Monday, November 24, 2008

Mentalitas Korupsi Mentalitas Pembusukan

Baru saja prahara melanda KPU Nasional. Sebagian besar anggotanya disinyalir terlibat dalam tindak pidana korupsi. Baru saja Abdullah Puteh, Nurdin Halid, dan tokoh-tokoh terkenal lainnya terjerat dalam hukum pidana korupsi. Tetapi, bukan suatu yang aneh, kalau kita mendapatkan banyak kesulitan tatkala kita mengurus KTP di kantor kelurahan atau mengurus berkas-berkas penting lainnya di kantor pemerintahan, kecuali kalau kita tahu diri dan memberikan ‘amplop’ kepada mereka.
Setiap tahun selalu ada tes masuk Pegawai Negeri, tetapi tak jarang posisi-posisi kosong justru diperjualbelikan tanpa mengikuti prosedur yang benar. Setiap tahun selalu ada penerimaan murid baru di sekolah-sekolah, tetapi tak jarang ada pungutan-pungutan liar yang tampaknya kelihatan wajar alih-alih tindakan korupsi juga. Namun, bukan suatu yang aneh, kalau setiap hari justru kita menjumpai praktek-praktek korupsi tingkat kecil-kecilan, seperti pembagian raskin (beras untuk orang miskin) yang tidak merata atau uang suap untuk polisi ketika ditilang.

Dari sini kita sadar bahwa korupsi bukanlah ‘barang’ baru, bukanlah suatu yang aneh dan unik. Setiap ada kesempatan, entah hasilnya besar ataupun kecil, entah terang-terangan ataupun sembunyi tangan, orang tergoda untuk melakukan korupsi.
Sebaliknya, kita tentu masih ingat dengan Edi Tansil di tahun 90-an yang merugikan negara dengan korupsi trilyunan rupiah. Kita juga masih ingat bobroknya Soeharto dan kroni-kroninya yang merugikan negara sebegitu besarnya. Namun, kita tahu Edi Tansil tak pernah tertangkap, dan kita juga tahu Soeharto selalu lolos dari hukuman. Sebenarnya ada apa dengan negara kita? Fenomena apa di balik semua kasus-kasus di atas?

Wajar saja jika masyarakat Indonesia pada umumnya jera dan cenderung apatis berhadapan dengan kasus-kasus korupsi? Kasus-kasus korupsi tersebut tidak pernah sampai pada titik akhir penyelesaian yang memuaskan. Penanganan kasus korupsi sering hanya muncul sebagai berita media yang bombastis, tetapi tidak sampai pada ketuntasannya.
Benturan yang sering terjadi berkisar pada bukti yang belum cukup kuat untuk membawa si terdakwa pada proses hukum. Penyebab lain adalah kurang tangguhnya badan hukum kita sehingga menyebabkan kebanyakan proses terputus di tengah jalan. Tetapi, benarkah alasan-alasan itu saja yang membuat tindak korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti dan para koruptornya tidak pernah jera?

Budaya Korupsi
Tindak Korupsi menjadi masalah klasik yang mau tidak mau turut mempengaruhi identitas bangsa kita meskipun tindakan tersebut bisa dikatakan hanya dilakukan oleh sebagaian dari bangsa ini. Sering dikatakan bahwa alasan orang melakukan korupsi adalah alasan ekonomi (Hendrawan Nadesul, Kompas 12 April 2005), gaji terlalu minim untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, di pihak lain, kita justru menyaksikan orang tetap korup ketika ia sudah memiliki penghasilan lebih dari cukup. Lalu, alasan apakah yang sebenarnya menjadi alasan orang melakukan korupsi?
Dalam pemikiran Susan Rose-Ackerman yang dituangkan dalam bukunya Corruption and Government; Cause, Consequences and Reform dijelaskan alasan mendasar penyebab korupsi adalah faktor budaya. Biasanya korupsi dikaitkan dengan sistem perekonomian. Dalam sistem perekenomian tersebut terkandung dimensi budaya yang ternyata sama di beberapa negara. Sesuai dengan apa yang disebutkan Rose-Ackerman, terdapat pemisahan jelas antara bribes (suap), gifts (hadiah), prices (harga), dan tips (tips). Pemisahan tersebut dapat dilihat pada kolom berikut:
Quid pro Quo Non explicit quid pro quo
Payment to principal Prices (harga) Gifts (hadiah)
Payment to agent Bribes (suap) Tips (tips)

