Wednesday, June 3, 2009

Mempertanyakan Berarti Berpikir

Sekilas kata-kata Heidegger di atas membuat kita bertanya, apakah pernyataan ini tepat, logis dan bisa dibuktikan? Apakah berpikir itu berarti tindakan mempertanyakan? Dewasa ini, orang berpendapat bahwa berpikir itu tidak hanya mempertanyakan, tapi justru yang terpenting adalah menemukan jawaban, menemukan ‘temuan’ yang bisa mereduksi pertanyaan-pertanyaan yang selalu membingungkan manusia. Temuan itu akhirnya mempermudah kehidupan dan mengurangi kebingungan manusia, maka wajarlah orang yang berpikir untuk menemukan jawaban (temuan) itu disanjung-sanjung.

Inilah kenyataan pendapat manusia zaman ini. Semakin banyak ilmu-ilmu spesialisasi. Semakin banyak ruang-ruang kecil dalam hidup kita, yang menyulitkan dan membingungkan terjawab.
Tapi, manusia tidak sadar karena terjebak pada pendangkalan kebudayaan. Dengan banyaknya spesialisasi, para spesialis hanya terfokus pada suatu masalah saja, sedangkan masalah lain tidak terpikirkan atau dibiarkan saja, biar orang lain yang menyelesaikan. Ada semacam jurang pemisah antara disiplin ilmu, dan justru semakin menimbulkan banyak pertanyaan yang tak terjawabkan. Di sisi lain, banyak orang yang bukan termasuk spesialis manapun, terkhusus generasi-generasi baru, hanya mendapatkan jawaban-jawaban ‘instant’ melalui teknologi-teknologi yang tidak jelas bagaimana semuanya itu terjadi. Generasi ini hanya tahu memakainya saja, tidak mau bertanya. Di sinilah spesialisasi atau teknologi sebagai hasilnya, membuahkan kekerasan bagi generasi baru manusia.

Filsafat sebagai ilmu ‘kuno’, yang saat ini mungkin tidak diminati oleh banyak orang lagi, tetap akan eksis, karena melalui filsafatlah hubungan antar ilmu menjadi terjembatani. Filsafat mengajak berpikir dengan selalu mempertanyakan. Apakah mempertanyakan pertanyaan itu harus terjawab? Menjawab bukanlah tujuan dari filsafat. Justru, filsafat hadir sebagai ilmu yang mencintai kebijaksanaan, bertindak secara objektif. Filsafat yang adalah berpikir dengan mempertanyakan, terbuka terhadap segala realita hidup manusia, bijaksana terhadap segala masukan dan perubahan, dan membawa manusia menuju pada kehidupan yang lebih baik.
Tepatlah pendapat seorang filsuf, “Ilmu alam (science) itu tidak berpikir karena ia hanya mencoba memahami gejala, hanya para filosoflah yang berpikir karena ia merefleksikan gejala”. Memahami dan merefleksikan merupakan suatu sisi yang berbeda. Memahami berarti menemukan jawaban, sedangkan merefleksikan berarti memantulkan lagi dengan cara mempertanyakan.
Walaupun tidak ada ilmu apapun yang bebas dari nilai di dunia ini, filsafat adalah cara bijaksana untuk bersikap terhadap teknologi/pemikiran yang mengkalkulasi dewasa ini.
“Questioning is The Piety of Thought”. Mempertanyakan berarti berpikir. Berpikir berarti mempertanyakan.
Read more...

Saturday, April 25, 2009

Belajarlah dari Founding Fathers!


Masih ingatkan teman-teman dengan pelajaran sejarah di SD!

Siapa bapak pendiri Negara kita?
Dengan mudah kita bisa menjawab: Soekarno-Hatta.
Perhimpunan orang Indonesia berskala nasional, pertamakali didirikan tahun berapa?
Dengan sedikit berpikir, muncullah jawaban: 1908.
Apa nama perhimpunan itu?
Indische Vereeniging
Lha, apa hubungannya Soekarno-Hatta dengan perhimpunan ini?
Nah, critanya begini:
Seabad yang lalu, asal-muasal ide tentang Negara kita, Negara Indonesia, bermula dari sini. Dua tokoh pemuda yang sedang belajar di negeri Belanda, yakni Sutan Kasayangan dan Noto Suroto, memprakarsai berdirinya Indische Vereeniging. Pada awalnya, kelompok ini adalah hanya semacam kelompok interest dari pelajar-pelajar Indonesia yang sedang belajar di Negeri Kincir Angin tersebut. Namun, berkembang kemudian, dengan masuknya beberapa orang lain, seperti Cipto Mangunkusumo, Ki hajar Dewantara, dan Muhammad Hatta, kelompok ini mulai memikirkan masa depan bangsa kita.
Siapa yang bisa menyangka, karena kelompok kecil inilah, ide tentang Kenegaraan kita terwujud.


Nah, kalo begitu, apa salahnya kalo kita bisa belajar di Belanda.
Di Negara itulah, semangat-semangat perjuangan pemuda Indonesia dahulu dimulai.
Daripada mesti studi di Negara lain, mendingan kita timba ilmu di negeri Kincir angin, kita timba semangat perjuangan yang dulu pernah ada. Apalagi, sekarang, Negara kita sungguh sangat butuh generasi-generasi baru, yang memiliki semangat juang seperti para founding fathers kita itu. Read more...

Saturday, March 14, 2009

Dibutuhkan Segera: Enterpreneur Baru!!!

