Thursday, January 1, 2009

Tatoo is not a Crime!!!

Tato? Iiih... mendengar katanya saja sudah membuat merinding. Demikianlah, image bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan tato, pasti berhubungan dengan tindak kriminal sudah tertancap di benak kita. Citra buruk terhadap mereka yang memiliki tato di tubuh telah mengungkung kreativitas sebagian orang. Pasalnya, ada anggapan bahwa semua penjahat yang tertangkap pasti memiliki tanda di tubuhnya yang bernama tato itu.
Tato sebenarnya sudah lama dikenal dalam peradaban manusia. Konon, tato sebagai salah satu ekspresi karya seni telah ada sejak beberapa abad sebelum masehi pada beberapa suku bangsa. Hal ini bisa dibuktikan ketika ditemukan tanda pada tubuh mumi suku bangsa Mesir dan Nubian, yang berasal dari tahun 1300 SM. Ternyata itu adalah tato. Seni ini juga menjangkau beberapa kebudayaan yang berbeda dan membawa arti yang berbeda pula.
Tato atau body painting atau rajah adalah gambar atau simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan simbol itu dihias dengan pigmen berwarna-warni. Zaman dulu, orang-orang masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk mentato seseorang. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang binatang. Sekarang, orang-orang sudah memakai jarum dari besi, yang kadang-kadang digerakkan dengan mesin untuk "mengukir" sebuah tato.
Pada sistem budaya yang berlainan, tato mempunyai makna dan fungsi yang berbeda-beda. Suku Maori di New Zealand membuat tato yang berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Di Kepulauan Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus inisiasi untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka. Orang-orang Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukkan status sosial tertentu.

Di Indonesia sendiri, budaya rajah ini ditemukan pada suku Dayak di Kalimantan, dan suku Mentawai di Sumatera. Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Selain itu, salah satu kedudukan tato adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya.
Dalam perkembangannya di Indonesia, tato menjadi sesuatu yang dianggap buruk. Orang-orang yang memakai tato dianggap identik dengan penjahat, gali (gabungan anak liar) dan orang nakal. Pokoknya, golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman masyarakat. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat "pengesahan" ketika pada tahun 80-an terjadi pembunuhan misterius terhadap ribuan orang gali di berbagai kota di Indonesia. Soeharto dalam otobiografinya, mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat. Bagaimana cara mengetahui bahwa seseorang itu penjahat dan layak dibunuh? Brita L. Miklouho-Maklai menyebutkan bahwa para penjahat kambuhan itu kebanyakan diidentifikasi melalui tato, untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang di sembarang tempat seperti sampah.

Tidak semua orang bertato itu penjahat memang. Tapi mengapa sampai terjadi generalisasi seperti itu? Apa kira-kira dasar alasannya? Apakah dulu kebetulan pernah ada seorang penjahat besar yang punya tato dan lalu dipakai sebagai ciri untuk menggeneralisir bahwa semua orang yang bertato pasti penjahat juga? Sayangnya belum ada studi mendalam yang bisa menguak pergeseran makna tato dari ukiran dekoratif sebagai penghias tubuh dan simbol-simbol tertentu menjadi tanda cap (stereotipe) bagi para penjahat. Tetapi melalui tulisan ini, penulis hendak mencoba mengkajinya melalui sudut psikologi sosial.
Dari pengantar di atas, kita bisa mendapatkan, paling tidak, ada dua kelompok yang terbentuk dari gejala ini. Kelompok pertama adalah orang-orang yang bertato, entah apapun motif mereka menggunakan tato itu. Sedangkan, kelompok kedua adalah orang-orang yang memberi cap negatif kepada orang-orang yang bertato tadi yakni masyarakat pada umumnya. Maka dari itu, pertanyaan mendasar yang relevan, sekaligus mencoba memecahkan masalah di mana letak persoalan stereotipe ini adalah: Bagaimanakah persepsi dan prasangka masyarakat terhadap orang yang bertato? Kemungkinan-kemungkinan atribusi apa sajakah yang terjadi dalam sterotipe itu? Bagaimanakah sikap masing-masing kelompok sehingga semakin melanggengkan stereotipe ini? Dan yang terakhir, bagaimana peran pengaruh sosial dalam gejala ini?

