Tuesday, October 28, 2008

Kontroversi Hukuman Mati dan Tantangan Etisnya

Masalah hukuman mati sudah didiskusikan di banyak negara oleh para ahli hukum, filsuf, teolog dan para ilmuwan sosial. Dari semua diskusi itu, pertanyaan pokoknya tetap sama: apakah hukuman mati diperbolehkan. Pertanyaan ini bersifat moral. Oleh karena itu, cukup menarik bagi kelompok kami untuk menelusuri lebih jauh dan mendiskusikannya.

Historisitas Pidana Hukuman Mati
Jejak hukuman mati dapat kita telusuri sampai ke tradisi yang sangat kuno. Dalam umat Ibrani kuno ada hukum yang dikenal sebagai hukum Hammurabi. Isi pokok hukum ini menyebutkan bahwa suatu kerugian harus ditebus dengan denda atau retribusi yang sama nilainya: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, hukum ini menerapkan hukuman mati secara tidak pandang bulu. Cara eksekusi yang paling lazim adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Masyarakat Yunani kuno pun mempraktekkan hukuman mati. Kasus Sokrates yang dieksekusi dengan minuman racun adalah salah satu buktinya. Sokrates dihukum mati dengan tuduhan mempraktekkan agama baru dan ajarannya berpengaruh buruk terhadap kaum muda sezamannnya. Dari catatan Plato yang berjudul Euthyphron kita mengetahui bahwa menolak dan menghina dewa yang umum disembah oleh masyarakat suatu polis merupakan bentuk ketidaksalehan dan diancam dengan hukuman mati.

Di Inggris dalam abad ke-13 semua jenis kejahatan tanpa pandang bulu diancam dengan hukuman mati, kecuali kecurangan ringan dan pencurian barang-barang yang tak seberapa merugikan. Hukuman yang berat ini agaknya berhasil menurunkan jumlah kejahatan. Sepanjang abad ke-15, misalnya, tercatat hanya 17 eksekusi mati.
Di Indonesia sendiri hukuman mati masih diakui oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 140 (3) menyatakan: “Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Sedangkan pasal 340 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Pasal-pasal tentang pidana mati tersebut dan juga seluruh KUHP sebenarnya merupakan terjemahan dari kita hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1918. Padahal, di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.


