Tuesday, September 30, 2008

Indonesia dalam Pola Pikir Mitos dan Realitas


Memahami Mitos dan Realitas
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dan bermacam ragam suku bangsa. Dibandingkan dengan banyak negara lain yang tidak memiliki keanekaragaman seperti ini, tentu saja letak geografis dan pluralitas penduduk telah cukup membedakan Indonesia di tengah-tengah dunia. Namun, sebagai bangsa manusia, bangsa Indonesia sama dengan bangsa lain, yakni dalam mengalami proses peradaban. Kesamaan proses peradaban itu terletak pada cara pola pikir yang pada mulanya berdasarkan mitos. Mengapa demikian?

Di dalam mitos, manusia dekat dengan daya kekuatan alam, di mana manusia tinggal di dalamnya. Nenek moyang kita atau manusia pertama, kalau boleh dikatakan demikian (tetapi bisa juga manusia zaman ini—kalau masih melakukannya juga), bertanya-tanya dari mana dunia kita ini, dari mana kejadian-kejadian di dalam alam, apa sebab matahari terbit dan terbenam lagi? Dan mitos menjawabnya. Dengan kata lain, sebenarnya, mitos ingin memberikan pedoman dan arah tertentu kepada perilaku manusia, dan merupakan semacam pedoman untuk bertindak bijaksana. Akhirnya, lewat mitos, manusia dapat mengambil bagian dalam kejadian-kejadian di sekitarnya, dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam itu. Keterangan di atas paling sedikit telah menunjukkan bahwa mitos adalah suatu usaha percobaan manusia untuk mengerti kejadian-kejadian di alam.
Pola pikir berdasarkan mitos mengajak manusia untuk berkembang melalui tahap-tahap peradabannya dari menemukan sesuatu yang asing menuju ke sesuatu yang dikenal. Ini adalah suatu hal yang dapat kita katakan sebagai pola kemanusiawian biasa. Implikasinya, berpikir berdasarkan mitos adalah suatu bakat manusiawi, tidak bisa kita hindari. Demikianlah yang dialami oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia, walaupun dapat dipergunjingkan lagi ketika perilaku semacam ini masih bertahan sampai sekarang.
Kuntowijoyo dalam artikelnya Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, menunjukkan dan mempergunjingkan pola pikir berdasarkan mitos. Dia melihat bahwa perilaku ini adalah suatu khurafat nasional yang tidak mampu menghadapi keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum, di mana ketiganya dalam posisi sebagai realitas bangsa—dilawankan dengan mitos. Terlepas dari adanya sisi positif di dalam pola pikir berdasarkan mitos itu (sedikit sudah diungkapkan pada paragraf sebelumnya), salah satunya terkait dengan kemanusiawian kita, kita dapat mulai memahami tulisan budayawan yang satu ini.
Pantas disadari bahwa dalam dunia mitos, manusia belum merupakan seorang individu (subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan ajaib, seolah-olah dia diresapi oleh roh-roh dan daya-daya dari luar. Percobaan untuk mengerti tentang alam baru sekedar luarannya saja. Dengan demikian tampak bahwa belum ada batasan yang jelas antara manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek. Titik kelemahan inilah yang sebenarnya mempengaruhi pola pikir umum bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang masih berpola pikir berdasarkan mitos. Dan yang paling bahaya kalau itu mempengaruhi eksekutif negara, yang notabene akan sangat berpengaruh pada pengelolaan negara. Mengapa?
Ketidakjelasan batasan ini membuat manusia mudah untuk membela diri. Tentu saja bagi manusia yang tidak ingin disentuh apalagi yang berkaitan dengan hal-hal privat akan senang berperilaku berdasarkan mitos. Mitos menjadi sebuah legalitas dan rasionalisasi bagi untouchable person yang berkepentingan untuk menghindar dari rasa sakit. Lihat saja perilaku beberapa pemimpin eksekutif kita yang berpola pikir berdasarkan mitos! Mereka ingin menjauhi dari cercaan, seolah-olah apa yang dilakukan benar adanya, ada yang dimitoskan dan tidak bisa diganggu gugat. Mitos dijadikan sebuah alat bagi bermacam-macam interes pribadi dan kelompok. Akibatnya, permasalahan-permasalah real sama sekali akan tetap ada karena sama sekali tidak disentuh.
Menarik untuk menyimak lebih jauh pandangan dari Kuntowijoyo mengenai mitos dan realitas, walaupun kelihatannya wacana keindonesiaan menjadi agak complicated. Bagaimanapun juga, sebuah perubahan pola pikir dari mitos menuju realitas, yang ditawarkan Kuntowijoyo, adalah suatu hal yang diharapkan agar terjadi perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam tulisan ini, pertama-tama penulis hendak menyimak tulisan Kuntowijoyo dari konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan dan menganalisisnya—selain tentunya, juga membicarakan wacana keindonesiaan. Untuk mudah mengikuti garis besar penulisan, pertanyaan-pertanyaan berikut adalah acuannya: Apa hubungan antara mitos dan konformitas dalam konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan? Apa kecenderuangan umum perkembangan masyarakat Indonesia, konformis atau menyimpang, atau keduanya atau tidak keduanya?

Konformitas atau Penyimpangan
Sebelum menentukan yang manakah konformitas atau penyimpangan antara mitos dan realitas, kita mesti lebih dulu mengerti apa itu konformitas dan penyimpangan. Konsep konformitas merupakan hasil dari proses sosialisasi. Menurut Jon M. Shepard, konformitas merupakan bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok. Misalnya kita berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan karena identitas diri kita sebagai laki-laki atau perempuan diberikan kepada kita melalui sosialisasi.
Sedangkan penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Dalam sosiologi penyimpangan ditambahkan bahwa perilaku penyimpangan bukan penyimpangan yang an sich atau sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Definisi tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam masyarakat ataupun pada masyarakat umum.
Berdasarkan pemahaman konsep sosiologis di atas, kita sudah dapat mendistingsikan antara mitos dan realitas ke dalam konformitas atau penyimpangan. Dari tulisan Kuntowijoyo, Pola pikir berdasarkan mitos adalah sebuah konformitas. Alasan pertama yang dapat mendukung pendapat itu adalah bahwa pola pikir mitos adalah perilaku yang diharapkan kelompok, dalam hal ini mayoritas masyarakat Indonesia. Mayoritas inilah yang turut menentukan identitas bangsa bahkan mempengaruhi sosialisasi kebudayaan orang per orang di dalamnya termasuk terhadap generasi berikutnya. Dan, alasan kedua, berlandaskan ciri konformitas di mana memperlihatkan betapa mudahnya manusia dipengaruhi orang lain, kita bisa melihat fenomena kehidupan politik dalam tulisan Kuntowijoyo, di mana masyarakat Indonesia dipengaruhi untuk percaya pada mitos-mitos politik seperti mitos tentang kembalinya pulung kerajaan dan mitos tentang tumbal. Ini semakin fenomenologis ketika dibuat oleh seorang Soekarno, Soeharto atau bahkan seorang Gus Dur yang merupakan seorang public figur, yang tentu saja memiliki simpatisan.
Sebaliknya, pola pikir berdasarkan realitas merupakan sebuah penyimpangan. Pola pikir ini tidak umum dan tidak normal. Tentunya penilaian ini dinilai oleh orang-orang yang konformis. Lihat saja bagaimana seorang Habibie melakukan tindakan yang berpola pikir berdasarkan realitas. Justru dia mesti didepak dari jabatan ini karena tidak umum.
Pembedaan antara mitos sebagai konformitas dan realitas sebagai penyimpangan, seperti yang sudah diungkapkan di atas, boleh dikatakan sudah mengikuti konsep-konsep sosiologis yang diberikan. Tetapi, kalau melihat secara tajam tulisan Kuntowijoyo, ternyata berlaku sebaliknya. Justru mitos adalah sebuah penyimpangan sedangkan realitas adalah sebuah konformitas. Mengapa?
Kalau semata-mata hanya melihat pada pola penulisannya, kentara sekali, bahwa tulisan ini konformis terhadap pandangan Kuntowijoyo sendiri yang justru mendukung realitas dan sungguh menolak mentah-mentah mitos. Maka dari itu Kuntowijoyo tidak segan-segan menyebutkan titik kelemahan mitos (sebagai sebuah penyimpangan) dan memaparkan proses demitologisasi. Istilah khurafat nasional merupakan istilah yang semakin mendukung bahwa mitos adalah sebuah penyimpangan.
Dengan demikian perlu ditekankan dalam konsep sosiologis ketika akan menilai apakah ini suatu konformitas atau penyimpangan, yakni tergantung pada definisi sosial. Bukan suatu hal yang mustahil bila pendistingsian akan berbeda antara yang berlaku secara umum di masyarakat (kenyataan) dengan kelompok-kelompok kecil atau bahkan seperti tulisan ini sendiri. Dalam pengertian sempit, siapa saja bisa menganggap dirinya konformis karena pastilah pertama kali mengklaimnya (suatu pembelaan diri juga, bukan?), sedangkan orang lain dianggap menyimpang.
Kecenderungan Umum
Tentu saja setelah menyimak pembahasan dan analisis pada bagian sebelumnya, kita dapat mengetahui kecenderungan umum perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini, yakni berpola pikir berdasarkan mitos. Kecenderungan umum yang diidentifikasikan sebagai sebuah konformitas tentu saja tak bisa dilepaskan dari berbagai faktor lain yang mempengaruhinya—selain yang sudah disebutkan di atas mengenai konsep mayoritas. Psikoanalisa Freud bisa membantu memahami prinsip bertindak yang pada umumnya berlaku pada sebuah masyarakat. Dalam psikoanalisanya, Freud menyebutkan bahwa salah satu fungsi masyarakat adalah untuk menghambat dan menekan impuls-impuls naluriah perorangan. Inilah yang kita yakini sebagai sebuah psikologi massa yang memampukan ego-ego seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat.
Sebagai faktor lain yang bisa mempertegas bahwa kecenderungan umum bangsa Indonesia berpola pikir berdasarkan mitos adalah perumpamaan Gua Plato. Perumpamaan ini hendak membicarakan tentang manusia. Adalah beberapa tawanan yang sejak lahirnya terbelenggu, mukanya tidak dapat bergerak dan hanya bisa memandang ke dinding gua. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang orang yang hilir mudik, yang dibentuk oleh cahaya api di belakang mereka. Para tawanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain. Suatu kali ada seorang tawanan yang memberontak. Dia melepaskan diri dari belenggu dan berbalik melihat cahaya api, sekaligus pula keluar dari gua. Pertama-tama, dia merasa baru saja meninggalkan sebuah realitas, tetapi berangsur-angsur ia sadar bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa ia belum pernah memandangnya. Dia kembali kepada teman-temannya dengan maksud untuk mengajak mereka untuk mengalami realitas yang baru saja dirasakannya, tetapi apa jawaban dari temannya? Tak disangka, ternyata memarahi dan tidak percaya, dan seandainya teman-temannya tidak terbelenggu, mereka pasti akan membunuh dia yang hendak melepaskan mereka dari gua.
Demikianlah kenyataannya, bahwa manusia yang digambarkan secara filosofis oleh Plato, pada dasarnya akan tetap mengindahkan pola pikir berdasarkan mitos. Ini bisa dikenakan kepada bangsa manapun, khususnya dalam hal ini, bangsa Indonesia. Sedangkan, orang yang justru melihat realitas sebenarnya, yang berani keluar, adalah orang yang melakukan suatu tindakan menyimpang.
Di samping kecenderungan umum ini, kita mesti pula mengakui bahwa ada kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat yakni pola pikir berdasarkan realitas. Walaupun ini sebuah penyimpangan—kata orang-orang yang berpola pikir mitos, eksistensi mereka tetap dapat menjadi sebuah momen yang suatu saat akan berkembang menjadi sebuah perilaku atau identitas (kebudayaan) bangsa atau dalam hal ini menjadi suatu konformitas pula.
Mungkin saja tindakan Habibie atau segelintir orang-orang yang berani keluar dari gua, hanya merupakan tindakan-tindakan kecil, tapi dari sinilah awal sebuah perubahan atau demitologisasi yang tentunya akan membawa perubahan pula pada pembangunan bangsa Indonesia.
Analisa Merton
Konsep sosiologis yang cocok untuk menganalisis tulisan Kuntowijoyo adalah konsep sosiologis menurut Robert K. Merton. Sebelum masuk lebih jauh, penulis menangkap bahwa tulisan tersebut terjadi pada jenjang makro, yaitu pada jenjang struktur sosial. Menurut argumen Merton, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku konformis, tetapi menghasilkan pula perilaku menyimpang, struktur sosial menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial; menekan orang tertentu ke arah perilaku nonkonform. Ada 5 tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu yang diidentifikasikan oleh Merton, yakni: konformitas, inovasi, ritualisme, retreatisme dan pemberontakan (rebellion).
Dalam tulisan Kuntowijoyo sendiri, pola adaptasi yang digunakan adalah cara pemberontakan (rebellion). Dalam pola adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain. Tujuan budaya yang ada dianggap sebagai penghalang bagi tujuan yang didambakan. Cara yang tersedia untuk mencapai tujuan pun tidak diakui.
Lebih jauh, muncul pertanyaan mengapa bangsa Indonesia disebut sebagai struktur sosial? Dan mengapa konformitas dan penyimpangan terkait di dalamnya? Menurut Merton pula, ciri dasar dari suatu struktur sosial ialah bahwa status tidak hanya melibat satu peran terkait melainkan sejumlah peran terkait. Bila kita masukkan bangsa Indonesia sebagai suatu struktur sosial, kita bisa melihat sejumlah peran terkait di dalamnya. Peran sebagai bangsa Indonesia tentu saja tidak terkait dalam hal politik dengan pemerintah atau dengan partai atau kelompoknya, tetapi tentu saja terkait dengan orang lain di sekitarnya yang bisa berhubungan secara ekonomi, kebudayaan atau bidang yang lain. Maka karena peran yang saling terkait inilah, tidak bisa dihindari bahwa ada tindakan konformitas dan penyimpangan.
Berikutnya, kita akan melihat mengapa penyimpangan merupakan suatu pola adaptasi pemberontakan (rebellion) terhadap konformitas. Ada 2 determinasi yang dipaparkan oleh Merton dalam tipologi adaptasinya, yakni tujuan budaya dan cara yang diinstitusionalisasikan. Dalam pola pikir berdasarkan mitos, ambil contoh saja anggapan khalayak umum tentang mitos adanya kharisma sang Ratu Adil. Ketika anggapan ini ditempatkan pada seorang Soekarno, masyarakat mempunyai tujuan dan berharap beliau bisa mengatasi krisis dari keterjajahan menuju kemerdekaan. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya. Tujuan itu tidak pernah tergapai, masyarakat malahan dibuai dengan tindakan Soekarno yanng justru menjadi penjajah sendiri, maksudnya, bahwa dengan Demokrasi Terpimpin, sama saja menempatkan Soekarno sebagai penjajah. Masyarakat sadar dan muncul mitos Firaun, dan akhirnya Soekarno lengser. Sama halnya dengan pengganti berikutnya, Soeharto. Pepatah “habis manis sepah dibuang” begitu tepat dikenakan kepada mereka. Garis besarnya, tujuannya pun—baik yang dilakukan oleh Soekarno maupun Soeharto, tak disadari telah menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Kalau tujuannya sudah tidak jelas bagaimana mungkin caranya juga jelas. Implikasi lebih jauh, dengan terus berulangnya kejadian seperti ini, tak pelak lagi, masyarakat mebudayakan pola pikir berdasarkan mitos.
Sebaliknya, dengan adanya penyimpangan—tanda sebuah pemberontakan, bergantilah haluan, menuju pola pikir berdasarkan realitas. Tujuannya pun dipertegas dengan salah satu bentuk demitologisasi yakni dari abstrak menuju konkret, yakni memperbaiki bangsa yang sedang dilanda keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum. Lalu, cara yang digunakan pun diganti—bukan menghindar dan menggunakan simbol, tetapi memperkenalkan ilmu pengetahuan, gerakan puritanisme dalam agama dan pengenalan sejarah dan seni.
Demikianlah kita melihat suatu pemberontakan pola pikir berdasarkan realitas dari pola pikir berdasarkan mitos.