Secara literal, Quid pro quo berarti something for something else atau something given or received for something else. Artinya, sesuatu diberikan oleh seseorang atau lembaga dengan maksud agar penerima memberi sesuatu yang lain pada si pemberi. Prices (harga) adalah pembayaran dengan uang atas nilai suatu barang atau jasa yang diberikan kepada si pemilik yang sah. Sedangkan bribes (suap) tidak seperti harga. Suap adalah suatu pembayaran atas suatu barang atau jasa yang diserahkan kepada ‘pemilik ilegal’ barang atau jasa tersebut. Yang dimasuk pemilik ilegal di sini adalah orang yang dipercaya oleh pemilik legal (sah) untuk menyimpan atau menjaga (bukan menjual) barang atau jasa itu. Maka, bila orang sudah melakukan pembayaran pada orang kepercayaan itu dengan harapan supaya ia melepaskan barang atau jasa itu, si pembayar sudah melakukan apa yang disebut suap.
Sedangkan, Non explicit quid pro quo berarti orang melakukan pembayaran dengan harapan bahwa orang yang menerima pembayaran itu, suatu ketika memberi balasan entah dalam bentuk barang atau jasa. Gifts (hadiah) bisa diberikan oleh seseorang atau badan tertentu kepada orang lain atau badan lain. Pemberian tersebut bisa diartikan bermacam-macam, mulai dari suapan halus sampai pada sekedar ‘demi persahabatan’.
Tips adalah model pembayaran yang akrab di telinga kita. Tips biasanya kita berikan kepada pelayan. Tips termasuk pembayaran kepada pemilik ilegal. Di balik tips tersebut sebenarnya terdapat maksud-maksud tersembunyi, yaitu supaya pemilik ilegal suatu ketika nanti memberikan pelayanan yang sama baiknya dengan yang sudah diberikan kepada si pembayar.
Dari keempat hal di atas dengan jelas kita melihat bahwa tips dan suap memiliki tujuan yang sama, yaitu sebagai enforcement. Bentuk enforcement tersebut salah satunya adalah trust (kepercayaan). Trust biasanya muncul dalam bentuk relasi pribadi. Ackerman dalam hal ini memberi contoh ikatan pribadi yang sering terjadi di sejumlah negara berkembang di Amerika Latin. Di sana terdapat istilah, “A los amigos todo, a los enemigos nada, al extrano la ley” (Bagi teman segalanya akan diberikan, bagi musuh tak sesuatu pun diberikan, dan bagi orang asing, hukumlah yang diberikan). Prinsip ini tentu saja terjadi juga di Indonesia. Ini dilakukan secara umum oleh oknum-oknum dalam lembaga pemerintahan, pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Andaikan saja salah satu dari mereka memiliki proyek yang beorientasi pribadi, mereka akan mendekati temannya yang memiliki posisi dalam pemerintahan atau posisi strategis lainnya. Lewat jalan itulah mereka bisa mengatur segalanya. Dan di sini pulalah korupsi menjadi potensial.
Korupsi, Siapa Takut?
Dalam bukunya Etika Politik dan Kekuasaan, Haryatmoko menyebutkan beberapa alasan mengapa orang tidak takut melakukan tindakan korupsi. Pertama, banyak orang telah melakukannya. Bila banyak orang melakukan berarti hal tersbut menjadi sesuatu yang biasa. Kebiasaan tersebut menciptakan hak. Dan, kalau salah satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab? Alasan ‘banyak yang melakukan’ dijadikan alibi tanggungjawab pribadi. Alasan tersebut juga sering menjadi argumen kuat untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan bersama adalah kebenaran (meskipun sebenarnya belum tentu demikian).
Alasan kedua adalah impunity (kebal hukum atau tiadanya sanksi hukum). Karena korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memegang kendali kekuasaan maka seakan-akan hukum tidak mempunyai taring yang tajam untuk menggigit sang pelaku. Kurangnya pengawasan juga menyebabkan kemungkinan terdeteksinya tindak korupsi semakin kecil. Bila pun ketahuan, masalah tersebut akan melibatkan banyak orang maka lebih baik didiamkan. Ditambah lagi, sering terjadi bahwa tim pembela pelaku korupsi memiliki kepiawaian membuat alibi yang melemahkan bukti hukum dan mementahkan keterangan saksi. Hal inilah yang malah sering menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi koruptor. Semua prosedur hukum kemudian dianggap sudah diikuti dengan benar dan sesuai asas keadilan, meskipun kenyataannya tidak. Dengan cara itu, koruptor terbebas dari rasa salah dan semakin merajalela.
Alasan ketiga adalah korban tindak korupsi sendiri. Dalam literatur bahasa kita, para koruptor sering disebut penjahat berkerah putih. Sebutan ini sebenarnya sudah sedikit meringankan beban si pelaku, sebab, mau tidak mau kita tidak akan menyamakan mereka dengan penjahat jalanan yang kalau tertangkap akan dianiaya massa dan bahkan dibunuh. Selain itu, pihak korban kejahatannya pun berbeda. Seorang penodong memiliki korban jelas—dengan kata lain, pencuri terlibat dalam wilayah private sector (sektor pribadi); sedangkan korban korupsi tidak langsung tampak sebagai pribadi. Kita akan mengatakan negaralah korbannya—dengan kata lain koruptor terlibat dalam ranah publik. Tetapi siapakah negara? Negara tidak pernah terlihat sedih terhadap semua itu. Bila kita mengatakan rakyat, siapakah rakyat itu? Rakyat tidak punya wajah, itu berarti anonim. Wajah yang tidak jelas inilah yang ikut mendukung si koruptor tidak pernah takut korupsi.
Alasan terakhir adalah ‘demi kepentingan umum’. Perasaan takut bersalah karena korupsi bisa saja hilang bila si pelaku memiliki kebiasaan korup (habitus korup). Apalagi bila akhirnya mereka memilki dalih ‘demi kepentingan umum’. Bisa saja bahwa hasil korupsi tersebut disisihkan untuk biaya pembangunan tempat ibadat atau membantu biaya operasional lembaga-lembaga swadaya. Bisa saja uang tilep tersebut digunakan untuk membangun perusahaan atau pabrik baru, dengan harapan kehadiran pabrik tersebut bisa menyerap tenaga kerja baru dan memberi nafkah banyak orang. Alasan ini akhirnya bisa meringankan rasa bersalah si pelaku.