Etiskah hukuman mati itu?
Perdebatan etiskah hukuman mati adalah perdebatan yang terjadi di antara aliran utilitarianisme-retributivisme dan aliran abolisionisme. Aliran utilitarianisme memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di masa depan dari suatu hukuman. Teori ini sebetulnya merupakan bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya. Hukuman sebagai suatu tindakan kepada seorang penjahat dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena terhukum terbukti bersalah melawan hukum, melainkan karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum, korban dan juga orang-orang lain dalam masyarakat. Misalnya, secara positif hukuman dapat membuat jera si terhukum sehingga kelak tidak pernah akan mengulangi kesalahannya; hukuman dapat meredakan perasaan balas dendam pada si korban dan keluarganya; dan hukuman dapat berfungsi sebagai penangkal kejahatan dalam masyarakat. Bila hukuman mati dikenakan pada si terhukum, maka hukuman ini berfungsi preventif ke depan. Maksudnya hukuman ini efektif untuk penjahat-penjahat yang lain; membuat rasa takut (efek penjeraan) untuk melakukan perbuatan yang sama, dan menangkal (efek penangkalan) terjadinya kejahatan yang sama.
Sebaliknya aliran retributivisme mencari pendasaran hukuman dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut teori ini, hukuman diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya. Dengan kata lain, pertimbangan moralnya terletak pada perihal keadilan suatu hukuman. Artinya secara moral suatu hukuman dapat dibenarkan hanya sejauh hukuman itu ditakar sebagai retribusi terhadap kesalahan sudah terbukti. Setiap orang yang sudah terbukti kesalahannya layak dihukum adalah suatu hal yang adil dan karena itu dibenarkan untuk dihukum. Kesalahan yang sudah dibuktikan secara legal merupakan satu-satunya dasar mengapa lembaga negara berhak dan berkewajiban menghukumnya. Keadilan di sini berarti hukuman harus seimbang dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Dua tokoh yang berpengaruh dalam aliran retributivisme adalah Kant dan Hegel. Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut: “Hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karea si individu terhukum terbukti melakukan suatu kejahatan.” Sedangkan Hegel menganggap hukuman sebagai ekspresi General Will. Bagi Hegel bertindak melawan hukum berarti menentang General Will (= kehendak bebas yang sejati dan “absolut” dari si subyek). Hanya, dalam tindakan jahatnya, kehendak bebas sejati itu dilawan dan dikalahkan oleh kebebasan arbitrer. Jadi tindakan kejahatan pada dasarnya tidak saja melukai dan menyengsarakan orang lain (korban), tidak saja hanya menentang general will dan secara tak langsung berarti juga memperlakukan orang lain (masyarakat) secara tidak benar, tetapi juga menentang general will dalam diri si pelaku sendiri dan melukainya. Maka, hukuman dibenarkan tidak saja demi pemulihan si korban dan hukum yang sudah dilanggar, tapi juga demi kepentingan si pelaku sendiri.
Dari kedua aliran ini muncul pertanyaan apakah melalui ancaman hukuman mati dan dengan jenis hukuman ini, kejahatan-kejahatan kriminal yang paling serius dapat ditangkal secara efektif? Pertanyaan ini menjadi bagian dari umpan balik dari kaum abolisionis yang memandang tinggi martabat manusia. Bagi mereka hukuman mati selalu dianggap sebagai suatu kontroversi. Betapa tidak, dalam hukum yang sama, dipatok baik larangan membunuh maupun perintah hukuman mati. Lepas dari sistem hukum yang berlaku, dewasa ini ada semacam pandangan umum bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Argumen abolisionis yang menentang hukuman mati adalah pandangannya mengenai hak untuk hidup. Hukuman mati tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hak untuk hidup yaitu hak yang paling fundamental, absolut dan luhur yang dimiliki oleh setiap manusia dan karena itu harus dihargai bahkan pada seorang pembunuh. Argumen kedua menentang pandangan utilitarian bahwa hukuman mati sebagai bentuk penjeraan tidaklah efektif. Bagaimana mungkin orang yang mati karena dihukum mati akan menjadi jera karena kematian itu sendiri memutuskan kesadaran untuk menjadi jera. Tapi bila hukuman itu diganti dengan hukuman seumur hidup tentu saja aspek penjeraan akan menjadi efektif. Argumen yang lain, hukuman mati sama sekali bertentangan dengan pengakuan terhadap keluhuran hidup manusia. Artinya suatu kehidupan yang bernilai begitu tinggi tidak patut dipakai sebagai sarana penjeraan ataupun sebagai retribusi. Apalagi dalam hal ini nilai hidup kalah daripada nilai penjeraan. Maka dari itu argumen kaum abolisionis inilah yang bisa dipakai untuk menentang hukuman mati.