Dari data penelitian terakhir, diperkirakan pada tahun 2012 nanti penduduk Indonesia mencapai 350 juta orang. Saat ini saja, jumlah penduduk Indonesia sudah lebih dari 240 juta orang. Itu berarti ada pertambahan penduduk yang sangat signifikan.
Jika sekarang saja, angka pengangguran berkisar antara 15-20% dari penduduk Indonesia, berarti tahun 2012 nanti, jika tidak terjadi banyak perubahan dalam negara kita, total jumlah pengangguran sebesar 70 juta orang.
Ini angka yang begitu fantastis. Bayangkan 70 juta orang tidak punya pekerjaan! Katanya Indonesia sudah berkembang, tetapi koq nyatanya masih juga banyak rakyat yang belum menikmati kesejahteraannya.
Sebenarnya ada banyak penyebab mengapa pengangguran itu terjadi. Biasanya yang dikritik habis-habisan adalah soal sistem pemerintahan dan sistem ketenagakerjaan yang tidak melindungi kepentingan para pekerja (masyarakat). Selain itu, masalah-masalah di tingkat internasional juga turut mempengaruhinya.
Terlepas dari persoalan penyebab-penyebab itu, ada banyak cara juga agar pengangguran teratasi, atau setidaknya angkanya menurun. Salah satunya adalah menumbuhkan semangat entrepreneur.
Apa itu semangat entrepreneur? Sederhananya, ini adalah semangat untuk mandiri, mengusahakan lapangan kerja dengan berdikari.
Tapi masalahnya, semangat entrepreneur ini justru belum menjadi concern bersama dari bangsa kita, atau setidaknya pemerintah kita.Coba tengok sebentar kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah kita! Seorang anak kelas 1 SMA selama seminggu belajar mesti mempelajari 16-20 mata pelajaran (tergantung juga pada ada tidaknya muatan local). Seolah-olah semua mata pelajaran mesti dikuasai, all around. Apakah mungkin? Saya pikir, tidak. Bukannya mengetahui banyak, alih-alih justru mengetahui sedikit-sedikit saja. Anak-anak Indonesia hanya diajarkan untuk menelan mentah-mentah banyak mata pelajaran yang diberikan. Tidak ada kesempatan untuk memamahnya.
Sebaliknya, andai anak Indonesia bisa memilih apa yang perlu buat mereka, terutama buat hidup mereka, pastilah mereka bisa mengunyahnya secara manusiawi dan mencernanya dengan baik pula. Persoalan entrepreneur mestinya sudah dilatih sejak dini!

Mungkin pemerintah bisa berdalih dengan adanya sistem sekolah kejuruan. Tapi, saya tidak begitu yakin system itu berjalan dengan baik pula. Seberapa banyak sekolah kejuruan yang sungguh-sungguh menyediakan sarana-prasarana yang memadai? Di mana bentuk keseriusan pemerintah. Meskipun dari ke hari sekolah kejuruan bertambah banyak, itu sama sekali tidak menunjukkan kualitas dari sekolah itu.
Kuncinya hanya satu, generasi penerus bangsa itu mesti dilatih semangat entrepreneur. Dan pemerintah mesti serius ke arah itu.
Syukurlah, setidaknya ada beberapa perusahaan besar yang sudah ikut nimbrung memikirkan hal itu. Salah satunya adalah PT Djarum. Setiap tahun perusahaan ini mengadakan konpetisi yang berusaha membangun semangat enterprenuer. Lewat blackinnovationawards, banyak orang muda dipacu untuk mencari karya-karya yang inovatif. Lewat penemuan karya inovatif itulah, jiwa mereka dididik menjadi jiwa enterpeneur. Yang cukup membanggakan lagi, ada juga blackinnovationawards goes to campus. Itu berarti ada concern juga pada bidang pendidikan.
Maka dari itu, hanya ada satu permohonan dari bangsa yang besar ini: “Dibutuhkan Segera: Enterpreneur Baru!”

Read more...

Wednesday, February 4, 2009

Berpikir Ulang Tentang Keindonesiaan di Tengah Kepungan Perubahan Global


Bersyukurlah bahwa para founding fathers kita adalah orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan Bung Tan Malaka. Pola pikir dan praksis yang mereka terapkan telah melahirkan sebuah negara merdeka. Akan jadi seperti apakah Indonesia jika mereka tidak ada. Tetapi sepeninggal mereka, semangat dan perjuangan mereka tidak serta merta dilanjutkan oleh generasi penerus, bahkan tahun-tahun belakangan ini justru muncul pertanyaan, mau ke manakah Indonesia ini.
Mungkin kalau salah satu dari mereka, saat ini masih hidup, akan bergumam dalam hati: “Indonesiaku malang, Indonesiaku tersayang”. Cita-cita dan perjuangan yang mereka kerjakan dulu tampaknya mulai meredup atau bahkan hilang sama sekali. Cita-cita mereka tentang ke-Indonesiaan yang satu dan utuh telah berubah menjadi fragmen-fragmen yang terpecah-pecah. Baru saja Timor-timur memisahkan diri, sekarang Aceh dan Papua meminta yang sama. Baru saja ada kerusuhan di Ambon sekarang sudah muncul gerakan separatis yang mengatasnamakan agama, yang berbuah bom Bali dan Marriot. Malang sekali nasibmu Indonesiaku. Apakah akhirnya gumaman itu akan berakhir sampai di situ saja, tanpa ada rasa terima kasih.
Mereka sebenarnya sama sekali tidak mengharapkan terima kasih dari kita. Yang mereka harapkan adalah rasa tanggungjawab kita terhadap bangsa kita, rasa kebangsaan kita, rasa ke-Indonesiaan kita.
Memang tidak adil rasanya kalau kita begitu saja takluk pada kehebatan para Bung, Bapak pendiri bangsa kita. Tidak adil rasanya kalau kita dicap tidak pernah berjuang sama sekali. Kita lupa ternyata memelihara memang lebih sulit ketimbang memulai. Indonesia hidup dalam sebuah sejarah dan kita tahu bahwa sejarah adalah ‘sungai ada’ yang membawa banyak peristiwa, di mana kita tidak akan pernah masuk pada aliran sungai yang sama.

“Itu semua hanyalah dalih dan pembelaan diri,” sanggah para Bung. Bukan itu maksudnya. Justru semakin bertambah waktu yang dilewati semakin banyak perubahan dan semakin diperlukan pemaknaan baru atas kebangsaan kita. Memang perlu diwaspadai bentuk-bentuk pelencengan, makanya perlu berprinsip back to the basic. Bagaimanakah kita memaknai kebangsaan ini dengan kerangka berpikir yang dicita-citakan para founding fathers tanpa meninggalkan semua realitas yang melingkupi bangsa kita?
Inilah kerangka tulisan yang hendak penulis bahas, yakni berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan di dalam sebuah realitas perubahan global yang begitu cepatnya.