Sintesa: The Whole System Corrupted
Melihat analisa di atas, kita semakin bisa memahami mengapa masyarakat Indonesia cenderung apatis terhadap tindakan korupsi. Seolah-olah korupsi bukanlah sesuatu yang jahat, melainkan menjadi bagian dari hidup kita. Koruptor kelas kakap saja bisa lolos, apalagi koruptor kelas teri.
Sikap apatis ini sebenarnya ingin menunjukkan mentalitas masyarakat kita sendiri. Apatis di sini bukan semata-mata ungkapan perasaan dari subjek yang berada di luar orang-orang yang koruptor. Tetapi justru ingin menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, yakni orang yang juga ikut terlibat korupsi, karena turut melanggengkan korupsi itu sendiri.
Apatis juga berarti suatu pengakuan bahwa korupsi adalah hal yang biasa. Dan karena biasa dan menjadi habitus, korupsi menjadi mentalitas umum yang bisa dikatakan juga sebagai budaya. Setidaknya coba kita perhatikan hidup sehari-hari kita. Tidak sedikit orang yang tidak jujur dalam laporan keuangan mereka bahkan di dalam keluarga sendiri antara suami-istri. Tidak sedikit anak-anak berani berbohong kepada orangtuanya tentang laporan pemakaian uang. Dan, tidak sedikit pelajar yang mencontek saat ulangan di sekolah—seringkali mencontek diidentikkan sebagai cikal-bakal dari tindakan korupsi.
Di mana-mana terjadi korupsi: di lembaga pemerintahan, perusahaan, sekolah, masyarakat, dan keluarga. Korupsi terjadi baik di tingkat makro maupun mikro. Semua sistem yang ada—baik nasional maupun privat—terkena virusnya. Jejaring raksasa nasional mengalami pembusukan karena mentalitas korupsi ini. Bak lingkaran setan, sekalipun kita mencoba menghindar, di situ kita akan tetap terjerat oleh korupsi itu sendiri.
Dengan sintesa ini, saya tidak ingin menyederhanakan begitu saja kompleksitas sistem makro maupun mikro dalam masyarakat Indonesia. Atau bahkan menisbikan usaha orang-orang yang benar-benar murni dengan itikad dan niat baik bertindak jujur dalam pekerjaannya. Sebaliknya, saya ingin menegaskan bahwa masalah korupsi bukanlah masalah bagi koruptor kelas kakap dan aparat hukum, melainkan masalah bagi seluruh bangsa Indonesia.