Persepsi dan Prasangka Terhadap Orang Bertato: Bermula dari Stereotipe
Seseorang memakai tato tentu saja mempunyai maksud tertentu. Ada yang ingin menunjukkan kejantanan, status sosial, tanda kesuburan, atau bahkan untuk mempercantik diri. Dalam hal ini tato menjadi sebuah simbol. Namun dari maksud-maksud tadi mesti dibedakan lagi antara orang yang memakai tato karena memang budaya bawaan dari lingkungan mereka (suku tertentu—dengan demikian adalah hal yang biasa) ataukah ingin menonjolkan (salient) sesuatu dari dirinya. Yang disebutkan terakhir sudah barang tentu memiliki suatu maksud, sebab tidak mungkin tato hanya berfungsi sebagai gambar pada dirinya sendiri (an sich).
Tato yang ditonjolkan menjadi suatu lapang persepsi bagi orang lain. Orang lain akan sangat peka dalam hal ini, karena memang berbeda atau lain dari yang lain (menjadi terkesan eksklusif). Orang bertato dicap sebagai penjahat pasti juga tidak terlepas dari maksud-maksud tertentu. Awalnya mungkin hanya sekedar ingin menunjukkan kejantanan, harga diri, atau bahkan bisa membuat percaya diri (pede). Tapi maksud ini disalahgunakan beberapa orang untuk hal-hal yang negatif. Tentu saja dalam hal ini para penjahat. Untuk menambah kegarangannya mereka akan menggunakan tato. Sosok penjahat sendiri sudah menunjukkan kegarangan, tapi dengan dipakainya tato, kegarangan itu semakin kelihatan lebih besar.
Perilaku ini pada awalnya hanya dilakukan beberapa orang saja, tetapi karena tato itu berfungsi sebagai salience maka muncullah steoreotipe bahwa penjahat seringkali memakai tato. Steoreotipe ini diperkuat melalui media massa. Begitu seringnya pelaku kejahatan yang bertato ditampilkan melalui media, terutama dalam konteks Indonesia terjadi pada tahun 1980-an, ketika petrus merajalela, timbullah asumsi bahwa penjahat-penjahat itu selalu bertato. Logika semacam ini memang tidak lurus, karena mengeneralisasikan begitu saja. Parahnya, kesimpulan yang didapat bisa sampai pada anggapan bahwa yang bertato adalah seorang kriminal. Padahal belum tentu orang yang bertato adalah seorang kriminal.
Proses ini menunjukkan bahwa orang-orang yang memakai tato sangat mempengaruhi orang-orang di luar diri mereka untuk memberikan penyimpulan ciri kepribadian. Tato sendiri sudah merupakan tanda, sehingga secara cepat dan otomatis, orang-orang kita pertama kali bertemu dengan mereka akan mencap bahwa mereka orang-orang yang ‘jahat’. Inilah yang disebut negativity effect (orang memberi bobot lebih pada informasi negatif daripada informasi positif dalam mencapai kesan yang lengkap). Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini diakibatkan dari aspek penonjolan dari tato itu.
Stereotipe bahwa orang bertato adalah penjahat menandakan bahwa terjadi suatu prasangka. Prasangka ini dinyatakan oleh masyarakat pada umumnya (in-group) yang menunjukkan sikap dan tingkah laku negatif terhadap orang-orang yang bertato (out-group). Prasangka ini berefek merusak dan meluas. Masyarakat semakin takut untuk dekat dengan orang bertato, apalagi coba-coba untuk memakai tato (walaupun pada awalnya tidak takut). Begitupun sebaliknya, para penjahat semakin menunjukkan eksistensi mereka melalui tato ini. Kalau sebelumnya belum bertato, maka mereka akan memakai tato.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam prasangka, 3 konsekuensi dari in-group begitu jelas: (1) masyarakat mempersepsikan orang-orang yang tidak memakai tato sebagai orang yang lebih sama dengan mereka daripada orang-orang yang bertato , (2) masyarakat cenderung melihat orang-orang bertato sebagai lebih homogen daripada orang-orang yang tidak bertato , dan (3) masyarakat akan bersikap positif bagi yang tidak bertato dan bersikap negatif kepada orang-orang yang bertato. Akibat konsekuensi ini, wajarlah bila komponen-komponen masyarakat lainnya ikut pula memperkuat prasangka ini. Agama malahan menyempurnakan image tato sebagai sesuatu yang dilarang, haram, dan tidak boleh. Perusahaan-perusahan tidak mau menerima pegawai yang ditubuhnya ditemukan tato.

Atribusi
Untuk memahami alasan atas sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap orang-orang yang bertato, akan dipaparkan kemungkinan-kemungkinan atribusi tersebut (locus of causality): ‘peristiwa stereotipe terhadap orang bertato sebagai pelaku kriminal’.