Persatuan bukan Per-sate-an: Belajar dari Founding Fathers
Dari Soekarno kita belajar banyak pada ide dan praksis ke-Indonesiaan yang bersatu. Dari Hatta kita berhutang pada demokrasi populisnya, yakni demokrasi kerakyatan sampai ke praksis ekonomi koperasi. Dari Syahrir kita menimba nilai kemartabatan kemanusiaan yang merelatifkan nasionalisme sempit. Dan dari Tan Malaka kita belajar menyadari ketotalan transformasi sistem tidak hanya fisik, ekonomis, politis tetapi pula perubahan mentalitas dan kerangka berpikir berhadapan realitas dengan aktif, dialektis dan logis mengolahnya.
Demikianlah pola pikir dan perjuangan kebangsaan yang mereka lakukan. Masing-masing perjuangan ini bukanlah perjuangan perorangan tetapi perjuangan yang saling menopang. Semuanya adalah suatu entitas yang satu walaupun berbeda. Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan yang terjadi karena perbedaan yang saling menopang. Persatuan ini bukanlah anut-grubyug (ikut-ikutan beramai-ramai dengan gerombolan), mangan ora mangan waton kumpul (makan atau tidak, yang penting bersama-sama), salah ora salah pokoke sedulur (salah atau tidak salah, saudara harus dibela), right or wrong is my country, dan segala variannya. Persatuan ini bukanlah persatuan gotong royong tradisional suku tertutup dari orang-orang yang tidak merasa perlu berpikir sendiri selaku pribadi mandiri yang berprinsip. Persatuan semut atau celakanya rayap. Bung Hatta amat tajam tetapi jelas memperoloknya sebagai per-sate-an, rangkaian cuilan-cuilan daging yang ditusuk jadi satu oleh sang maha pemimpin.
Makna persatuan seperti yang disebutkan di atas tadilah yang selayaknya menjadi contoh pola persatuan dan semangat kebangsaan yang diharapkan pula saat ini. Memang Persatuan dan semangat kebangsaan yang dibangun oleh founding fathers di atas adalah dalam konteks memerangi politik divide et impera dari kaum penjajah, lalu persatuan dan semangat kebangsaan yang bagaimana dalam tahap Indonesia menyejarah selanjutnya?

Penyelewengan I: Penindasan Kebangsaan oleh Negara
Sebelum membahas kontekstualisasi kebangsaan kita lebih dalam lagi, penulis sengaja terlebih dahulu menganalisis peristiwa-peristiwa yang justru cenderung menyimpang (menyeleweng) dari semangat kebangsaan yang dicita-citakan oleh founding fathers.
Kebangsaan itu terjadi dan terbentuk sesuai dengan penjadian dan pembentukan sejarah. Karena sejarah itu terbuka, maka pembentukan dan penjadian itu tak mengenal finalitasnya. Celakanya, begitu digabungkan dengan negara menjadi negara-kebangsaan, maka kebangsaan itu mau tak dikenai dengan batasan-batasan.
Kebangsaan itu bukan negara. Akan tetapi, kebangsaan itu mempunyai negara. Dengan kata lain, bukan negara melainkan kebangsaan itulah yang seharusnya menentukan dan mengatur negara. Akan tetapi, yang kebanyakan terjadi, negaralah yang mengatur kebangsaan kita sedemikian rupa sampai negara akhirnya menjadi kebangsaan sendiri. Apa yang dimaukan oleh negara, dan itu sering berarti apa yang dimaukan oleh penguasa harus terjadi pada bangsa. Itulah yang terjadi pada masa Orde Baru di bawah Soeharto maupun Orde Lama di bawah Soekarno Tua.
Sekian lama kebangsaan kita ditindas oleh negara, dengan segala aparat penindasannya, mulai dari ideologi Nasakom, demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, kemudian P4, SARA, ketertiban dan kemanan sampai tentara dan sebagainya di zaman Orde Baru. Kebangsaan kita bukan lagi sejarah tetapi ideologi penguasa. Oleh ideologi itu kebangsaan kita hampir mati tercekik. Bukti kematiannya adalah fakta bahwa hidup berbangsa dan kita demikian homogen sampai di tingkat lokal, padahal di tingkat lokal itu kebangsaan kita sebenarnya demikian heterogen. Pantaslah jika sekarang di tingkat lokallah paling terjadi keresahan dan kegelisahan kelompok masyarakat untuk mencari dan menemukan identitas dan keunikannya sendiri.