Seluruh Sistem Perlu Dibenahi
Bila seseorang melakukan tindakan korupsi, dampaknya tentu saja mengenai lembaga di mana dia bekerja, dan secara tidak langsung terhadap masyarakat yang menggunakan jasa lembaga tersebut. Tetapi, bila semua sistem melakukan korupsi berarti dampaknya sebegitu besarnya yakni kehidupan masyarakat yang tidak pernah menemui situasi adil dan sejahtera.
Melalui pendekatan struktural, guna melawan mentalitas korupsi, sistem di Indonesia mesti diperbaiki. Sebagaimana Aristoteles katakan, “Polis yang baik akan memberi ruang bagi warganegaranya untuk berkembang.” Maka, seharusnyalah sistem kenegaraan Indonesia ditata dengan baik, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk korupsi tidak terjadi.
Setidaknya ada 4 hal yang akan saya ajukan sebagai saran konstruktif dalam menghadapi sistem yang korupsi. Pertama, perbaikan struktur di setiap lembaga-lembaga, entah milik pemerintah maupun privat. Di lembaga tersebut mesti ada aturan yang jelas, yang tidak memberikan kesempatan bagi siapapun atau pihak manapun untuk mencuri-curi kesempatan melakukan korupsi.
Kedua, penegakan hukum yang jelas dan tegas. Inilah sisi yang paling penting untuk diperhatikan, karena mau tidak mau meliputi semua sistem yang ada—dan tentu saja karena sistem hukum kita masih begitu lemah. Hukum seharusnya tegas, tidak bisa didikte oleh siapapun, bahkan oleh orang yang berduit sekalipun. Hukum juga mesti adil, siapa yang mesti dihukum dan seberapa besar vonis yang diberikan.
Ketiga, perjuangan penuntutan hak warganegara yang terus-menerus. Masyarakat sejahtera adalah harapan semua warganegara, dan merupakan kewajiban negara untuk merealisasikannya. Dengan penuntutan hak ini, pemerintahan selalu dimonitor dalam kinerjanya, wakil-wakil rakyat selalu diingatkan untuk setia dalam memperjuangkan aspirasi rakyat (bukan lebih mengutamakan kepentingan partai atau bahkan kepentingan mereka sendiri). Bentuk perjuangan ini beraneka ragam, bisa lewat demo ataupun lewat kritik-kritik entah secara langsung maupun lewat tulisan di media massa.
Dan keempat, perlunya keterbukaan pers. Pers semestinya memberikan informasi yang benar dan tidak pilih-pilih. Dengan demikian, masyarakat menjadi tahu akan masalah-masalah yang sedang berkembang di Indonesia, dan mampu menanggapi masalah tersebut dengan kritis.