Studi kasus: Hukuman mati bagi aktor utama peristiwa bom Bali
Sekarang kita melihat ke salah satu contoh yang paling konkret, yakni kasus bom Bali. Beberapa waktu lalu sudah diputuskan bahwa ada 3 pelaku utama pengeboman yang dihukum mati, yakni Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron. Permasalahannya sekarang tidak hanya berkaitan dengan kontroversi hukuman mati itu etis atau tidak, tetapi juga nilai-nilai agamis yang dipegang oleh pelaku. Tetapi, untuk membatasi pembahasan kasus ini, motivasi Amrozi yang bersifat agamis tersebut tidak akan dibahas secara mendetail.
Pertama, dalam kasus ini kita mencermati dan mengkritisi bagaimana hukuman mati dijalankan (proses eksekusi) oleh aparat dimana negara Indonesia menerapkan eksekusi tembak mati. Hukuman ini berlangsung secara tertutup. Bila proses eksekusi ini diterapkan kepada para pelaku bom Bali yang dipidana hukuman mati, kita mempertanyakan sudut utilitariannya. Apakah fungsi penjeraan (utilitarian) akan efektif dengan model eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan secara tertutup? Di banyak negara yang menggunakan hukuman mati, fungsi penjeraan berjalan secara efektif karena dilaksanakan di muka umum, tetapi di Indonesia tidak.
Bila dikaitkan dengan kelompok Amrozi cs yang masih berkeliaran dan suatu waktu akan memanfaatkan suatu momen yang sama demi nilai-nilai yang dihayatinya belum tentu juga akan menjadi takut dan jera untuk tidak melakukan pengeboman. Mengapa? Karena menurut anggapan mereka hukuman mati sudah barang tentu jalan untuk bertemu Tuhan. Jadi bagi mereka hukuman mati itu sendiri tidak mempunyai efek penjeraan dan menakutkan.
Kedua, ditinjau dari sudut retributivisme. Hukuman mati yang dijatuhkan adalah suatu tindakan adil karena sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Tapi kompensasi keadilan ini tetap tidaklah adil karena kita sendiri (masyarakat) yang membuat larangan jangan membunuh justru melakukan pembunuhan dengan dasar hukum (dilegalkan). Ini menunjukkan suatu kontradiksi dalam teori retribusi.
Ketiga, kembali ke teori hukum kodrat, yang dikuatkan oleh kaum abolisionis. Kalau memang hukuman mati yang dijatuhkan kepada Amrozi dkk itu adalah adil, apakah dengan demikian nilai adil lebih tinggi dari nilai kehidupan. Tentu saja, nilai hidup lebih tinggi di atas segala-galanya. Dan sudah sepantasnyalah kalau hukum-hukum yang ada dibuat berdasarkan nilai moral.

Kesimpulan
Dengan segala pertimbangan, argumentasi dan analisis yang sudah dibuat, baik yang pro maupun yang kontra, dari sudut pandang etika, hukuman mati bukanlah suatu tindakan etis apalagi dikatakan bermoral. Justru dengan memberikan kesempatan hidup bagi terpidana bom Bali misalnya dengan menjatuhi mereka hukuman penjara, maka poin-poin yang diajukan berbagai paham etika yang berkaitan seperti hukum kodrat, utilitarian, maupun retributif akan terwakili/terjawab. Mengapa? Karena pada dasarnya manusia itu dinamis. Dalam masa menjalani pidana penjara ada kemungkinan di mana terdakwa sadar (jera) akan perbuatannya setelah diberi kesempatan untuk berpikir/berefleksi ulang atas tindakannya. Dia akan mengoreksi tindakannya sebagai suatu kesalahan. Lebih jauh putusan menjatuhi hukuman penjara dan bukan hukuman mati adalah suatu putusan yang adil, karena ini menunjukkan kita (masyarakat) konsisten dengan larangan untuk membunuh. Maka dari itu, sikap penolakan terhadap hukuman mati bagi para pelaku pengeboman/pembunuhan tersebut menunjukkan konsistensi pandangan etika karena lebih rasional, objektif dan universal; apalagi siapakah sebenarnya yang punya kuasa kehidupan, kecuali Sang Kehidupan itu sendiri.
Sebagai catatan tambahan, bila ternyata ada beberapa pihak merasa dirugikan dengan tidak dihukum matinya Amrozi cs (misalnya pihak Australia karena banyak korban adalah warga negara Australia), kami akan bertanya apakah kerugian itu bisa menjawab persoalan hukuman mati sendiri (karena hukuman mati justru tidak akan menebus/mengembalikan kerugian nyawa yang menjadi korban, kecuali malahan menambah korban). Selain itu, bila hukuman mati jadi dilaksanakan sehingga pihak tertentu (misalnya keluarga dari para korban) merasa puas, apakah dengan demikian ‘rasa puas’ itu menjadi tindakan yang pantas dan etis?
Read more...