Akhir Kata: Sebuah Refleksi
Bukan tidak mungkin bahwa suatu saat kecenderungan umum yang ada dalam masyarakat Indonesia menempatkan realitas sebagai sebuah konformitas sedangkan mitos sebagai penyimpangan. Kejadian ini tergantung ke arah mana bangsa Indonesia bersikap terhadap kebudayaannya.
Quo vadis Indonesia, menjadi sebuah pertanyaan yang cocok sebagai akhir kata dalam tulisan ini. Tepatlah istilah yang digunakan Kuntowijoyo bahwa kita hanya berjalan di tempat, karena kita sama seperti nenek moyang kita yang berpikir berdasarkan mitos. Sekaligus pula ini sebuah pertanda dan pertanyaan untuk menjawab tanda-tanda zaman (melalui permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia—keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa, dan anarki hukum). Bisa jadi kita tetap mengindahkan mitos sebagai sebuah kemanusiawian (memandang positif) kita. Dan mulai membuka diri terhadap pola pikir berdasarkan realitas. Tentu saja ini semata-mata sebuah wacana keindonesiaan, karena inilah yang sedang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk selanjutnya. Seperti pula dalam perumpamaan Gua Plato, mau kemanakah kita berjalan, tetap di dalam gua atau pergi keluar gua dan menemukan realitas sesungguhnya?
Akhirnya, penulis pun sadar bahwa tulisan Kuntowijoyo adalah sebuah olahan refleksi yang mengamati keadaan masyarakat secara global dengan memperhatikan gejala sosial yang terjadi dalam kultur kebudayaan bangsa. Walahuallam, semoga harapan dari Kuntowijoyo dapat tercapai dan Indonesia meninggalkan khurafat nasional.
Read more...

Monday, September 29, 2008

Paradigma Tindakan Sosial: “Socrates & Mimbar Bebas”


Peradilan Socrates yang dengan jelas menunjukkan rusaknya demokrasi di Athena, adalah usaha dari Socrates sendiri untuk menghidupkan kembali api demokrasi yang tertuang dalam kebebasan berbicara. Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir dengan tindakan-tindakan sosial yang dilakukannya. Dengan pendekatan paradigma tindakan sosial, kita memahami (verstehen) implikasi-implikasi dari perbuatannya. Walaupun peradilan itu sebuah skandal, akhirnya itu bisa memberikan analogi yang tepat untuk keadaan negara kita pada tahun 1996. Walaupun Socrates minum racun, kebebasan bicara tidak bisa dihukum.

***
Sama seperti organ-organ yang bersatu membentuk tubuh, seorang individu bersatu dengan individu-individu lain membentuk masyarakat. Organ-organ itu tidak bekerja sendiri tapi saling bekerjasama, demikianpun juga individu berinteraksi satu sama lain. Interaksi itu bisa berupa konflik, persaingan, pembagian kerja, persahabatan, hirarki, atau berupa bentuk lainnya. Dalam tataran sosiologi mikro, interaksi itu menjadi obyek sosiologi. Banyak ahli sosiologi mengkhususkan diri pada studi interaksi sosial, salah satunya adalah Max Weber, yang mengemukakan bahwa pokok bahasan sosiologi adalah tindakan sosial.
Peradilan Socrates merupakan salah satu momen yang menunjukkan bagaimana seorang Socrates berinteraksi dengan masyarakat Athena pada waktu itu. Dengan mengacu pada paradigma tindakan sosial, tulisan ini akan menjelaskan hubungan interaksi itu.

Inti Permasalahan
Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam artikelnya “Socrates & Mimbar Bebas” menganalogikan Peradilan Socrates untuk melihat demokrasi di Indonesia. Menarik untuk disimak, sebab artikel ini adalah bagian dari kumpulan tulisan dari buku berjudul Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999. Apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1996-1999? Apa yang terjadi pada hari-hari di sekitar tanggal penulisan artikel ini (10 Agustus 1996)?
Menengok sejenak ke belakang, ke pengalaman sejarah bangsa Indonesia, pada kurun waktu itu, terjadi pergeseran politik yang begitu besar dan berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Peristiwa 27 Juli 1996 bisa dikatakan sebagai pemicu, karena melalui peristiwa itu, terlihat jelas bagaimana rusaknya politik negara dan demokrasi macam apa yang sedang berkembang di Indonesia.
Di sinilah letak inti permasalahan yang hendak disampaikan SGA dalam artikel ini. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan:
"Socrates minum racun, namun kebebasan bicara tidak bisa dihukum. Seseorang bisa saja berpikiran salah, tapi ia tak selayaknya dipersalahkan karena berpikir. Untuk bicara lebih lurus: Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir. Tapi dalam setiap zaman di mana digelar sebuah mimbar bebas, selalu masih akan ada risiko ketika pendengarnya tidak mampu berpikir sama sekali – kecuali bahwa telinganya menjadi panas."
Dalam kehidupan berdemokrasi, rakyat diberi kebebasan berbicara. Tapi, kenyataannya pada masa itu, kebebasan berbicara, sulit mendapatkan tempat. Tidak hanya Socrates yang dihukum, tapi banyak orang (manusia Indonesia) yang harus menerima kenyataan dipersalahkan, ditangkap, bahkan dihukum.
Ironinya, masih banyak juga orang yang sudah terindoktrin untuk pasif, dan sama sekali tidak mampu mengungkapkan pikiran pribadinya (NB: Sukab yang gagap bermimpi bicara lancar di mimbar bebas). Kurun waktu berikutnya, semakin terlihat bagaimana demokrasi itu semakin berkembang, di dalam pergeseran politik yang benar-benar mehong (gila).