5 Sempurna: Tanggungjawab Pribadi
Banyaknya kasus korupsi di negara kita sekali lagi bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun bisa jadi faktor ekonomilah yang merupakan alasan terkuat dan rasional. Kita perlu juga mencurigai seberapa jauh bangsa kita bermoral. Moral selalu berkaitan dengan hati nurani dan lebih bersifat personal. Dengan demikian, tindak korupsi sudah semestinya merupakan tindakan yang melawan hati nurani karena merugikan orang lain, membuat orang lain miskin dan kelaparan (“Miskin karena korupsi”, Kompas, 16 Maret 2004).
Bila korupsi bersinggungan dengan hati nurani, fenomena yang seharusnya kita lihat adalah ‘rasa malu’ bila ketahuan korupsi. Pada kenyataannya, banyak orang dengan terang-terangan melakukan korupsi. Sebagai contoh dalam kasus kecil yang biasa terjadi kalau kita mengurus KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat penting lainnya di Kelurahan. Jelas-jelas tertulis “Pembuatan KTP tidak dipungut biaya”, pada kenyataannya pegawai kelurahan meminta sejumlah uang untuk satu tanda tangan Pak Lurah dan Pak Camat.
Hati nurani yang tumpul juga terlihat dari alasan-alasan orang yang melakkukan korupsi. Pertama, korupsi sebagai tindakan bersama. Seperti telah disinggung di atas, korupsi yang melibatkan banyak pihak membuat tindakan itu seakan-akan sah-sah saja. Kedua, korupsi hanyalah sarana untuk mengembalikan modal awal. Seringkali terjadi ketika orang yang harus membayar berjuta-juta untuk menjadi pegawai negeri. Korupsi yang dilakukan orang-orang yang sudah mengeluarkan uang banyak tersebut bisa saja dirasa wajar karena toh itu hanya untuk mengembalikan modal mereka.
Kejadian di atas sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sehingga orang melakukannya dengan tanpa rasa malu. Karena hal seperti itu sudah biasa, masyarakat pun menjadi terbiasa dengan cara demikian. Masyarakat selalu akan menyiapakan ‘amplop’ khusus untuk petugas-petugas birokrasi bila berurusan dengan mereka. Di lahan inilah seakan-akan budaya malu menjadi tidak jelas.
Maka dari itu, kesadaran korupsi harus diberantas dengan memulainya dari diri kita sendiri. Kalau masalah korupsi adalah masalah kita bersama, sepantasnyalah kita bersama-sama memulainya dari diri kita sendiri. Seperti kata-kata bijak, “Kejahatan bukan hanya datang karena kehendak, tetapi juga karena kesempatan.” Itu seakan-akan ingin mengingatkan kita bahwa setiap dari kita rentan terhadap kejahatan (korupsi). Maka apa yang dikatakan Aristoteles sangat berarti, “Keutamaan diperoleh bukan semata-mata melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik.” Pernyataan Aristoteles ini sepertinya mau menyangkal pandangan yang mengatakan bila orang tahu, otomatis bisa melakukannya. Seperti kebanyakan dari kita, kita tahu korupsi merugikan banyak pihak (terlebih rakyat), tetapi mengapa kita tidak bisa menghentikannya? Mungkin karena kita tidak memiliki habitus ‘no corruption!’
Read more...

Saturday, November 15, 2008

Menyuarakan Perubahan

Sejak runtuhnya Orde Baru, kebebasan berpendapat dan menentukan pilihan di negeri ini semakin mendapatkan tempatnya. Bahkan tidak tertutup pula kemungkinan adanya ruang kebebasan menentukan pilihan untuk tidak memilih alias golput.
Melihat data pemilu-pemilu yang berlangsung selama 10 tahun terakhir ini, tampak bahwa pertambahan jumlah golput cukup signifikan. Ada benarnya jika banyak pihak memperkirakan golput akan meningkat lagi pada pemilu 2009. Mengapa bisa demikian?

Golput adalah sebuah simbol yang mewakili suatu keadaan riil di dalam perpolitikan suatu negara. Selama partai-partai yang ada tidak mampu menjamin dan menjawab tuntutan kebutuhan dasar masyarakat, maka semakin banyak pula masyarakat yang menjadi ragu untuk mendukung partai tersebut. Apalagi, jika partai itu pernah berkuasa dan kemudian masyarakat menilai partai itu gagal dalam kepemerintahannya, maka masyarakat menjadi skeptis pula untuk memilihnya kembali. Belum lagi jika hal tadi didukung dengan tidak adanya partai alternatif yang diyakini mampu menjawab aspirasi masyarakat.