Saturday, October 4, 2008

Humanisme dan Komputerisasi


Pada Mei 1997, dunia tersentak ketika Deeper Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak dan dengan melihat hasil yang demikian, pada saat itu juga, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.

Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jaringan teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat ISAAC (Software yang mengendalikan mesin-mesin pengganti pekerjaan-pekerjaan fisik di dalam kantor, misalnya mengawasi setiap orang masuk, melayani konsumsi bagi para pegawai kantor, mengatur temperatur ruangan, dsb.) yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi akan banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer. Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih.
Selanjutnya, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya diklik saja maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia itu yang kadang sulit diukur, karena ini akan berdampak lebih jauh pada segi humanisme manusia. Maka dari itu, akan muncul pertanyaan yang lebih detail lagi untuk mendalami permasalahan ini: Siapakah manusia saat ini di tengah-tengah dunia maya ini?
Mengenai teknologi sendiri, kita tidak perlu mempertanyakan lagi perkembangannya sejak awal, karena memang membicarakan teknologi sebenarnya bukanlah suatu yang asing lagi. Sejak zaman manusia purba pun teknologi sudah ada. Benda teknologis pertama adalah alat-alat batu yang digunakan untuk berburu. Pada waktu itu teknologi adalah perpanjangan diri dari manusia atau dengan kata lain hanyalah sebagai objek sekunder saja, sedangkan objek utamanya adalah dunia yang manusia hadapi.
Seiring dengan waktu yang terus bergulir, ilmu pengetahuan semakin berkembang. Puncaknya terjadi pada abad ke-17 di mana di Eropa Barat terjadi percepatan (revolusi) ilmu pengetahuan. Para pemikir mendorong terjadi percepatan itu yakni melalui cara pendekatan yang sama sekali baru mengenai masalah-masalah manusia, yaitu rasionalisme-empirisme. Francis Bacon menganjurkan agar setiap pengetahuan manusia menggarisbawahi manfaatnya guna meringankan beban kehidupan. Ide ini akhirnya melahirkan eksperimen-eksperimen ilmiah, yang hasilnya diterapkan dalam teknologi. Descartes juga menganjurkan metode eksperimen, yaitu pengamatan yang eksak dan objektif terhadap tingkah laku benda. Ini berarti diadakan pengukuran secara matematis. Paham baru ini merupakan sentakan terhadap alam pemikiran abad pertengahan yang masih tradisional. Berkembanglah secara pesat ilmu pengetahuan alam, ilmu pesawat dan ilmu pasti.
Sekitar tahun 1970 mulai berkembanglah teknologi komputer. Perkembangannya begitu pesat. Dunia menjadi terkomputerisasi. Mengapa ini bisa terjadi? Ternyata evolusi komputer sangatlah cepat dibandingkan dengan evolusi alami yang dilewati manusia (selama ribuan tahun). Evolusi komputer tidak perlu memakan waktu ribuan tahun. Bahkan untuk menaklukkan Kasparov pada pertandingan ulang komputer Deep Blue tidak perlu menunggu ratusan tahun, karena program yang lama hanya membutuhkan 1 tahun untuk meningkatkan daya kerjanya.
Sebagai kerangka lanjut tulisan ini, penulis akan lebih menyoroti komputerisasi dalam pengaruhnya terhadap humanisme dengan berpijak pada pertanyaan siapakah manusia di tengah-tengah dunia maya (komputer) ini?