Hubungan Antara Tindakan Socrates dengan Masyarakat Athena
Menurut Weber, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri, misalnya, tidak dapat kita anggap sebagai tindakan sosial. Tetapi menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain merupakan suatu tindakan sosial. Tindakan ini merupakan kegiatan individu, dan tidak pernah merupakan kegiatan kelompok-kelompok. Menurutnya pula, sosiologi adalah suatu ilmu yang ingin memahami (verstehen) tindakan sosial dengan mengintepretasikannya dan dengan demikian ingin menjelaskannya menurut sebabnya.
Dalam Artikel ini, Socrates memilih untuk minum racun karena mempertahankan kebebasan berbicara (bagian dari demokrasi). Keputusan hukuman mati adalah bagian dari strateginya untuk kalah dan memang dengan sengaja dia memancing kemarahan juri. Socrates mendapatkan kemenangan karena dia mampu membuat mereka mengkhianati demokrasi. Bahkan, dia tidak melepaskan peluang untuk memperlihatkan kebodohan lawan-lawannya: “karena itu saya sangat heran, bagaimana Anda bisa mengatakan saya melakukan kesalahan yang layak dihukum dengan hukuman mati.”
Inilah tindakan sosial yang dilakukan Socrates untuk menggugat praktek demokrasi di Athena. Suatu paradoks: Athena merupakan benteng kehormatan kebebasan bicara, tapi malahan melakukan kesalahan dengan menghukum seseorang yang mempraktekkan kebebasan berbicara.
Tindakan Socrates untuk menghindari segala cara mendapatkan hukuman yang lebih ringan, bahkan kesempatan untuk menang dan bebas adalah suatu tindakan sosial lainnya, yang ia lakukan untuk menghindari kemenangan atas prinsip-prinsip demokrasi yang selalu ia cemoohkan. Socrates sedang berusaha menelanjangi demokrasi Athena. Dia berani mengorbankan dirinya, karena yakin bahwa kebebasan berbicara tidak bisa dihukum.
Hasil memahami (verstehen) tindakan sosial menurut sebab-akibat di atas tidaklah lebih dari sebuah hipotesa. Ini bisa salah. Sebab, kadang-kadang orang yang bertindak itu sendiri tidak mengetahui apa motif yang sesungguhnya. Maka, berikutnya, harus membahas komponen kedua dalam metode Weber, yakni Tipe ideal.
Tipe ideal adalah suatu alat bantu: tipe itu menciptakan ketertiban dengan gejala-gejala, dan orang dapat juga secara sistematis membandingkan kenyataan empiris dengannya, tidak saja agar orang dapat menemukan penyimpangan-penyimpangan, tetapi juga agar dengan demikian orang memperoleh pengertian yang lebih baik tentang situasi sebagaimana kenyataannya.
Tipe ideal sama sekali tidak memasukkan bentuk ideal dari suatu gejala. Tipe ideal harus dapat dipahami secara interpretatif dan lagi pula isinya harus seobyektif mungkin.
Weber telah membangun tipe-tipe ideal dari fenomena historis yang berdiri sendiri, seperti Calvinisme dan Kapitalisme. Tipe-tipe ideal itu ialah konstruksi-konstruksi yang dengan demikian tidak terdapat dalam kenyataan, tetapi yang melayani tujuan penelitian tertentu, misalnya hubungan satu sama lain. Untuk itu perlu dipikirkan implikasi-implikasinya: ke manakah Calvinisme dan Kapitalisme menjurus.
Untuk melihat lebih jelas Peradilan Socrates dengan menggunakan tipe ideal, maka kita mencoba membayangkan diri kita di tempat pelaku sehingga dapat ikut menghayati pengalamannya. Baiklah kita memulainya dengan melihat latar belakang Athena pada abad ke-5 SM. Waktu itu berkembang aliran sofistik (dari kata sophos, artinya cerdik pandai). Lama-kelamaan kata itu berubah artinya menjadi gelar ejekan bagi orang yang pandai memutar lidah, pandai bermain dan bersilat dengan kata-kata.
Para sofis terlalu mengemukakan pendirian yang subjektif, relatif, dan skeptis. Pendapat mereka adalah: “Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah menurut pandangan manusia”. Mereka menerapkan teori relativisme dan bersikap skeptik, sehingga pengaruhnya mengakibatkan orang tak tahu lagi apa yang benar untuk sekarang dan yang akan datang. Retorika menjadi awal dan akhir ajaran sofistik. Retorika jadi alat pembela kebenaran yang dikemukakan. Oleh karena “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”, maka tiap-tiap pendirian dibenarkan dengan memikat perhatian orang banyak. Kalau orang banyak mengakuinya, itu sudah benar. Akibat dari itu, sikap individualisme berkembang.
Fakta inilah yang menyebabkan Socrates memperjuangkan kebenaran. Bagi dia, filosofi merupakan fungsi yang hidup. Tujuan filosofi Socrates ialah “mencari kebenaran yang berlaku selama-lamanya”. Maka, kebenaran itu tetap dan harus dicari. Ini sungguh berbeda dengan para sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif, dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis.
Dengan filosofinya yang teraktualisasi dalam hidupnya ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Ini merupakan suatu tindakan sosial. Ia bertanya jawab dengan para sofis. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Seorang sofis yang semula dipuji banyak orang sebagai guru, lama kelamaan tidak bisa menjawab pertanyaan dari Socrates, dan akhirnya dicemoohkan. Dengan caranya yang berani dan jujur itu Socrates banyak memperoleh teman.
Tetapi tindakan sosial yang telah dilakukannya membuat para sofis terancam, dan mereka menuduh bahwa dia telah mengemukakan dewa baru dan telah merusak jiwa para pemuda. Dia diadili dan dihukum mati pada akhir sidang kedua. Inilah sebuah skandal yang telah dilakukan Athena, yang katanya adalah kota demokrasi.
Keberanian Socrates dalam berbicara adalah keberanian dia untuk melawan penyimpangan yang dilakukan kotanya (rupanya para sofis mengubah Athena dari demokrasi ke anarki melalui ajarannya). Hubungan sebab-akibat semua di atas adalah sebuah konstruksi sejarah yang memperlihatkan hubungan Para Sofis dan skandal Peradilan Socrates. Implikasinya menjurus pada penciptaan masyarakat yang anarkis, dan tidak sama sekali memperjuangkan demokrasi (kebebasan berbicara). Implikasi lainnya, obyek berpikir filsafat yang menekankan pada anthrofomorfis (berpusat pada manusia) menjadi agak kabur. Namun sebaliknya, dengan skandal Peradilan Socrates, demokrasi mulai kembali ditegakkan dan obyek anthrofomorfis dijernihkan, dengan semakin banyaknya murid-murid Socrates (seperti Plato, Aristoteles, dsb).

Kritik terhadap Paradigma ini
Melihat analisa paradigma tindakan sosial terhadap hubungan antara Socrates dan masyarakat Yunani, ternyata metode yang digunakan oleh Weber tidak selalu konsisten. Ternyata Weber masih perlu menggunakan pengertian-pengertian yang menunjuk kepada keseluruhan kolektif. Bahkan dalam hal ini menggunakan metode Durkheim, yang melihat sosiologi secara makro.
Para sofis, pada waktu itu bisa dikatakan sudah terinstitusi. Pola berpikir mereka sudah terinstitusionalisasi dan menjadi umum di kalangan masyarakat Athena. Peradilan Socrates sendiri adalah bentuk nyata dari institusi itu. Dengan kata lain ini sebuah fakta sosial. Lalu, harus seberapa konsistenkah paradigma ini?
Weber menambahkan bahwa institusi atau kelompok itu dalam paradigmanya dipakai sejauh itu adalah supra-individual (soziale Gebilde), dalam kasus ini sofis bertindak hanya sebagai anggota dari suatu kelompok para sofis. Tapi, tetap sulit dijadikan batasan, bila itu dilakukan pada penelitian yang lain, misalnya terhadap ketidaksamaan kelompok sosial dalam masyarakat yang menciptakan konflik. Di sinilah letak ketidakkonsistenannya. Weber menggunakan tipe ideal tapi tidak konsisten dengan substantialnya.
Read more...

Wednesday, September 24, 2008

Mencermati Konflik!

Begitu banyak konflik telah mewarnai sejarah umat manusia sampai masa kini. Konflik-konflik di berbagai belahan dunia seperti di Palestina, Irak, Afganistan ataupun konflik lokal, seperti tragedi bom Bali, perang Aceh, perang jihad, mau tak mau akan membawa kita pada pertanyaan mendasar: Apakah manusia belum puas dan tidak mau belajar dari sejarah hitam masa lalunya sendiri? Bagaimana pahitnya PD I dan PD II bila ternyata sekarang ini manusia mulai lagi dengan konflik-konflik yang baru?

Kisah purba Kain dan Habel rupanya semakin mewujud menjadi bentuk-bentuk konflik yang lebih besar dan kompleks. Konflik-konflik ini seperti menjadi bagian dari hidup yang tidak bisa dielakkan dan dihindari. Memang manusia mencoba belajar dari pengalaman-pengalaman pahit itu, tetapi tampaknya manusia tak pernah jera untuk menciptakan konflik baru lagi.

Heran-Refleksi-Eksplorasi
Apa sebenarnya konflik itu? Konflik adalah ketegangan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih, entah dalam berpendapat atau kepentingan. Konflik ini bisa bersifat kecil saja antarpribadi, tetapi juga bisa menjadi perang besar.
Gabriel Marcel dalam refleksi filosofisnya menjawab persoalan dasar konflik ini. Pemikiran refleksifnya membangun sebuah metode yang berangkat dari kehidupan menuju ke taraf pemikiran, lalu turun lagi ke kehidupan. Metode itu terdiri dari tiga langkah. Pertama, mengagumi dan heran (admiration) akan situasi kita sendiri. Caranya adalah mau terbuka dan mau menerima realitas yang mewahyukan diri kepada kita. Ketidakmampuan orang untuk membuka diri jelas tidak akan menumbuhkan dalam dirinya kemungkinan untuk kagum dan heran. Kedua, refleksi. Ada dua jenis refleksi. Refleksi pertama cenderung memecahkan, mengkotak-kotakkan kesatuan pengalaman yang dialami manusia. Subjek dilepaskan dari situasi konkret. Refleksi ini sangat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahayanya, kalau cara berpikir ini menjadi eksklusif dan terlalu dominan. Maka perlulah refleksi kedua, partisipasi. Refleksi ini menerjunkan kembali manusia dari dunia ide-ide ke dalam dunia yang konkret. Partisipasi membawa sikap kreatif, keterbukaan diri dan bebas. Ketiga, eksplorasi. Dengan mengambil sikap partisipasi terhadap situasi konkretnya, kini terbukalah bagi manusia untuk mengadakan eksplorasi tentang realitas. Dengan cara itu, manusia menjadi mampu untuk menemukan realitas yang aktual.
Bagi Marcel, eksistensi manusia adalah berada-di-dunia. Menurut pendapatnya pengalaman eksistensial yang paling mendasar adalah hubungan manusia sebagai subjek. Maka demi terciptanya suatu hubungan pribadi antara dua subjek atau lebih perlulah pertemuan antarsubjek itu sendiri. Sedangkan pertemuan antarsubjek itu barulah mungkin apabila masing-masing subjek tersebut memakai prinsip partisipasi dalam saling mendekati satu sama lain. Artinya, masing-masing subjek mendekati satu sama lain sebagai misteri.
Hubungan antarpribadi pada gilirannya akan terwujud sempurna dalam cinta. Dalam hubungan cinta aku dan engkau naik ke taraf yang lebih tinggi yaitu menjadi kita. Dalam cinta, aku mengimbau engkau supaya bersatu menjadi kita. Namun kebersamaan dalam cinta itu tidak berlangsung sesaat saja. Kebersamaan cinta menurut kodratnya harus berlangsung terus. Maka perlulah kesetiaan. Merosotnya hubungan terjadi bilamana salah satu pihak mulai memasang berbagai macam penilaian terhadap pihak lainnya. Ikatan persekutuan antarsubjek yang dibangun atas dasar cinta akan mencapai puncaknya. Dalam hubungan ini setiap pihak yang terlibat merasakan dan mengalami kehadiran bersama.
Gagasan dasar Marcel di atas seringkali digunakan dalam menyikapi orang-orang yang terlalu menganggap dirinya menjadi pusat. Untuk itu Marcel mencoba mengajak orang tersebut untuk sadar bahwa: 1) Aku mengenali diriku sebagai manusia jika hanya dalam relasiku dengan orang lain. 2) Aku bukanlah pusat dari segalanya. 3) Adanya aku bukanlah karena aku sebagai pusat segalanya melainkan karena aku menjadi bagian dari orang lain dan mengakui eksistensi seseorang. 4) perlunya keterbukaan hati.

