Thursday, December 4, 2008

Agama Sebagai Realitas Sosial

Buku The Sacred Canopy adalah salah satu usaha Berger memberikan pemahaman secara sosiologis atas agama sebagai produk historis. Bagi Berger buku ini bukanlah “sosiologi agama”. Namun menurut Jeffrey K. Hadden dalam sebuah tinjauannya, buku ini merupakan sumbangan paling penting terhadap studi sosiologi agama setelah terbitnya karya klasik Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Terlepas dari pengakuan itu, buku ini sendiri dibagi menjadi dua uraian, yaitu uraian sistematis dan uraian historis. Uraian sistematis bisa dikatakan sebagai pembahasan teoretis. Sedangkan uraian historis membahas sekularisasi yang memperlihatkan “ganjaran” dari perspektif teoretis dalam kerangka suatu pemahaman atas situasi-situasi sosio-historis spesifik.
Untuk memahami lebih jauh pemikiran Berger, berikut ini penulis memberikan ringkasan penting dari keseluruhan isi buku tersebut.

Sacred Canopy
Agama dalam perspektif Berger dimengerti sebagai hasil konstruksi manusia melalui tiga tahap dialektik, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dunia yang dikonstruksikan tersebut menjadi nomos yang mengatur kehidupan manusia agar terbebas dari ancaman anomi dan khaos.
Melalui proses sosialisasi, agama melakukan pelanggengan dunia yang telah dikonstruksikan manusia. Di samping itu, agama melegitimasi realitas sosial yang ada. Agama membutuhkan struktur plausibilitas atau basis sosial guna mendukung keberadaannya.
Berger menggunakan konsep Teodisi untuk memberikan makna terhadap penderitaan yang dialami manusia di dunia, dengan sekaligus menjanjikan kebahagiaan ‘di dunia sana’. Dalam hubungan ini agama jelas merupakan sebuah kekuatan alienasi. Alienasi oleh Berger dimengerti sebagai terputusnya hubungan dialektik antara individu dengan dunianya. Meski sebaliknya agama juga memiliki kekuatan dealienasi.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat modern, Berger melihat proses sekularisasi sebagai lepasnya berbagai sektor kehidupan masyarakat dari dominasi institusi dan simbol agama. Sedang sekularisasi itu sendiri berakar pada tradisi masyarakat Israel kuno sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Lama. Hal ini jelas terlihat dalam konsep transendentalisasi Tuhan, motif historisasi dan rasionalisasi etis yang sangat mewarnai Perjanjian Lama.
Berger menganggap agama sebagai peta kognitif yang digunakan manusia untuk memahami berbagai kerangka makna. Agama berhasil menjelaskan berbagai realitas sosial, sehingga menjadikan hidup manusia bermakna.

Memahami Sacred Canopy: Agama Sebagai Realitas Sosial
Sosiologi Berger sangat diwarnai oleh pentingnya kedudukan sosiologi pengetahuan. Pendekatannya bersifat eklektik, dan menggunakan metode fenomenologi. Berger memahami agama sebagai sebuah fenomena sentral dalam realitas sosial yang dimengerti dalam konteks sosiologi pengetahuan. Agama merupakan realitas sosial yang dikonstruksikan secara sosial oleh manusia. Dalam proses konstruksi realitas tersebut, manusia melalui tindakan dan interaksinya secara terus-menerus menciptakan realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara faktual dan penuh makna subjektif secara objektif. Sesuai dengan metode fenomenologi yang digunakannya, Berger menganggap bahwa semua pengetahuan manusia tentang fakta objektif dalam dunia ditentukan dan diwarnai oleh lingkungan sosial di mana pengetahuan tersebut dikonstruksikan, ditransmisikan, dan dipelajari. Dengan kata lain, Berger menganggap bahwa manusia tak pernah dapat menangkap realitas yang berada di luar proses yang dialaminya.
Berger beranggapan bahwa manusia melalui proses konstruksi realitas sosial berada dalam dunia konfigurasi makna yang bersifat koheren dan membutuhkan legitimasi yang dirumuskan secara eksplisit. Sejarah umat manusia memperlihatkan bahwa agama memainkan peranan yang sangat penting dalam proses konstruksi dan pemeliharaan dunia. Agama merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang telah mencapai status objektif dan sekaligus memiliki makna subjektif yang mendalam. Agama secara terus-menerus melakukan legitimasi.
Dalam perspektif Berger pengetahuan manusia adalah terbentuk secara sosial. Oleh karena itu, tugas sosiologi pengetahuan adalah menganalisis bentuk-bentuk sosial pengetahuan manusia. Secara umum Berger mendefinisikan sosiologi pengetahuan sebagai sub-disiplin sosiologi yang mempelajari keseluruhan hubungan antara struktur sosial dan kesadaran. Sosiologi pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai bentuk kegiatan ideosinkartik di kalangan sosiologi yang cenderung mengarah pada sejarah ide-ide dan ditempatkan pada bagian paling sentral dalam teori sosiologi.
Konsekuensi rumusan sosiologi pengetahuan sebagaimana tersebut di atas adalah bahwa sosiologi agama dipandang sebagai integral dan sentral dalam sosiologi pengetahuan. Tugas sosiologi agama adalah melakukan analisis kognitif dan normatif yang diperlukan untuk meligitimasikan semesta yang dikonstruksikan secara sosial.
Karena adanya pengetahuan, manusia dan masyarakat dipahami. Dan melalui pengetahuan itu pula individu secara subjektif mengintegrasikan dan mendudukkan dirinya dalam tertib institusional. Dengan demikian institusi dan identitas menjadi bersifat koheren. Berger menekankan bahwa pengetahuan merupakan sarana bagi manusia untuk memahami realitas dan mengorientasikan dirinya.
Dalam perspektif Berger, pengalaman selalu dilegitimasikan secara terus-menerus. Untuk itu, Berger membedakan tingkat-tingkat legitimasi. Legitimasi itu sendiri dimengerti sebagai proses objektivasi makna-makna yang lebih tinggi tingkatnya daripada objektivasi biasa (a second-order objectivation). Melalui legitimasi diciptakan makna-makna baru yang perlu untuk mengintegrasikan makna-makna yang telah ada dengan proses-proses institusional yang berbeda-beda. Sedang fungsi legitimasi adalah untuk menjadikan objektivasi tingkat pertama (first-order legitimation) terdapat secara objektif dan memiliki basis sosial atau plausibilitas secara subjektif.
Legitimasi tidak lagi diperlukan dalam tahap pertama institusionalisasi. Sebab institusi tersebut tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut atau telah diterima begitu saja. Legitimasi dibutuhkan bila sebuah institusi hendak diwariskan kepada generasi berikut, agar institusi tersebut dapat diterima oleh generasi penerima.
Legitimasi menjelaskan tertib institusional dengan cara memberikan kesahihan kognitif terhadap makna yang diojektivasikannya. Legitimasi sekaligus membenarkan tertib institusional dengan memberikan status normatif bagi keharusan-keharusan praktis. Jadi legitimasi memiliki dimensi kognitif dan normatif sekaligus, artinya legitimasi bukan sekedar ‘nilai’ tetapi juga merupakan ‘pengetahuan’ yang harus diikuti.
Berbeda dengan para ahli sosiologi dari tradisi positivistik maupun Marxis, Berger menganggap bahwa agama secara historis adalah tidak bersifat berada di luar realitas yang dapat dipikirkan. Anggapan Berger ini didasarkan pada realitas bahwa agama secara terus-menerus melegitimasi dunia sosial. Legitimasi agama merupakan legitimasi yang paling efektif karena kemampuannya untuk menjelaskan tertib masyarakat dalam kerangka acuan tertib semesta yang sakral. Lebih lanjut, Berger menganggap bahwa agama memiliki kemampuan mentransendentalisasikan faktor-faktor manusiawi ke dalam realitas supra-manusiawi, misalnya sejarah umat manusia ditempatkan dalam konteks waktu yang sakral.

Sekularisasi: Proses Perubahan Sosial
Mengingat bahwa realitas yang dikonstruksikan manusia adalah bersifat rapuh, maka realitas tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan. Dalam sejarah agama-agama, perubahan sosial yang sangat signifikan terdapat dalam proses sekularisasi. Sekularisasi oleh Berger dipandang sebagai proses di mana sektor-sektor masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol agama.
Berger memandang sekularisasi sebagai sebuah situasi yang benar-benar baru. Legitimasi dan plausibilitas agama mengalami kegoncangan yang bersifat global. Namun demikian Berger berbeda dengan para ahli sosiologi zaman Aufklarung maupun para ahli sosiologi Marxis yang menganggap bahwa agama tidak lagi dibutuhkan oleh manusia dan masyarakat. Auguste Comte, sangat yakin bahwa agama hanya merupakan salah satu tahap yang harus dilewati dalam rangkaian tiga tahap perkembangan masyarakat, yaitu tahap teologis, metafisis dan positif. Bila tahap positif telah tiba, maka dengan sendirinya agama akan lenyap dan digantikan oleh pengetahuan positif manusia. Sedangkan para ahli sosiologi Marxis secara sepihak memandang agama sebagai bentuk suprastruktur yang ditentukan oleh infrastruktur masyarakatnya. Perubahan dalam infrastruktur akan mengakibatkan perubahan dalam agama, dan bahkan agama akan lenyap dengan sendirinya.
Pandangan Berger tentang hubungan antara perubahan sosial dan agama adalah bersifat dialektik. Di satu pihak, agama bisa menjadi faktor penentu bagi perubahan sosial, dan di lain pihak agama bisa menjadi sesuatu yang ditentukan. Jelas bahwa dalam hubungan ini Berger banyak memperoleh pengaruh dari Max Weber tentang bagaimana Protestantisme ternyata mampu mempengaruhi proses perubahan sosial masyarakatnya. Tetapi di sisi lain Berger juga menerima pengaruh Karl Marx bahwa agama merupakan bentuk proyeksi manusia. Berger beranggapan bahwa manusia membutuhkan agama bukan semata-mata merupakan pemenuhan realisasi dirinya secara palsu, sebagaimana kata Marx. Tetapi juga karena manusia memang membutuhkan agama sebagai sarana untuk mengatasi ancaman anomi yang melanda dirinya. Di sini sekaligus memperlihatkan pengaruh Durkheim dalam sosiologi agama Berger, bahwa manusia pada dasarnya berada dalam ancaman anomi.
Kekhususan Berger dalam memahami proses perubahan sosial terletak pada interpretasi bahwa sekularisasi bukan merupakan kemerosotan atau kehancuran agama, melainkan proses transformasi dalam agama itu sendiri. Sebagaimana telah dikemukakannya, proses sekularisasi adalah tak terelakkan dalam sejarah perkembangan masyarakat modern. Meskipun demikian, agama tetap berfungsi dalam masyarakat karena hanya agama yang dapat memberikan makna atas keberadaan individu. Perkembangan ilmu dan teknologi memang dapat menjelaskan berbagai fenomena yang semula hanya dapat dijelaskan oleh agama. Tetapi untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan akhir kehidupan dan penderitaan yang harus ditanggung manusia, agama tetap memegang peranan penting. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hingga kini agama tetap belum tergantikan oleh ilmu dan teknologi yang tampaknya secara dominan mempengaruhi kehidupan setiap masyarakat modern.