Artificial Intelligence
Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Bila otak manusia sungguh-sungguh merupakan jaringan neuron beserta sel-selnya, neuron dalam perangkat ini adalah sejenis silikon. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead (1995), perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.
Lebih lanjut dikatakan Gates bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja. Sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi, dan Robot (GNR).

Siapakah Kita di Dunia Maya ini?
Pesatnya teknologi terutama berkembanganya komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar memuja-muja teknologi tersebut.
Contoh yang sangat real adalah bagaimana mengukur sebuah kemakmuran suatu negara. Untuk mengukur hal tersebut parameterya adalah seberapa besar perkembangan teknologinya. Suka atau tidak, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa, lebih-lebih sekarang ini. Keterbelakangan sebuah bangsa juga bisa diukur dari tingkat kemajuan teknologinya. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Neil Postman dalam bukunya Technopoly, setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Di sinilah manusia justru didikte oleh teknologi.
Selain bencana yang mengancam itu, teknologi yang dipengaruhi komputer dan terutama mewujud dalam sistem roboter mulai dipertanyakan. Hubungan antar manusia dan teknologi komputer serta robot akan berkembang mengalami dunianya. Menurut arsitek dan ahli fisika Stefan Themerson dunia manusia akan membentuk dunia mesin ultrainteligen. Program komputer kelak mampu belajar, mengubah diri, menyesuaikan diri dengan keadaan yang berganti-ganti.
Tidak perlu menunggu kelak, sekarang sudah ada chips yang bisa menggantikan anggota tubuh yang hilang. Semisal ada orang yang kecelakaan dan kehilangan kaki kanannya. Dia bisa mengganti kaki kanannya dengan kaki palsu sekaligus terdapat chips ini. Kaki yang baru ini akan bekerja seperti kaki yang lama dan chips ini bisa beradaptasi dengan kehendak pemakainya.
Dalam era teknologi juga dikenal istilah manusia bionik. Manusia bionik tentu saja memiliki artificial intelligence. Manusia jenis ini adalah robot yang seluruh bagian tubuhnya terdiri dari chips-chips dan berfungsi seperti anggota tubuh pada manusia biasa. Bahkan dari sudut penampilan, manusia ini hampir tidak ada bedanya dengan manusia biasa.
Bila akhirnya manusia bionik ini dikembangkan, akan muncul pertanyaan apa itu kematian? Pertanyaan ini muncul karena manusia bionik tidak mengenal kematian. Bahkan, manusia bionik ketika dibentuk dengan postur anak-anak, selamanya akan tetap anak-anak dan tidak akan berubah.
Akhirnya siapakah kita di dunia maya ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan begitu saja disamakan antara manusia dan komputer. Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin, padahal kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja. Sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Dengan demikian sebenarnya komputer memutuskan dan menentukan hanya sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria.
Laureate Gerald Edelman, seorang pemenang hadiah Nobel menyatakan bahwa otak manusia tidak sama seperti komputer. Otak manusia terdiri dari jutaan jaringan neurosis yang sangat berbeda dengan komputer. Pada pertandingan catur antara manusia versus mesin, di dalam Deeper Blue ditemukan batas hitam. Sesuai dengan algoritma, komputer ini bisa mengkalkulasi 6 sampai 8 langkah ke depan. Masalahnya adalah komputer ini menggerakkan buah catur hanya berfokus pada 6 sampai 8 gerakan ke depan tersebut, dan sulit untuk mengubah keputusan dalam waktu yang singkat. Tapi kita manusia bisa memainkan catur dengan penuh strategi bahkan bisa merasakan bahaya sebelum bahaya tersebut terjadi. Dalam pertarungan itu, tidak ada banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya Deeper Blue mengalami 3 kali kerusakan.
Lebih jauh lagi, sebenarnya, permasalahan humanisme ini terletak pada manusianya sendiri. Kira-kira 60 % penduduk dunia mengalami sakit mental. Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Berhadapan dengan teknologi komputerisasi yang begitu cepat berkembang, penyakit malas ini menempatkan manusia sebagai objek dari teknologi tersebut.