Mencermati Konflik
Fokus yang begitu tajam telah disampaikan oleh Gabriel Marcel dalam membahas hubungan antarpribadi. Betapa pentingnya keselarasan dan keserasian karena manusia hidup selalu bersama dengan orang lain. Tidak mungkin manusia hidup sendirian. Pijakan yang begitu kokoh, yang disampaikan oleh Marcel dalam metodenya ini membawa kita memahami kehidupan kita secara konkret. Dewasa ini kita sungguh membutuhkan dunia damai tanpa konflik. Sudah banyak yang terluka karena konflik. Semakin banyak orang putus asa dan tidak berpengharapan karena mempertanyakan mau kemanakah sebenarnya dunia ini, bagaimanakah mutu manusia ini, apakah masih bermartabat ataukah tidak lagi? Maka, sikap yang ditawarkan Marcel untuk menjunjung kembali martabat manusia adalah suatu upaya untuk memanusiakan lagi manusia.
Konflik bukanlah suatu jalan untuk memecahkan masalah, karena memang akan menghina martabat manusia sendiri dan ke-Mahadaulat-an Allah sebagai pencipta manusia yang di hadapan-Nya semuanya adalah sama. Maka, dalam kondisi apapun, dan situasi bagaimanapun manusia tidak boleh dikorbankan. Setiap manusia harus ditempatkan sebagai subjek bukanlah sebagai objek. Dengan kata lain, manusia harus selalu ditempatkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri.
Read more...

Tuesday, September 23, 2008

Metafisika Evolusioner Charles Sanders Peirce


Charles Sanders Peirce lahir di Cambridge, Massachusetts. Dia adalah putera dari pasangan Benjamin dan Sarah Hunt Mills Peirce. Ayahnya dikenal sebagai profesor matematika dan astronomi di Harvard. Sejak kecil, Peirce sudah dididik oleh ayahnya sendiri, terutama dalam pelajaran matematika dan sains. Selepas sekolah menengah, dia melanjutkan ke Cambridge dan Harvard. Di universitas ini, dia banyak menggunakan waktu bersama ayahnya (melakukan banyak eksperimen), sehingga dia agak kesulitan dalam kehidupan sosialnya. Lulus dari Cambridge dan Harvard, dia belajar kimia di Lawrence Scientific School. Di sekolah inilah, dia memulai belajar mandiri dan belajar bersama lingkungannya.

Selulus kuliah, dia bekerja sebagai astronom di Harvard dan melanjutkan penelitian sains, membaca dan menulis filsafat secara luas, dan mengajar logika di Universitas John Hopkins. Peirce mempunyai klub Metafisika, dan mengumpulkan teman-temannya untuk mendiskusikan berbagai macam hal tentang filsafat.
Dalam dunia filsafat, terutama dalam filsafat Amerika, dia dikenal sebagai filsuf pragmatis (yang mempengaruhi filsafat William James dan John Dewey). Dia juga dikenal sebagai ‘filsuf dari para filsuf’, sebab filsafatnya berpijak dari hampir semua filsuf sebelumnya (teknik yang tidak biasa dipakai). Dengan alasan itu, tulisannya seringkali sulit dimengerti.
Sebelum memulai filsafat pragmatisnya, Peirce sudah lebih dulu mengembangkan metafisikanya. Metafisikanya berpola pada teori kategori-kategori. Selama hidupnya, ada tiga tahap perkembangan teori kategorinya. Melalui paper inilah, penulis hendak menjabarkan tiga tahap perkembangan teori kategori Pierce.

Formulasi Awal Teori Kategori Pierce (tahun 1855-1869)
Pierce memulai metafisikanya dengan menyebutkan 3 kategori (sama dengan yang diungkapkan Friedrich Schiller ) yakni, I, It, dan Thou (dalam Aesthetische Briefe). Peirce menyusun kembali sistematika Schiller dan menyebutnya dengan I-impuls, It-impuls, dan kesatuan antara keduanya Thou-impuls. Secara sederhana, Peirce mencoba membangun sistem dialektika yang saling berhubungan.
Sistem dialektika di atas tadi sebenarnya hendak memformulasi ulang dari 12 kategori yang dipakai Kant dalam filsafatnya. Dengan kata lain 12 kategori Kant disederhanakan menjadi 3 kategori saja. Segala sesuatu baik di dalam alam semesta (alami) maupun dalam pikiran (akal budi) hanyalah memiliki 3 tahap dengan empat kategori pokok (kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas). Tahap pertama adalah tahap I, atau konsistensi pribadi, yang sering disebut tahap sederhana. Tahap kedua adalah tahap It, yang meliputi ‘lebih atau kurang’, ini adalah tahap tingkatan dan sering disebut sebagai tahap positif atau tahap ‘Human’. Dan tahap ketiga, adalah tahap thou, tahap kombinasi antara dua tahap sebelumnya, dan ini adalah tahap yang sempurna.

Metafisika Eksperimental (1870-1884)
Seperti sudah dikatakan pada bagian pengantar bahwa Pierce adalah ‘filsuf dari para filsuf’ dan latar belakangnya yang adalah seorang ilmuwan ilmu alam, pada kurun waktu tahun 1870-1884, Peirce, dalam mengembangkan filsafatnya tampak sekali menggunakan inter-disiplin ilmu. Pada tahap ini, ia mulai mengembangkan filsafat pragmatisnya (pada paper ini tidak akan dijelaskan tentang filsafat pragmatisnya). Untuk metafisika, hanya terjadi perubahan sedikit, tetapi perubahan itu cukup mencolok, karena metafisikanya berpijak dari pengalaman. Metafisikanya pada tahap ini dikenal dengan metafisika arsitektonik (architectonic).
Alasan mengapa diberi nama metafisika arsitektonik, karena merupakan penggabungan dari metode logika, semiotik dan psikofisik, yang ketiga-tiganya membentuk suatu pola pikir dengan suatu tujuan (teleological thought).