Catatan Akhir: Kesimpulan
Teori sosiologi agama Berger yang menjadi pokok pembahasan tulisan ini bertolak dari konsep dialektika tiga tahap. Agama, oleh Berger dipandang sebagai salah satu bentuk realitas sosial yang dikonstruksikan oleh manusia. Masalah yang muncul adalah apakah seseorang beragama akan tetap dapat meyakini agamanya setelah ia mengetahui bahwa agama tersebut adalah sebuah konstruksi sosial?
Pada hakekatnya agama bagi para penganutnya ialah bersifat adiduniawi dan mengacu pada realitas yang melampaui realitas kehidupan manusia, maka sosiologi tidak dapat mensahkan atau membatalkan setiap pernyataan keagamaan apapun juga. Berger menganggap bahwa dari sebuah pernyataan sosiologi tidak dapat ditarik sebuah kesimpulan etis. Sikap Berger ini adalah sejalan dengan tradisi humanistik yang terdapat dalam semua sosiologi Berger. Bagi Berger, sosiologi tidak boleh memberikan pedoman moral atau menjadi sebuah doktrin penyelamatan.
Dengan meminjam istilah agama, Berger mengatakan bahwa sosiologi hendaknya dapat menjaga sifatnya yang agnostik, yaitu sifat yang menganggap bahwa rasio manusia adalah tak mampu untuk mengetahui adanya Tuhan. Oleh karena itu, sosiologi agama harus tetap bersifat agnostik sebab apapun yang dikemukakan tentang fenomena agama harus tetap dianalisis secara empirik. Bila sebuah penalaran sosiologis telah dipakai untuk mendukung atau menentang sikap agama tertentu, maka menurut Berger hal tersebut telah menyalahi prosedur metode sosiologi itu sendiri.
Sosiologi agama pada dasarnya merupakan studi tentang aspek ‘neosis’ (kesadaran) keagamaan dan ‘neoma’ (yang disadari dari pengalaman) keagamaan yang hanya muncul dalam bentuk ‘penangguhan’ status ontologis pernyataan-pernyataan agama yang semuanya bersifat di luar jangkauan analisis empirik.
Berger menandaskan keyakinannya bahwa studi ilmiah tentang agama harus menangguhkan kebenaran terakhir sebagaimana dinyatakan oleh subjeknya. Dalam studi tentang realitas agama, Berger menganggap bahwa sebuah definisi agama tidak dapat dikatakan ‘benar’ atau ‘salah’ melainkan apakah definisi tersebut bermanfaat atau tidak. Berger tampak kurang setuju dengan penggunaan definisi fungsional, yaitu definisi yang merumuskan apa yang dilakukan oleh agama dan fungsi-fungsi apa yang dijalankan oleh agama bagi individu dan masyarakatnya. Definisi fungsional tersebut oleh Berger dianggap terlalu luas dan cenderung mengesampingkan makna-makna manusiawi yang terdapat di dalamnya, sebagaimana sangat ditekankan dalam metodologi Weber.
Sebaliknya Berger lebih menyukai definisi agama yang bersifat substantif, yaitu definisi agama yang menyangkut makna dan kompleks makna yang mengacu pada entitas transenden, meliputi Tuhan, dewa, dan kekuatan supraempirik (kesemuanya itu tergolong dalam entitas metaempirik). Berger beranggapan bahwa dengan menggunakan definisi substantif akan dapat memahami makna-makna agama dari dalam dengan tidak mengesampingkan fungsi-fungsi agama bagi individu dan masyarakat.
Keseluruhan sosiologi agama Berger menunjukkan sifat eklektik yang memang merupakan ciri khas Berger. Berger banyak mengambil alih teori Durkheim, Weber dan Marx dalam hal pemahaman realitas sosial dan realitas agama khususnya. Sedangkan berbagai macam asumsi tentang manusia yang berkaitan dengan konstitusi biologisnya, Berger sangat terpengaruh oleh pemikiran Gehlen, Plessner dan Portmann.
Dari Rudolf Otto, seorang ahli fenomenologi agama, Berger mengambil alih konsep bahwa agama merupakan sebuah mysterium tremendum et fascinosum. Sedangkan dari Martin Heidegger, seorang tokoh eksistensialisme, Berger mengambil anggapan bahwa manusia senantiasa hidup dalam keprihatinan dan kecemasan (Sorge und Angst). Berger menganggap bahwa pada dasarnya setiap individu akan selalu cemas menghadapi kematian sebagai peristiwa eksistensial yang tiba-tiba menerobos dalam hidup seseorang. Kecemasan tersebut menurut Berger merupakan dasar mengapa seseorang membutuhkan agama. Agama hingga kini tetap merupakan institusi yang paling mampu menjelaskan realitas kematian. Kematian oleh agama diberi serangkaian makna yang mendalam, sehingga seseorang yang beragama akan tetap menganggap bahwa kematiannya bermakna dan kecemasannya berkurang.
Agama dalam sosiologi Berger dipandang sebagai bagian integral dan penting artinya dalam susunan pengetahuan manusia. Agama merupakan bentuk pengetahuan manusia yang telah mencapai status objektif, tetapi sekaligus mempunyai makna subjektif yang mendalam. Dalam hubungan ini, walaupun Berger secara eksplisit menolak untuk mereduksikan realitas sosial yang satu ke dalam realitas sosial yang lain, tetapi ia telah melakukan reduksi agama ke dalam pengetahuan manusia.
Oleh karena itu, setiap usaha untuk memahami sosiologi agama Berger hendaknya didasari pemahaman yang memadai tentang proses konstruksi realitas sosial. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa agama merupakan stock of knowledge yang terdapat dalam setiap masyarakat. Agama menjadi berarti bukan karena keberadaannya sendiri, melainkan karena fungsi yang dijalankannya dalam pelanggengan dunia.
Read more...

Monday, November 24, 2008

Mentalitas Korupsi Mentalitas Pembusukan

Baru saja prahara melanda KPU Nasional. Sebagian besar anggotanya disinyalir terlibat dalam tindak pidana korupsi. Baru saja Abdullah Puteh, Nurdin Halid, dan tokoh-tokoh terkenal lainnya terjerat dalam hukum pidana korupsi. Tetapi, bukan suatu yang aneh, kalau kita mendapatkan banyak kesulitan tatkala kita mengurus KTP di kantor kelurahan atau mengurus berkas-berkas penting lainnya di kantor pemerintahan, kecuali kalau kita tahu diri dan memberikan ‘amplop’ kepada mereka.
Setiap tahun selalu ada tes masuk Pegawai Negeri, tetapi tak jarang posisi-posisi kosong justru diperjualbelikan tanpa mengikuti prosedur yang benar. Setiap tahun selalu ada penerimaan murid baru di sekolah-sekolah, tetapi tak jarang ada pungutan-pungutan liar yang tampaknya kelihatan wajar alih-alih tindakan korupsi juga. Namun, bukan suatu yang aneh, kalau setiap hari justru kita menjumpai praktek-praktek korupsi tingkat kecil-kecilan, seperti pembagian raskin (beras untuk orang miskin) yang tidak merata atau uang suap untuk polisi ketika ditilang.

Dari sini kita sadar bahwa korupsi bukanlah ‘barang’ baru, bukanlah suatu yang aneh dan unik. Setiap ada kesempatan, entah hasilnya besar ataupun kecil, entah terang-terangan ataupun sembunyi tangan, orang tergoda untuk melakukan korupsi.
Sebaliknya, kita tentu masih ingat dengan Edi Tansil di tahun 90-an yang merugikan negara dengan korupsi trilyunan rupiah. Kita juga masih ingat bobroknya Soeharto dan kroni-kroninya yang merugikan negara sebegitu besarnya. Namun, kita tahu Edi Tansil tak pernah tertangkap, dan kita juga tahu Soeharto selalu lolos dari hukuman. Sebenarnya ada apa dengan negara kita? Fenomena apa di balik semua kasus-kasus di atas?

Wajar saja jika masyarakat Indonesia pada umumnya jera dan cenderung apatis berhadapan dengan kasus-kasus korupsi? Kasus-kasus korupsi tersebut tidak pernah sampai pada titik akhir penyelesaian yang memuaskan. Penanganan kasus korupsi sering hanya muncul sebagai berita media yang bombastis, tetapi tidak sampai pada ketuntasannya.
Benturan yang sering terjadi berkisar pada bukti yang belum cukup kuat untuk membawa si terdakwa pada proses hukum. Penyebab lain adalah kurang tangguhnya badan hukum kita sehingga menyebabkan kebanyakan proses terputus di tengah jalan. Tetapi, benarkah alasan-alasan itu saja yang membuat tindak korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti dan para koruptornya tidak pernah jera?

Budaya Korupsi
Tindak Korupsi menjadi masalah klasik yang mau tidak mau turut mempengaruhi identitas bangsa kita meskipun tindakan tersebut bisa dikatakan hanya dilakukan oleh sebagaian dari bangsa ini. Sering dikatakan bahwa alasan orang melakukan korupsi adalah alasan ekonomi (Hendrawan Nadesul, Kompas 12 April 2005), gaji terlalu minim untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, di pihak lain, kita justru menyaksikan orang tetap korup ketika ia sudah memiliki penghasilan lebih dari cukup. Lalu, alasan apakah yang sebenarnya menjadi alasan orang melakukan korupsi?
Dalam pemikiran Susan Rose-Ackerman yang dituangkan dalam bukunya Corruption and Government; Cause, Consequences and Reform dijelaskan alasan mendasar penyebab korupsi adalah faktor budaya. Biasanya korupsi dikaitkan dengan sistem perekonomian. Dalam sistem perekenomian tersebut terkandung dimensi budaya yang ternyata sama di beberapa negara. Sesuai dengan apa yang disebutkan Rose-Ackerman, terdapat pemisahan jelas antara bribes (suap), gifts (hadiah), prices (harga), dan tips (tips). Pemisahan tersebut dapat dilihat pada kolom berikut:
Quid pro Quo Non explicit quid pro quo
Payment to principal Prices (harga) Gifts (hadiah)
Payment to agent Bribes (suap) Tips (tips)

Secara literal, Quid pro quo berarti something for something else atau something given or received for something else. Artinya, sesuatu diberikan oleh seseorang atau lembaga dengan maksud agar penerima memberi sesuatu yang lain pada si pemberi. Prices (harga) adalah pembayaran dengan uang atas nilai suatu barang atau jasa yang diberikan kepada si pemilik yang sah. Sedangkan bribes (suap) tidak seperti harga. Suap adalah suatu pembayaran atas suatu barang atau jasa yang diserahkan kepada ‘pemilik ilegal’ barang atau jasa tersebut. Yang dimasuk pemilik ilegal di sini adalah orang yang dipercaya oleh pemilik legal (sah) untuk menyimpan atau menjaga (bukan menjual) barang atau jasa itu. Maka, bila orang sudah melakukan pembayaran pada orang kepercayaan itu dengan harapan supaya ia melepaskan barang atau jasa itu, si pembayar sudah melakukan apa yang disebut suap.
Sedangkan, Non explicit quid pro quo berarti orang melakukan pembayaran dengan harapan bahwa orang yang menerima pembayaran itu, suatu ketika memberi balasan entah dalam bentuk barang atau jasa. Gifts (hadiah) bisa diberikan oleh seseorang atau badan tertentu kepada orang lain atau badan lain. Pemberian tersebut bisa diartikan bermacam-macam, mulai dari suapan halus sampai pada sekedar ‘demi persahabatan’.
Tips adalah model pembayaran yang akrab di telinga kita. Tips biasanya kita berikan kepada pelayan. Tips termasuk pembayaran kepada pemilik ilegal. Di balik tips tersebut sebenarnya terdapat maksud-maksud tersembunyi, yaitu supaya pemilik ilegal suatu ketika nanti memberikan pelayanan yang sama baiknya dengan yang sudah diberikan kepada si pembayar.
Dari keempat hal di atas dengan jelas kita melihat bahwa tips dan suap memiliki tujuan yang sama, yaitu sebagai enforcement. Bentuk enforcement tersebut salah satunya adalah trust (kepercayaan). Trust biasanya muncul dalam bentuk relasi pribadi. Ackerman dalam hal ini memberi contoh ikatan pribadi yang sering terjadi di sejumlah negara berkembang di Amerika Latin. Di sana terdapat istilah, “A los amigos todo, a los enemigos nada, al extrano la ley” (Bagi teman segalanya akan diberikan, bagi musuh tak sesuatu pun diberikan, dan bagi orang asing, hukumlah yang diberikan). Prinsip ini tentu saja terjadi juga di Indonesia. Ini dilakukan secara umum oleh oknum-oknum dalam lembaga pemerintahan, pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Andaikan saja salah satu dari mereka memiliki proyek yang beorientasi pribadi, mereka akan mendekati temannya yang memiliki posisi dalam pemerintahan atau posisi strategis lainnya. Lewat jalan itulah mereka bisa mengatur segalanya. Dan di sini pulalah korupsi menjadi potensial.
Korupsi, Siapa Takut?
Dalam bukunya Etika Politik dan Kekuasaan, Haryatmoko menyebutkan beberapa alasan mengapa orang tidak takut melakukan tindakan korupsi. Pertama, banyak orang telah melakukannya. Bila banyak orang melakukan berarti hal tersbut menjadi sesuatu yang biasa. Kebiasaan tersebut menciptakan hak. Dan, kalau salah satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab? Alasan ‘banyak yang melakukan’ dijadikan alibi tanggungjawab pribadi. Alasan tersebut juga sering menjadi argumen kuat untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan bersama adalah kebenaran (meskipun sebenarnya belum tentu demikian).
Alasan kedua adalah impunity (kebal hukum atau tiadanya sanksi hukum). Karena korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memegang kendali kekuasaan maka seakan-akan hukum tidak mempunyai taring yang tajam untuk menggigit sang pelaku. Kurangnya pengawasan juga menyebabkan kemungkinan terdeteksinya tindak korupsi semakin kecil. Bila pun ketahuan, masalah tersebut akan melibatkan banyak orang maka lebih baik didiamkan. Ditambah lagi, sering terjadi bahwa tim pembela pelaku korupsi memiliki kepiawaian membuat alibi yang melemahkan bukti hukum dan mementahkan keterangan saksi. Hal inilah yang malah sering menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi koruptor. Semua prosedur hukum kemudian dianggap sudah diikuti dengan benar dan sesuai asas keadilan, meskipun kenyataannya tidak. Dengan cara itu, koruptor terbebas dari rasa salah dan semakin merajalela.
Alasan ketiga adalah korban tindak korupsi sendiri. Dalam literatur bahasa kita, para koruptor sering disebut penjahat berkerah putih. Sebutan ini sebenarnya sudah sedikit meringankan beban si pelaku, sebab, mau tidak mau kita tidak akan menyamakan mereka dengan penjahat jalanan yang kalau tertangkap akan dianiaya massa dan bahkan dibunuh. Selain itu, pihak korban kejahatannya pun berbeda. Seorang penodong memiliki korban jelas—dengan kata lain, pencuri terlibat dalam wilayah private sector (sektor pribadi); sedangkan korban korupsi tidak langsung tampak sebagai pribadi. Kita akan mengatakan negaralah korbannya—dengan kata lain koruptor terlibat dalam ranah publik. Tetapi siapakah negara? Negara tidak pernah terlihat sedih terhadap semua itu. Bila kita mengatakan rakyat, siapakah rakyat itu? Rakyat tidak punya wajah, itu berarti anonim. Wajah yang tidak jelas inilah yang ikut mendukung si koruptor tidak pernah takut korupsi.
Alasan terakhir adalah ‘demi kepentingan umum’. Perasaan takut bersalah karena korupsi bisa saja hilang bila si pelaku memiliki kebiasaan korup (habitus korup). Apalagi bila akhirnya mereka memilki dalih ‘demi kepentingan umum’. Bisa saja bahwa hasil korupsi tersebut disisihkan untuk biaya pembangunan tempat ibadat atau membantu biaya operasional lembaga-lembaga swadaya. Bisa saja uang tilep tersebut digunakan untuk membangun perusahaan atau pabrik baru, dengan harapan kehadiran pabrik tersebut bisa menyerap tenaga kerja baru dan memberi nafkah banyak orang. Alasan ini akhirnya bisa meringankan rasa bersalah si pelaku.

