta
Pada tahun 2009, Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mencatat suhu tertinggi di Yogyakarta mencapai 37,7 derajat celcius. Suhu tertinggi sebelumnya adalah 35,1 derajat (2004); 35,7 derajat (2005); 35,0 derajat (2007); dan 35,6 derajat (2008). Meningkatnya suhu kota ini berbanding lurus dengan penurunan jumlah pepohonan. Belum lagi menghitung aktivitas manusia yang menciptakan gas rumah kaca sehingga semakin meningkat, seperti lewat pembakaran bahan bakar fosil, yang dibuat oleh industri, transportasi dan rumah tangga. Bapeda DIY sendiri melaporkan bahwa sepanjang tahun 2004-2008 tercatat kasus pencemaran udara sebanyak 14 kali, atau 39 persen dari total kasus pencemaran yang mencuat dalam kurun waktu tersebut. Selain itu, pada kurun waktu yang sama, tercatat seperlima dari total 148 desa di DIY pernah mengalami pencemaran udara karena pengaruh kegiatan di wilayahnya. Alih-alih meningkatkan ruang hijau dan tumbuhnya pepohonan yang mampu menopang kenyamanan hidup warga kota Yogyakarta, kota ini justru lebih banyak memberi ruang tumbuhnya ‘pepohonan’ tiang-tiang reklame.
Menurut Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup D.I. Yogyakarta, diperkirakan sekarang ini ada 1 juta sepeda motor dan 200.000 mobil beredar di kota ini. Jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan pertumbuhan sekitar 5% per tahun, menandakan adanya pertambahan tingkat polusi udara yang dihasilkan kendaraan tersebut. Selain itu, faktor bertambahnya kebutuhan pemukiman di kota Yogyakarta juga semakin memperparah kondisi ekologi yang kritis. Meski tumbuhnya pemukiman menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi penduduk, pada kenyataanya hal ini justru menimbulkan efek samping yang sangat signifikan, yakni hilangnya atau berkurangnya lahan hijau, seperti sawah dan hutan desa. Belum lagi ditambah dengan kebiasaan kecil yang dibuat oleh orang per orang, seperti membuang sampah sembarangan, penggunaan listrik yang boros dan penggunaan air bersih yang tidak efektif. Semua ini semakin menandakan wajah warga kota yang semakin tidak arif terhadap lingkungan.

Langkah Antisipatif
Melihat kenyataan hal ini, penulis hendak menawarkan beberapa hal yang perlu diperhatikan secara khusus untuk membangun kesadaran ekologis warga kota. Pertama, pentingnya usaha penanaman nilai-nilai ekologis di dalam kurikulum pengajaran di sekolah, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Seperti yang dikatakan oleh Daniel Goleman (2009), kecerdasan ekologis adalah salah satu kecerdasan yang perlu dikembangkan, selain kecerdasan kognisi, emosi, dan spiritual. Pendidikan ekologis penting dijadikan muatan di dalam pendidikan karakter, yang akhir-akhir ini semakin diwacanakan dalam pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan ekologis ini sama pentingnya dengan penekanan pendidikan anti-korupsi.

Kedua, pentingnya peningkatan kebijakan publik yang berperspektif ekologis. Program Sego Segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe) yang dicanangkan oleh Herry Zudianto, walikota Yogyakarta adalah program yang pro-lingkungan. Ketiga, perlunya kerjasama antar komponen masyarakat, terutama antar pemuka agama. Masalah lingkungan dan ancaman kerusakan alam bukan saja persoalan sosiologis dan geografis. Ini adalah juga persoalan moral! Maka dari itu, masing-masing pemimpin agama dan umat beriman diharapkan saling berkolaborasi untuk semakin melihat dan menyadari bahwa alam adalah saudara dekat, yang harus kita cintai dan kita rawat. Mereka juga adalah ciptaan Tuhan yang hidup sama seperti manusia.

Keempat, dalam tataran mikro, sebagai pribadi, kita perlu memperhatikan pola laku dan kebiasaan buruk yang dapat merusak lingkungan. Mulailah untuk mempergunakan listrik seperlunya, membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah organik dan non-organik, dan mulai menggunakan kendaraan bermotor seperlunya. Jika jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, lebih baik menggunakan sepeda atau jalan kaki. Bila keempat hal ini sungguh-sungguh kita perhatikan, kelak kita akan melihat wajah kehidupan kita yang berbeda. Syukur-syukur kota ini tidak hanya menjadi semakin indah tertata, tetapi juga nyaman untuk ditinggali. Memetri bumi anjejagi gesang. Memelihara bumi sama artinya dengan menjaga kehidupan kita sendiri.*

dimuat pada tanggal 26 Maret 2011 di harian Jawa Pos (Jogja Raya)
Read more...