Tiga Kategori (akhir) Fundamental (1885-1913)
Pada tahap perkembangan terakhir, yakni antara tahun 1885-1913, metafisika Pierce menggunakan 3 kategori lagi, yakni: Pertama, adalah ‘kepertamaan’ (firstness), adalah idea yang tidak memperhatikan yang lain. Peirce menyebutnya sebagai kategori kualitas. Dari sudut pandang fenomenologi kita dapat merasakan sedih, melihat kualitas ke-biru-an, tanpa menunjuk kepada subjek atau objek secara langsung tetapi secara sederhana merupakan sesuatu yang unik. Peirce menyebut kualitas di atas sebagai monad yakni kualitas murni, yang dalam dirinya tidak ada bagian-bagian dan tidak ada perubahan wujud. Istilah monad di sini bukan dalam arti Leibnizian. Bagi Peirce monad bisa dijadikan sebagai contoh dalam kualitas kedua. Ini bisa dimengerti karena ketegori kepertamaan adalah kualitas.
Dalam kasus yang lain, ‘kepertamaan’ adalah suatu ciri-ciri alam semesta yang dapat menembus, mewakili elemen keunikan, kesegaran dan keaslian di manapun berada, dalam setiap fenomena, fakta dan kejadian. Untuk menghasilkan beberapa idea, Peirce mengharapkan kita membayangkan alam semesta sebagaimana Adam pertama kali melihatnya, dan sebelum dia membuat pembedaan dan melakukan ‘refleksi’.
Kategori fundamental yang kedua adalah ‘keduaan’ (secondness). Kategori ini merupakan konsepsi yang relatif, konsepsi yang reaksioner. Dari suatu sudut pandang, ‘keduaan’ adalah fakta, walaupun dari sudut pandang yang lain, ini disebut eksistensi dari yang aktual. Kategori ini meliputi alam semesta. Fakta adalah fakta, sebagaimana kita katakan; dan inilah sebabnya kita kadang mengatakan fakta yang kejam.
Kategori fundamental yang ketiga adalah ‘ketigaan’ (thirdness), dikenal sebagai kategori mediasi. Secara logis berfungsi menjadi mediasi antara objek dan tafsiran. Secara ontologis, ketigaan menengahi antara kepertamaan (dalam kualitas) dan keduaan (dalam fakta, aksi dan reaksi). Ini menunjukkan kontinuitas dan membentuk suatu hukum dari berbagai tipe dan tingkatan.. Sebagai contoh, hukum kualitas pada sistem kualitas pencampuran warna yang dibuat oleh Isaac Newton. Kemudian lagi hukum-hukum regular yang memampukan kita memprediksi masa depan dengan berdasarkan pada kualitas. Dalam berbagai bentuk, kategori ketigaan seperti kepertamaan dan keduaan, meliputi seluruh alam semesta, dan kita dapat mengatakan bahwa segalanya berdiri dalam suatu hubungan dengan yang lainnya.
Sekarang, kualitas dapat dikatakan menjadi suatu sensasi yang permanen, meskipun bebas dari pengalaman subjektif. Dan kita dapat mengatakan bahwa kualitas pertama memberikan suatu model pertama, yang dinamakan kemungkinan nyata, meskipun konsep kemungkinan itu lebih luas daripada kualitas. Pada kategori kedua, aktualitas atau eksistensi memberikan model kedua, yang dinamakan aktualitas sebagai pembeda dari kemungkinan. Dan dengan memasukkan konsep hukum ketegori ketiga terbentuk model ketiga, di mana Peirce menyebutnya sebagai ‘nasib’, sebagai fakta masa depan. Tetapi ini mesti dimengerti bahwa istilah nasib adalah lebih luas daripada konsep tentang hukum.
Melalui penjabaran di atas, kita melihat ada tiga ketegori fundamental dan tiga model/cara menjadi metafisis. Peirce juga membedakan tiga cara atau kategori dari eksistensi atau aktualitas. Yang pertama, disebut ‘kesempatan’, sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan kebebasan dan spontanitas. Cara kedua dalam eksistensi adalah hukum-hukum. Cara ketiga dari eksistensi adalah kebiasaan. Menurut Peirce, segala sesuatu tidak bisa terpisah dari kebiasaan, apakah dia manusia, hewan, tumbuhan atau substansi kimiawi.. Dan hukum-hukum adalah hasil dari kebiasaan.
Kita sekarang dapat menyadari dunia yang aktual dalam terang kategori aktualitas ini: yang pertama, kesempatan; yang kedua, hukum-hukum; dan yang ketiga, kebiasaan. Bagaimana kalau alam semesta ini aslinya tidak ada pembeda, tidak ada kebiasaan, tidak ada hukum? Dari sudut pandang tertentu, determinasi di atas tidak berlaku. Sehingga kemungkinan dari semua determinasi hanyalah ‘yang ada’. Kesempatan yang ada sangatlah spontan, bebas dan kreatif. Tetapi, beberapa kualitas jatuh secara ontologis pada kategori kepertamaan. Dan sebagaimana alam semesta berkembang dan ‘monad-monad’ bekerja dan bereaksi dalam keduaan, kebiasaan terbentuk dan menghasilkan hukum-hukum yang merupakan ketegori ketiga. Proses ini menjadi komplet, hal yang berlawanan tadi justru berubah.
Berdasarkan jalan penalaran di atas, menurut Peirce, kesempatan selalu ada di dunia. Dunia adalah sebuah proses dari kretivitas dan determinasi secara terus-menerus, bergerak dari batas ideal ketidaktentuan absolut menuju ketetapan absolut, dari kemungkinan yang sederhana menuju kemungkinan yang lengkap. Cara ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa evolusi adalah proses kemajuan dari kesempataan absolut yang disadari sebagai suatu khaos, yang tidak bisa dikenali menuju yang murni di dalam sistem rasional yang sempurna. Dengan kata lain, Peirce beranggapan bahwa alam semesta bergerak menuju sebuah perwujudan rasionalitas yang penuh.
Menurut Pierce, sebenarnya kesempatan bukanlah satu-satunya penjelasan terhadap evolusi, karena memang evolusi bukanlah suatu penyebab final. Maka dari itu, Peirce mengadopsi pandangan dari filsuf Yunani, empedokles. Penyebab final dilakukan oleh atraksi dan yang merespon adalah cinta. Terhadap prinsip kesempatan, Peirce manambahkan cinta (dalam hal ini cinta agape) sebagai kategori alam.
Sekarang jika kita menanyakan kepada Peirce, apakah dia percaya pada Tuhan atau tidak, jawabannya adalah positif. Tapi bila ingin menanyakan konsep Tuhan pada bagian filsafatnya, jawabannya lebih kompleks. Prisnsip utamanya adalah filsafat dan agama tidak bisa dicampur. Bukan saja menghindarinya untuk menulis tentang Tuhan, tetapi ketika kita mengatakan bahwa ‘merenung’ sebagai kegiatan akal budi yang memimpin kita menuju Tuhan, dia justru berpendapat bahwa itu bukanlah argumen metafisik seperti pada umumnya dikatakan. Sebagai contoh, mengkontemplasikan surga yang indah, seperti yang dilakukan oleh Kant, membiarkan insting dan hati berbicara, justru dia tidak dapat mempercayai Tuhan. Pertimbangan dari insting sendiri lebih efektif (lebih baik sehingga tidak memerlukan yang lain) daripada argumen. Maka dari itu, kontemplasi adalah argumen yang sia-sia (atau bukan argumen).
Sebagai kesimpulan akhir, teori evolusi yang menempatkan hukum mekanik di atas prinsip perkembangan kreatif akan terjadi permusuhan dengan agama. Maka, dalam sistematika metafisikanya, Peirce memfokuskan diri pada ajaran tentang kategori saja, pandangan yang lebih bersifat umum dan maka dari itu bersifat Teistik.

Penutup
Demikianlah kita sudah melihat dan memperhatikan tiga tahap perkembangan teori kategori Pierce yang pada dasarnya adalah konsep metafisika dari filsafatnya.
Read more...

Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permisif

Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang seragam, apapun itu bentuknya. Fakta bahwa ada begitu banyak suku, budaya, agama dan norma hidup menunjukkan bahwa bangsa kita itu multi-etnis, multi-kultural, multi-agamis dan multi-pandangan. Seolah-olah sudah takdir bagi yang terlahir di Indonesia untuk menyadari kenyataan bahwa dirinya berbeda dari yang lain.
Namun fakta perbedaan itu tidak hanya ada pada lembaga-lembaga formal di atas saja. Sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang begitu kompleks dan sangat plural. Bangsa Indonesia sudah mengalami segalanya—untuk menyebut satu per satu kondisi perbedaan yang lain: demokrasi dan kediktatoran militer, undang-undang dasar nonagamis dan syariah Islam, kekayaan ekstrem lapisan atas dan fight for survival orang kecil, nasionalisme dan separatisme, toleransi dan kekerasan ekstrem, Islam dengan mayoritas besar yang moderat dengan kelompok garis keras hingga yang ekstrem, korupsi yang meresapi semua bidang kehidupan masyarakat dan hukum yang bisa dipermainkan, tradisionalis dan modernis, lokalis dan globalis

Pluralisme inilah yang seringkali menandai sikap kebanyakan orang Indonesia untuk permisif, seolah-olah “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Pindah situasi, pindah tempat, di situlah normanya berganti. “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.”
Mungkin sebagian besar orang akan beralasan bahwa dengan adanya pluralisme ini, sepantasnyalah kita menjunjung toleransi. Tetapi toleransi macam apa kalau jelas-jelas di depan mata terjadi tindak korupsi, namun dibiarkan begitu saja. Toleransi macam apa jika kemiskinan dan ketidakadilan rakyat kecil diabaikan, sedangkan sebagai wakil rakyat malah menuntut tunjangan 10 juta. Toleransi macam apa bila nyawa 202 orang di Bali dibiarkan sebagai bentuk penghargaan terhadap sebuah keyakinan tertentu. Bukankah itu sikap toleran yang permisif? Tidakkah ini berarti sikap toleransinya berdampak negatif? Masih adakah orang yang berani menjadi whistle blower ?
Memang benar zaman kita acapkali disebut era keruntuhan “narasi-narasi besar”. Pada era ini keyakinan yang bersandar pada nilai-nilai absolut mengalami gugatan serius. Di semua lini kehidupan, mulai dari sosial, politik, hukum, sampai seni seakan berlaku diktum: nilai apapun yang bertendensi menjadi absolut harus ditolak. Gugatan terhadap ‘absolutisme’ itu juga berlangsung pada ranah etika dan moral. Relativisme moral berpendapat ada banyak bentuk moralitas yang sama benarnya. Moralitas orang Barat, misalnya tak lebih benar daripada moralitas orang Asia. Ekstremnya, moralitasku berbeda dengan moralitasmu. Relativisme moral menyanggah klaim superioritas nilai moral. Dengan begitu, ia menawarkan jalan menuju pluralitas pilihan, pendapat dan opsi moral.
Oleh karena latar belakang di ataslah, tulisan singkat ini hendak mengupas problem serius atas terciptanya gugatan terhadap nilai-nilai absolut. Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu berlaku permisif terhadap tindakan yang nyata-nyata melanggar prinsip dasar moral? Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu seolah-olah menjadi seorang relativis praktis, tanpa harus mengatakan bahwa diri mereka adalah penganut relativisme? Lalu, hal-hal penting macam apa yang membuat seseorang seharusnya memegang dasar-dasar moralitas—sekaligus ini menggugat tindakan toleransi permisif?
Tulisan ini murni akan ditinjau dari sudut etika dan moral. Penulis sendiri akan banyak mengacu pada karya Mohammad Ali Shomali, seorang filsuf Iran kontemporer, yang berjudul Ethical Relativism (2001).

Kegagalan Menemukan Prinsip Moral yang Memadai
Menurut Shomali, sikap toleransi terhadap pluralisme pandangan yang condong bersifat permisif itu merupakan kegagalan seseorang untuk menemukan perangkat prinsip moral yang memadai. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang berlaku demikian.
Pertama, sebagian orang tidak begitu cerdas atau terlalu malas untuk menempatkan prinsip atau nilai-nilai moral dalam sebuah hierarki nilai. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui atau memahami apa yang harus dilakukan ketika berbagai prinsip atau nilai saling bertentangan. Untuk hal ini, terutama penentuan hierarki nilai, kita berhutang banyak pada W.D. Ross, Max Scheler, dan von Hildebrand. Ross (1877-1971) memberikan jalan keluar terhadap etika Kant yang keras. Menurut Ross, setiap kewajiban selalu merupakan prima facie, artinya suatu kewajiban hanya bersifat mutlak sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Dengan kata lain, suatu kewajiban adalah ‘kewajiban untuk sementara’. Apabila berdasarkan pertimbangan lain, ternyata kita tahu bahwa ada kewajiban lain yang lebih penting, kewajiban inilah yang harus didahulukan dari kewajiban pertama tadi. Dalam kasus di atas kiranya jelas bahwa tindakan menghargai nyawa sesama lebih penting daripada sebuah keyakinan ekstrem.
Sedangkan Scheler (1874-1924) mengatakan bahwa orang bertindak bukan demi kewajiban belaka, melainkan demi nilai-nilai. Analisis fenomenologis Scheler memperlihatkan bahwa nilai-nilai itu bisa digolongkan ke dalam empat bagian yang tersusun secara hirarkis. Pertama, nilai enak-tidak enak. Kedua, nilai vital, misalnya kesehatan dan keberanian. Ketiga, nilai rohani, yang meliputi nilai estetis (indah dan jelek) dan nilai etis (kebenaran dan keadilan). Keempat, nilai yang menyangkut obyek absolut (yang kudus, yang profan, dan nilai religius). Menurut Scheler, kewajiban moral terdiri dari keharusan yang dirasakan manusia untuk selalu merealisasikan nilai-nilai yang lebih tinggi di antara nilai-nilai yang mungkin terealisasikan. Namun ajaran Scheler ini diperbaiki oleh von Hildebrand (1889-1966) dengan membedakan antara nilai moral dan nilai non-moral. Kesehatan, misalnya, adalah nilai vital (nilai non-moral), namun kesehatan orang lain (nilai moral) adalah hal yang wajib saya perhatikan. Dengan demikian, jika seseorang benar-benar menggunakan akal budinya dalam menentukan tindakan moral, pastilah akan mempertimbangkan sistem hierarki nilai ini.
Kedua, orang berlaku permisif karena tidak mengetahui bahwa prinsip dan kaidah moral dapat diterapkan lewat berbagai cara, sesuai dengan beragamnya keadaan yang ada sepanjang berubahnya waktu dan masyarakat. Penerapan yang berbeda ini tidak berarti bahwa ada pluralitas prinsip dasar.
Ketiga, orang gagal menemukan prinsip moral yang memadai karena tidak menyadari banyaknya perbedaan yang sebenarnya merupakan akibat penerapan nilai-nilai dan prinsip umum yang berbeda dalam konteks keyakinan yang berbeda, misalnya perbedaan menyangkut sifat manusia, perbedaan alamiah antara jenis kelamin atau ras yang berbeda, dan menyangkut hubungan manusia dengan alam dan dunia adikodrati.
Keempat, terkadang orang berada dalam tekanan pikiran yang hebat sehingga terlalu berat untuk hidup dengan prinsip-prinsip moral. Di samping itu, terkadang ada banyak kepentingan praktis-psikologis yang dipilih seseorang untuk tidak menganut prinsip moral umum, misalnya mencari rasa aman.