Sintesa: The Whole System Corrupted
Melihat analisa di atas, kita semakin bisa memahami mengapa masyarakat Indonesia cenderung apatis terhadap tindakan korupsi. Seolah-olah korupsi bukanlah sesuatu yang jahat, melainkan menjadi bagian dari hidup kita. Koruptor kelas kakap saja bisa lolos, apalagi koruptor kelas teri.
Sikap apatis ini sebenarnya ingin menunjukkan mentalitas masyarakat kita sendiri. Apatis di sini bukan semata-mata ungkapan perasaan dari subjek yang berada di luar orang-orang yang koruptor. Tetapi justru ingin menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, yakni orang yang juga ikut terlibat korupsi, karena turut melanggengkan korupsi itu sendiri.
Apatis juga berarti suatu pengakuan bahwa korupsi adalah hal yang biasa. Dan karena biasa dan menjadi habitus, korupsi menjadi mentalitas umum yang bisa dikatakan juga sebagai budaya. Setidaknya coba kita perhatikan hidup sehari-hari kita. Tidak sedikit orang yang tidak jujur dalam laporan keuangan mereka bahkan di dalam keluarga sendiri antara suami-istri. Tidak sedikit anak-anak berani berbohong kepada orangtuanya tentang laporan pemakaian uang. Dan, tidak sedikit pelajar yang mencontek saat ulangan di sekolah—seringkali mencontek diidentikkan sebagai cikal-bakal dari tindakan korupsi.
Di mana-mana terjadi korupsi: di lembaga pemerintahan, perusahaan, sekolah, masyarakat, dan keluarga. Korupsi terjadi baik di tingkat makro maupun mikro. Semua sistem yang ada—baik nasional maupun privat—terkena virusnya. Jejaring raksasa nasional mengalami pembusukan karena mentalitas korupsi ini. Bak lingkaran setan, sekalipun kita mencoba menghindar, di situ kita akan tetap terjerat oleh korupsi itu sendiri.
Dengan sintesa ini, saya tidak ingin menyederhanakan begitu saja kompleksitas sistem makro maupun mikro dalam masyarakat Indonesia. Atau bahkan menisbikan usaha orang-orang yang benar-benar murni dengan itikad dan niat baik bertindak jujur dalam pekerjaannya. Sebaliknya, saya ingin menegaskan bahwa masalah korupsi bukanlah masalah bagi koruptor kelas kakap dan aparat hukum, melainkan masalah bagi seluruh bangsa Indonesia.


Seluruh Sistem Perlu Dibenahi
Bila seseorang melakukan tindakan korupsi, dampaknya tentu saja mengenai lembaga di mana dia bekerja, dan secara tidak langsung terhadap masyarakat yang menggunakan jasa lembaga tersebut. Tetapi, bila semua sistem melakukan korupsi berarti dampaknya sebegitu besarnya yakni kehidupan masyarakat yang tidak pernah menemui situasi adil dan sejahtera.
Melalui pendekatan struktural, guna melawan mentalitas korupsi, sistem di Indonesia mesti diperbaiki. Sebagaimana Aristoteles katakan, “Polis yang baik akan memberi ruang bagi warganegaranya untuk berkembang.” Maka, seharusnyalah sistem kenegaraan Indonesia ditata dengan baik, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk korupsi tidak terjadi.
Setidaknya ada 4 hal yang akan saya ajukan sebagai saran konstruktif dalam menghadapi sistem yang korupsi. Pertama, perbaikan struktur di setiap lembaga-lembaga, entah milik pemerintah maupun privat. Di lembaga tersebut mesti ada aturan yang jelas, yang tidak memberikan kesempatan bagi siapapun atau pihak manapun untuk mencuri-curi kesempatan melakukan korupsi.
Kedua, penegakan hukum yang jelas dan tegas. Inilah sisi yang paling penting untuk diperhatikan, karena mau tidak mau meliputi semua sistem yang ada—dan tentu saja karena sistem hukum kita masih begitu lemah. Hukum seharusnya tegas, tidak bisa didikte oleh siapapun, bahkan oleh orang yang berduit sekalipun. Hukum juga mesti adil, siapa yang mesti dihukum dan seberapa besar vonis yang diberikan.
Ketiga, perjuangan penuntutan hak warganegara yang terus-menerus. Masyarakat sejahtera adalah harapan semua warganegara, dan merupakan kewajiban negara untuk merealisasikannya. Dengan penuntutan hak ini, pemerintahan selalu dimonitor dalam kinerjanya, wakil-wakil rakyat selalu diingatkan untuk setia dalam memperjuangkan aspirasi rakyat (bukan lebih mengutamakan kepentingan partai atau bahkan kepentingan mereka sendiri). Bentuk perjuangan ini beraneka ragam, bisa lewat demo ataupun lewat kritik-kritik entah secara langsung maupun lewat tulisan di media massa.
Dan keempat, perlunya keterbukaan pers. Pers semestinya memberikan informasi yang benar dan tidak pilih-pilih. Dengan demikian, masyarakat menjadi tahu akan masalah-masalah yang sedang berkembang di Indonesia, dan mampu menanggapi masalah tersebut dengan kritis.

5 Sempurna: Tanggungjawab Pribadi
Banyaknya kasus korupsi di negara kita sekali lagi bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun bisa jadi faktor ekonomilah yang merupakan alasan terkuat dan rasional. Kita perlu juga mencurigai seberapa jauh bangsa kita bermoral. Moral selalu berkaitan dengan hati nurani dan lebih bersifat personal. Dengan demikian, tindak korupsi sudah semestinya merupakan tindakan yang melawan hati nurani karena merugikan orang lain, membuat orang lain miskin dan kelaparan (“Miskin karena korupsi”, Kompas, 16 Maret 2004).
Bila korupsi bersinggungan dengan hati nurani, fenomena yang seharusnya kita lihat adalah ‘rasa malu’ bila ketahuan korupsi. Pada kenyataannya, banyak orang dengan terang-terangan melakukan korupsi. Sebagai contoh dalam kasus kecil yang biasa terjadi kalau kita mengurus KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat penting lainnya di Kelurahan. Jelas-jelas tertulis “Pembuatan KTP tidak dipungut biaya”, pada kenyataannya pegawai kelurahan meminta sejumlah uang untuk satu tanda tangan Pak Lurah dan Pak Camat.
Hati nurani yang tumpul juga terlihat dari alasan-alasan orang yang melakkukan korupsi. Pertama, korupsi sebagai tindakan bersama. Seperti telah disinggung di atas, korupsi yang melibatkan banyak pihak membuat tindakan itu seakan-akan sah-sah saja. Kedua, korupsi hanyalah sarana untuk mengembalikan modal awal. Seringkali terjadi ketika orang yang harus membayar berjuta-juta untuk menjadi pegawai negeri. Korupsi yang dilakukan orang-orang yang sudah mengeluarkan uang banyak tersebut bisa saja dirasa wajar karena toh itu hanya untuk mengembalikan modal mereka.
Kejadian di atas sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sehingga orang melakukannya dengan tanpa rasa malu. Karena hal seperti itu sudah biasa, masyarakat pun menjadi terbiasa dengan cara demikian. Masyarakat selalu akan menyiapakan ‘amplop’ khusus untuk petugas-petugas birokrasi bila berurusan dengan mereka. Di lahan inilah seakan-akan budaya malu menjadi tidak jelas.
Maka dari itu, kesadaran korupsi harus diberantas dengan memulainya dari diri kita sendiri. Kalau masalah korupsi adalah masalah kita bersama, sepantasnyalah kita bersama-sama memulainya dari diri kita sendiri. Seperti kata-kata bijak, “Kejahatan bukan hanya datang karena kehendak, tetapi juga karena kesempatan.” Itu seakan-akan ingin mengingatkan kita bahwa setiap dari kita rentan terhadap kejahatan (korupsi). Maka apa yang dikatakan Aristoteles sangat berarti, “Keutamaan diperoleh bukan semata-mata melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik.” Pernyataan Aristoteles ini sepertinya mau menyangkal pandangan yang mengatakan bila orang tahu, otomatis bisa melakukannya. Seperti kebanyakan dari kita, kita tahu korupsi merugikan banyak pihak (terlebih rakyat), tetapi mengapa kita tidak bisa menghentikannya? Mungkin karena kita tidak memiliki habitus ‘no corruption!’
Read more...

Saturday, November 15, 2008

Menyuarakan Perubahan

Sejak runtuhnya Orde Baru, kebebasan berpendapat dan menentukan pilihan di negeri ini semakin mendapatkan tempatnya. Bahkan tidak tertutup pula kemungkinan adanya ruang kebebasan menentukan pilihan untuk tidak memilih alias golput.
Melihat data pemilu-pemilu yang berlangsung selama 10 tahun terakhir ini, tampak bahwa pertambahan jumlah golput cukup signifikan. Ada benarnya jika banyak pihak memperkirakan golput akan meningkat lagi pada pemilu 2009. Mengapa bisa demikian?

Golput adalah sebuah simbol yang mewakili suatu keadaan riil di dalam perpolitikan suatu negara. Selama partai-partai yang ada tidak mampu menjamin dan menjawab tuntutan kebutuhan dasar masyarakat, maka semakin banyak pula masyarakat yang menjadi ragu untuk mendukung partai tersebut. Apalagi, jika partai itu pernah berkuasa dan kemudian masyarakat menilai partai itu gagal dalam kepemerintahannya, maka masyarakat menjadi skeptis pula untuk memilihnya kembali. Belum lagi jika hal tadi didukung dengan tidak adanya partai alternatif yang diyakini mampu menjawab aspirasi masyarakat.

Tidak adanya figur yang pantas dari daftar calon yang dipilih juga menambah alasan masyarakat untuk menjadi golput. Kepantasan calon pemimpin tergantung dari sejauhmana figur tersebut bisa diterima di hati masyarakat. Pemilihan Presiden Amerika Serikat baru-baru ini bisa menjadi sebuah contoh yang bagus untuk menggambarkan seorang calon pemimpin yang bisa diterima di hati masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat meningkat, dan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu juga lebih besar.
Namun, makna dari simbolisasi pilihan golput tidak hanya itu saja. Di balik skeptisisme masyarakat terhadap calon-calon pemimpin dan partai-partai yang ada, pilihan golput juga mengusung maksud mulia. Orang berani memilih golput karena mereka yakin bahwa sistem kepemerintahan yang berlangsung sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh dari harapan dan keinginan hati masyarakat. Oleh karena itu, golput berarti juga menandakan gerakan masyarakat yang menginginkan suatu perubahan. Semakin banyak orang yang memilih golput, maka semakin menjadi jelas bahwa perubahan itu perlu dilaksanakan dan sifatnya menjadi mutlak.
Permasalahan yang mendasar adalah bahwa golput adalah “partai” yang tidak punya partai, rakyat yang tidak punya wakil rakyat. Seperti nabi yang menyuarakan kritik di tengah hiruk pikuk kekacauan hidup umatnya, maka golput pun sebenarnya bermaksud senada. Mereka menyuarakan perubahan, tetapi seperti “anjing menggonggong kafilah berlalu,” berteriak tetapi tiada yang mendengarkan.
Maka dari itu, fenomena bertambahnya golput merupakan ladang yang subur bagi perkembangan demokrasi suatu negara. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dari kelompok inilah akan muncul calon-calon pemimpin yang mampu membawa perubahan, yang mampu membawa aspirasi rakyat, sekaligus mengusung partai-partai yang berani menjamin kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada masyarakat.
Bagaikan pedang bermata dua, golput menandakan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung, sekaligus gelombang positif dari masyarakat yang menginginkan perubahan. Bila mengharapkan peningkatan minat masyarakat untuk datang ke pemungutan suara, maka calon-calon pemimpin dan partai-partai harus berani menyuarakan perubahan. Semoga!***

Dom Octariano Widiantoro,
Mahasiswa Bacaloreat Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

-kompas yogya, 14 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/14/10373672/menyuarakan.perubahan.
Read more...

Saturday, November 8, 2008

Mumpung Jadi Pejabat

Sudah terlalu jengah kita mendengar pejabat negara menggunakan jurus aji mumpung ketika mereka sedang mengemban mandat dari negara. Entah mereka berasal dari pemerintahan daerah atau pemerintahan pusat, sama saja. Mereka seolah-olah mencari kesempatan dalam kesempitan. Kali ini pelakonnya adalah anggota KPU. Mereka rencananya akan melakukan supervisi dan sosialisasi Pemilu 2009 ke 14 kota di 5 benua, alih-alih sebenarnya hanya bermaksud jalan-jalan selagi mumpung jadi pejabat.

