Monday, November 24, 2008

Mentalitas Korupsi Mentalitas Pembusukan

Baru saja prahara melanda KPU Nasional. Sebagian besar anggotanya disinyalir terlibat dalam tindak pidana korupsi. Baru saja Abdullah Puteh, Nurdin Halid, dan tokoh-tokoh terkenal lainnya terjerat dalam hukum pidana korupsi. Tetapi, bukan suatu yang aneh, kalau kita mendapatkan banyak kesulitan tatkala kita mengurus KTP di kantor kelurahan atau mengurus berkas-berkas penting lainnya di kantor pemerintahan, kecuali kalau kita tahu diri dan memberikan ‘amplop’ kepada mereka.
Setiap tahun selalu ada tes masuk Pegawai Negeri, tetapi tak jarang posisi-posisi kosong justru diperjualbelikan tanpa mengikuti prosedur yang benar. Setiap tahun selalu ada penerimaan murid baru di sekolah-sekolah, tetapi tak jarang ada pungutan-pungutan liar yang tampaknya kelihatan wajar alih-alih tindakan korupsi juga. Namun, bukan suatu yang aneh, kalau setiap hari justru kita menjumpai praktek-praktek korupsi tingkat kecil-kecilan, seperti pembagian raskin (beras untuk orang miskin) yang tidak merata atau uang suap untuk polisi ketika ditilang.

Dari sini kita sadar bahwa korupsi bukanlah ‘barang’ baru, bukanlah suatu yang aneh dan unik. Setiap ada kesempatan, entah hasilnya besar ataupun kecil, entah terang-terangan ataupun sembunyi tangan, orang tergoda untuk melakukan korupsi.
Sebaliknya, kita tentu masih ingat dengan Edi Tansil di tahun 90-an yang merugikan negara dengan korupsi trilyunan rupiah. Kita juga masih ingat bobroknya Soeharto dan kroni-kroninya yang merugikan negara sebegitu besarnya. Namun, kita tahu Edi Tansil tak pernah tertangkap, dan kita juga tahu Soeharto selalu lolos dari hukuman. Sebenarnya ada apa dengan negara kita? Fenomena apa di balik semua kasus-kasus di atas?

Wajar saja jika masyarakat Indonesia pada umumnya jera dan cenderung apatis berhadapan dengan kasus-kasus korupsi? Kasus-kasus korupsi tersebut tidak pernah sampai pada titik akhir penyelesaian yang memuaskan. Penanganan kasus korupsi sering hanya muncul sebagai berita media yang bombastis, tetapi tidak sampai pada ketuntasannya.
Benturan yang sering terjadi berkisar pada bukti yang belum cukup kuat untuk membawa si terdakwa pada proses hukum. Penyebab lain adalah kurang tangguhnya badan hukum kita sehingga menyebabkan kebanyakan proses terputus di tengah jalan. Tetapi, benarkah alasan-alasan itu saja yang membuat tindak korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti dan para koruptornya tidak pernah jera?

Budaya Korupsi
Tindak Korupsi menjadi masalah klasik yang mau tidak mau turut mempengaruhi identitas bangsa kita meskipun tindakan tersebut bisa dikatakan hanya dilakukan oleh sebagaian dari bangsa ini. Sering dikatakan bahwa alasan orang melakukan korupsi adalah alasan ekonomi (Hendrawan Nadesul, Kompas 12 April 2005), gaji terlalu minim untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, di pihak lain, kita justru menyaksikan orang tetap korup ketika ia sudah memiliki penghasilan lebih dari cukup. Lalu, alasan apakah yang sebenarnya menjadi alasan orang melakukan korupsi?
Dalam pemikiran Susan Rose-Ackerman yang dituangkan dalam bukunya Corruption and Government; Cause, Consequences and Reform dijelaskan alasan mendasar penyebab korupsi adalah faktor budaya. Biasanya korupsi dikaitkan dengan sistem perekonomian. Dalam sistem perekenomian tersebut terkandung dimensi budaya yang ternyata sama di beberapa negara. Sesuai dengan apa yang disebutkan Rose-Ackerman, terdapat pemisahan jelas antara bribes (suap), gifts (hadiah), prices (harga), dan tips (tips). Pemisahan tersebut dapat dilihat pada kolom berikut:
Quid pro Quo Non explicit quid pro quo
Payment to principal Prices (harga) Gifts (hadiah)
Payment to agent Bribes (suap) Tips (tips)