Penyelewengan II: Universalisasi Vs Fortifikasi
Fakta bahwa terjadi keresahan dan kegelisahan kelompok masyarakat dalam menemukan identitas kebangsaan adalah karena realitas baru yang mesti dihadapi oleh bangsa ini. Seperti yang sudah saya katakan dalam pengantar bahwa realita bangsa kita saat ini adalah kepungan perubahan global. Perubahan global ini dinamakan globalisasi.
Globalisasi rupanya telah menghasilkan dua format kebudayaan yakni kebudayaan global yang koheren dan homogen (kekuatan ‘sentripetal’ universalisasi budaya), tetapi juga fragmen-fragmen budaya yang plural dan heterogen (kekuatan ‘sentrifugal’ fortifikasi).
Kekuatan yang pertama akan mendorong pembentukan budaya global –sistem nilai, perilaku, gaya hidup– yang semakin universal dan mengerucut menjadi satu format budaya yang koheren dan homogen. Sementara kekuatan kedua merupakan ekspresi perlawanan dan mekanisme ‘pertahanan diri’ terhadap serangan yang demikian intensif dari arus besar universalisasi dan penyeragaman budaya global tersebut. Kalau universalisasi mendorong terbentuknya homogenitas budaya global, maka fortifikasi ini, justru sebaliknya mendorong terjadinya ‘pembelahan-pembelahan’ budaya global menjadi fragmen-fragmen kecil yang pada akhirnya tentu saja akan mengarah pada pluralitas dan keberagaman. Karena fortifikasi ini, budaya global pada gilirannya akan membentuk semacam mosaik yang begitu sarat dengan ekspresi-ekspresi budaya berdasarkan etnik, tradisi lokal, agama, bahasa, dan sebagainya. Kekuatan yang pertama disebut sentripetal karena mendorong konvergensi dan keseragaman, sementara yang kedua disebut sentrifugal karena memicu divergensi dan keberagaman budaya global.
Universalisasi dan fortifikasi ini bekerja secara simultan, sama kuat pengaruhnya dan bergerak dalam arah yang saling berlawanan. Akan tetapi walaupun saling berseberangan keduanya memiliki semacam ‘love-hate relationship’. Di satu sisi universalisasi merupakan ancaman bagi fortifikasi, di sisi lain, ia sekaligus juga yang menjadikan fortifikasi ini terbarui, tumbuh dan berkembang biak secara luas. Berkembang pesatnya nilai-nilai universal budaya pop Amerika ke seluruh pelosok dunia, misalnya justru memicu dan mendorong –bukannya melemahkan— semakin menguatnya ekspresi budaya-budaya lokal di Indonesia. Sebaliknya fortifikasi memang merupakan sikap penolakan terhadap universalisasi, namun di sisi lain, ia sekaligus juga memperkuatnya. Keduanya sudah seperti layaknya yin dan yang dalam filosofi dualistik Cina. Karena kenyataan ini, format budaya global yang saat ini terus berjalan akan diwarnai oleh adanya paradoks-paradoks sebagai akibat dari adanya benturan pengaruh dua arus besar ini. Paradoks global ini akan berlangsung di level global, level regional, negara dan daerah yang pada gilirannya akan bekerja, baik langsung maupun tidak langsung mempengarungi sistem budaya, sistem nilai (values), dan perilaku (behavior) di level individu.
Di level global, arus universalisasi ini antara lain ditandai oleh munculnya kecenderungan besar ke arah terbentuknya konvergensi cita rasa, perilaku, dan gaya hidup global, yang umumnya banyak bersumber dari budaya Barat, terutama budaya pop Amerika. Beberapa istilah diberikan oleh para pakar untuk menamai kecenderungan ini: “Coca-colonization” (Huntington, 1996) atau “Mcworld” (Barber, 1994). Arus besar yang terutama difasilitasi oleh munculnya globalisasi pasar dan serangan media komunikasi-informal global ini, cenderung mengarahkan siapapun individu di muka bumi ini untuk mengkonsumsi produk-produk global (MTV, Hollywood) dan mengadopsi perilaku dan gaya hidup universal yang umumnya bersumber dari peradaban Barat (individualisme, rasionalitas, sekularisme, kebebasan individu dan sebagainya).
Universalisasi juga ditandai oleh kecenderungan yang makin cepat akselerasinya ke arah pembentukan apa yang oleh Fukuyama (1992) disebut sebagai “universal and homogeneous state”. Berakhirnya Perang Dingin, harus diakui, menyebabkan popularitas konsep demokrasi liberal (demokrasi representatif) sebagai tool untuk mengelola kekuasaan dan politik negara mulai meroket demikian cepat. Di samping itu, konsep free market sebagai formula ampuh untuk mengelola perekonomian negara juga mendapatkan popularitas yang sama. Karena konsistensi keberhasilannya selama beberapa dekade terakhir, dua konsep yang bersumber dari peradaban Barat ini kini mulai dianggap sebagai konsep universal yang diyakini akan mampu mengantarkan negara-negara mencapai kesuksesan. Karena keyakinan ini, tak heran jika kemudian negara-negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan Eropa Timur, satu per satu mulai mengadopsi konsep free market democracy, konsep negara yang menerapkan baik sistem free-market economy maupun representative democracy.
Sementara fortifikasi di level global ditandai oleh adanya kecenderungan maraknya bermunculan kelompok-kelompok yang berupaya memperkuat identitas budayanya yang spesifik berdasarkan kesamaan etnik, tradisi, bahasa, maupun agama. Salah satu bentuk dari kecenderungan ini adalah makin maraknya arus tribalisme, upaya kelompok-kelompok etnik tertentu untuk melepaskan diri dari pengaruh dan kekuasaan negara. Di Uni Soviet, Yugoslavia, Iran, Irak, Filipina, Sudan, Papua New Guinea, Afganistan dan terakhir –tentu saja Indonesia—gerakan tribalisme ini begitu marak yang tidak jarang berakhir dengan pecahnya negara tersebut hingga menjadi belasan negara kecil. Ironisnya, arus tribalisme ini justru didorong oleh arus demokratisasi yang seperti diungkapkan di atas, merupakan komponen penting dari universalisasi. Mengapa? Karena semakin demokratis suatu negara semakin terbuka luas bagi masyarakatnya untuk mengekspresikan hak dan keinginannya, termasuk untuk memisahkan diri dari negara.
Di level regional Asia, tarik-menarik antara arus universalisasi dan fortifikasi ini juga intensif berlangsung, dan semakin menguat menyusul pecahnya krisis ekonomi di kawasan ini sejak 7 tahun lalu. Sebelum krisis meletus, bangsa Asia melihat bahwa kunci dari keajaiban Asia ini adalah Asian values, keluarga patriarkal, konsensus bukannya konfrontasi, hirarki dan social ordering, hormat pada atasan dan penguasa, deference to societal interest, conservatism in social mores.
Namun dengan meletusnya krisis Asia, optimisme dan kepercayaan diri terhadap Asian values ini kemudian merosot drastis. Mereka mulai berbalik pandangan, Asian values merupakan sumber kebobrokan pengelolaan ekonomi bangsa Asia, nilai-nilai keluarga patriarkal memicu menjamurnya nepotisme; personal relationship mendorong tumbuhnya kroni; begitu juga konsensus mendorong berkembangbiaknya korupsi. Berubahnya pandangan ini semakin mendorong bangsa Asia semakin serius menengok sistem yang berlaku di Barat. Beberapa waktu lalu majalah Far Eastern Economic Review misalnya, melaporkan bahwa kini muncul kecenderungan perusahaan-perusahaan besar Asia termasuk Sony, Samsung hingga Acer mulai berlomba mengadopsi pola manajemen Barat dengan mengedepankan corporate governance, praktik pengelolaan yang dulunya kurang begitu tampak di Asia.
Namun kecenderungan yang mendorong universalisasi ini kemudian harus menghadapi arus fortifikasi ketika ternyata proses pemulihan ekonomi Asia berlangsung sangat cepat. Dalam jangka waktu tidak sampai 2 tahun ternyata negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, termasuk tentu Cina mampu pulih dengan reinventing the wheel, dan saat ini, posisi mereka praktis tak jauh berbeda dengan posisi sebelum terjadi krsis. Kondisi ini tentu saja menumbuhkan optimisme dan kepercayaan diri baru di kalangan bangsa Asia mengenai keampuhan Asian values.
Di level nasional, universalisasi yang semula terwujud dalam bentuk Coca-colonization, sejak beberapa tahun terakhir sudah berkembang ke penghormatan HAM dan demokrasi. Akibatnya Indonesia pun kemudian semakin menyatu dengan banyak bagian dunia lain, bukan hanya dalam cita-rasa, perilaku dan gaya hidup tetapi juga mulai berkembang pada sistem nilai, mind-set, dan cara pandang. Yang menarik, timbulnya global shared value berupa penghormatan HAM dan demokrasi ini justru mendorong penghormatan akan keragaman budaya, agama, suku bangsa dan negara bangsa. Oleh sebab itu, meski penduduk di seluruh dunia memiliki semakin banyak kesamaan dalam kebiasaan, sikap dan perilaku tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga berusaha mempertahankan dan memperkuat identitas kelompok berdasarkan agama, tradisi budaya, bahasa ataupun suku bangsa. Akan tetapi karena penguatan identitas tersebut terjadi bersamaan dengan adanya penghormatan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM, ia malah melahirkan pengakuan terhadap kemajemukan. Bukan hanya dalam pola pikir, sistem nilai, tetapi juga cita rasa dan perilaku.
Di Indonesia contoh dari paradoks antara universalisasi dan fortifikasi antara lain tampak dari McDonald’s misalnya yang menyediakan nasi dan ayam goreng, yang kita tahu di negeri asalnya tidak ada. Mengapa? Karena masyarakat Indonesia membutuhkan ‘konteks’ universal-western, sementara ‘konten’-nya lokal.
Universalisasi versus fortifikasi dalam hal cita rasa itu belum apa-apa. Di Indonesia kita juga melihat kenyataan bahwa universalisasi yang berkembang melalui jaringan informasi global dan globalisasi ekonomi ternyata tidak serta merta berujung pada dominannya rasionalitas. Hal ini tampak antara lain dari semakin banyaknya orang Indonesia yang bergantung pada klenik, jin atau tuyul dalam memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi. Berbeda dengan kasus McDonald’s dan Marlboro di atas, belum berkembangnya rasionalitas atau perubahan pola pikir bukan lahir karena kebutuhan akan pengakuan pada identitas yang berbeda tapi lebih karena disorientasi.
Disorientasi ini pula yang menyebabkan universalitas penghormatan HAM dan demokratisasi membuat Indonesia terancam disintegrasi bangsa. Seperti kita lihat, saat ini sejumlah daerah ingin melepaskan diri dari Indonesia dan membentuk sebuah negara sendiri berdasakan kesamaan identitas tertentu. Menariknya, keinginan semacam ini ternyata bukan hanya dipicu oleh fenomena Yugoslavia, Uni Soviet maupun merdekanya Timor Timur, tetapi juga oleh internet dan globalisasi ekonomi. Internet di satu sisi memang merupakan medium tempat bertukar dan berbagi nilai-nilai dan budaya universal, namun di sisi lain ia juga menjadi ajang mengekspresikan dan berbagi nilai-nilai dan budaya etnis atau separatis yang memiliki situs di internet tempat mereka berinteraksi dan mengekspresikan identitas etnik mereka. Bukan hanya warga Basque atau Quebec yang memiliki situs di internet, kini GAM di Aceh pun memiliki situs untuk mengkampanyekan ide pemisahan diri mereka.
Sementara itu globalisasi ekonomi mendorong negara sebagaimana sekarang tampak jelas terjadi di Eropa Barat, semakin kehilangan arti dan relevansinya. Akibat globalisasi ini Jerman atau Perancis misalnya rela untuk tidak lagi punya mata uang sendiri tetapi memakai mata uang bersama Eropa, Euro. Globalisasi ekonomi dengan pembentukan EU ini tak bisa diingkari akan semakin mendorong kelompok-kelompok etnik di kawasan tersebut untuk membentuk negara baru. Alasannya sederhana, kalau Basque misalnya akhirnya merdeka seperti Kroasia dan kemudian bergabung dengan EU, maka ia akan mendapatkan privilese karena akan diperlakukan sama dengan negara besar seperti Jerman. Dengan kata lain, akibat adanya globalisasi ekonomi ini, membentuk sebuah negara baru menjadi semakin mudah.
Akan tetapi harus diingat globalisasi ekonomi sekaligus juga identik dengan keinginan memperluas pasar yang melampaui batas negara. Kroasia, Ukraina, Estonia atau Latvia didukung untuk memerdekakan diri karena memiliki potensi memperluas pasar. Itu pula sebabnya Brunei misalnya yang begitu makmur justru ingin segera ‘menyatu’ dengan Indonesia yang punya penduduk dan pasar begitu besar melalui percepatan AFTA. Dengan kata lain, kalau terbentuknya sebuah negara justru akan menghambat terbentuknya pasar yang lebih luas seperti dalam kasus Aceh, Riau atau Papua, wajar kalau tidak ada negara yang mendukung. Yang terjadi justru adalah banyak negara yang mengharapkan terjaganya integritas teritorial Indonesia. Sama halnya dengan banyak negara yang tidak mendukung Hongkong, Shanghai, Fujian atau Guangdong lepas dari RRC.

