Saturday, November 15, 2008

Menyuarakan Perubahan

Sejak runtuhnya Orde Baru, kebebasan berpendapat dan menentukan pilihan di negeri ini semakin mendapatkan tempatnya. Bahkan tidak tertutup pula kemungkinan adanya ruang kebebasan menentukan pilihan untuk tidak memilih alias golput.
Melihat data pemilu-pemilu yang berlangsung selama 10 tahun terakhir ini, tampak bahwa pertambahan jumlah golput cukup signifikan. Ada benarnya jika banyak pihak memperkirakan golput akan meningkat lagi pada pemilu 2009. Mengapa bisa demikian?

Golput adalah sebuah simbol yang mewakili suatu keadaan riil di dalam perpolitikan suatu negara. Selama partai-partai yang ada tidak mampu menjamin dan menjawab tuntutan kebutuhan dasar masyarakat, maka semakin banyak pula masyarakat yang menjadi ragu untuk mendukung partai tersebut. Apalagi, jika partai itu pernah berkuasa dan kemudian masyarakat menilai partai itu gagal dalam kepemerintahannya, maka masyarakat menjadi skeptis pula untuk memilihnya kembali. Belum lagi jika hal tadi didukung dengan tidak adanya partai alternatif yang diyakini mampu menjawab aspirasi masyarakat.

Tidak adanya figur yang pantas dari daftar calon yang dipilih juga menambah alasan masyarakat untuk menjadi golput. Kepantasan calon pemimpin tergantung dari sejauhmana figur tersebut bisa diterima di hati masyarakat. Pemilihan Presiden Amerika Serikat baru-baru ini bisa menjadi sebuah contoh yang bagus untuk menggambarkan seorang calon pemimpin yang bisa diterima di hati masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat meningkat, dan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu juga lebih besar.
Namun, makna dari simbolisasi pilihan golput tidak hanya itu saja. Di balik skeptisisme masyarakat terhadap calon-calon pemimpin dan partai-partai yang ada, pilihan golput juga mengusung maksud mulia. Orang berani memilih golput karena mereka yakin bahwa sistem kepemerintahan yang berlangsung sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh dari harapan dan keinginan hati masyarakat. Oleh karena itu, golput berarti juga menandakan gerakan masyarakat yang menginginkan suatu perubahan. Semakin banyak orang yang memilih golput, maka semakin menjadi jelas bahwa perubahan itu perlu dilaksanakan dan sifatnya menjadi mutlak.
Permasalahan yang mendasar adalah bahwa golput adalah “partai” yang tidak punya partai, rakyat yang tidak punya wakil rakyat. Seperti nabi yang menyuarakan kritik di tengah hiruk pikuk kekacauan hidup umatnya, maka golput pun sebenarnya bermaksud senada. Mereka menyuarakan perubahan, tetapi seperti “anjing menggonggong kafilah berlalu,” berteriak tetapi tiada yang mendengarkan.
Maka dari itu, fenomena bertambahnya golput merupakan ladang yang subur bagi perkembangan demokrasi suatu negara. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dari kelompok inilah akan muncul calon-calon pemimpin yang mampu membawa perubahan, yang mampu membawa aspirasi rakyat, sekaligus mengusung partai-partai yang berani menjamin kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada masyarakat.
Bagaikan pedang bermata dua, golput menandakan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung, sekaligus gelombang positif dari masyarakat yang menginginkan perubahan. Bila mengharapkan peningkatan minat masyarakat untuk datang ke pemungutan suara, maka calon-calon pemimpin dan partai-partai harus berani menyuarakan perubahan. Semoga!***

Dom Octariano Widiantoro,
Mahasiswa Bacaloreat Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

-kompas yogya, 14 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/14/10373672/menyuarakan.perubahan.

3 comments:

  1. ...di sisi lain, menjadi golput adalah pilihan yang buruk. Sama seperti main kartu sama temen-temen sendiri, kadang kita sama sekali gak mungkin menang kalo liat kartu-kartu di tangan kita. Tapi, kita bisa support seseorang biar menang, sehingga pada akhir permainan, ada yang 'lebih kalah' daripada kita...

    ReplyDelete
  2. @helena
    ya, benar. bila kita golput dan kita baru sadar ternyata "yang menang" adalah partai/pemimpin yang menurut kita tidaklah bagus, tentu saja kita merasa rugi.
    mau tidak mau, pilihan golput sama saja membuang hak pilih kita sendiri (sebuah paradoks).
    maka, ada prinsip "minus malum", memilih yg terbaik dari yg terburuk.

    ReplyDelete
  3. hhmmm.. golput adalah bentuk ketidak percayaan masyarakat terhadap calon2 pemimpin kita yg kurang kompeten. dan mereka lebih mementing kan perut mereka sendiri dari pada yg memilih dia dan mengangkatnya jadi pejabat.

    ReplyDelete