Secara literal, Quid pro quo berarti something for something else atau something given or received for something else. Artinya, sesuatu diberikan oleh seseorang atau lembaga dengan maksud agar penerima memberi sesuatu yang lain pada si pemberi. Prices (harga) adalah pembayaran dengan uang atas nilai suatu barang atau jasa yang diberikan kepada si pemilik yang sah. Sedangkan bribes (suap) tidak seperti harga. Suap adalah suatu pembayaran atas suatu barang atau jasa yang diserahkan kepada ‘pemilik ilegal’ barang atau jasa tersebut. Yang dimasuk pemilik ilegal di sini adalah orang yang dipercaya oleh pemilik legal (sah) untuk menyimpan atau menjaga (bukan menjual) barang atau jasa itu. Maka, bila orang sudah melakukan pembayaran pada orang kepercayaan itu dengan harapan supaya ia melepaskan barang atau jasa itu, si pembayar sudah melakukan apa yang disebut suap.
Sedangkan, Non explicit quid pro quo berarti orang melakukan pembayaran dengan harapan bahwa orang yang menerima pembayaran itu, suatu ketika memberi balasan entah dalam bentuk barang atau jasa. Gifts (hadiah) bisa diberikan oleh seseorang atau badan tertentu kepada orang lain atau badan lain. Pemberian tersebut bisa diartikan bermacam-macam, mulai dari suapan halus sampai pada sekedar ‘demi persahabatan’.
Tips adalah model pembayaran yang akrab di telinga kita. Tips biasanya kita berikan kepada pelayan. Tips termasuk pembayaran kepada pemilik ilegal. Di balik tips tersebut sebenarnya terdapat maksud-maksud tersembunyi, yaitu supaya pemilik ilegal suatu ketika nanti memberikan pelayanan yang sama baiknya dengan yang sudah diberikan kepada si pembayar.
Dari keempat hal di atas dengan jelas kita melihat bahwa tips dan suap memiliki tujuan yang sama, yaitu sebagai enforcement. Bentuk enforcement tersebut salah satunya adalah trust (kepercayaan). Trust biasanya muncul dalam bentuk relasi pribadi. Ackerman dalam hal ini memberi contoh ikatan pribadi yang sering terjadi di sejumlah negara berkembang di Amerika Latin. Di sana terdapat istilah, “A los amigos todo, a los enemigos nada, al extrano la ley” (Bagi teman segalanya akan diberikan, bagi musuh tak sesuatu pun diberikan, dan bagi orang asing, hukumlah yang diberikan). Prinsip ini tentu saja terjadi juga di Indonesia. Ini dilakukan secara umum oleh oknum-oknum dalam lembaga pemerintahan, pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Andaikan saja salah satu dari mereka memiliki proyek yang beorientasi pribadi, mereka akan mendekati temannya yang memiliki posisi dalam pemerintahan atau posisi strategis lainnya. Lewat jalan itulah mereka bisa mengatur segalanya. Dan di sini pulalah korupsi menjadi potensial.
Korupsi, Siapa Takut?
Dalam bukunya Etika Politik dan Kekuasaan, Haryatmoko menyebutkan beberapa alasan mengapa orang tidak takut melakukan tindakan korupsi. Pertama, banyak orang telah melakukannya. Bila banyak orang melakukan berarti hal tersbut menjadi sesuatu yang biasa. Kebiasaan tersebut menciptakan hak. Dan, kalau salah satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab? Alasan ‘banyak yang melakukan’ dijadikan alibi tanggungjawab pribadi. Alasan tersebut juga sering menjadi argumen kuat untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan bersama adalah kebenaran (meskipun sebenarnya belum tentu demikian).
Alasan kedua adalah impunity (kebal hukum atau tiadanya sanksi hukum). Karena korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memegang kendali kekuasaan maka seakan-akan hukum tidak mempunyai taring yang tajam untuk menggigit sang pelaku. Kurangnya pengawasan juga menyebabkan kemungkinan terdeteksinya tindak korupsi semakin kecil. Bila pun ketahuan, masalah tersebut akan melibatkan banyak orang maka lebih baik didiamkan. Ditambah lagi, sering terjadi bahwa tim pembela pelaku korupsi memiliki kepiawaian membuat alibi yang melemahkan bukti hukum dan mementahkan keterangan saksi. Hal inilah yang malah sering menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi koruptor. Semua prosedur hukum kemudian dianggap sudah diikuti dengan benar dan sesuai asas keadilan, meskipun kenyataannya tidak. Dengan cara itu, koruptor terbebas dari rasa salah dan semakin merajalela.
Alasan ketiga adalah korban tindak korupsi sendiri. Dalam literatur bahasa kita, para koruptor sering disebut penjahat berkerah putih. Sebutan ini sebenarnya sudah sedikit meringankan beban si pelaku, sebab, mau tidak mau kita tidak akan menyamakan mereka dengan penjahat jalanan yang kalau tertangkap akan dianiaya massa dan bahkan dibunuh. Selain itu, pihak korban kejahatannya pun berbeda. Seorang penodong memiliki korban jelas—dengan kata lain, pencuri terlibat dalam wilayah private sector (sektor pribadi); sedangkan korban korupsi tidak langsung tampak sebagai pribadi. Kita akan mengatakan negaralah korbannya—dengan kata lain koruptor terlibat dalam ranah publik. Tetapi siapakah negara? Negara tidak pernah terlihat sedih terhadap semua itu. Bila kita mengatakan rakyat, siapakah rakyat itu? Rakyat tidak punya wajah, itu berarti anonim. Wajah yang tidak jelas inilah yang ikut mendukung si koruptor tidak pernah takut korupsi.
Alasan terakhir adalah ‘demi kepentingan umum’. Perasaan takut bersalah karena korupsi bisa saja hilang bila si pelaku memiliki kebiasaan korup (habitus korup). Apalagi bila akhirnya mereka memilki dalih ‘demi kepentingan umum’. Bisa saja bahwa hasil korupsi tersebut disisihkan untuk biaya pembangunan tempat ibadat atau membantu biaya operasional lembaga-lembaga swadaya. Bisa saja uang tilep tersebut digunakan untuk membangun perusahaan atau pabrik baru, dengan harapan kehadiran pabrik tersebut bisa menyerap tenaga kerja baru dan memberi nafkah banyak orang. Alasan ini akhirnya bisa meringankan rasa bersalah si pelaku.