Epilog: Sebuah Solusi
Dalam Indonesia menyejarah kita menemukan penyelewengan pertama terjadi justru ketika pemimpin bangsa mengatasnamakan negara menindas bangsanya sendiri dengan ideologi dan pahamnya sendiri. Penyelewengan kedua terjadi ketika bertabrakan dengan kompleksitas realitas yang memasuki dunia global. Di satu sisi terjadi universalisasi, di sisi lain terjadi fortifikasi. Baik ekstrim ini maupun ekstrim itu, kedua-duanya merupakan suatu penyelewengan terhadap cita-cita dan semangat kebangsaan yang diharapkan oleh founding fathers.
Dari landasan ini, ketika mencoba berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan dengan kembali ke semangat founding fathers tanpa meninggalkan segala konsekuensi realistis yang dihadapi, penulis sengaja mencari jawaban ke manakah Indonesia layak berlayar.
Tentu saja jawaban yang pasti adalah menghindari segala kemungkinan yang kembali mengarah pada penyelewengan-penyelewengan yang sudah disebutkan di atas. Maka dari itu, pertama-tama yang mesti diperhatikan adalah kedudukan lembaga eksekutif kepresidenan. Berpijak dari pengalaman Soekarno dan Soeharto yang memerintah sekian lama, dan mengingat kelemahan manusia, maka waktu pemerintahan yang ada mesti dibatasi. Soekarno muda ataupun Soeharto pada awalnya memang mengemban amanat rakyat, tetapi lama-kelamaan menyeleweng. Maka dari itu pembatasan periodik ini adalah suatu hal yang penting. Kemudian perlu ditekankan lagi bahwa sebenarnya kepentingan bangsa mesti di atas segala-galanya atau dengan kata lain bangsa mengatur negara bukan negara mengatur bangsa.
Kedua, dalam universalisai vs fortifikasi, kita mengambil jalan tengah, tidak ekstrim ini maupun tidak ekstrim itu. Mengapa? Karena sama sekali bangsa kita tidak bisa menghindar dari konstelasi dunia, karena memang bangsa kita adalah bagian dari dunia universal. Lalu bagaimana bentuk jalan tengah itu? Kita tidak ingin bangsa ini jatuh pada kehancuran, terpecah-pecah dan memisahkan diri, seperti yang dialami oleh negara-negara Balkan, apalagi keterpecahan ini didasarkan pada sentimen kelompok. Kita juga tidak ingin menjadi negara satu dan besar tetapi menjadi budak bangsa lain di dalam konteks globalisasi. Maksudnya, kita hanya menjadi pasar bagi bangsa-bangsa lain. Selain itu, memang perlu diubah sistem negara kesatuan model UUD’45 yang mendorong penyedotan seluruh kekayaan daerah Nusantara secara memusat ke Jakarta, yang akhirnya timbul konflik laten amat berbahaya antara Jakarta lawan Daerah, Pusat melawan Pinggiran, Jawa melawan Luar Jawa, seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, dsb. Maka dari itu, jalan tengahnya adalah diberikannya otonomi daerah seluas-luasnya atau, janganlah terkejut, dibentuknya negara Republik Indonesia Serikat (federal). Model pemerintahan ini akan mendamaikan pertarungan antara universalisasi vs fortifikasi (ini cocok dengan wacana yang berkembang saat ini ‘mengglobal dengan budaya lokal’).
Dari solusi ini mungkin masih dipertanyakan lagi apakah ini yang namanya berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan dengan semangat founding fathers tanpa meninggalkan realitas. Dengan berani saya akan mengatakan memang demikianlah yang diharapkan oleh para pioneer bangsa kita. Semangat kebangsaan demikianlah yang diharapkan. Persatuan bukanlah per-sate-an. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah anut-grubyug.
Read more...