Pertimbangan bagi Relativisme Moral Praktis
Mengenai bukti empiris bahwa tindakan yang dapat diterima secara moral cenderung berbeda-beda, baik antara berbagai masyarakat maupun antarwaktu, menurut Shomali, orang harus mempertimbangkan hal-hal berikut sebelum menarik kesimpulan relativistik (yang menciptakan sikap toleransi permisif) dari bukti itu.
Pertama, meskipun tidak ada kesamaan dalam prinsip dasar mengenai sistem moral yang berbeda, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang fakta-fakta nonmoral atau meskipun mengira bahwa perbedaan-perbedaan itu muncul hanya karena orang telah menganut berbagai ukuran moral, orang tidak beralasan menyimpulkan bahwa semua ukuran alternatif yang dianut atau sebagian darinya mestilah benar.
Kedua, ada berbagai kesamaan moral yang penting di seluruh budaya. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa prinsip atau ukuran moral yang dapat diterima secara universal. Pojman (1998:47) mengetengahkan daftar prinsip umum yang mencakup larangan melukai dengan sengaja, membunuh orang yang tidak bersalah, menimbulkan penderitaan, menipu atau mencuri, dan prinsip yang menganjurkan kesetiaan terhadap janji atau sumpah, bersikap adil, berbicara jujur, tahu berterimakasih dan menolong orang lain. Sedangkan James Rachels (2004: 58-60) menyebutkan nilai inti yang sama bagi semua masyarakat dan sebenarnya diperlukan bagi eksistensi sebuah masyarakat, yakni keharusan merawat anak-anak (keturunan), keharusan berkata jujur, dan larangan membunuh. Dari kedua pandangan itu, ada kesimpulan teoretis yang bersifat umum, yakni adanya beberapa prinsip moral universal bagi semua masyarakat. Jika tidak demikian, tidak ada masyarakat yang bisa survive.
Ketiga, adanya perbedaan dan perselisihan moral sejalan dengan adanya prinsip-prinsip moral yang bersifat umum. Menurut Shomali, perselisihan moral itu lebih terletak pada “keragaman penerapan”. Dua budaya atau individu mungkin saja berpegang pada prinsip dasar yang sama namun cara menerapkannya berbeda, karena adanya keyakinan metafisis atau keadaan yang berbeda.
Keempat, ada beberapa implikasi yang tidak dapat ditoleransi dari penolakan terhadap ukuran dan prinsip-prinsip moral yang sah secara universal (implikasi yang tidak diinginkan oleh relativisme moral) : (1) tidak ada manfaatnya bersandar pada ukuran orang lain. Jika relativisme moral benar, kita dapat memutuskan apakah perbuatan itu benar atau salah hanya dengan bersandar pada standar masyarakat kita. Tetapi hanya sedikit orang yang berpikir bahwa masyarakat mereka mempunyai standar moral yang sempurna; (2) upaya pembaruan moral tidak masuk akal. Jika relativisme moral benar, pembaruan moral dan para pembaru moral tidak dapat dibenarkan, karena mereka bertentangan dengan ukuran-ukuran yang sudah ada. Misalnya, orang yang berjuang pada abad ke-8 untuk menghapuskan perbudakan adalah salah, karena mereka menentang perbudakan ketika perbudakan itu sendiri tengah populer; (3) konsep kemajuan dan moralitas ideal tidak bermakna. Biasanya kita berpikir bahwa setidaknya beberapa perubahan (kemajuan) dimaksudkan agar masyarakat kita menjadi lebih baik; (4) tidak ada manfaatnya kritik moral. Jika adat-istiadat berfungsi untuk menentukan apa yang baik dan adil, tentu tidak akan ada ruang untuk mengkritiknya. Jika relativisme benar, orang dapat membuat kritik internal menurut standar mereka sendiri; (5) tidak adanya keyakinan moral mengarah kepada nihilisme. Ini berkaitan dengan fakta bahwa relativisme terkadang diidentifikasi dengan bentuknya yang paling ekstrem yang berpendapat bahwa segala sesuatu diperbolehkan. Namun ada juga fakta bahwa keyakinan dan komitmen moral bergantung pada cara memandang moralitas seseorang sebagai satu-satunya kebenaran atau yang paling masuk akal; (6) kegagalan mengevaluasi ukuran moral orang lain. Menurut relativisme moral, setiap ukuran moral suatu masyarakat tidak mungkin dinilai salah atau benar oleh orang lain. Oleh karena itu, agresi Nazi bukanlah hal yang tidak bermoral, karena menurut mereka sendiri tindakan mereka adalah benar. Kegagalan mencela perilaku semacam itu tampaknya tidak masuk akal. Agresi atau penjajahan selalu keliru di manapun ia berada.

Teori Relativisme Moral Modern
Pada bagian ini, saya sedikit menggambarkan usaha lain dari relativisme moral dalam membangun teorinya. Sekalipun tidak berkaitan langsung dengan relativisme moral praktis, setidaknya teori relativisme moral modern ini membantu kita untuk memetakan persoalan relativisme moral sebenarnya.
Gilbert Harman dan David Wong adalah tokoh relativisme moral yang penting dewasa ini, yang mencoba membangun argumen moderat guna menangkal serangan dan sanggahan terhadap relativisme moral. Mereka yakin bahwa argumen standar relativisme moral —bahwa dalam moralitas semua hal dibenarkan— tidaklah efektif atau bahkan tidak mungkin lagi untuk dianut. Mereka belajar banyak dari argumen-argumen lama, dan akibatnya memposisikan argumen mereka menjadi lebih rumit dibandingkan dengan argumen-argumen relativisme yang terdahulu.
Argumen pokok Gilbert Harman adalah pembahasannya mengenai dasar moralitas. Baginya, dasar moralitas tidak ada bedanya dengan sebuah konvensionalisme moral implisit. Moralitas bergantung pada tawar-menawar yang terjadi dengan sendirinya, yang menyesuaikan diri tanpa mesti dipaksakan diadakan perundingan tertulis. Konvensionalisme moral ini terjadi di dalam adat-istiadat atau budaya masyarakat, dan bisa saja berubah seiring dengan bingkai moralnya, yakni perubahan ruang dan waktu, pergantian generasi dan zaman.
David Wong membangun argumen relativismenya dengan mencoba mencari jalan tengah antara obyektivitas dan subyektivitas moral, mencoba mendamaikan pertentangan antara keduanya. Wong yakin bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antarpribadi (toleran). Kreasi sosial ini berbeda dengan teori konvensionalisme Harman. Teori relativisme moral Wong lebih bersifat kognitif, karena dia mampu menjelaskan dan mendefinisikan moralitas aktual yang sesuai dengan akal sehat dan pengalaman moral manusia. Bahkan dalam analisanya, dia menelurkan gagasan baru yakni mengenai “sistem moral yang memadai”. Dalam sistem inilah dia membedakan moralitas yang berintikan kebaikan dan moralitas yang berintikan hak.
Wong menjelaskan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan menekankan cita-cita tentang bentuk tertentu kehidupan masyarakat di mana individu diterima dan berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak individu dalam kebebasan dan kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidupnya. Kita dapat mengatakan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan bekerja dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Moralitas tersebut menjelaskan berbagai bentuk sifat dan perbuatan sebagai kebaikan yang diperlukan guna mencapai kebaikan umum. Salah satu bagian penting dari moralitas semacam itu adalah pandangan tentang fungsi dan peran sosial. Sebaliknya, moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang kepentingan pribadi yang mendahului, atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas. Moralitas semacam ini memberikan beberapa hak kepada individu untuk melindungi kepentingan mereka.

Dasar-dasar Moralitas
Membabi-buta meyakini relativisme moral sangatlah berbahaya karena berpotensi menjurus pada nihilisme dan anarki. Seperti yang sudah kita sadari pada awal tulisan ini, relativisme moral mengakibatkan seseorang begitu mudah menyatakan sikap toleransi alih-alih bersikap permisif saja. Orang dapat berbuat sesukanya atas nama toleransi, tanpa peduli tanggungjawab dan kewajibannya kepada sesama. Untuk itu, diperlukan seperangkat kriteria moral objektif yang bisa dijadikan pedoman bersama dalam menangani persoalan-persoalan moral pada umumnya. Pada bagian ini, secara menyeluruh akan dipaparkan gagasan Shomali mengenai dasar-dasar moralitas.

Moralitas dan Cinta-Diri
Menurut Shomali, moralitas didasarkan atas hasrat alamiah seseorang untuk memperbaiki diri sendiri dan keinginannya untuk mencapai cita-citanya. Teori ini dapat disebut ‘moralitas cinta-diri’. Untuk melindungi kepentingannya secara utuh, orang perlu memuaskan segala bentuk keinginan naluriahnya, termasuk keinginan untuk menjadi orang yang baik. Orang yang mencintai diri sendiri dan mencintai orangtua, anak-anak, kerabat dan sahabatnya mungkin pula mencintai semua manusia, hewan dan alam. Manusia tidak akan merasakan kehidupan yang menyenangkan jika mereka menyaksikan orang lain menderita atau kelaparan. Kepedulian mereka pada diri sendiri, demi kebahagiaan dan kesempurnaan mereka, mengharuskan mereka bersikap baik. Dengan demikian, teori moralitas cinta-diri mengakomodasi keinginan intrinsik dan asasi dalam diri manusia untuk membahagiakan orang lain, meskipun tidak ada kaitannya dengan kepentingan langsung manusia tersebut. Jadi, semua perbuatan yang disengaja dari setiap pelaku tindakan berasal dari keinginan asasi atau kecenderungan untuk memuaskan perhatian dan kepentingannya.
Di sini memang perlu dicatat bahwa cinta-diri sangat berbeda dengan mementingkan diri sendiri. Perbedaan antara egois dan tidak egois bukanlah ada atau tidak adanya cinta-diri. Perbedaan itu terkait dengan cara seseorang mempertimbangkan kepentingan dan tujuan serta mencoba memenuhi syarat-syarat cinta-diri.
Shomali menyimpulkan bahwa hasrat asasi dan kepentingan manusia yang membentuk moralitas bergantung pada watak manusia, yang memang sama pada setiap manusia. Ada hubungan nyata antara watak manusia dan hasrat maupun kepentingan di dalamnya, dan kedudukan moral dari setiap perbuatan bersumber dari hubungan nyata semacam itu. Dengan kesimpulan ini, pemikiran Shomali tentang moralitas berbeda dengan teori Harman yang yakin bahwa tuntutan moral hanya berlaku pada orang-orang yang memang ingin mengikutinya.