Menurut sejumlah anggota KPU, kunjungan yang akan dijalankan secara estafet ini sangat penting, dan karenanya harus dilaksanakan. Mereka beralasan bahwa kunjungan untuk sosialisasi ini tidak bisa diwakilkan oleh staf setjen KPU atau deplu dan bahkan tidak bisa dilakukan satu orang anggota KPU saja. Mereka yakin dengan hadirnya dua anggota KPU, mereka bisa saling melengkapi dalam menjelaskan detail-detail tentang pemilu.

Suatu hal yang aneh jika memang KPU memaksa diri untuk pergi. Dalam kondisi dan situasi yang cukup mendesak seperti sekarang ini, serta agenda persiapan pemilu yang menumpuk, semestinya KPU harus berani memilah dan memilih prioritas-prioritas. Sosialisasi pemilu ke luar negeri penting tetapi untuk saat ini bukanlah yang terpenting. Sejauh ini persiapan pemilu di dalam negeri justru mengkhawatirkan. Masih banyak persoalan yang masih perlu diperhatikan, antara lain daftar pemilih sementara (DPS), pengajuan calon legislatif, desain surat suara, dan masalah penyusunan kode etik penyelenggara pemilu (Kompas, 8 September). Tapi bila KPU tetap saja menutup mata dan mendengar seperti angin lalu persoalan-persoalan tadi, itu berarti mereka tidak bisa menentukan the priority among priorities.

Selain itu, rencana KPU untuk sosialisasi pemilu ke luar negeri kurang bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, mereka tidak siap. KPU berjanji akan menyelesaikan desain surat suara dan tatacara pemberian suara dalam 1 minggu. Padahal itu tidak mungkin. Persoalan surat suara membutuhkan simulasi dan jika KPU terburu-buru mengesahkan tanpa ujicoba langsung oleh masyarakat, maka akibatnya nanti pada saat hari-H pemilu, akan terjadi kebingungan dan kemungkinan akan banyak surat suara yang tidak sah. Kedua, cara mereka tidak efektif. Dari 14 kota yang akan dikunjungi, rata-rata jumlah pemilih warga Indonesia sangat sedikit. Di Cape Town, Afrika Selatan misalnya, jumlahnya hanya 52 orang. Sementara di Havana, Kuba malahan hanya 43 orang. Bahkan belum tentu semua warganegara Indonesia di negara itu bisa hadir pada saat sosialisasi, sebab berlangsung pada jam kerja. Jumlah itu jelas tidak sebanding dengan besarnya biaya perjalanan yang akan dikeluarkan oleh negara. Lebih baik, sosialisasi ini diserahkan kepada dubes atau konsul dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) negara setempat. Ketiga, anggaran yang dipakai untuk sosialisasi ke luar negeri ini tidak jelas dan tidak transparan. Bagaimana mungkin KPU tetap akan ngotot pergi, padahal dana sosialisasi pemilu di dalam negeri sendiri —prioritas yang lebih penting— malah belum ada.

Meskipun KPU punya legitimasi hukum untuk membenarkan rencana mereka pergi menyosialisasikan pemilu keluar negeri, kerancuan-kerancuan di atas sudah cukup menunjukkan tindakan mereka sebenarnya hanyalah aji mumpung belaka. Ketidaksiapan, ketidakefektifan, ketidakmampuan memilih prioritas jelas di sini menunjukkan yang penting bagi mereka ke luar negeri bukanlah sosialisasinya, tetapi jalan-jalannya. Seperti peribahasa berbunyi “Lain galang, lain perahu yang disorong”, berlainan perbuatan daripada tujuannya.

Tetapi memang cara seperti inilah yang mungkin paling aman dilakukan pejabat pemerintah —seperti KPU— untuk menggunakan anggaran belanja tanpa dituding korupsi. Dalihnya sosialisasi pemilu, dalihnya studi banding tetapi ternyata maksud sesungguhnya (intentio recta) tak pernah kesampaian. Sungguh ironis. Di tengah-tengah usaha kita dalam memperbaiki sistem kepemerintahan, ternyata masih ada saja segelintir orang yang coba-coba mengkhianatinya. Lagi-lagi ya karena mentalitas itu tadi, khan mumpung jadi pejabat!***

Read more...

Sunday, November 2, 2008

Deindividuasi dan Tanggungjawab Hukum

Ibarat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, peluang sekecil apapun pastilah akan digunakan oleh orang yang terkena masalah hukum untuk bebas dari hukum itu, termasuk jika peluang itu terlihat lewat cara mendekati aparat penegak hukum.
Kasus kaburnya seorang koruptor kelas kakap yang disebabkan oleh longgarnya hukum dan adanya konspirasi dari penegak hukum menjadi gambaran betapa buruknya kondisi hukum di Indonesia saat ini. Hal ini semakin diperparah oleh tindakan para penegak hukum sendiri, yang terkesan saling lempar tanggungjawab atas pengusutan kasus tersebut. Padahal, kalau ada semangat kebersamaan yang bertanggungjawab di antara penegak hukum, kecil kemungkinan koruptor bisa kabur. Maka benarlah ucapan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, “….supaya koruptor tidak bisa kabur, pengadilan, kejaksaan, kepolisian jangan suka penangguhan.”

Deindividuasi
Membuka ruang konspirasi, yang lebih dikenal dengan istilah sogokan, terhadap koruptor untuk kabur adalah fenomena penegasan yang membuktikan kurangnya tanggungjawab para penegak hukum terhadap peran yang dipercayakan padanya. Sedangkan tindakan saling melempar tanggungjawab antar penegak hukum lantaran kaburnya seorang koruptor, adalah upaya mereka untuk “cuci tangan” atau mau menghindar dari keburukan tersebut. Lalu siapakah yang mesti bertangungjawab?
Kondisi lemahnya tanggungjawab ini menandakan sebuah gejala deindividuasi dalam kesadaran hukum kita. Deindividuasi adalah hilangnya tanggungjawab pribadi yang menjadikan kepedulian seseorang berkurang terhadap akibat-akibat dari tindakan-tindakannya (Zimbardo, 1970). Akibatnya, seseorang menjadi lemah dalam kesadaran diri untuk melakukan suatu kewajiban moral ataupun hukum. Padahal tanggungjawab hukum bukanlah beban segelintir orang saja, melainkan segenap individu dengan segala tugas dan kedudukan yang diampunya.
Gejala deindividuasi di dalam tubuh penegak hukum mengakibatkan lembaga ini tidak berjalan dengan efektif sebagaimana mestinya. Hukum yang seharusnya ditegakkan sebaliknya malahan dicampakkan. Koruptor yang semestinya dihukum dan dipenjara, malah bisa bebas dengan status tidak bersalah. Keadilan yang semestinya diutamakan dan dijunjung tinggi, malahan ditelantarkan. Maka, jangan kaget jika hukum kita ternyata bisa dihargai dengan sepeser uang.

Anonimitas Pelaku
Faktor kunci dalam deindividuasi adalah anonimitas (Forsyth, 1990). Apa saja yang membuat seseorang menjadi kurang dapat dikenali secara pribadi dapat meningkatkan efek deindividuasi. Makin anonim seseorang, makin berkurang tanggungjawab mereka atas tindakan-tindakan mereka. Akibatnya, anonimitas mendorong terbentuknya tingkahlaku yang tidak bertanggungjawab.
Dengan anominitas pada dirinya, seorang aparat hukum berani berkonspirasi, dengan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang semestinya harus ia kerjakan. Sebaliknya, ia justru berani menerima tawaran untuk bersekongkol, yang tentunya berujung pada sebuah imbalan harga yang layak atas “jasanya” itu. Selanjutnya, anonimitas membuat aparat hukum lepas tangan atas tindakan “buruk” yang dilakukannya itu. Cirinya sangat jelas, yaitu upaya lempar-melempar tanggungjawab. Padahal tanggungjawab itu sebenarnya adalah tanggungan mereka sendiri. Anonimitas menciptakan kekaburan tanggung jawab yang membuat seseorang tidak merasa bersalah atas perbuatan salah yang telah dilakukannya.

Reformasi Menyeluruh
Memang patut disayangkan bahwa di tengah-tengah upaya pemerintah negeri kita untuk semakin memajukan kualitas penegakan hukum, gejala deindividuasi ini masih membudaya. Maraknya pemberitaan di media massa yang menyorot soal koruptor yang dinyatakan bebas tak bersalah tersebut, menunjukkan sebuah realitas yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, persoalan besar itu tidak hanya berdampak di masa sekarang, tetapi dampaknya akan merambat hingga ke masa depan. Kini kita sadar bahwa ada persoalan lain dari lemahnya hukum kita, yaitu sikap deindividuasi ini.
Dalam kesadaran adanya bahaya akibat deindividuasi tersebut, kiranya tidak bijak jika kita menumpahkan semua kesalahan hanya penegak hukum yang melakukan konspirasi itu. Sebab persoalan tanggungjawab hukum bukan hanya sebatas pada penegak hukum saja. Persoalan itu adalah sebuah fenomena gunung es dari kesadaran hukum kita. Gejala deindividuasi sebenarnya lebih meluas dalam masyarakat kita. Kita cenderung begitu mudah untuk tidak bertanggungjawab dan bersikap permisif terhadap kejahatan yang terjadi di depan mata kita. Kita lebih banyak bertindak mengambil jarak dan menempatkan diri dalam posisi aman untuk lepas tangan dari kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya kita tuntaskan bersama itu.
Maka, menjadi semakin jelas bahwa gejala deindividuasi yang mencuat di negeri kita ini, harus dibongkar. Tanggungjawab hukum adalah tanggungjawab bersama semua orang yang mengharapkan sebuah kenyataan hukum yang adil.
Anonimitas tidak jauh beda dari sebuah topeng. Kita sebagai bangsa tentunya tidak mau menjadi bangsa yang tidak punya identitas.
Sekalipun pembongkaran deindividuasi ini lebih banyak dituntut realisasinya pada lembaga penegak hukum kita, tetapi bila kita benar-benar mengharapkan bangsa yang menjunjung tinggi hukum, semestinyalah semua elemen masyarakat ikut serta melakukan reformasi diri. Kita tentu akan semakin bangga menjadi bangsa yang memiliki identitas.
Read more...

Tuesday, October 28, 2008

Kontroversi Hukuman Mati dan Tantangan Etisnya

Masalah hukuman mati sudah didiskusikan di banyak negara oleh para ahli hukum, filsuf, teolog dan para ilmuwan sosial. Dari semua diskusi itu, pertanyaan pokoknya tetap sama: apakah hukuman mati diperbolehkan. Pertanyaan ini bersifat moral. Oleh karena itu, cukup menarik bagi kelompok kami untuk menelusuri lebih jauh dan mendiskusikannya.

Historisitas Pidana Hukuman Mati
Jejak hukuman mati dapat kita telusuri sampai ke tradisi yang sangat kuno. Dalam umat Ibrani kuno ada hukum yang dikenal sebagai hukum Hammurabi. Isi pokok hukum ini menyebutkan bahwa suatu kerugian harus ditebus dengan denda atau retribusi yang sama nilainya: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, hukum ini menerapkan hukuman mati secara tidak pandang bulu. Cara eksekusi yang paling lazim adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Masyarakat Yunani kuno pun mempraktekkan hukuman mati. Kasus Sokrates yang dieksekusi dengan minuman racun adalah salah satu buktinya. Sokrates dihukum mati dengan tuduhan mempraktekkan agama baru dan ajarannya berpengaruh buruk terhadap kaum muda sezamannnya. Dari catatan Plato yang berjudul Euthyphron kita mengetahui bahwa menolak dan menghina dewa yang umum disembah oleh masyarakat suatu polis merupakan bentuk ketidaksalehan dan diancam dengan hukuman mati.

Di Inggris dalam abad ke-13 semua jenis kejahatan tanpa pandang bulu diancam dengan hukuman mati, kecuali kecurangan ringan dan pencurian barang-barang yang tak seberapa merugikan. Hukuman yang berat ini agaknya berhasil menurunkan jumlah kejahatan. Sepanjang abad ke-15, misalnya, tercatat hanya 17 eksekusi mati.
Di Indonesia sendiri hukuman mati masih diakui oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 140 (3) menyatakan: “Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Sedangkan pasal 340 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Pasal-pasal tentang pidana mati tersebut dan juga seluruh KUHP sebenarnya merupakan terjemahan dari kita hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1918. Padahal, di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.