Locus of causality di atas dijelaskan sebagai berikut: (1) orang yang dengan sengaja bertato dengan maksud bahwa dirinya jagoan dan preman, merupakan suatu salience. Salience inilah yang menjadi alasan terjadinya stereotipe; (2) Stereotipe yang pada mulanya sudah ada, dilanggengkan secara terus-menerus melalui proses sosialisasi antar generasi. Tidak bisa dikendalikan karena terjadi begitu saja melalui peristiwa-peristiwa kecil yang seringkali terjadi, misalnya tertangkapnya pencopet yang kebetulan bertato; (3) Kebetulan saja setiap kali melihat tindakan kriminal, pelakunya bertato, padahal ada juga pelaku kriminal lainnya yang tidak bertato atau sebaliknya, ada juga yang bertato tapi bukan seorang kriminal; (4) anggapan umum/stereotipe yang beredar di masyarakat begitu saja diterima mentah-mentah (tak terkontrol) dan akibatnya menjadi anggapan pribadi; (5) stereotipe terjadi ketika masyarakat ingin cepat-cepat mengidentifikasikan seorang penjahat: “orang yang bertato adalah penjahat”; (6) media massa mensosialisasikan setiap peristiwa penangkapan seorang penjahat, dengan meyebutkan ciri-ciri penjahat, di antaranya bertato. Ciri-ciri ini mesti disebutkan karena menginformasikan sesuatu yang penting. Kalau dihilangkan tentu saja ada informasi yang hilang. Ini terjadi begitu saja; (7) sewaktu-waktu pemerintah menggunakan treatment agar para penjahat kapok, dan dalam treatment ini diidentifikasikan bahwa penjahat itu bertato; (8) situasi global juga mempengaruhi, semua kejadian-kejadian tadi tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain, walaupun tidak begitu kentara dan tidak seseringkali dilakukan, karena hanya terjadi di beberapa negara saja.
Sikap

Persepsi negatif atau prasangka masyarakat terhadap orang-orang yang bertato, menjadi sebuah sikap bersama dalam masyarakat sendiri. Sikap ini tidak bisa dilepaskan dari proses belajar masyarakat, karena masyarakat mengkaitkan suatu nilai dengan fakta-fakta yang ada di dalam masyarakat.
Proses belajar ini berkembang melalui asosiasi, penguatan (reinforcement) dan imitasi. Secara asosiasi, diperoleh melalui gambar-gambar yang ditampilkan lewat media massa. Penjahat-penjahat ketika diinterogasi dipaksa bertelanjang dada dan ditunjukkan bahwa mereka memakai tato. Kejadian yang berulang-ulang, membuat masyarakat mengasosiasikan tato dengan kejahatan.
Secara reinforcement, terjadi saat orang-orang mengalami secara langsung kejahatan yang dilakukan orang yang bertato. Misalkan seorang ibu dirampok, kebetulan bahwa perampok itu bertato. Kemudian pada lain peristiwa, ada orang lain dijambret, dan tertangkap basah, dan dihakimi massa. Ibu itu turut menyaksikan peristiwa itu dan melihat pelaku itu pun memiliki tato. Terjadi penguatan kesan dalam diri ibu itu, semula tidak punya prasangka apapun, tetapi dengan tato itu ibu berkesan sekaligus memperkuat kesannya bahwa yang bertato itu jahat, apalagi kalau ibu itu mengalami lagi peristiwa yang sama.
Dan, lewat imitasi, terjadi di mana anak-anak meniru sikap-sikap orangtua mereka, atau sikap orang-orang di sekitar mereka yang berprasangka atas orang-orang yang bertato.