Sintesa: The Whole System Corrupted
Melihat analisa di atas, kita semakin bisa memahami mengapa masyarakat Indonesia cenderung apatis terhadap tindakan korupsi. Seolah-olah korupsi bukanlah sesuatu yang jahat, melainkan menjadi bagian dari hidup kita. Koruptor kelas kakap saja bisa lolos, apalagi koruptor kelas teri.
Sikap apatis ini sebenarnya ingin menunjukkan mentalitas masyarakat kita sendiri. Apatis di sini bukan semata-mata ungkapan perasaan dari subjek yang berada di luar orang-orang yang koruptor. Tetapi justru ingin menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, yakni orang yang juga ikut terlibat korupsi, karena turut melanggengkan korupsi itu sendiri.
Apatis juga berarti suatu pengakuan bahwa korupsi adalah hal yang biasa. Dan karena biasa dan menjadi habitus, korupsi menjadi mentalitas umum yang bisa dikatakan juga sebagai budaya. Setidaknya coba kita perhatikan hidup sehari-hari kita. Tidak sedikit orang yang tidak jujur dalam laporan keuangan mereka bahkan di dalam keluarga sendiri antara suami-istri. Tidak sedikit anak-anak berani berbohong kepada orangtuanya tentang laporan pemakaian uang. Dan, tidak sedikit pelajar yang mencontek saat ulangan di sekolah—seringkali mencontek diidentikkan sebagai cikal-bakal dari tindakan korupsi.
Di mana-mana terjadi korupsi: di lembaga pemerintahan, perusahaan, sekolah, masyarakat, dan keluarga. Korupsi terjadi baik di tingkat makro maupun mikro. Semua sistem yang ada—baik nasional maupun privat—terkena virusnya. Jejaring raksasa nasional mengalami pembusukan karena mentalitas korupsi ini. Bak lingkaran setan, sekalipun kita mencoba menghindar, di situ kita akan tetap terjerat oleh korupsi itu sendiri.
Dengan sintesa ini, saya tidak ingin menyederhanakan begitu saja kompleksitas sistem makro maupun mikro dalam masyarakat Indonesia. Atau bahkan menisbikan usaha orang-orang yang benar-benar murni dengan itikad dan niat baik bertindak jujur dalam pekerjaannya. Sebaliknya, saya ingin menegaskan bahwa masalah korupsi bukanlah masalah bagi koruptor kelas kakap dan aparat hukum, melainkan masalah bagi seluruh bangsa Indonesia.