Etiskah hukuman mati itu?
Perdebatan etiskah hukuman mati adalah perdebatan yang terjadi di antara aliran utilitarianisme-retributivisme dan aliran abolisionisme. Aliran utilitarianisme memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di masa depan dari suatu hukuman. Teori ini sebetulnya merupakan bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya. Hukuman sebagai suatu tindakan kepada seorang penjahat dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena terhukum terbukti bersalah melawan hukum, melainkan karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum, korban dan juga orang-orang lain dalam masyarakat. Misalnya, secara positif hukuman dapat membuat jera si terhukum sehingga kelak tidak pernah akan mengulangi kesalahannya; hukuman dapat meredakan perasaan balas dendam pada si korban dan keluarganya; dan hukuman dapat berfungsi sebagai penangkal kejahatan dalam masyarakat. Bila hukuman mati dikenakan pada si terhukum, maka hukuman ini berfungsi preventif ke depan. Maksudnya hukuman ini efektif untuk penjahat-penjahat yang lain; membuat rasa takut (efek penjeraan) untuk melakukan perbuatan yang sama, dan menangkal (efek penangkalan) terjadinya kejahatan yang sama.
Sebaliknya aliran retributivisme mencari pendasaran hukuman dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut teori ini, hukuman diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya. Dengan kata lain, pertimbangan moralnya terletak pada perihal keadilan suatu hukuman. Artinya secara moral suatu hukuman dapat dibenarkan hanya sejauh hukuman itu ditakar sebagai retribusi terhadap kesalahan sudah terbukti. Setiap orang yang sudah terbukti kesalahannya layak dihukum adalah suatu hal yang adil dan karena itu dibenarkan untuk dihukum. Kesalahan yang sudah dibuktikan secara legal merupakan satu-satunya dasar mengapa lembaga negara berhak dan berkewajiban menghukumnya. Keadilan di sini berarti hukuman harus seimbang dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Dua tokoh yang berpengaruh dalam aliran retributivisme adalah Kant dan Hegel. Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut: “Hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karea si individu terhukum terbukti melakukan suatu kejahatan.” Sedangkan Hegel menganggap hukuman sebagai ekspresi General Will. Bagi Hegel bertindak melawan hukum berarti menentang General Will (= kehendak bebas yang sejati dan “absolut” dari si subyek). Hanya, dalam tindakan jahatnya, kehendak bebas sejati itu dilawan dan dikalahkan oleh kebebasan arbitrer. Jadi tindakan kejahatan pada dasarnya tidak saja melukai dan menyengsarakan orang lain (korban), tidak saja hanya menentang general will dan secara tak langsung berarti juga memperlakukan orang lain (masyarakat) secara tidak benar, tetapi juga menentang general will dalam diri si pelaku sendiri dan melukainya. Maka, hukuman dibenarkan tidak saja demi pemulihan si korban dan hukum yang sudah dilanggar, tapi juga demi kepentingan si pelaku sendiri.
Dari kedua aliran ini muncul pertanyaan apakah melalui ancaman hukuman mati dan dengan jenis hukuman ini, kejahatan-kejahatan kriminal yang paling serius dapat ditangkal secara efektif? Pertanyaan ini menjadi bagian dari umpan balik dari kaum abolisionis yang memandang tinggi martabat manusia. Bagi mereka hukuman mati selalu dianggap sebagai suatu kontroversi. Betapa tidak, dalam hukum yang sama, dipatok baik larangan membunuh maupun perintah hukuman mati. Lepas dari sistem hukum yang berlaku, dewasa ini ada semacam pandangan umum bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Argumen abolisionis yang menentang hukuman mati adalah pandangannya mengenai hak untuk hidup. Hukuman mati tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hak untuk hidup yaitu hak yang paling fundamental, absolut dan luhur yang dimiliki oleh setiap manusia dan karena itu harus dihargai bahkan pada seorang pembunuh. Argumen kedua menentang pandangan utilitarian bahwa hukuman mati sebagai bentuk penjeraan tidaklah efektif. Bagaimana mungkin orang yang mati karena dihukum mati akan menjadi jera karena kematian itu sendiri memutuskan kesadaran untuk menjadi jera. Tapi bila hukuman itu diganti dengan hukuman seumur hidup tentu saja aspek penjeraan akan menjadi efektif. Argumen yang lain, hukuman mati sama sekali bertentangan dengan pengakuan terhadap keluhuran hidup manusia. Artinya suatu kehidupan yang bernilai begitu tinggi tidak patut dipakai sebagai sarana penjeraan ataupun sebagai retribusi. Apalagi dalam hal ini nilai hidup kalah daripada nilai penjeraan. Maka dari itu argumen kaum abolisionis inilah yang bisa dipakai untuk menentang hukuman mati.

Studi kasus: Hukuman mati bagi aktor utama peristiwa bom Bali
Sekarang kita melihat ke salah satu contoh yang paling konkret, yakni kasus bom Bali. Beberapa waktu lalu sudah diputuskan bahwa ada 3 pelaku utama pengeboman yang dihukum mati, yakni Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron. Permasalahannya sekarang tidak hanya berkaitan dengan kontroversi hukuman mati itu etis atau tidak, tetapi juga nilai-nilai agamis yang dipegang oleh pelaku. Tetapi, untuk membatasi pembahasan kasus ini, motivasi Amrozi yang bersifat agamis tersebut tidak akan dibahas secara mendetail.
Pertama, dalam kasus ini kita mencermati dan mengkritisi bagaimana hukuman mati dijalankan (proses eksekusi) oleh aparat dimana negara Indonesia menerapkan eksekusi tembak mati. Hukuman ini berlangsung secara tertutup. Bila proses eksekusi ini diterapkan kepada para pelaku bom Bali yang dipidana hukuman mati, kita mempertanyakan sudut utilitariannya. Apakah fungsi penjeraan (utilitarian) akan efektif dengan model eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan secara tertutup? Di banyak negara yang menggunakan hukuman mati, fungsi penjeraan berjalan secara efektif karena dilaksanakan di muka umum, tetapi di Indonesia tidak.
Bila dikaitkan dengan kelompok Amrozi cs yang masih berkeliaran dan suatu waktu akan memanfaatkan suatu momen yang sama demi nilai-nilai yang dihayatinya belum tentu juga akan menjadi takut dan jera untuk tidak melakukan pengeboman. Mengapa? Karena menurut anggapan mereka hukuman mati sudah barang tentu jalan untuk bertemu Tuhan. Jadi bagi mereka hukuman mati itu sendiri tidak mempunyai efek penjeraan dan menakutkan.
Kedua, ditinjau dari sudut retributivisme. Hukuman mati yang dijatuhkan adalah suatu tindakan adil karena sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Tapi kompensasi keadilan ini tetap tidaklah adil karena kita sendiri (masyarakat) yang membuat larangan jangan membunuh justru melakukan pembunuhan dengan dasar hukum (dilegalkan). Ini menunjukkan suatu kontradiksi dalam teori retribusi.
Ketiga, kembali ke teori hukum kodrat, yang dikuatkan oleh kaum abolisionis. Kalau memang hukuman mati yang dijatuhkan kepada Amrozi dkk itu adalah adil, apakah dengan demikian nilai adil lebih tinggi dari nilai kehidupan. Tentu saja, nilai hidup lebih tinggi di atas segala-galanya. Dan sudah sepantasnyalah kalau hukum-hukum yang ada dibuat berdasarkan nilai moral.

Kesimpulan
Dengan segala pertimbangan, argumentasi dan analisis yang sudah dibuat, baik yang pro maupun yang kontra, dari sudut pandang etika, hukuman mati bukanlah suatu tindakan etis apalagi dikatakan bermoral. Justru dengan memberikan kesempatan hidup bagi terpidana bom Bali misalnya dengan menjatuhi mereka hukuman penjara, maka poin-poin yang diajukan berbagai paham etika yang berkaitan seperti hukum kodrat, utilitarian, maupun retributif akan terwakili/terjawab. Mengapa? Karena pada dasarnya manusia itu dinamis. Dalam masa menjalani pidana penjara ada kemungkinan di mana terdakwa sadar (jera) akan perbuatannya setelah diberi kesempatan untuk berpikir/berefleksi ulang atas tindakannya. Dia akan mengoreksi tindakannya sebagai suatu kesalahan. Lebih jauh putusan menjatuhi hukuman penjara dan bukan hukuman mati adalah suatu putusan yang adil, karena ini menunjukkan kita (masyarakat) konsisten dengan larangan untuk membunuh. Maka dari itu, sikap penolakan terhadap hukuman mati bagi para pelaku pengeboman/pembunuhan tersebut menunjukkan konsistensi pandangan etika karena lebih rasional, objektif dan universal; apalagi siapakah sebenarnya yang punya kuasa kehidupan, kecuali Sang Kehidupan itu sendiri.
Sebagai catatan tambahan, bila ternyata ada beberapa pihak merasa dirugikan dengan tidak dihukum matinya Amrozi cs (misalnya pihak Australia karena banyak korban adalah warga negara Australia), kami akan bertanya apakah kerugian itu bisa menjawab persoalan hukuman mati sendiri (karena hukuman mati justru tidak akan menebus/mengembalikan kerugian nyawa yang menjadi korban, kecuali malahan menambah korban). Selain itu, bila hukuman mati jadi dilaksanakan sehingga pihak tertentu (misalnya keluarga dari para korban) merasa puas, apakah dengan demikian ‘rasa puas’ itu menjadi tindakan yang pantas dan etis?
Read more...

Saturday, October 4, 2008

Humanisme dan Komputerisasi


Pada Mei 1997, dunia tersentak ketika Deeper Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak dan dengan melihat hasil yang demikian, pada saat itu juga, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.

Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jaringan teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat ISAAC (Software yang mengendalikan mesin-mesin pengganti pekerjaan-pekerjaan fisik di dalam kantor, misalnya mengawasi setiap orang masuk, melayani konsumsi bagi para pegawai kantor, mengatur temperatur ruangan, dsb.) yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi akan banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer. Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih.
Selanjutnya, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya diklik saja maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia itu yang kadang sulit diukur, karena ini akan berdampak lebih jauh pada segi humanisme manusia. Maka dari itu, akan muncul pertanyaan yang lebih detail lagi untuk mendalami permasalahan ini: Siapakah manusia saat ini di tengah-tengah dunia maya ini?
Mengenai teknologi sendiri, kita tidak perlu mempertanyakan lagi perkembangannya sejak awal, karena memang membicarakan teknologi sebenarnya bukanlah suatu yang asing lagi. Sejak zaman manusia purba pun teknologi sudah ada. Benda teknologis pertama adalah alat-alat batu yang digunakan untuk berburu. Pada waktu itu teknologi adalah perpanjangan diri dari manusia atau dengan kata lain hanyalah sebagai objek sekunder saja, sedangkan objek utamanya adalah dunia yang manusia hadapi.
Seiring dengan waktu yang terus bergulir, ilmu pengetahuan semakin berkembang. Puncaknya terjadi pada abad ke-17 di mana di Eropa Barat terjadi percepatan (revolusi) ilmu pengetahuan. Para pemikir mendorong terjadi percepatan itu yakni melalui cara pendekatan yang sama sekali baru mengenai masalah-masalah manusia, yaitu rasionalisme-empirisme. Francis Bacon menganjurkan agar setiap pengetahuan manusia menggarisbawahi manfaatnya guna meringankan beban kehidupan. Ide ini akhirnya melahirkan eksperimen-eksperimen ilmiah, yang hasilnya diterapkan dalam teknologi. Descartes juga menganjurkan metode eksperimen, yaitu pengamatan yang eksak dan objektif terhadap tingkah laku benda. Ini berarti diadakan pengukuran secara matematis. Paham baru ini merupakan sentakan terhadap alam pemikiran abad pertengahan yang masih tradisional. Berkembanglah secara pesat ilmu pengetahuan alam, ilmu pesawat dan ilmu pasti.
Sekitar tahun 1970 mulai berkembanglah teknologi komputer. Perkembangannya begitu pesat. Dunia menjadi terkomputerisasi. Mengapa ini bisa terjadi? Ternyata evolusi komputer sangatlah cepat dibandingkan dengan evolusi alami yang dilewati manusia (selama ribuan tahun). Evolusi komputer tidak perlu memakan waktu ribuan tahun. Bahkan untuk menaklukkan Kasparov pada pertandingan ulang komputer Deep Blue tidak perlu menunggu ratusan tahun, karena program yang lama hanya membutuhkan 1 tahun untuk meningkatkan daya kerjanya.
Sebagai kerangka lanjut tulisan ini, penulis akan lebih menyoroti komputerisasi dalam pengaruhnya terhadap humanisme dengan berpijak pada pertanyaan siapakah manusia di tengah-tengah dunia maya (komputer) ini?

Artificial Intelligence
Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Bila otak manusia sungguh-sungguh merupakan jaringan neuron beserta sel-selnya, neuron dalam perangkat ini adalah sejenis silikon. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead (1995), perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.
Lebih lanjut dikatakan Gates bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja. Sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi, dan Robot (GNR).