Mengambil Sikap atas Komputerisasi
Setelah melihat posisi kita di dunia maya tersebut, kita mempunyai tugas untuk mempersiapkan generasi kita selanjutnya agar berani menghadapi dunia yang semakin dipenuhi teknologi canggih. Faktor terpenting dalam persiapan ini adalah pendidikan mengenai teknologi yang diadakan di sekolah. Saat ini, teknologi lebih esensial dibandingkan biologi, kimia dan fisika.
Menurut pendapat pada umumnya, teknologi mempunyai fungsi instrumental. Teknologi dipandang sebagai sarana yang digunakan manusia. Tetapi menurut Heidegger, kita berada dalam suatu situasi yang mengherankan, karena apa yang dirancang manusia sebagai sarana untuk menguasai dunia, menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malahan tidak dapat dikuasai. Anehnya, apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang menguasai manusia. Dalam pemikiran ini, Heidegger tidak bersikap negatif terhadap teknologi. Ia tidak menolak apalagi mengutuk teknologi modern. Ia tidak anti pun juga tidak pro. Ia mencoba mengerti keadaan di mana manusia berada. Namun ia melihat suatu bahaya bahwa manusia akan kehilangan hakekatnya, sebab hakekat manusia adalah keterarahannya pada ketidaktersembunyian.
Inilah yang dapat diterapkan dalam pendidikan bagi generasi kita. Dalam studi tentang teknologi, kita mesti menyadari hakekat kita, yakni keterarahan kita pada realitas kita. Kita merancang teknologi bukan dengan maksud teknologi memperbudak kita dan membuat malas diri kita tetapi teknologi dibuat untuk membantu kita.
Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang menurut kodratnya mendambakan kebahagiaan. Dalam era teknologi ini, pemenuhan kebutuhan kebahagiaan itu terpenuhi oleh adanya mesin-mesin teknologi. Mesin-mesin ini adalah instrumentalisasi yang merupakan suatu istilah kunci. Mula-mula teknologi ini hanya dipraktekkan dalam hubungan dengan alam saja, tetapi lama kelamaan diterapkan juga pada manusia dan seluruh lapangan sosial. Bukan saja benda-benda dan alam diperalat serta dimanipulasikan, tetapi hal yang sama berlangsung juga di seluruh wilayah politik, sosial dan kultural.
Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Marcuse dewasa ini, sistem totaliter bukan berasal dari sesama manusia seperti pada zaman perbudakan. Sistem totaliter justru berasal dari teknologi. Dengan kata lain teknologi sama sekali bukan merupakan sesuatu yang netral, bukan merupakan suatu wilayah yang bebas nilai. Sejauh teknologi memungkinkan kemajuan di bidang sosial-ekonomis, memenuhi kebutuhan manusia, menyenangkan, meringankan dan mengurangi pekerjaan, maka sejauh itu pulalah sikap kritis manusia menciut.
Dalam menyikapi penyakit-penyakit yang dialami manusia seperti di atas dalam menghadapi teknologi pertama-tama Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern sebagai sesuatu yang merugikan atau tidak berguna. Ia tidak mau kembali pada keadaan zaman pra-teknologi. Basis teknologi tetap perlu bagi masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif.
Maka dari itu pembelajaran yang diterapkan pada generasi yang akan datang ditambahkan oleh Marcuse dalam kaitannya dengan masyarakat. Kita tahu sejauh mana dampak negatif teknologi terhadap masyarakat kita, di mana kita menjadi tidak perhatian lagi dengan sesama kita. Kompetisi yang ditimbulkan oleh teknolgi membuat dunia hanya sebatas diri kita saja. Dengan mengubah teknologi menjadi kualitatif mengajak kita untuk memperhatikan kualitas masyarakat kita. Dunia kita ini milik kita bersama bukan milik orang per orangan, maka perlu kita jaga bersama.