Seluruh Sistem Perlu Dibenahi
Bila seseorang melakukan tindakan korupsi, dampaknya tentu saja mengenai lembaga di mana dia bekerja, dan secara tidak langsung terhadap masyarakat yang menggunakan jasa lembaga tersebut. Tetapi, bila semua sistem melakukan korupsi berarti dampaknya sebegitu besarnya yakni kehidupan masyarakat yang tidak pernah menemui situasi adil dan sejahtera.
Melalui pendekatan struktural, guna melawan mentalitas korupsi, sistem di Indonesia mesti diperbaiki. Sebagaimana Aristoteles katakan, “Polis yang baik akan memberi ruang bagi warganegaranya untuk berkembang.” Maka, seharusnyalah sistem kenegaraan Indonesia ditata dengan baik, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk korupsi tidak terjadi.
Setidaknya ada 4 hal yang akan saya ajukan sebagai saran konstruktif dalam menghadapi sistem yang korupsi. Pertama, perbaikan struktur di setiap lembaga-lembaga, entah milik pemerintah maupun privat. Di lembaga tersebut mesti ada aturan yang jelas, yang tidak memberikan kesempatan bagi siapapun atau pihak manapun untuk mencuri-curi kesempatan melakukan korupsi.
Kedua, penegakan hukum yang jelas dan tegas. Inilah sisi yang paling penting untuk diperhatikan, karena mau tidak mau meliputi semua sistem yang ada—dan tentu saja karena sistem hukum kita masih begitu lemah. Hukum seharusnya tegas, tidak bisa didikte oleh siapapun, bahkan oleh orang yang berduit sekalipun. Hukum juga mesti adil, siapa yang mesti dihukum dan seberapa besar vonis yang diberikan.
Ketiga, perjuangan penuntutan hak warganegara yang terus-menerus. Masyarakat sejahtera adalah harapan semua warganegara, dan merupakan kewajiban negara untuk merealisasikannya. Dengan penuntutan hak ini, pemerintahan selalu dimonitor dalam kinerjanya, wakil-wakil rakyat selalu diingatkan untuk setia dalam memperjuangkan aspirasi rakyat (bukan lebih mengutamakan kepentingan partai atau bahkan kepentingan mereka sendiri). Bentuk perjuangan ini beraneka ragam, bisa lewat demo ataupun lewat kritik-kritik entah secara langsung maupun lewat tulisan di media massa.
Dan keempat, perlunya keterbukaan pers. Pers semestinya memberikan informasi yang benar dan tidak pilih-pilih. Dengan demikian, masyarakat menjadi tahu akan masalah-masalah yang sedang berkembang di Indonesia, dan mampu menanggapi masalah tersebut dengan kritis.