Tidak adanya figur yang pantas dari daftar calon yang dipilih juga menambah alasan masyarakat untuk menjadi golput. Kepantasan calon pemimpin tergantung dari sejauhmana figur tersebut bisa diterima di hati masyarakat. Pemilihan Presiden Amerika Serikat baru-baru ini bisa menjadi sebuah contoh yang bagus untuk menggambarkan seorang calon pemimpin yang bisa diterima di hati masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat meningkat, dan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu juga lebih besar.
Namun, makna dari simbolisasi pilihan golput tidak hanya itu saja. Di balik skeptisisme masyarakat terhadap calon-calon pemimpin dan partai-partai yang ada, pilihan golput juga mengusung maksud mulia. Orang berani memilih golput karena mereka yakin bahwa sistem kepemerintahan yang berlangsung sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh dari harapan dan keinginan hati masyarakat. Oleh karena itu, golput berarti juga menandakan gerakan masyarakat yang menginginkan suatu perubahan. Semakin banyak orang yang memilih golput, maka semakin menjadi jelas bahwa perubahan itu perlu dilaksanakan dan sifatnya menjadi mutlak.
Permasalahan yang mendasar adalah bahwa golput adalah “partai” yang tidak punya partai, rakyat yang tidak punya wakil rakyat. Seperti nabi yang menyuarakan kritik di tengah hiruk pikuk kekacauan hidup umatnya, maka golput pun sebenarnya bermaksud senada. Mereka menyuarakan perubahan, tetapi seperti “anjing menggonggong kafilah berlalu,” berteriak tetapi tiada yang mendengarkan.
Maka dari itu, fenomena bertambahnya golput merupakan ladang yang subur bagi perkembangan demokrasi suatu negara. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dari kelompok inilah akan muncul calon-calon pemimpin yang mampu membawa perubahan, yang mampu membawa aspirasi rakyat, sekaligus mengusung partai-partai yang berani menjamin kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada masyarakat.
Bagaikan pedang bermata dua, golput menandakan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung, sekaligus gelombang positif dari masyarakat yang menginginkan perubahan. Bila mengharapkan peningkatan minat masyarakat untuk datang ke pemungutan suara, maka calon-calon pemimpin dan partai-partai harus berani menyuarakan perubahan. Semoga!***

Dom Octariano Widiantoro,
Mahasiswa Bacaloreat Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

-kompas yogya, 14 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/14/10373672/menyuarakan.perubahan.
Read more...

Saturday, November 8, 2008

Mumpung Jadi Pejabat

Sudah terlalu jengah kita mendengar pejabat negara menggunakan jurus aji mumpung ketika mereka sedang mengemban mandat dari negara. Entah mereka berasal dari pemerintahan daerah atau pemerintahan pusat, sama saja. Mereka seolah-olah mencari kesempatan dalam kesempitan. Kali ini pelakonnya adalah anggota KPU. Mereka rencananya akan melakukan supervisi dan sosialisasi Pemilu 2009 ke 14 kota di 5 benua, alih-alih sebenarnya hanya bermaksud jalan-jalan selagi mumpung jadi pejabat.

Menurut sejumlah anggota KPU, kunjungan yang akan dijalankan secara estafet ini sangat penting, dan karenanya harus dilaksanakan. Mereka beralasan bahwa kunjungan untuk sosialisasi ini tidak bisa diwakilkan oleh staf setjen KPU atau deplu dan bahkan tidak bisa dilakukan satu orang anggota KPU saja. Mereka yakin dengan hadirnya dua anggota KPU, mereka bisa saling melengkapi dalam menjelaskan detail-detail tentang pemilu.

Suatu hal yang aneh jika memang KPU memaksa diri untuk pergi. Dalam kondisi dan situasi yang cukup mendesak seperti sekarang ini, serta agenda persiapan pemilu yang menumpuk, semestinya KPU harus berani memilah dan memilih prioritas-prioritas. Sosialisasi pemilu ke luar negeri penting tetapi untuk saat ini bukanlah yang terpenting. Sejauh ini persiapan pemilu di dalam negeri justru mengkhawatirkan. Masih banyak persoalan yang masih perlu diperhatikan, antara lain daftar pemilih sementara (DPS), pengajuan calon legislatif, desain surat suara, dan masalah penyusunan kode etik penyelenggara pemilu (Kompas, 8 September). Tapi bila KPU tetap saja menutup mata dan mendengar seperti angin lalu persoalan-persoalan tadi, itu berarti mereka tidak bisa menentukan the priority among priorities.