Kata Akhir
Sebagai kata akhir untuk menjawab siapakah kita dalam dunia maya dari sudut pandang kita harus mulai dengan menentukan kegiatan-kegiatan manusia dan menggarisbawahi bagaimana kegiatan-kegiatan itu bersifat khas manusia sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan mesin.
Ciri khas manusia adalah asimilasi. Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Mesin pada saat tertentu konstruksinya juga dapat memperlengkapi dirinya, namun hal ini tidak dilakukan melalui asimilasi materi. Bagian-bagian yang melengkapinya, seperti juga bagian-bagian yang sudah dipakai untuk menyusunnya tetap berada di luar dan asing satu sama lain. Bagian-bagian itu tidak diubah menjadi satu substansi yang unik, tidak pula diasimilasikan lewat subjek, karena mesin bukan substansi dan bukan pula subjek. Mesin bukan suatu “ada” yang berkembang dari dalam, tetapi suatu yang melengkapi dirinya dari luar; bukan suatu keseluruhan natural, melainkan suatu kesuluruhan artifisial.
Selain membentuk dan mengembangkan dirinya, manusia juga dapat memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya. Dan dia mengerjakan itu dari substansinya sendiri, dari dalamnya sendiri, dari apa yang dibuat oleh organismenya sendiri. Sebaliknya, tidaklah demikian dengan mesin, karena mesin mengganti bagian-bagian yang rusak dengan bagian-bagian yang sama, yang diambilnya dari luar. Sebab mesin tidak mempunyai interioritas, meskipun dia memiliki sesuatu yang bisa dikatakan “bagian dalam”.
Manusia mempunyai suatu kemampuan lagi yang luar biasa, yaitu: mereproduksikan dan melipatgandakan dirinya, membuat dalam dirinya bibit atau tunas yang akan menjadi suatu mahluk hidup baru, suatu mahluk yang akan menjadi gambarannya, dan menjadi penerus spesiesnya. Sebuah mesin juga dapat menyusun mesin-mesin lain menurut model yang dipergunakan untuk menyusun dirinya sendiri, tetapi dia tidak membuat mereka dari substansinya sendiri. Orang tidak akan mengatakan bahwa mesin-mesin baru itu merupakan keturunan dari mesin lama, atau lahir dari “ada”-nya mesin yang pertama. Mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, jadi tidak akan bisa membuat apa yang disebut keturunan yang sesungguhnya. Dia hanya mengumpulkan materi-materi yang ditemukan di luar dirinya, untuk membuat keseluruhan-keseluruhan artifisial, yang bagian-bagiannya tetap asing satu sama lain, juga sesudah dikumpulkan. Karena mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, maka dia tidak bisa mengeluarkan dari dirinya suatu “ada” lain yang serupa dengannya dan yang benar-benar berotonomi.
Lebih lanjut lagi, manusia tak hanya mengembangkan, memperbaiki dan memproduksikan dirinya. Dia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Mesin kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa apa yang mengganggunya, mesin akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali. Seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalananya untuk mencapai dengan pasti tujuan ke manapun mereka diluncurkan. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka. Yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan trampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain ialah manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan, walaupun akhirnya pekerjaan yang dilakuakan oleh mesin-mesin akan lebih baik dibandingkan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia
Read more...

Wednesday, October 1, 2008

"Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta "


Berisi Refleksi Mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta
yang berusaha meretas perbedaan menjalin kerja sama Lintas iman.
Sebuah buku inspiratif yang menggerakkan orang muda untuk bersatu
menata kehidupan masyarakat agar lebih damai, sejahtera dan bahagia.
Tertarik untuk mendapatkannya!!! Hub: didikedu@gmail.com

Harga buku
Rp. 23.000,00
ongkos kirim Rp. 9000,00 (khusus P. Jawa)
Read more...