Siapakah Kita di Dunia Maya ini?
Pesatnya teknologi terutama berkembanganya komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar memuja-muja teknologi tersebut.
Contoh yang sangat real adalah bagaimana mengukur sebuah kemakmuran suatu negara. Untuk mengukur hal tersebut parameterya adalah seberapa besar perkembangan teknologinya. Suka atau tidak, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa, lebih-lebih sekarang ini. Keterbelakangan sebuah bangsa juga bisa diukur dari tingkat kemajuan teknologinya. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Neil Postman dalam bukunya Technopoly, setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Di sinilah manusia justru didikte oleh teknologi.
Selain bencana yang mengancam itu, teknologi yang dipengaruhi komputer dan terutama mewujud dalam sistem roboter mulai dipertanyakan. Hubungan antar manusia dan teknologi komputer serta robot akan berkembang mengalami dunianya. Menurut arsitek dan ahli fisika Stefan Themerson dunia manusia akan membentuk dunia mesin ultrainteligen. Program komputer kelak mampu belajar, mengubah diri, menyesuaikan diri dengan keadaan yang berganti-ganti.
Tidak perlu menunggu kelak, sekarang sudah ada chips yang bisa menggantikan anggota tubuh yang hilang. Semisal ada orang yang kecelakaan dan kehilangan kaki kanannya. Dia bisa mengganti kaki kanannya dengan kaki palsu sekaligus terdapat chips ini. Kaki yang baru ini akan bekerja seperti kaki yang lama dan chips ini bisa beradaptasi dengan kehendak pemakainya.
Dalam era teknologi juga dikenal istilah manusia bionik. Manusia bionik tentu saja memiliki artificial intelligence. Manusia jenis ini adalah robot yang seluruh bagian tubuhnya terdiri dari chips-chips dan berfungsi seperti anggota tubuh pada manusia biasa. Bahkan dari sudut penampilan, manusia ini hampir tidak ada bedanya dengan manusia biasa.
Bila akhirnya manusia bionik ini dikembangkan, akan muncul pertanyaan apa itu kematian? Pertanyaan ini muncul karena manusia bionik tidak mengenal kematian. Bahkan, manusia bionik ketika dibentuk dengan postur anak-anak, selamanya akan tetap anak-anak dan tidak akan berubah.
Akhirnya siapakah kita di dunia maya ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan begitu saja disamakan antara manusia dan komputer. Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin, padahal kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja. Sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Dengan demikian sebenarnya komputer memutuskan dan menentukan hanya sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria.
Laureate Gerald Edelman, seorang pemenang hadiah Nobel menyatakan bahwa otak manusia tidak sama seperti komputer. Otak manusia terdiri dari jutaan jaringan neurosis yang sangat berbeda dengan komputer. Pada pertandingan catur antara manusia versus mesin, di dalam Deeper Blue ditemukan batas hitam. Sesuai dengan algoritma, komputer ini bisa mengkalkulasi 6 sampai 8 langkah ke depan. Masalahnya adalah komputer ini menggerakkan buah catur hanya berfokus pada 6 sampai 8 gerakan ke depan tersebut, dan sulit untuk mengubah keputusan dalam waktu yang singkat. Tapi kita manusia bisa memainkan catur dengan penuh strategi bahkan bisa merasakan bahaya sebelum bahaya tersebut terjadi. Dalam pertarungan itu, tidak ada banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya Deeper Blue mengalami 3 kali kerusakan.
Lebih jauh lagi, sebenarnya, permasalahan humanisme ini terletak pada manusianya sendiri. Kira-kira 60 % penduduk dunia mengalami sakit mental. Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Berhadapan dengan teknologi komputerisasi yang begitu cepat berkembang, penyakit malas ini menempatkan manusia sebagai objek dari teknologi tersebut.

Mengambil Sikap atas Komputerisasi
Setelah melihat posisi kita di dunia maya tersebut, kita mempunyai tugas untuk mempersiapkan generasi kita selanjutnya agar berani menghadapi dunia yang semakin dipenuhi teknologi canggih. Faktor terpenting dalam persiapan ini adalah pendidikan mengenai teknologi yang diadakan di sekolah. Saat ini, teknologi lebih esensial dibandingkan biologi, kimia dan fisika.
Menurut pendapat pada umumnya, teknologi mempunyai fungsi instrumental. Teknologi dipandang sebagai sarana yang digunakan manusia. Tetapi menurut Heidegger, kita berada dalam suatu situasi yang mengherankan, karena apa yang dirancang manusia sebagai sarana untuk menguasai dunia, menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malahan tidak dapat dikuasai. Anehnya, apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang menguasai manusia. Dalam pemikiran ini, Heidegger tidak bersikap negatif terhadap teknologi. Ia tidak menolak apalagi mengutuk teknologi modern. Ia tidak anti pun juga tidak pro. Ia mencoba mengerti keadaan di mana manusia berada. Namun ia melihat suatu bahaya bahwa manusia akan kehilangan hakekatnya, sebab hakekat manusia adalah keterarahannya pada ketidaktersembunyian.
Inilah yang dapat diterapkan dalam pendidikan bagi generasi kita. Dalam studi tentang teknologi, kita mesti menyadari hakekat kita, yakni keterarahan kita pada realitas kita. Kita merancang teknologi bukan dengan maksud teknologi memperbudak kita dan membuat malas diri kita tetapi teknologi dibuat untuk membantu kita.
Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang menurut kodratnya mendambakan kebahagiaan. Dalam era teknologi ini, pemenuhan kebutuhan kebahagiaan itu terpenuhi oleh adanya mesin-mesin teknologi. Mesin-mesin ini adalah instrumentalisasi yang merupakan suatu istilah kunci. Mula-mula teknologi ini hanya dipraktekkan dalam hubungan dengan alam saja, tetapi lama kelamaan diterapkan juga pada manusia dan seluruh lapangan sosial. Bukan saja benda-benda dan alam diperalat serta dimanipulasikan, tetapi hal yang sama berlangsung juga di seluruh wilayah politik, sosial dan kultural.
Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Marcuse dewasa ini, sistem totaliter bukan berasal dari sesama manusia seperti pada zaman perbudakan. Sistem totaliter justru berasal dari teknologi. Dengan kata lain teknologi sama sekali bukan merupakan sesuatu yang netral, bukan merupakan suatu wilayah yang bebas nilai. Sejauh teknologi memungkinkan kemajuan di bidang sosial-ekonomis, memenuhi kebutuhan manusia, menyenangkan, meringankan dan mengurangi pekerjaan, maka sejauh itu pulalah sikap kritis manusia menciut.
Dalam menyikapi penyakit-penyakit yang dialami manusia seperti di atas dalam menghadapi teknologi pertama-tama Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern sebagai sesuatu yang merugikan atau tidak berguna. Ia tidak mau kembali pada keadaan zaman pra-teknologi. Basis teknologi tetap perlu bagi masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif.
Maka dari itu pembelajaran yang diterapkan pada generasi yang akan datang ditambahkan oleh Marcuse dalam kaitannya dengan masyarakat. Kita tahu sejauh mana dampak negatif teknologi terhadap masyarakat kita, di mana kita menjadi tidak perhatian lagi dengan sesama kita. Kompetisi yang ditimbulkan oleh teknolgi membuat dunia hanya sebatas diri kita saja. Dengan mengubah teknologi menjadi kualitatif mengajak kita untuk memperhatikan kualitas masyarakat kita. Dunia kita ini milik kita bersama bukan milik orang per orangan, maka perlu kita jaga bersama.

Kata Akhir
Sebagai kata akhir untuk menjawab siapakah kita dalam dunia maya dari sudut pandang kita harus mulai dengan menentukan kegiatan-kegiatan manusia dan menggarisbawahi bagaimana kegiatan-kegiatan itu bersifat khas manusia sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan mesin.
Ciri khas manusia adalah asimilasi. Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Mesin pada saat tertentu konstruksinya juga dapat memperlengkapi dirinya, namun hal ini tidak dilakukan melalui asimilasi materi. Bagian-bagian yang melengkapinya, seperti juga bagian-bagian yang sudah dipakai untuk menyusunnya tetap berada di luar dan asing satu sama lain. Bagian-bagian itu tidak diubah menjadi satu substansi yang unik, tidak pula diasimilasikan lewat subjek, karena mesin bukan substansi dan bukan pula subjek. Mesin bukan suatu “ada” yang berkembang dari dalam, tetapi suatu yang melengkapi dirinya dari luar; bukan suatu keseluruhan natural, melainkan suatu kesuluruhan artifisial.
Selain membentuk dan mengembangkan dirinya, manusia juga dapat memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya. Dan dia mengerjakan itu dari substansinya sendiri, dari dalamnya sendiri, dari apa yang dibuat oleh organismenya sendiri. Sebaliknya, tidaklah demikian dengan mesin, karena mesin mengganti bagian-bagian yang rusak dengan bagian-bagian yang sama, yang diambilnya dari luar. Sebab mesin tidak mempunyai interioritas, meskipun dia memiliki sesuatu yang bisa dikatakan “bagian dalam”.
Manusia mempunyai suatu kemampuan lagi yang luar biasa, yaitu: mereproduksikan dan melipatgandakan dirinya, membuat dalam dirinya bibit atau tunas yang akan menjadi suatu mahluk hidup baru, suatu mahluk yang akan menjadi gambarannya, dan menjadi penerus spesiesnya. Sebuah mesin juga dapat menyusun mesin-mesin lain menurut model yang dipergunakan untuk menyusun dirinya sendiri, tetapi dia tidak membuat mereka dari substansinya sendiri. Orang tidak akan mengatakan bahwa mesin-mesin baru itu merupakan keturunan dari mesin lama, atau lahir dari “ada”-nya mesin yang pertama. Mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, jadi tidak akan bisa membuat apa yang disebut keturunan yang sesungguhnya. Dia hanya mengumpulkan materi-materi yang ditemukan di luar dirinya, untuk membuat keseluruhan-keseluruhan artifisial, yang bagian-bagiannya tetap asing satu sama lain, juga sesudah dikumpulkan. Karena mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, maka dia tidak bisa mengeluarkan dari dirinya suatu “ada” lain yang serupa dengannya dan yang benar-benar berotonomi.
Lebih lanjut lagi, manusia tak hanya mengembangkan, memperbaiki dan memproduksikan dirinya. Dia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Mesin kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa apa yang mengganggunya, mesin akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali. Seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalananya untuk mencapai dengan pasti tujuan ke manapun mereka diluncurkan. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka. Yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan trampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain ialah manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan, walaupun akhirnya pekerjaan yang dilakuakan oleh mesin-mesin akan lebih baik dibandingkan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia
Read more...

Wednesday, October 1, 2008

"Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta "


Berisi Refleksi Mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta
yang berusaha meretas perbedaan menjalin kerja sama Lintas iman.
Sebuah buku inspiratif yang menggerakkan orang muda untuk bersatu
menata kehidupan masyarakat agar lebih damai, sejahtera dan bahagia.
Tertarik untuk mendapatkannya!!! Hub: didikedu@gmail.com

Harga buku
Rp. 23.000,00
ongkos kirim Rp. 9000,00 (khusus P. Jawa)
Read more...

Tuesday, September 30, 2008

Indonesia dalam Pola Pikir Mitos dan Realitas


Memahami Mitos dan Realitas
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dan bermacam ragam suku bangsa. Dibandingkan dengan banyak negara lain yang tidak memiliki keanekaragaman seperti ini, tentu saja letak geografis dan pluralitas penduduk telah cukup membedakan Indonesia di tengah-tengah dunia. Namun, sebagai bangsa manusia, bangsa Indonesia sama dengan bangsa lain, yakni dalam mengalami proses peradaban. Kesamaan proses peradaban itu terletak pada cara pola pikir yang pada mulanya berdasarkan mitos. Mengapa demikian?

Di dalam mitos, manusia dekat dengan daya kekuatan alam, di mana manusia tinggal di dalamnya. Nenek moyang kita atau manusia pertama, kalau boleh dikatakan demikian (tetapi bisa juga manusia zaman ini—kalau masih melakukannya juga), bertanya-tanya dari mana dunia kita ini, dari mana kejadian-kejadian di dalam alam, apa sebab matahari terbit dan terbenam lagi? Dan mitos menjawabnya. Dengan kata lain, sebenarnya, mitos ingin memberikan pedoman dan arah tertentu kepada perilaku manusia, dan merupakan semacam pedoman untuk bertindak bijaksana. Akhirnya, lewat mitos, manusia dapat mengambil bagian dalam kejadian-kejadian di sekitarnya, dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam itu. Keterangan di atas paling sedikit telah menunjukkan bahwa mitos adalah suatu usaha percobaan manusia untuk mengerti kejadian-kejadian di alam.
Pola pikir berdasarkan mitos mengajak manusia untuk berkembang melalui tahap-tahap peradabannya dari menemukan sesuatu yang asing menuju ke sesuatu yang dikenal. Ini adalah suatu hal yang dapat kita katakan sebagai pola kemanusiawian biasa. Implikasinya, berpikir berdasarkan mitos adalah suatu bakat manusiawi, tidak bisa kita hindari. Demikianlah yang dialami oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia, walaupun dapat dipergunjingkan lagi ketika perilaku semacam ini masih bertahan sampai sekarang.
Kuntowijoyo dalam artikelnya Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, menunjukkan dan mempergunjingkan pola pikir berdasarkan mitos. Dia melihat bahwa perilaku ini adalah suatu khurafat nasional yang tidak mampu menghadapi keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum, di mana ketiganya dalam posisi sebagai realitas bangsa—dilawankan dengan mitos. Terlepas dari adanya sisi positif di dalam pola pikir berdasarkan mitos itu (sedikit sudah diungkapkan pada paragraf sebelumnya), salah satunya terkait dengan kemanusiawian kita, kita dapat mulai memahami tulisan budayawan yang satu ini.
Pantas disadari bahwa dalam dunia mitos, manusia belum merupakan seorang individu (subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan ajaib, seolah-olah dia diresapi oleh roh-roh dan daya-daya dari luar. Percobaan untuk mengerti tentang alam baru sekedar luarannya saja. Dengan demikian tampak bahwa belum ada batasan yang jelas antara manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek. Titik kelemahan inilah yang sebenarnya mempengaruhi pola pikir umum bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang masih berpola pikir berdasarkan mitos. Dan yang paling bahaya kalau itu mempengaruhi eksekutif negara, yang notabene akan sangat berpengaruh pada pengelolaan negara. Mengapa?
Ketidakjelasan batasan ini membuat manusia mudah untuk membela diri. Tentu saja bagi manusia yang tidak ingin disentuh apalagi yang berkaitan dengan hal-hal privat akan senang berperilaku berdasarkan mitos. Mitos menjadi sebuah legalitas dan rasionalisasi bagi untouchable person yang berkepentingan untuk menghindar dari rasa sakit. Lihat saja perilaku beberapa pemimpin eksekutif kita yang berpola pikir berdasarkan mitos! Mereka ingin menjauhi dari cercaan, seolah-olah apa yang dilakukan benar adanya, ada yang dimitoskan dan tidak bisa diganggu gugat. Mitos dijadikan sebuah alat bagi bermacam-macam interes pribadi dan kelompok. Akibatnya, permasalahan-permasalah real sama sekali akan tetap ada karena sama sekali tidak disentuh.
Menarik untuk menyimak lebih jauh pandangan dari Kuntowijoyo mengenai mitos dan realitas, walaupun kelihatannya wacana keindonesiaan menjadi agak complicated. Bagaimanapun juga, sebuah perubahan pola pikir dari mitos menuju realitas, yang ditawarkan Kuntowijoyo, adalah suatu hal yang diharapkan agar terjadi perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam tulisan ini, pertama-tama penulis hendak menyimak tulisan Kuntowijoyo dari konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan dan menganalisisnya—selain tentunya, juga membicarakan wacana keindonesiaan. Untuk mudah mengikuti garis besar penulisan, pertanyaan-pertanyaan berikut adalah acuannya: Apa hubungan antara mitos dan konformitas dalam konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan? Apa kecenderuangan umum perkembangan masyarakat Indonesia, konformis atau menyimpang, atau keduanya atau tidak keduanya?