Thursday, January 1, 2009

Tatoo is not a Crime!!!

Tato? Iiih... mendengar katanya saja sudah membuat merinding. Demikianlah, image bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan tato, pasti berhubungan dengan tindak kriminal sudah tertancap di benak kita. Citra buruk terhadap mereka yang memiliki tato di tubuh telah mengungkung kreativitas sebagian orang. Pasalnya, ada anggapan bahwa semua penjahat yang tertangkap pasti memiliki tanda di tubuhnya yang bernama tato itu.
Tato sebenarnya sudah lama dikenal dalam peradaban manusia. Konon, tato sebagai salah satu ekspresi karya seni telah ada sejak beberapa abad sebelum masehi pada beberapa suku bangsa. Hal ini bisa dibuktikan ketika ditemukan tanda pada tubuh mumi suku bangsa Mesir dan Nubian, yang berasal dari tahun 1300 SM. Ternyata itu adalah tato. Seni ini juga menjangkau beberapa kebudayaan yang berbeda dan membawa arti yang berbeda pula.
Tato atau body painting atau rajah adalah gambar atau simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan simbol itu dihias dengan pigmen berwarna-warni. Zaman dulu, orang-orang masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk mentato seseorang. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang binatang. Sekarang, orang-orang sudah memakai jarum dari besi, yang kadang-kadang digerakkan dengan mesin untuk "mengukir" sebuah tato.
Pada sistem budaya yang berlainan, tato mempunyai makna dan fungsi yang berbeda-beda. Suku Maori di New Zealand membuat tato yang berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Di Kepulauan Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus inisiasi untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka. Orang-orang Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukkan status sosial tertentu.

Di Indonesia sendiri, budaya rajah ini ditemukan pada suku Dayak di Kalimantan, dan suku Mentawai di Sumatera. Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Selain itu, salah satu kedudukan tato adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya.
Dalam perkembangannya di Indonesia, tato menjadi sesuatu yang dianggap buruk. Orang-orang yang memakai tato dianggap identik dengan penjahat, gali (gabungan anak liar) dan orang nakal. Pokoknya, golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman masyarakat. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat "pengesahan" ketika pada tahun 80-an terjadi pembunuhan misterius terhadap ribuan orang gali di berbagai kota di Indonesia. Soeharto dalam otobiografinya, mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat. Bagaimana cara mengetahui bahwa seseorang itu penjahat dan layak dibunuh? Brita L. Miklouho-Maklai menyebutkan bahwa para penjahat kambuhan itu kebanyakan diidentifikasi melalui tato, untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang di sembarang tempat seperti sampah.

Tidak semua orang bertato itu penjahat memang. Tapi mengapa sampai terjadi generalisasi seperti itu? Apa kira-kira dasar alasannya? Apakah dulu kebetulan pernah ada seorang penjahat besar yang punya tato dan lalu dipakai sebagai ciri untuk menggeneralisir bahwa semua orang yang bertato pasti penjahat juga? Sayangnya belum ada studi mendalam yang bisa menguak pergeseran makna tato dari ukiran dekoratif sebagai penghias tubuh dan simbol-simbol tertentu menjadi tanda cap (stereotipe) bagi para penjahat. Tetapi melalui tulisan ini, penulis hendak mencoba mengkajinya melalui sudut psikologi sosial.
Dari pengantar di atas, kita bisa mendapatkan, paling tidak, ada dua kelompok yang terbentuk dari gejala ini. Kelompok pertama adalah orang-orang yang bertato, entah apapun motif mereka menggunakan tato itu. Sedangkan, kelompok kedua adalah orang-orang yang memberi cap negatif kepada orang-orang yang bertato tadi yakni masyarakat pada umumnya. Maka dari itu, pertanyaan mendasar yang relevan, sekaligus mencoba memecahkan masalah di mana letak persoalan stereotipe ini adalah: Bagaimanakah persepsi dan prasangka masyarakat terhadap orang yang bertato? Kemungkinan-kemungkinan atribusi apa sajakah yang terjadi dalam sterotipe itu? Bagaimanakah sikap masing-masing kelompok sehingga semakin melanggengkan stereotipe ini? Dan yang terakhir, bagaimana peran pengaruh sosial dalam gejala ini?