Pengaruh Sosial
Satu pendekatan psikologi sosial yang lain dalam kasus stereotipe terhadap orang yang bertato adalah pengaruh sosial. Dalam kasus ini kita bisa melihat bahwa terjadi suatu konformitas di dalam masyarakat. Keinginan utama untuk melakukan konformitas dalam kasus ini adalah keinginan untuk menjadi benar. Keinginan ini bersumber pada informasi yang berguna, yang diberikan oleh orang-orang lain dalam masyarakat. Prinsip yang berguna ini tidak mengandaikan bahwa informasi itu sungguh-sungguh benar tetapi mengandaikan bahwa informasi itu baik bagi kita.
Pada dasarnya orang yang bertato itu bukanlah seorang kriminal. Tetapi, ketika seseorang menginformasikan bahwa banyak penjahat bertato, orang yang mendapatkan informasi itu akan menelaahnya dan akhirnya menerima informasi ini juga sebagai pegangan atau pandangannya. Informasi inilah yang juga akan dipakainya jika bertemu dengan orang-orang yang bertato. Konformitas ini akan semakin kuat jika orang yang mendapat informasi itu sama sekali tidak tahu tentang tato, baik asal-usulnya maupun fungsi lain dari tato tersebut (misalnya fungsi seni).
Masih dalam lingkup pengaruh sosial, stereotipe yang dikenakan pada orang yang bertato berkembang karena adanya obedience to authority. Otoritas yang terkena dalam hal ini adalah pemerintah yang melegalkan petrus (penembakan misterius), perusahaan-perusahaan yang tidak mau menerima orang yang bertato, dan institusi agama yang menganggap bertato itu tindakan yang haram.

Epilog: Sebuah Tanggapan
Dari penjelasan di atas kita bisa menyimak suatu pergeseran makna yang dibawa oleh tato dari makna seni ke makna kriminalitas. Pendasaran pertama mengapa terjadi pergeseran ini adalah aspek salience dari tato itu. Tentu saja tato itu bukan sekedar gambar. Tato tertera di badan kita pasti akan terlihat orang lain. Mungkin saja, tato ini terletak di dalam bagian dalam tubuh kita yang tertutup pakaian, tetapi ini tidak tertutup kemungkinan akan terlihat juga. Memang, tato yang sebenarnya sudah membawa aspek salience, ketika sang pemiliknya dengan sadar lebih menonjolkan lagi, dengan menunjukkan bahwa ini sebuah tanda kejantanan, tentu saja akan membawa pergeseran makna.
Kasus ini berbeda dengan yang dialami oleh suku-suku bangsa yang juga menggunakan tato. Tato bagi mereka adalah suatu hasil kebudayaan, suatu hal yang biasa, sehingga aspek salience, bagi mereka ditempatkan sesuai dengan tradisi yang berlaku umum dalam kebudayaan mereka, entah itu demi status sosial ataupun menunjukkan hormat mereka pada leluhur mereka (aspek seni).
Pendasaran yang kedua adalah di mana tato itu ditempatkan. Ketika tato juga dipergunakan oleh orang-orang yang tidak memiliki kebudayaan bertato, aspek penonjolan semakin kuat. Aspek penonjolan ini pada akhirnya membentuk persepsi bagi orang lain yang tidak bertato. Lebih lanjut, terjadi pengelompokan orang, ada yang berada dalam in-group (masyarakat) dan out-group (kelompok orang bertato). Ada beberapa orang yang bertato tetap mempertahankan maksud dari tato itu yakni sesuai dengan kebudayaan aslinya, misalnya menggambarkan suatu karya seni. Tetapi, ketika ada yang mempunyai maksud lain dari penggunaan tato itu, misalnya untuk kejantanan status out-group dan in-group mendapatkan penguatan. Apalagi ketika kejantanan itu disalahgunakan untuk tindakan kriminalitas, prasangka yang diciptakan in-group akan semakin kuat. Prasangka ini mungkin awalnya hanya berlaku bagi beberapa orang, tetapi ketika melalui pengaruh sosial dan belajar sosial masyarakat, prasangka ini menjadi anggapan umum.
Praktis, dari pendasaran-pendasaran yang dipakai kita bisa memahami bagaimana psikologi sosial memainkan peranan penting dalam kasus ini. Sekaligus juga di dalamnya kita bisa menemukan akar masalahnya dan untuk itu menjadi suatu kritik atas anggapan umum tadi. Orang yang bertato adalah orang yang jahat telah menutupi orang yang bertato dengan maksud lain yang lebih positif. Akibatnya kalau orang yang punya maksud lain itu tidak betah dengan prasangka-prasangka yang dibuat oleh masyarakat (misalnya tidak boleh bekerja, dianggap haram oleh agama) akan berusaha menghilangkan tato di tubuhnya.

Oleh karena itu, stereotipe bahwa tato adalah sebuah kriminalitas tidaklah benar. Tato belum tentu menunjukkan orang itu penjahat. Adalah faktor kebetulan saja bahwa banyak penjahat itu bertato. Tetapi kita tidak bisa begitu saja mengeneralisasikannya. Banyak bukan berarti semuanya. Banyak hanyalah bersifat partikular. Maka, salah kaprah yang sudah mewabah tadi mesti diperbaiki. Tatoo is not a crime.
Read more...