Membuat Keputusan Moral
Moralitas cinta-diri menentukan setiap manusia dalam mengambil keputusan moral. Lewat keputusan moral inilah, manusia mampu menentukan prinsip dasar moral universal, dan tidak membiarkan sikap permisif menguasai dirinya. Untuk sampai pada pengambilan keputusan moral, manusia akan melewati beberapa tahap rumit yang dipengaruhi beberapa faktor. Shomali mencoba menjelaskannya dengan memulai dari faktor pertama, yakni pemahaman dan penilaian. Menurutnya, manusia akan mustahil membuat keputusan tanpa memahami masalah tersebut. Manusia mesti berpikir tentang perbuatan itu dan akibatnya, manfaatnya ataupun kekurangannya. Baru setelah kita mempertimbangkannya, kita akan membuat penilaian terhadap perbuatan itu, benar atau salah. Lalu memutuskan untuk melakukannya atau tidak sama sekali. Selain itu, faktor ini juga mempengaruhi pengambilan sebuah keputusan di mana keputusan itu berangkat dari tindakan yang sudah pernah kita lakukan. Di sini, pemahaman dan penilaian menjadi semacam evaluasi diri.
Faktor kedua adalah melihat motivasi apa di belakang keputusan itu. Di sini Shomali mencoba membedakan antara ‘penalaran teoretis’ dan ‘penalaran praktis’. Penalaran teoretis berkaitan dengan keyakinan dan penalaran praktis berkaitan dengan hasrat atau niat. Shomali berpendapat bahwa setiap penalaran praktis didahului oleh beberapa bentuk penalaran teoretis. Pada mulanya seorang pelaku menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa dalam kenyataannya perbuatan tertentu adalah kondusif atau tidak kondusif bagi cita-citanya. Kemudian, setelah menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa salah satu alternatif memang lebih baik, dia mendapatkan sebuah motivasi untuk berbuat sesuai dengan alternatif itu. Hanya setelah termotivasi kita berniat atau memutuskan untuk melakukan perbuatan tertentu. Di sini dan selama melakukan penilaian, peran emosi dan hasrat sangatlah penting. Selain kedua peran itu, Shomali menambahkan bahwa peran akal tidak kalah pentingnya dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, tiga peran yang disebutkan Shomali menjembatani sekaligus antara emotivisme, hedonisme dan etika Kantian.
Shomali sependapat dengan Hume bahwa manusia punya kecenderungan bawaan untuk bersimpati terhadap orang lain. Atau seperti yang telah Shomali katakan bahwa setiap orang telah dibekali oleh moralitas cinta-diri.
Usaha demi kesenangan atau untuk memuaskan hasrat, tidak berarti kita menerima bentuk hedonisme murni. Shomali menyebutkan ada berbagai bentuk hasrat dan dengan demikian ada pula berbagai bentuk kesenangan. Dia setidaknya menyebutkan tiga bentuk. Pertama, hasrat ‘fisik’ atau ‘sensual’, yakni hasrat yang menimbulkan kesenangan fisik atau sensual, misalnya kesenangan yang muncul karena merasakan makanan yang lezat. Kedua, hasrat ‘semi-abstrak’, yakni hasrat yang tidak secara langsung disebabkan oleh hal-hal yang bersifat fisik sehingga tidak berhubungan langsung dengan indera kita, misalnya kesenangan yang dirasakan orang karena mempunyai uang atau jabatan yang tinggi. Ketiga, hasrat ‘abstrak’, inilah hasrat sejati yakni hasrat yang dapat kita rasakan secara langsung, independen dan tidak dapat direduksi kepada hasrat yang lain, misalnya kesenangan yang diperoleh seseorang ketika dia memiliki rasa percaya diri atau rasa tenteram dalam pikiran atau perasaan bahagia. Hasrat abstraklah yang dimaksud Shomali dalam kaitannya dengan moralitas kita. Menurutnya, hasrat abstrak bukan hanya tidak mengarahkan kita kepada perbuatan jahat, tetapi bahkan cenderung menimbulkan sifat yang positif dan baik.
Dengan penjelasan tentang pengambilan keputusan di atas, Shomali berhasil menunjukkan bahwa moralitas baik dan buruk sama sekali tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan atau ditemukan oleh akal budi manusia dengan cara memperhatikan sifat, bakat, dan potensialitas manusia. Dan itu ukurannya sama pada setiap manusia. Oleh karena itu sifatnya universal.

Peran-Peran dalam Pengambilan Keputusan
Selanjutnya, Shomali mengatakan bahwa ada peran internal dan eksternal dalam keputusan moral manusia. Shomali yakin bahwa adanya pemahaman yang benar terhadap peran ini dapat menjelaskan situasi yang kondusif bagi seseorang dalam menentukan sikap moral. Shomali menyebutkan lima macam peran. Pertama, peran keyakinan, pengetahuan dan informasi.
Salah satu bagian penting keputusan moral kita adalah cara kita memahami sebuah persoalan, kemudian cara kita mendapatkan hasil dan akibat-akibat dari setiap sisi persoalan. Perbedaan dalam tataran ini dapat menghasilkan keputusan yang berbeda walaupun masalahnya sama. Bahkan orang yang memiliki cita-cita moral yang sama tidak terlepas juga dari perbedaan ini.
Kedua, peran hasrat. Hasrat merupakan faktor kunci dalam pengambilan keputusan kita. Seperti sudah dijelaskan di atas, meskipun hasrat sejati sama pada semua manusia, mungkin penerapannya berbeda. Yang perlu ditekankan pada hasrat sejati adalah arahnya yang selalu pada perbuatan baik. Sedangkan hasrat fisik, sifatnya netral, maksudnya dapat dipuaskan dengan cara yang bermoral maupun tidak bermoral. Dari sinilah seringkali perbuatan buruk berasal.
Ketiga, peran keinginan dan keputusan seseorang. Meskipun ada banyak pembatasan yang diakibatkan oleh berbagai keadaan internal dan eksternal, manusia bebas untuk membuat keputusannya. Tanpa keyakinan akan kehendak bebas, maka sebenarnya tidak ada moralitas. Dan dalam kehendak bebasnya itu, manusia pastilah menganut nilai atau cita-cita yang mengarahkan perbuatan mereka.
Keempat, peran kemampuan mental dan intelektual serta bakat (misalnya kebiasaan baik). Kelima, peran keadaan. Yang dimaksud dengan keadaan adalah sifat atau ciri khas yang berada di sekitar pembuatan keputusan. Itu bisa keadaan fisik dan mental pelaku (mis: sehat atau sakit), perasaan pelaku (mis: senang atau sedih), kemampuan pelaku, keadaan orang lain yang terlibat, waktu, tempat, hukum, budaya, sumber alam yang ada, alat, dan sarana. Setiap perubahan dalam kondisi ini akan mengharuskan pelaku mengubah penilaian terhadap keputusan atau tindakan mereka.
Selanjutnya Shomali menjelaskan bahwa setiap keputusan mestilah memenuhi syarat-syarat pilihan rasional. Dalam hal ini, Shomali mengadopsi pemikiran Paul Taylor. Taylor percaya bahwa sebuah pilihan adalah rasional selama ia bebas, tercerahkan, dan netral. Tetapi situasi ini memang sedikit utopis, karena Taylor sendiri yakin bahwa tidak ada pilihan yang sepenuhnya bebas, tercerahkan dan netral. Namun Shomali menganjurkan hal ini sebagai alat bantu bagi pelaku tindakan untuk membuat penilaian dan keputusan yang lebih baik.
Syarat-syarat kebebasan adalah tidak ditentukan oleh motif yang tidak disadari, tidak dalam keadaan terpaksa atau dengan kata lain orang tersebut sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri, tidak ditentukan oleh hambatan eksternal, dan segala pilihan sepenuhnya ditentukan oleh keputusan orang itu sendiri. Syarat pencerahan adalah mengetahui hakikat jalan hidup yang dipilih, mengetahui segala kemungkinan akibat-akibat dari menjalani suatu pandangan hidup, dan mengetahui sarana apa yang diperlukan untuk menjalankan pandangan hidup itu. Syarat sikap netral adalah bersifat murni, tidak memihak atau bersifat objektif, dan tidak menyimpang, maksudnya tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis bawaan yang kronis.

Sifat Manusia: Hal yang Diabaikan oleh Relativisme Moral
Setelah mengikuti alur penjelasan Shomali di atas, terakhir dia menekankan bahwa adanya perbedaan cita-cita atau nilai moral semata tidak menyiratkan bahwa tidak ada satu moralitas yang benar dan paling masuk akal. Menurutnya ada hubungan nyata antara cinta-diri kita dan hasrat, cita-cita dan sifat kita yang sejati. Agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, kaum relativis harus menunjukkan adanya perbedaan jenis sifat manusia. Masyarakat atau individu dengan sistem moral yang berbeda harus terbukti tidak termasuk dalam spesies manusia yang sama. Dan itu tidak mungkin! Salah satu implikasi yang tidak dikehendaki dari pandangan ini adalah bahwa jika seseorang atau sebuah masyarakat memutuskan untuk menganut sebuah moralitas baru, maka orang itu atau masyarakat itu pertama-tama harus mengubah sifat-nya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak dapat mengubah pendirian moral mereka, kecuali jika sifat mereka sudah diubah. Inilah, menurut Shomali, yang tidak dapat diterima oleh kaum relativis.
Kajian tentang sifat manusia jauh lebih sulit daripada yang dapat dilakukan dalam pembahasan tentang relativisme moral. Menurut Shomali ada alasan yang baik untuk berpikir bahwa manusia memiliki sifat yang sama. Tentu secara biologis manusia itu sama. Tetapi yang dimaksud Shomali dengan sifat manusia lebih dari sekadar unsur biologis. Sifat manusia merupakan pandangan ontologis yang menciptakan sifat-sifat yang sama pada semua manusia. Seandainya tidak ada sifat semacam ini di antara manusia, tentu tidak akan ada ruang bagi disiplin ilmu-ilmu. Semua ilmu ini berasumsi bahwa manusia itu sama dan bersikap sama dalam keadaan yang sama.
Manusia terikat dengan sifat mereka dan manusia dengan sifat yang sama itu tidak dapat menganut moralitas yang berbeda. Kaum relativis harus menunjukkan bahwa manusia yang berada dalam keadaan yang sama dapat memiliki moralitas yang berbeda. Ini bisa dianalogikan seperti misalnya kesehatan. Manusia dalam keadaan yang berbeda mungkin membutuhkan bentuk perawatan yang berbeda atau jenis makanan maupun vitamin yang berbeda. Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa manusia secara biologis dan fisik hampir sama dan dalam keadaan yang sama mereka membutuhkan gizi dan perawatan kesehatan yang sama. Oleh karena itu, perbedaan dalam bentuknya tidak berarti bahwa kesehatan bukanlah tujuan, atau tidak ada prinsip umum menyangkut kesehatan.
Dengan demikian, objektivitas moral atau penolakan terhadap relativisme moral tidak memutlakkan bahwa semua orang harus berbuat sama. Orang yang berbeda dengan sifat yang sama secara moral bisa diharapkan untuk berbuat secara berbeda. Yang diduga akan dilakukan oleh seorang anak kecil berbeda dari apa yang harus dilakukan oleh orang dewasa. Hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang ibu jelas berbeda dari hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang anak, saudara, atau istri. Orang yang sama, dengan peran yang sama secara moral, bahkan mungkin saja harus melakukan sesuatu yang bertentangan pada waktu atau tempat yang berbeda. Misalnya, Ibu M yang harus menyusui anaknya yang masih bayi, tetapi dia tidak boleh berbuat serupa ketika anak-anaknya itu sudah dewasa. Oleh karena itu, berasumsi bahwa orang yang berbeda mempunyai sifat yang berbeda atau kewajiban maupun tanggungjawab yang berbeda tidak membuktikan relativisme.