Konformitas atau Penyimpangan
Sebelum menentukan yang manakah konformitas atau penyimpangan antara mitos dan realitas, kita mesti lebih dulu mengerti apa itu konformitas dan penyimpangan. Konsep konformitas merupakan hasil dari proses sosialisasi. Menurut Jon M. Shepard, konformitas merupakan bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok. Misalnya kita berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan karena identitas diri kita sebagai laki-laki atau perempuan diberikan kepada kita melalui sosialisasi.
Sedangkan penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Dalam sosiologi penyimpangan ditambahkan bahwa perilaku penyimpangan bukan penyimpangan yang an sich atau sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Definisi tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam masyarakat ataupun pada masyarakat umum.
Berdasarkan pemahaman konsep sosiologis di atas, kita sudah dapat mendistingsikan antara mitos dan realitas ke dalam konformitas atau penyimpangan. Dari tulisan Kuntowijoyo, Pola pikir berdasarkan mitos adalah sebuah konformitas. Alasan pertama yang dapat mendukung pendapat itu adalah bahwa pola pikir mitos adalah perilaku yang diharapkan kelompok, dalam hal ini mayoritas masyarakat Indonesia. Mayoritas inilah yang turut menentukan identitas bangsa bahkan mempengaruhi sosialisasi kebudayaan orang per orang di dalamnya termasuk terhadap generasi berikutnya. Dan, alasan kedua, berlandaskan ciri konformitas di mana memperlihatkan betapa mudahnya manusia dipengaruhi orang lain, kita bisa melihat fenomena kehidupan politik dalam tulisan Kuntowijoyo, di mana masyarakat Indonesia dipengaruhi untuk percaya pada mitos-mitos politik seperti mitos tentang kembalinya pulung kerajaan dan mitos tentang tumbal. Ini semakin fenomenologis ketika dibuat oleh seorang Soekarno, Soeharto atau bahkan seorang Gus Dur yang merupakan seorang public figur, yang tentu saja memiliki simpatisan.
Sebaliknya, pola pikir berdasarkan realitas merupakan sebuah penyimpangan. Pola pikir ini tidak umum dan tidak normal. Tentunya penilaian ini dinilai oleh orang-orang yang konformis. Lihat saja bagaimana seorang Habibie melakukan tindakan yang berpola pikir berdasarkan realitas. Justru dia mesti didepak dari jabatan ini karena tidak umum.
Pembedaan antara mitos sebagai konformitas dan realitas sebagai penyimpangan, seperti yang sudah diungkapkan di atas, boleh dikatakan sudah mengikuti konsep-konsep sosiologis yang diberikan. Tetapi, kalau melihat secara tajam tulisan Kuntowijoyo, ternyata berlaku sebaliknya. Justru mitos adalah sebuah penyimpangan sedangkan realitas adalah sebuah konformitas. Mengapa?
Kalau semata-mata hanya melihat pada pola penulisannya, kentara sekali, bahwa tulisan ini konformis terhadap pandangan Kuntowijoyo sendiri yang justru mendukung realitas dan sungguh menolak mentah-mentah mitos. Maka dari itu Kuntowijoyo tidak segan-segan menyebutkan titik kelemahan mitos (sebagai sebuah penyimpangan) dan memaparkan proses demitologisasi. Istilah khurafat nasional merupakan istilah yang semakin mendukung bahwa mitos adalah sebuah penyimpangan.
Dengan demikian perlu ditekankan dalam konsep sosiologis ketika akan menilai apakah ini suatu konformitas atau penyimpangan, yakni tergantung pada definisi sosial. Bukan suatu hal yang mustahil bila pendistingsian akan berbeda antara yang berlaku secara umum di masyarakat (kenyataan) dengan kelompok-kelompok kecil atau bahkan seperti tulisan ini sendiri. Dalam pengertian sempit, siapa saja bisa menganggap dirinya konformis karena pastilah pertama kali mengklaimnya (suatu pembelaan diri juga, bukan?), sedangkan orang lain dianggap menyimpang.
Kecenderungan Umum
Tentu saja setelah menyimak pembahasan dan analisis pada bagian sebelumnya, kita dapat mengetahui kecenderungan umum perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini, yakni berpola pikir berdasarkan mitos. Kecenderungan umum yang diidentifikasikan sebagai sebuah konformitas tentu saja tak bisa dilepaskan dari berbagai faktor lain yang mempengaruhinya—selain yang sudah disebutkan di atas mengenai konsep mayoritas. Psikoanalisa Freud bisa membantu memahami prinsip bertindak yang pada umumnya berlaku pada sebuah masyarakat. Dalam psikoanalisanya, Freud menyebutkan bahwa salah satu fungsi masyarakat adalah untuk menghambat dan menekan impuls-impuls naluriah perorangan. Inilah yang kita yakini sebagai sebuah psikologi massa yang memampukan ego-ego seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat.
Sebagai faktor lain yang bisa mempertegas bahwa kecenderungan umum bangsa Indonesia berpola pikir berdasarkan mitos adalah perumpamaan Gua Plato. Perumpamaan ini hendak membicarakan tentang manusia. Adalah beberapa tawanan yang sejak lahirnya terbelenggu, mukanya tidak dapat bergerak dan hanya bisa memandang ke dinding gua. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang orang yang hilir mudik, yang dibentuk oleh cahaya api di belakang mereka. Para tawanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain. Suatu kali ada seorang tawanan yang memberontak. Dia melepaskan diri dari belenggu dan berbalik melihat cahaya api, sekaligus pula keluar dari gua. Pertama-tama, dia merasa baru saja meninggalkan sebuah realitas, tetapi berangsur-angsur ia sadar bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa ia belum pernah memandangnya. Dia kembali kepada teman-temannya dengan maksud untuk mengajak mereka untuk mengalami realitas yang baru saja dirasakannya, tetapi apa jawaban dari temannya? Tak disangka, ternyata memarahi dan tidak percaya, dan seandainya teman-temannya tidak terbelenggu, mereka pasti akan membunuh dia yang hendak melepaskan mereka dari gua.
Demikianlah kenyataannya, bahwa manusia yang digambarkan secara filosofis oleh Plato, pada dasarnya akan tetap mengindahkan pola pikir berdasarkan mitos. Ini bisa dikenakan kepada bangsa manapun, khususnya dalam hal ini, bangsa Indonesia. Sedangkan, orang yang justru melihat realitas sebenarnya, yang berani keluar, adalah orang yang melakukan suatu tindakan menyimpang.
Di samping kecenderungan umum ini, kita mesti pula mengakui bahwa ada kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat yakni pola pikir berdasarkan realitas. Walaupun ini sebuah penyimpangan—kata orang-orang yang berpola pikir mitos, eksistensi mereka tetap dapat menjadi sebuah momen yang suatu saat akan berkembang menjadi sebuah perilaku atau identitas (kebudayaan) bangsa atau dalam hal ini menjadi suatu konformitas pula.
Mungkin saja tindakan Habibie atau segelintir orang-orang yang berani keluar dari gua, hanya merupakan tindakan-tindakan kecil, tapi dari sinilah awal sebuah perubahan atau demitologisasi yang tentunya akan membawa perubahan pula pada pembangunan bangsa Indonesia.
Analisa Merton
Konsep sosiologis yang cocok untuk menganalisis tulisan Kuntowijoyo adalah konsep sosiologis menurut Robert K. Merton. Sebelum masuk lebih jauh, penulis menangkap bahwa tulisan tersebut terjadi pada jenjang makro, yaitu pada jenjang struktur sosial. Menurut argumen Merton, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku konformis, tetapi menghasilkan pula perilaku menyimpang, struktur sosial menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial; menekan orang tertentu ke arah perilaku nonkonform. Ada 5 tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu yang diidentifikasikan oleh Merton, yakni: konformitas, inovasi, ritualisme, retreatisme dan pemberontakan (rebellion).
Dalam tulisan Kuntowijoyo sendiri, pola adaptasi yang digunakan adalah cara pemberontakan (rebellion). Dalam pola adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain. Tujuan budaya yang ada dianggap sebagai penghalang bagi tujuan yang didambakan. Cara yang tersedia untuk mencapai tujuan pun tidak diakui.
Lebih jauh, muncul pertanyaan mengapa bangsa Indonesia disebut sebagai struktur sosial? Dan mengapa konformitas dan penyimpangan terkait di dalamnya? Menurut Merton pula, ciri dasar dari suatu struktur sosial ialah bahwa status tidak hanya melibat satu peran terkait melainkan sejumlah peran terkait. Bila kita masukkan bangsa Indonesia sebagai suatu struktur sosial, kita bisa melihat sejumlah peran terkait di dalamnya. Peran sebagai bangsa Indonesia tentu saja tidak terkait dalam hal politik dengan pemerintah atau dengan partai atau kelompoknya, tetapi tentu saja terkait dengan orang lain di sekitarnya yang bisa berhubungan secara ekonomi, kebudayaan atau bidang yang lain. Maka karena peran yang saling terkait inilah, tidak bisa dihindari bahwa ada tindakan konformitas dan penyimpangan.
Berikutnya, kita akan melihat mengapa penyimpangan merupakan suatu pola adaptasi pemberontakan (rebellion) terhadap konformitas. Ada 2 determinasi yang dipaparkan oleh Merton dalam tipologi adaptasinya, yakni tujuan budaya dan cara yang diinstitusionalisasikan. Dalam pola pikir berdasarkan mitos, ambil contoh saja anggapan khalayak umum tentang mitos adanya kharisma sang Ratu Adil. Ketika anggapan ini ditempatkan pada seorang Soekarno, masyarakat mempunyai tujuan dan berharap beliau bisa mengatasi krisis dari keterjajahan menuju kemerdekaan. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya. Tujuan itu tidak pernah tergapai, masyarakat malahan dibuai dengan tindakan Soekarno yanng justru menjadi penjajah sendiri, maksudnya, bahwa dengan Demokrasi Terpimpin, sama saja menempatkan Soekarno sebagai penjajah. Masyarakat sadar dan muncul mitos Firaun, dan akhirnya Soekarno lengser. Sama halnya dengan pengganti berikutnya, Soeharto. Pepatah “habis manis sepah dibuang” begitu tepat dikenakan kepada mereka. Garis besarnya, tujuannya pun—baik yang dilakukan oleh Soekarno maupun Soeharto, tak disadari telah menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Kalau tujuannya sudah tidak jelas bagaimana mungkin caranya juga jelas. Implikasi lebih jauh, dengan terus berulangnya kejadian seperti ini, tak pelak lagi, masyarakat mebudayakan pola pikir berdasarkan mitos.
Sebaliknya, dengan adanya penyimpangan—tanda sebuah pemberontakan, bergantilah haluan, menuju pola pikir berdasarkan realitas. Tujuannya pun dipertegas dengan salah satu bentuk demitologisasi yakni dari abstrak menuju konkret, yakni memperbaiki bangsa yang sedang dilanda keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum. Lalu, cara yang digunakan pun diganti—bukan menghindar dan menggunakan simbol, tetapi memperkenalkan ilmu pengetahuan, gerakan puritanisme dalam agama dan pengenalan sejarah dan seni.
Demikianlah kita melihat suatu pemberontakan pola pikir berdasarkan realitas dari pola pikir berdasarkan mitos.