Persepsi dan Prasangka Terhadap Orang Bertato: Bermula dari Stereotipe
Seseorang memakai tato tentu saja mempunyai maksud tertentu. Ada yang ingin menunjukkan kejantanan, status sosial, tanda kesuburan, atau bahkan untuk mempercantik diri. Dalam hal ini tato menjadi sebuah simbol. Namun dari maksud-maksud tadi mesti dibedakan lagi antara orang yang memakai tato karena memang budaya bawaan dari lingkungan mereka (suku tertentu—dengan demikian adalah hal yang biasa) ataukah ingin menonjolkan (salient) sesuatu dari dirinya. Yang disebutkan terakhir sudah barang tentu memiliki suatu maksud, sebab tidak mungkin tato hanya berfungsi sebagai gambar pada dirinya sendiri (an sich).
Tato yang ditonjolkan menjadi suatu lapang persepsi bagi orang lain. Orang lain akan sangat peka dalam hal ini, karena memang berbeda atau lain dari yang lain (menjadi terkesan eksklusif). Orang bertato dicap sebagai penjahat pasti juga tidak terlepas dari maksud-maksud tertentu. Awalnya mungkin hanya sekedar ingin menunjukkan kejantanan, harga diri, atau bahkan bisa membuat percaya diri (pede). Tapi maksud ini disalahgunakan beberapa orang untuk hal-hal yang negatif. Tentu saja dalam hal ini para penjahat. Untuk menambah kegarangannya mereka akan menggunakan tato. Sosok penjahat sendiri sudah menunjukkan kegarangan, tapi dengan dipakainya tato, kegarangan itu semakin kelihatan lebih besar.
Perilaku ini pada awalnya hanya dilakukan beberapa orang saja, tetapi karena tato itu berfungsi sebagai salience maka muncullah steoreotipe bahwa penjahat seringkali memakai tato. Steoreotipe ini diperkuat melalui media massa. Begitu seringnya pelaku kejahatan yang bertato ditampilkan melalui media, terutama dalam konteks Indonesia terjadi pada tahun 1980-an, ketika petrus merajalela, timbullah asumsi bahwa penjahat-penjahat itu selalu bertato. Logika semacam ini memang tidak lurus, karena mengeneralisasikan begitu saja. Parahnya, kesimpulan yang didapat bisa sampai pada anggapan bahwa yang bertato adalah seorang kriminal. Padahal belum tentu orang yang bertato adalah seorang kriminal.
Proses ini menunjukkan bahwa orang-orang yang memakai tato sangat mempengaruhi orang-orang di luar diri mereka untuk memberikan penyimpulan ciri kepribadian. Tato sendiri sudah merupakan tanda, sehingga secara cepat dan otomatis, orang-orang kita pertama kali bertemu dengan mereka akan mencap bahwa mereka orang-orang yang ‘jahat’. Inilah yang disebut negativity effect (orang memberi bobot lebih pada informasi negatif daripada informasi positif dalam mencapai kesan yang lengkap). Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini diakibatkan dari aspek penonjolan dari tato itu.
Stereotipe bahwa orang bertato adalah penjahat menandakan bahwa terjadi suatu prasangka. Prasangka ini dinyatakan oleh masyarakat pada umumnya (in-group) yang menunjukkan sikap dan tingkah laku negatif terhadap orang-orang yang bertato (out-group). Prasangka ini berefek merusak dan meluas. Masyarakat semakin takut untuk dekat dengan orang bertato, apalagi coba-coba untuk memakai tato (walaupun pada awalnya tidak takut). Begitupun sebaliknya, para penjahat semakin menunjukkan eksistensi mereka melalui tato ini. Kalau sebelumnya belum bertato, maka mereka akan memakai tato.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam prasangka, 3 konsekuensi dari in-group begitu jelas: (1) masyarakat mempersepsikan orang-orang yang tidak memakai tato sebagai orang yang lebih sama dengan mereka daripada orang-orang yang bertato , (2) masyarakat cenderung melihat orang-orang bertato sebagai lebih homogen daripada orang-orang yang tidak bertato , dan (3) masyarakat akan bersikap positif bagi yang tidak bertato dan bersikap negatif kepada orang-orang yang bertato. Akibat konsekuensi ini, wajarlah bila komponen-komponen masyarakat lainnya ikut pula memperkuat prasangka ini. Agama malahan menyempurnakan image tato sebagai sesuatu yang dilarang, haram, dan tidak boleh. Perusahaan-perusahan tidak mau menerima pegawai yang ditubuhnya ditemukan tato.

Atribusi
Untuk memahami alasan atas sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap orang-orang yang bertato, akan dipaparkan kemungkinan-kemungkinan atribusi tersebut (locus of causality): ‘peristiwa stereotipe terhadap orang bertato sebagai pelaku kriminal’.

Locus of causality di atas dijelaskan sebagai berikut: (1) orang yang dengan sengaja bertato dengan maksud bahwa dirinya jagoan dan preman, merupakan suatu salience. Salience inilah yang menjadi alasan terjadinya stereotipe; (2) Stereotipe yang pada mulanya sudah ada, dilanggengkan secara terus-menerus melalui proses sosialisasi antar generasi. Tidak bisa dikendalikan karena terjadi begitu saja melalui peristiwa-peristiwa kecil yang seringkali terjadi, misalnya tertangkapnya pencopet yang kebetulan bertato; (3) Kebetulan saja setiap kali melihat tindakan kriminal, pelakunya bertato, padahal ada juga pelaku kriminal lainnya yang tidak bertato atau sebaliknya, ada juga yang bertato tapi bukan seorang kriminal; (4) anggapan umum/stereotipe yang beredar di masyarakat begitu saja diterima mentah-mentah (tak terkontrol) dan akibatnya menjadi anggapan pribadi; (5) stereotipe terjadi ketika masyarakat ingin cepat-cepat mengidentifikasikan seorang penjahat: “orang yang bertato adalah penjahat”; (6) media massa mensosialisasikan setiap peristiwa penangkapan seorang penjahat, dengan meyebutkan ciri-ciri penjahat, di antaranya bertato. Ciri-ciri ini mesti disebutkan karena menginformasikan sesuatu yang penting. Kalau dihilangkan tentu saja ada informasi yang hilang. Ini terjadi begitu saja; (7) sewaktu-waktu pemerintah menggunakan treatment agar para penjahat kapok, dan dalam treatment ini diidentifikasikan bahwa penjahat itu bertato; (8) situasi global juga mempengaruhi, semua kejadian-kejadian tadi tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain, walaupun tidak begitu kentara dan tidak seseringkali dilakukan, karena hanya terjadi di beberapa negara saja.
Sikap