5 Sempurna: Tanggungjawab Pribadi
Banyaknya kasus korupsi di negara kita sekali lagi bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun bisa jadi faktor ekonomilah yang merupakan alasan terkuat dan rasional. Kita perlu juga mencurigai seberapa jauh bangsa kita bermoral. Moral selalu berkaitan dengan hati nurani dan lebih bersifat personal. Dengan demikian, tindak korupsi sudah semestinya merupakan tindakan yang melawan hati nurani karena merugikan orang lain, membuat orang lain miskin dan kelaparan (“Miskin karena korupsi”, Kompas, 16 Maret 2004).
Bila korupsi bersinggungan dengan hati nurani, fenomena yang seharusnya kita lihat adalah ‘rasa malu’ bila ketahuan korupsi. Pada kenyataannya, banyak orang dengan terang-terangan melakukan korupsi. Sebagai contoh dalam kasus kecil yang biasa terjadi kalau kita mengurus KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat penting lainnya di Kelurahan. Jelas-jelas tertulis “Pembuatan KTP tidak dipungut biaya”, pada kenyataannya pegawai kelurahan meminta sejumlah uang untuk satu tanda tangan Pak Lurah dan Pak Camat.
Hati nurani yang tumpul juga terlihat dari alasan-alasan orang yang melakkukan korupsi. Pertama, korupsi sebagai tindakan bersama. Seperti telah disinggung di atas, korupsi yang melibatkan banyak pihak membuat tindakan itu seakan-akan sah-sah saja. Kedua, korupsi hanyalah sarana untuk mengembalikan modal awal. Seringkali terjadi ketika orang yang harus membayar berjuta-juta untuk menjadi pegawai negeri. Korupsi yang dilakukan orang-orang yang sudah mengeluarkan uang banyak tersebut bisa saja dirasa wajar karena toh itu hanya untuk mengembalikan modal mereka.
Kejadian di atas sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sehingga orang melakukannya dengan tanpa rasa malu. Karena hal seperti itu sudah biasa, masyarakat pun menjadi terbiasa dengan cara demikian. Masyarakat selalu akan menyiapakan ‘amplop’ khusus untuk petugas-petugas birokrasi bila berurusan dengan mereka. Di lahan inilah seakan-akan budaya malu menjadi tidak jelas.
Maka dari itu, kesadaran korupsi harus diberantas dengan memulainya dari diri kita sendiri. Kalau masalah korupsi adalah masalah kita bersama, sepantasnyalah kita bersama-sama memulainya dari diri kita sendiri. Seperti kata-kata bijak, “Kejahatan bukan hanya datang karena kehendak, tetapi juga karena kesempatan.” Itu seakan-akan ingin mengingatkan kita bahwa setiap dari kita rentan terhadap kejahatan (korupsi). Maka apa yang dikatakan Aristoteles sangat berarti, “Keutamaan diperoleh bukan semata-mata melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik.” Pernyataan Aristoteles ini sepertinya mau menyangkal pandangan yang mengatakan bila orang tahu, otomatis bisa melakukannya. Seperti kebanyakan dari kita, kita tahu korupsi merugikan banyak pihak (terlebih rakyat), tetapi mengapa kita tidak bisa menghentikannya? Mungkin karena kita tidak memiliki habitus ‘no corruption!’

1 comment:

  1. Kalo emang sejak awal mentalnya sudah seperti itu,ke depannya pasti susah,...

    ReplyDelete