Akhir Kata: Sebuah Refleksi
Bukan tidak mungkin bahwa suatu saat kecenderungan umum yang ada dalam masyarakat Indonesia menempatkan realitas sebagai sebuah konformitas sedangkan mitos sebagai penyimpangan. Kejadian ini tergantung ke arah mana bangsa Indonesia bersikap terhadap kebudayaannya.
Quo vadis Indonesia, menjadi sebuah pertanyaan yang cocok sebagai akhir kata dalam tulisan ini. Tepatlah istilah yang digunakan Kuntowijoyo bahwa kita hanya berjalan di tempat, karena kita sama seperti nenek moyang kita yang berpikir berdasarkan mitos. Sekaligus pula ini sebuah pertanda dan pertanyaan untuk menjawab tanda-tanda zaman (melalui permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia—keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa, dan anarki hukum). Bisa jadi kita tetap mengindahkan mitos sebagai sebuah kemanusiawian (memandang positif) kita. Dan mulai membuka diri terhadap pola pikir berdasarkan realitas. Tentu saja ini semata-mata sebuah wacana keindonesiaan, karena inilah yang sedang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk selanjutnya. Seperti pula dalam perumpamaan Gua Plato, mau kemanakah kita berjalan, tetap di dalam gua atau pergi keluar gua dan menemukan realitas sesungguhnya?
Akhirnya, penulis pun sadar bahwa tulisan Kuntowijoyo adalah sebuah olahan refleksi yang mengamati keadaan masyarakat secara global dengan memperhatikan gejala sosial yang terjadi dalam kultur kebudayaan bangsa. Walahuallam, semoga harapan dari Kuntowijoyo dapat tercapai dan Indonesia meninggalkan khurafat nasional.
Read more...

Monday, September 29, 2008

Paradigma Tindakan Sosial: “Socrates & Mimbar Bebas”


Peradilan Socrates yang dengan jelas menunjukkan rusaknya demokrasi di Athena, adalah usaha dari Socrates sendiri untuk menghidupkan kembali api demokrasi yang tertuang dalam kebebasan berbicara. Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir dengan tindakan-tindakan sosial yang dilakukannya. Dengan pendekatan paradigma tindakan sosial, kita memahami (verstehen) implikasi-implikasi dari perbuatannya. Walaupun peradilan itu sebuah skandal, akhirnya itu bisa memberikan analogi yang tepat untuk keadaan negara kita pada tahun 1996. Walaupun Socrates minum racun, kebebasan bicara tidak bisa dihukum.

***
Sama seperti organ-organ yang bersatu membentuk tubuh, seorang individu bersatu dengan individu-individu lain membentuk masyarakat. Organ-organ itu tidak bekerja sendiri tapi saling bekerjasama, demikianpun juga individu berinteraksi satu sama lain. Interaksi itu bisa berupa konflik, persaingan, pembagian kerja, persahabatan, hirarki, atau berupa bentuk lainnya. Dalam tataran sosiologi mikro, interaksi itu menjadi obyek sosiologi. Banyak ahli sosiologi mengkhususkan diri pada studi interaksi sosial, salah satunya adalah Max Weber, yang mengemukakan bahwa pokok bahasan sosiologi adalah tindakan sosial.
Peradilan Socrates merupakan salah satu momen yang menunjukkan bagaimana seorang Socrates berinteraksi dengan masyarakat Athena pada waktu itu. Dengan mengacu pada paradigma tindakan sosial, tulisan ini akan menjelaskan hubungan interaksi itu.

Inti Permasalahan
Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam artikelnya “Socrates & Mimbar Bebas” menganalogikan Peradilan Socrates untuk melihat demokrasi di Indonesia. Menarik untuk disimak, sebab artikel ini adalah bagian dari kumpulan tulisan dari buku berjudul Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999. Apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1996-1999? Apa yang terjadi pada hari-hari di sekitar tanggal penulisan artikel ini (10 Agustus 1996)?
Menengok sejenak ke belakang, ke pengalaman sejarah bangsa Indonesia, pada kurun waktu itu, terjadi pergeseran politik yang begitu besar dan berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Peristiwa 27 Juli 1996 bisa dikatakan sebagai pemicu, karena melalui peristiwa itu, terlihat jelas bagaimana rusaknya politik negara dan demokrasi macam apa yang sedang berkembang di Indonesia.
Di sinilah letak inti permasalahan yang hendak disampaikan SGA dalam artikel ini. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan:
"Socrates minum racun, namun kebebasan bicara tidak bisa dihukum. Seseorang bisa saja berpikiran salah, tapi ia tak selayaknya dipersalahkan karena berpikir. Untuk bicara lebih lurus: Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir. Tapi dalam setiap zaman di mana digelar sebuah mimbar bebas, selalu masih akan ada risiko ketika pendengarnya tidak mampu berpikir sama sekali – kecuali bahwa telinganya menjadi panas."
Dalam kehidupan berdemokrasi, rakyat diberi kebebasan berbicara. Tapi, kenyataannya pada masa itu, kebebasan berbicara, sulit mendapatkan tempat. Tidak hanya Socrates yang dihukum, tapi banyak orang (manusia Indonesia) yang harus menerima kenyataan dipersalahkan, ditangkap, bahkan dihukum.
Ironinya, masih banyak juga orang yang sudah terindoktrin untuk pasif, dan sama sekali tidak mampu mengungkapkan pikiran pribadinya (NB: Sukab yang gagap bermimpi bicara lancar di mimbar bebas). Kurun waktu berikutnya, semakin terlihat bagaimana demokrasi itu semakin berkembang, di dalam pergeseran politik yang benar-benar mehong (gila).

Hubungan Antara Tindakan Socrates dengan Masyarakat Athena
Menurut Weber, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri, misalnya, tidak dapat kita anggap sebagai tindakan sosial. Tetapi menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain merupakan suatu tindakan sosial. Tindakan ini merupakan kegiatan individu, dan tidak pernah merupakan kegiatan kelompok-kelompok. Menurutnya pula, sosiologi adalah suatu ilmu yang ingin memahami (verstehen) tindakan sosial dengan mengintepretasikannya dan dengan demikian ingin menjelaskannya menurut sebabnya.
Dalam Artikel ini, Socrates memilih untuk minum racun karena mempertahankan kebebasan berbicara (bagian dari demokrasi). Keputusan hukuman mati adalah bagian dari strateginya untuk kalah dan memang dengan sengaja dia memancing kemarahan juri. Socrates mendapatkan kemenangan karena dia mampu membuat mereka mengkhianati demokrasi. Bahkan, dia tidak melepaskan peluang untuk memperlihatkan kebodohan lawan-lawannya: “karena itu saya sangat heran, bagaimana Anda bisa mengatakan saya melakukan kesalahan yang layak dihukum dengan hukuman mati.”
Inilah tindakan sosial yang dilakukan Socrates untuk menggugat praktek demokrasi di Athena. Suatu paradoks: Athena merupakan benteng kehormatan kebebasan bicara, tapi malahan melakukan kesalahan dengan menghukum seseorang yang mempraktekkan kebebasan berbicara.
Tindakan Socrates untuk menghindari segala cara mendapatkan hukuman yang lebih ringan, bahkan kesempatan untuk menang dan bebas adalah suatu tindakan sosial lainnya, yang ia lakukan untuk menghindari kemenangan atas prinsip-prinsip demokrasi yang selalu ia cemoohkan. Socrates sedang berusaha menelanjangi demokrasi Athena. Dia berani mengorbankan dirinya, karena yakin bahwa kebebasan berbicara tidak bisa dihukum.
Hasil memahami (verstehen) tindakan sosial menurut sebab-akibat di atas tidaklah lebih dari sebuah hipotesa. Ini bisa salah. Sebab, kadang-kadang orang yang bertindak itu sendiri tidak mengetahui apa motif yang sesungguhnya. Maka, berikutnya, harus membahas komponen kedua dalam metode Weber, yakni Tipe ideal.
Tipe ideal adalah suatu alat bantu: tipe itu menciptakan ketertiban dengan gejala-gejala, dan orang dapat juga secara sistematis membandingkan kenyataan empiris dengannya, tidak saja agar orang dapat menemukan penyimpangan-penyimpangan, tetapi juga agar dengan demikian orang memperoleh pengertian yang lebih baik tentang situasi sebagaimana kenyataannya.
Tipe ideal sama sekali tidak memasukkan bentuk ideal dari suatu gejala. Tipe ideal harus dapat dipahami secara interpretatif dan lagi pula isinya harus seobyektif mungkin.
Weber telah membangun tipe-tipe ideal dari fenomena historis yang berdiri sendiri, seperti Calvinisme dan Kapitalisme. Tipe-tipe ideal itu ialah konstruksi-konstruksi yang dengan demikian tidak terdapat dalam kenyataan, tetapi yang melayani tujuan penelitian tertentu, misalnya hubungan satu sama lain. Untuk itu perlu dipikirkan implikasi-implikasinya: ke manakah Calvinisme dan Kapitalisme menjurus.
Untuk melihat lebih jelas Peradilan Socrates dengan menggunakan tipe ideal, maka kita mencoba membayangkan diri kita di tempat pelaku sehingga dapat ikut menghayati pengalamannya. Baiklah kita memulainya dengan melihat latar belakang Athena pada abad ke-5 SM. Waktu itu berkembang aliran sofistik (dari kata sophos, artinya cerdik pandai). Lama-kelamaan kata itu berubah artinya menjadi gelar ejekan bagi orang yang pandai memutar lidah, pandai bermain dan bersilat dengan kata-kata.
Para sofis terlalu mengemukakan pendirian yang subjektif, relatif, dan skeptis. Pendapat mereka adalah: “Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah menurut pandangan manusia”. Mereka menerapkan teori relativisme dan bersikap skeptik, sehingga pengaruhnya mengakibatkan orang tak tahu lagi apa yang benar untuk sekarang dan yang akan datang. Retorika menjadi awal dan akhir ajaran sofistik. Retorika jadi alat pembela kebenaran yang dikemukakan. Oleh karena “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”, maka tiap-tiap pendirian dibenarkan dengan memikat perhatian orang banyak. Kalau orang banyak mengakuinya, itu sudah benar. Akibat dari itu, sikap individualisme berkembang.
Fakta inilah yang menyebabkan Socrates memperjuangkan kebenaran. Bagi dia, filosofi merupakan fungsi yang hidup. Tujuan filosofi Socrates ialah “mencari kebenaran yang berlaku selama-lamanya”. Maka, kebenaran itu tetap dan harus dicari. Ini sungguh berbeda dengan para sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif, dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis.
Dengan filosofinya yang teraktualisasi dalam hidupnya ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Ini merupakan suatu tindakan sosial. Ia bertanya jawab dengan para sofis. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Seorang sofis yang semula dipuji banyak orang sebagai guru, lama kelamaan tidak bisa menjawab pertanyaan dari Socrates, dan akhirnya dicemoohkan. Dengan caranya yang berani dan jujur itu Socrates banyak memperoleh teman.
Tetapi tindakan sosial yang telah dilakukannya membuat para sofis terancam, dan mereka menuduh bahwa dia telah mengemukakan dewa baru dan telah merusak jiwa para pemuda. Dia diadili dan dihukum mati pada akhir sidang kedua. Inilah sebuah skandal yang telah dilakukan Athena, yang katanya adalah kota demokrasi.
Keberanian Socrates dalam berbicara adalah keberanian dia untuk melawan penyimpangan yang dilakukan kotanya (rupanya para sofis mengubah Athena dari demokrasi ke anarki melalui ajarannya). Hubungan sebab-akibat semua di atas adalah sebuah konstruksi sejarah yang memperlihatkan hubungan Para Sofis dan skandal Peradilan Socrates. Implikasinya menjurus pada penciptaan masyarakat yang anarkis, dan tidak sama sekali memperjuangkan demokrasi (kebebasan berbicara). Implikasi lainnya, obyek berpikir filsafat yang menekankan pada anthrofomorfis (berpusat pada manusia) menjadi agak kabur. Namun sebaliknya, dengan skandal Peradilan Socrates, demokrasi mulai kembali ditegakkan dan obyek anthrofomorfis dijernihkan, dengan semakin banyaknya murid-murid Socrates (seperti Plato, Aristoteles, dsb).

Kritik terhadap Paradigma ini
Melihat analisa paradigma tindakan sosial terhadap hubungan antara Socrates dan masyarakat Yunani, ternyata metode yang digunakan oleh Weber tidak selalu konsisten. Ternyata Weber masih perlu menggunakan pengertian-pengertian yang menunjuk kepada keseluruhan kolektif. Bahkan dalam hal ini menggunakan metode Durkheim, yang melihat sosiologi secara makro.
Para sofis, pada waktu itu bisa dikatakan sudah terinstitusi. Pola berpikir mereka sudah terinstitusionalisasi dan menjadi umum di kalangan masyarakat Athena. Peradilan Socrates sendiri adalah bentuk nyata dari institusi itu. Dengan kata lain ini sebuah fakta sosial. Lalu, harus seberapa konsistenkah paradigma ini?
Weber menambahkan bahwa institusi atau kelompok itu dalam paradigmanya dipakai sejauh itu adalah supra-individual (soziale Gebilde), dalam kasus ini sofis bertindak hanya sebagai anggota dari suatu kelompok para sofis. Tapi, tetap sulit dijadikan batasan, bila itu dilakukan pada penelitian yang lain, misalnya terhadap ketidaksamaan kelompok sosial dalam masyarakat yang menciptakan konflik. Di sinilah letak ketidakkonsistenannya. Weber menggunakan tipe ideal tapi tidak konsisten dengan substantialnya.
Read more...