Persepsi negatif atau prasangka masyarakat terhadap orang-orang yang bertato, menjadi sebuah sikap bersama dalam masyarakat sendiri. Sikap ini tidak bisa dilepaskan dari proses belajar masyarakat, karena masyarakat mengkaitkan suatu nilai dengan fakta-fakta yang ada di dalam masyarakat.
Proses belajar ini berkembang melalui asosiasi, penguatan (reinforcement) dan imitasi. Secara asosiasi, diperoleh melalui gambar-gambar yang ditampilkan lewat media massa. Penjahat-penjahat ketika diinterogasi dipaksa bertelanjang dada dan ditunjukkan bahwa mereka memakai tato. Kejadian yang berulang-ulang, membuat masyarakat mengasosiasikan tato dengan kejahatan.
Secara reinforcement, terjadi saat orang-orang mengalami secara langsung kejahatan yang dilakukan orang yang bertato. Misalkan seorang ibu dirampok, kebetulan bahwa perampok itu bertato. Kemudian pada lain peristiwa, ada orang lain dijambret, dan tertangkap basah, dan dihakimi massa. Ibu itu turut menyaksikan peristiwa itu dan melihat pelaku itu pun memiliki tato. Terjadi penguatan kesan dalam diri ibu itu, semula tidak punya prasangka apapun, tetapi dengan tato itu ibu berkesan sekaligus memperkuat kesannya bahwa yang bertato itu jahat, apalagi kalau ibu itu mengalami lagi peristiwa yang sama.
Dan, lewat imitasi, terjadi di mana anak-anak meniru sikap-sikap orangtua mereka, atau sikap orang-orang di sekitar mereka yang berprasangka atas orang-orang yang bertato.

Pengaruh Sosial
Satu pendekatan psikologi sosial yang lain dalam kasus stereotipe terhadap orang yang bertato adalah pengaruh sosial. Dalam kasus ini kita bisa melihat bahwa terjadi suatu konformitas di dalam masyarakat. Keinginan utama untuk melakukan konformitas dalam kasus ini adalah keinginan untuk menjadi benar. Keinginan ini bersumber pada informasi yang berguna, yang diberikan oleh orang-orang lain dalam masyarakat. Prinsip yang berguna ini tidak mengandaikan bahwa informasi itu sungguh-sungguh benar tetapi mengandaikan bahwa informasi itu baik bagi kita.
Pada dasarnya orang yang bertato itu bukanlah seorang kriminal. Tetapi, ketika seseorang menginformasikan bahwa banyak penjahat bertato, orang yang mendapatkan informasi itu akan menelaahnya dan akhirnya menerima informasi ini juga sebagai pegangan atau pandangannya. Informasi inilah yang juga akan dipakainya jika bertemu dengan orang-orang yang bertato. Konformitas ini akan semakin kuat jika orang yang mendapat informasi itu sama sekali tidak tahu tentang tato, baik asal-usulnya maupun fungsi lain dari tato tersebut (misalnya fungsi seni).
Masih dalam lingkup pengaruh sosial, stereotipe yang dikenakan pada orang yang bertato berkembang karena adanya obedience to authority. Otoritas yang terkena dalam hal ini adalah pemerintah yang melegalkan petrus (penembakan misterius), perusahaan-perusahaan yang tidak mau menerima orang yang bertato, dan institusi agama yang menganggap bertato itu tindakan yang haram.

Epilog: Sebuah Tanggapan
Dari penjelasan di atas kita bisa menyimak suatu pergeseran makna yang dibawa oleh tato dari makna seni ke makna kriminalitas. Pendasaran pertama mengapa terjadi pergeseran ini adalah aspek salience dari tato itu. Tentu saja tato itu bukan sekedar gambar. Tato tertera di badan kita pasti akan terlihat orang lain. Mungkin saja, tato ini terletak di dalam bagian dalam tubuh kita yang tertutup pakaian, tetapi ini tidak tertutup kemungkinan akan terlihat juga. Memang, tato yang sebenarnya sudah membawa aspek salience, ketika sang pemiliknya dengan sadar lebih menonjolkan lagi, dengan menunjukkan bahwa ini sebuah tanda kejantanan, tentu saja akan membawa pergeseran makna.
Kasus ini berbeda dengan yang dialami oleh suku-suku bangsa yang juga menggunakan tato. Tato bagi mereka adalah suatu hasil kebudayaan, suatu hal yang biasa, sehingga aspek salience, bagi mereka ditempatkan sesuai dengan tradisi yang berlaku umum dalam kebudayaan mereka, entah itu demi status sosial ataupun menunjukkan hormat mereka pada leluhur mereka (aspek seni).
Pendasaran yang kedua adalah di mana tato itu ditempatkan. Ketika tato juga dipergunakan oleh orang-orang yang tidak memiliki kebudayaan bertato, aspek penonjolan semakin kuat. Aspek penonjolan ini pada akhirnya membentuk persepsi bagi orang lain yang tidak bertato. Lebih lanjut, terjadi pengelompokan orang, ada yang berada dalam in-group (masyarakat) dan out-group (kelompok orang bertato). Ada beberapa orang yang bertato tetap mempertahankan maksud dari tato itu yakni sesuai dengan kebudayaan aslinya, misalnya menggambarkan suatu karya seni. Tetapi, ketika ada yang mempunyai maksud lain dari penggunaan tato itu, misalnya untuk kejantanan status out-group dan in-group mendapatkan penguatan. Apalagi ketika kejantanan itu disalahgunakan untuk tindakan kriminalitas, prasangka yang diciptakan in-group akan semakin kuat. Prasangka ini mungkin awalnya hanya berlaku bagi beberapa orang, tetapi ketika melalui pengaruh sosial dan belajar sosial masyarakat, prasangka ini menjadi anggapan umum.
Praktis, dari pendasaran-pendasaran yang dipakai kita bisa memahami bagaimana psikologi sosial memainkan peranan penting dalam kasus ini. Sekaligus juga di dalamnya kita bisa menemukan akar masalahnya dan untuk itu menjadi suatu kritik atas anggapan umum tadi. Orang yang bertato adalah orang yang jahat telah menutupi orang yang bertato dengan maksud lain yang lebih positif. Akibatnya kalau orang yang punya maksud lain itu tidak betah dengan prasangka-prasangka yang dibuat oleh masyarakat (misalnya tidak boleh bekerja, dianggap haram oleh agama) akan berusaha menghilangkan tato di tubuhnya.

Oleh karena itu, stereotipe bahwa tato adalah sebuah kriminalitas tidaklah benar. Tato belum tentu menunjukkan orang itu penjahat. Adalah faktor kebetulan saja bahwa banyak penjahat itu bertato. Tetapi kita tidak bisa begitu saja mengeneralisasikannya. Banyak bukan berarti semuanya. Banyak hanyalah bersifat partikular. Maka, salah kaprah yang sudah mewabah tadi mesti diperbaiki. Tatoo is not a crime.
Read more...