Selain itu, rencana KPU untuk sosialisasi pemilu ke luar negeri kurang bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, mereka tidak siap. KPU berjanji akan menyelesaikan desain surat suara dan tatacara pemberian suara dalam 1 minggu. Padahal itu tidak mungkin. Persoalan surat suara membutuhkan simulasi dan jika KPU terburu-buru mengesahkan tanpa ujicoba langsung oleh masyarakat, maka akibatnya nanti pada saat hari-H pemilu, akan terjadi kebingungan dan kemungkinan akan banyak surat suara yang tidak sah. Kedua, cara mereka tidak efektif. Dari 14 kota yang akan dikunjungi, rata-rata jumlah pemilih warga Indonesia sangat sedikit. Di Cape Town, Afrika Selatan misalnya, jumlahnya hanya 52 orang. Sementara di Havana, Kuba malahan hanya 43 orang. Bahkan belum tentu semua warganegara Indonesia di negara itu bisa hadir pada saat sosialisasi, sebab berlangsung pada jam kerja. Jumlah itu jelas tidak sebanding dengan besarnya biaya perjalanan yang akan dikeluarkan oleh negara. Lebih baik, sosialisasi ini diserahkan kepada dubes atau konsul dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) negara setempat. Ketiga, anggaran yang dipakai untuk sosialisasi ke luar negeri ini tidak jelas dan tidak transparan. Bagaimana mungkin KPU tetap akan ngotot pergi, padahal dana sosialisasi pemilu di dalam negeri sendiri —prioritas yang lebih penting— malah belum ada.

Meskipun KPU punya legitimasi hukum untuk membenarkan rencana mereka pergi menyosialisasikan pemilu keluar negeri, kerancuan-kerancuan di atas sudah cukup menunjukkan tindakan mereka sebenarnya hanyalah aji mumpung belaka. Ketidaksiapan, ketidakefektifan, ketidakmampuan memilih prioritas jelas di sini menunjukkan yang penting bagi mereka ke luar negeri bukanlah sosialisasinya, tetapi jalan-jalannya. Seperti peribahasa berbunyi “Lain galang, lain perahu yang disorong”, berlainan perbuatan daripada tujuannya.

Tetapi memang cara seperti inilah yang mungkin paling aman dilakukan pejabat pemerintah —seperti KPU— untuk menggunakan anggaran belanja tanpa dituding korupsi. Dalihnya sosialisasi pemilu, dalihnya studi banding tetapi ternyata maksud sesungguhnya (intentio recta) tak pernah kesampaian. Sungguh ironis. Di tengah-tengah usaha kita dalam memperbaiki sistem kepemerintahan, ternyata masih ada saja segelintir orang yang coba-coba mengkhianatinya. Lagi-lagi ya karena mentalitas itu tadi, khan mumpung jadi pejabat!***

Read more...

Sunday, November 2, 2008

Deindividuasi dan Tanggungjawab Hukum

Ibarat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, peluang sekecil apapun pastilah akan digunakan oleh orang yang terkena masalah hukum untuk bebas dari hukum itu, termasuk jika peluang itu terlihat lewat cara mendekati aparat penegak hukum.
Kasus kaburnya seorang koruptor kelas kakap yang disebabkan oleh longgarnya hukum dan adanya konspirasi dari penegak hukum menjadi gambaran betapa buruknya kondisi hukum di Indonesia saat ini. Hal ini semakin diperparah oleh tindakan para penegak hukum sendiri, yang terkesan saling lempar tanggungjawab atas pengusutan kasus tersebut. Padahal, kalau ada semangat kebersamaan yang bertanggungjawab di antara penegak hukum, kecil kemungkinan koruptor bisa kabur. Maka benarlah ucapan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, “….supaya koruptor tidak bisa kabur, pengadilan, kejaksaan, kepolisian jangan suka penangguhan.”

Deindividuasi
Membuka ruang konspirasi, yang lebih dikenal dengan istilah sogokan, terhadap koruptor untuk kabur adalah fenomena penegasan yang membuktikan kurangnya tanggungjawab para penegak hukum terhadap peran yang dipercayakan padanya. Sedangkan tindakan saling melempar tanggungjawab antar penegak hukum lantaran kaburnya seorang koruptor, adalah upaya mereka untuk “cuci tangan” atau mau menghindar dari keburukan tersebut. Lalu siapakah yang mesti bertangungjawab?
Kondisi lemahnya tanggungjawab ini menandakan sebuah gejala deindividuasi dalam kesadaran hukum kita. Deindividuasi adalah hilangnya tanggungjawab pribadi yang menjadikan kepedulian seseorang berkurang terhadap akibat-akibat dari tindakan-tindakannya (Zimbardo, 1970). Akibatnya, seseorang menjadi lemah dalam kesadaran diri untuk melakukan suatu kewajiban moral ataupun hukum. Padahal tanggungjawab hukum bukanlah beban segelintir orang saja, melainkan segenap individu dengan segala tugas dan kedudukan yang diampunya.
Gejala deindividuasi di dalam tubuh penegak hukum mengakibatkan lembaga ini tidak berjalan dengan efektif sebagaimana mestinya. Hukum yang seharusnya ditegakkan sebaliknya malahan dicampakkan. Koruptor yang semestinya dihukum dan dipenjara, malah bisa bebas dengan status tidak bersalah. Keadilan yang semestinya diutamakan dan dijunjung tinggi, malahan ditelantarkan. Maka, jangan kaget jika hukum kita ternyata bisa dihargai dengan sepeser uang.

Anonimitas Pelaku
Faktor kunci dalam deindividuasi adalah anonimitas (Forsyth, 1990). Apa saja yang membuat seseorang menjadi kurang dapat dikenali secara pribadi dapat meningkatkan efek deindividuasi. Makin anonim seseorang, makin berkurang tanggungjawab mereka atas tindakan-tindakan mereka. Akibatnya, anonimitas mendorong terbentuknya tingkahlaku yang tidak bertanggungjawab.
Dengan anominitas pada dirinya, seorang aparat hukum berani berkonspirasi, dengan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang semestinya harus ia kerjakan. Sebaliknya, ia justru berani menerima tawaran untuk bersekongkol, yang tentunya berujung pada sebuah imbalan harga yang layak atas “jasanya” itu. Selanjutnya, anonimitas membuat aparat hukum lepas tangan atas tindakan “buruk” yang dilakukannya itu. Cirinya sangat jelas, yaitu upaya lempar-melempar tanggungjawab. Padahal tanggungjawab itu sebenarnya adalah tanggungan mereka sendiri. Anonimitas menciptakan kekaburan tanggung jawab yang membuat seseorang tidak merasa bersalah atas perbuatan salah yang telah dilakukannya.

Reformasi Menyeluruh
Memang patut disayangkan bahwa di tengah-tengah upaya pemerintah negeri kita untuk semakin memajukan kualitas penegakan hukum, gejala deindividuasi ini masih membudaya. Maraknya pemberitaan di media massa yang menyorot soal koruptor yang dinyatakan bebas tak bersalah tersebut, menunjukkan sebuah realitas yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, persoalan besar itu tidak hanya berdampak di masa sekarang, tetapi dampaknya akan merambat hingga ke masa depan. Kini kita sadar bahwa ada persoalan lain dari lemahnya hukum kita, yaitu sikap deindividuasi ini.
Dalam kesadaran adanya bahaya akibat deindividuasi tersebut, kiranya tidak bijak jika kita menumpahkan semua kesalahan hanya penegak hukum yang melakukan konspirasi itu. Sebab persoalan tanggungjawab hukum bukan hanya sebatas pada penegak hukum saja. Persoalan itu adalah sebuah fenomena gunung es dari kesadaran hukum kita. Gejala deindividuasi sebenarnya lebih meluas dalam masyarakat kita. Kita cenderung begitu mudah untuk tidak bertanggungjawab dan bersikap permisif terhadap kejahatan yang terjadi di depan mata kita. Kita lebih banyak bertindak mengambil jarak dan menempatkan diri dalam posisi aman untuk lepas tangan dari kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya kita tuntaskan bersama itu.
Maka, menjadi semakin jelas bahwa gejala deindividuasi yang mencuat di negeri kita ini, harus dibongkar. Tanggungjawab hukum adalah tanggungjawab bersama semua orang yang mengharapkan sebuah kenyataan hukum yang adil.
Anonimitas tidak jauh beda dari sebuah topeng. Kita sebagai bangsa tentunya tidak mau menjadi bangsa yang tidak punya identitas.
Sekalipun pembongkaran deindividuasi ini lebih banyak dituntut realisasinya pada lembaga penegak hukum kita, tetapi bila kita benar-benar mengharapkan bangsa yang menjunjung tinggi hukum, semestinyalah semua elemen masyarakat ikut serta melakukan reformasi diri. Kita tentu akan semakin bangga menjadi bangsa yang memiliki identitas.
Read more...