Karakteristik Cita-cita Moral yang Benar
Dengan menggunakan pemikiran yang telah dikembangkan sebelumnya, Shomali mencoba menyusun argumennya tentang absolutisme. Argumennya berangkat dari kenyataan bahwa setiap manusia pasti memiliki cita-cita. Dalam prakteknya, manusia menganut berbagai bentuk cita-cita. Cita-cita ini dibentuk oleh berbagai faktor, semisal agama, budaya, pendidikan, profesi, dan lingkungan keluarga. Cita-cita yang dianut melalui cara ini mungkin saja berbeda dan memang bertentangan satu sama lain. Tetapi memiliki fungsi yang sama, yakni menentukan nilai seseorang dan menciptakan bentuk kehidupannya. Setiap orang yang berakal harus selalu memikirkan cita-citanya dan melihat apakah cita-cita itu layak dianut sebagai cita-cita atau tidak. Maka di sini, kita harus membedakan antara apa yang Shomali sebut sebagai cita-cita moral yang sejati dan apa yang secara kebetulan (relatif) dianut sebagai sebuah cita-cita moral.
Shomali menyusun enam karakteristik cita-cita moral yang sejati. Pertama, cita-cita moral yang sejati pastilah selaras dengan sifat manusia. Kedua, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dipahami oleh akal kita, sehingga kita bisa mengikutinya. Ketiga, cita-cita moral itu memenuhi syarat rasional, yakni bebas, tercerahkan dan netral. Keempat, cita-cita moral yang sejati pastilah didukung oleh hasrat sejati kita. Jika tidak demikian, ia tidak dapat menggerakkan kita untuk bertindak menurut apa yang kita anggap baik bagi kita. Kelima, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dicapai dan bersifat praktis. Jika tidak demikian, ia hanyalah mimpi saja dan bukan pedoman hidup. Keenam, cita-cita moral yang sejati mampu mencakup nilai dan ukuran moral yang lain dan menempatkannya dengan tepat dalam tingkatan nilainya, sehingga dapat menjelaskan tujuan atau nilai yang dituju atas suatu perbuatan.
Menurut Shomali, cita-cita memiliki kedudukan penting dan krusial dalam sistem nilai manusia. Terlepas apa atau bagaimana seharusnya cita-cita moral itu, dan terlepas apakah “baik” dapat didefinisikan atau tidak, bagi setiap orang, cita-cita moral merupakan kebaikan tertinggi. Jika misalnya kita menanyakan setiap orang tentang alasan tindakannya, lambat laun dia akhirnya mencapai titik di mana dia tidak dapat bertolak lebih jauh lagi. Titik inilah yang kita anggap sebagai cita-citanya atau tujuan tertingginya. Sedangkan tujuan-tujuan lain hanyalah suatu rangkaian tujuan yang muaranya adalah cita-cita tertinggi itu. Kedekatan atau kejauhan tujuan-tujuan lain tadi dengan tujuan tertinggi akan menentukan kedudukan setiap tujuan atau nilai dalam sistem moral tersebut. Dengan mempertimbangkan hierarki nilai itu, pelaku tindakan dapat memutuskan apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan konflik praktis antara beberapa nilai. Orang harus membedakan antara yang baik dan yang lebih baik atau antara yang buruk dan yang lebih buruk. Shomali menambahkan bahwa argumen relativisme moral sebenarnya berangkat dari perselisihan membedakan manakah hierarki nilai yang benar.

Tali Simpul: Menyoal Korupsi
Pada bagian terakhir Shomali mengembangkan teori tentang dasar-dasar moralitas. Dia mencoba menyelami hakikat moralitas, cita-cita moral dan sifat-sifatnya, berbagai faktor yang terdapat dalam proses itu dan hasil dari pengambilan keputusan. Menurut Shomali, setiap sistem moral didasarkan atas cita-cita moral. Pada mulanya cita-cita moral menentukan nilai seseorang dan kemudian menata nilai-nilai itu. Bagi setiap orang, cita-cita moralnya merupakan kebaikan tertinggi atau tujuan akhir. Cita-cita moral kita pada gilirannya ditentukan oleh cinta kita kepada diri sendiri, dan dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk hidup bahagia. Status moral setiap perbuatan bergantung pada hubungan antara perbuatan itu dan cita-citanya. Sebuah perbuatan adalah baik jika ia dapat mengantar kita pada cita-cita kita. Cinta kita kepada diri sendiri juga membentuk serangkaian hasrat yang mungkin memberi kita motivasi yang memadai untuk melaksanakan apa yang diajarkan penalaran praktis kepada kita. Hal itu menjadi sarana yang baik demi mencapai cita-cita, tujuan dan maksud kita. Apapun yang dituntut oleh hasrat sejati kita (hasrat yang nyata dan tidak dapat direduksi) menjadi nilai alamiah bagi kita. Fakta ini sangat erat kaitannya dengan fakta lain, bahwa “baik” dan “buruk” tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan serta ditemukan oleh akal manusia dengan cara mencermati hakikat, bakat, potensi, dan kesempurnaan manusia.
Selanjutnya Shomali mengatakan bahwa satu-satunya usaha yang masuk akal bagi kaum relativis atau penganut toleransi permisif adalah menunjukkan bagaimana setiap individu atau masyarakat dapat menganut cita-cita yang sejajar dan rasional. Namun, agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, mereka harus membuktikan adanya bermacam-macam sifat manusia, sebab menurut Shomali ada hubungan yang nyata antara cita-cita dan sifat manusia. Masyarakat atau individu, dengan bermacam sistem moral harus dianggap bagian dari spesies manusia yang berbeda, bukan bagian dari apa yang biasanya kita pahami sebagai sifat manusia yang sama. Dengan menyebutkan implikasi yang tidak masuk akal dari asumsi ini, Shomali berpendapat bahwa sikap menerima perbedaan sifat manusia tidak malah berarti mendukung toleransi permisif. Sebab manusia terikat pada sifatnya. Orang yang sama tidak dapat menganut moralitas yang berbeda, sedangkan kaum toleran permisif harus membuktikan bahwa orang yang sama dalam keadaan yang sama benar-benar dapat memiliki moralitas yang berbeda.
Dengan demikian, apa yang digagas oleh Shomali mengenai dasar-dasar moralitas memberikan jawaban yang memadai mengenai aspek penting yang dapat mengubah seseorang melakukan tindakan moral universal. Wacana-wacana kontemporer seperti multikulturalisme, HAM, korupsi, aborsi ataupun etika lingkungan di Indonesia dapat berpijak dari teori ini.
Baiklah bila di akhir tulisan ini, kita memakai gagasan Shomali sebagai pisau cukur dalam menjawab persoalan tentang korupsi. Setidaknya ada tiga permasalahan di balik korupsi. Pertama, budaya korupsi mewabah karena adanya prinsip tahu sama tahu di antara orang-orang di dalam birokrasi apapun di negeri kita ini. Ada semacam konvensionalisme moral implisit, toh sama-sama melakukan korupsi, jadi tidak perlu dilaporkan apalagi dibicarakan —sambil diam-diam memasukkan uang ke dalam kantongnya. Makanya, para koruptor tidak merasa bersalah dengan tindakannya karena mereka memiliki alibi bahwa ada banyak orang yang melakukan hal yang sama. Dengan demikian kalau ada banyak orang melakukannya, kejahatan tersebut adalah sesuatu hal yang biasa. Akibatnya, kebiasaan itu menciptakan hak. Dan kalau satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab. Kalau “semua bertanggungjawab” bukankah sama saja dengan tak ada yang bertanggungjawab? Ini berarti di antara mereka sendiri tidak mungkin saling menyalahkan. Di sini timbullah semacam kreasi sosial, yang secara tidak sengaja dirancang untuk mengatasi pertentangan antarpribadi. Lebih baik membiarkan saja –toleran dan bertindak permisif— daripada ikut terjerat dalam hukum.
Kedua, tiadanya sanksi hukum membuat orang berani melakukan korupsi karena yakin tidak ketahuan atau didiamkan saja. Ketiga, korupsi itu berwajah banyak atau anonim, sebab yang dirugikan tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait dengan penyelewengan uang negara atau rakyat. Siapa yang dirugikan tidak langsung terlihat, berbeda dengan penodongan atau perampokan.
Dari ketiga permasalahan itu, tampak jelas bahwa orang lebih baik bertindak permisif dan toleran daripada memulai untuk mengungkapkan korupsi atau menjadi seorang whistle blower, apalagi bila keberanian untuk jujur itu menjadi ‘senjata makan tuan’, seperti yang dialami oleh Khairiansyah sendiri. Keberanian itu taruhannya memang mahal. Tetapi bila sikap permisif lebih dibudayakan, tidakkah itu berarti kita bukan manusia atau melawan kodrat kemanusiaan kita —seperti apa yang dikatakan Shomali! Jadi, sekalipun keberanian itu mahal harganya, itu tidaklah melawan nilai alamiah (kodrat) yang kita miliki, malahan justru sejajar dengannya.
Selain itu, manusia dengan sifatnya pastilah memiliki cita-cita. Cita-cita yang merusak—lewat praktek korupsi—bukanlah cita-cita yang sejati. Itu hanyalah cita-cita yang secara kebetulan dianut, demi hasrat fisik kita semata. Oleh karena itu, tidak ada cara lain dalam menghancurkan budaya korupsi kecuali dengan cara melawan budaya permisif. Sebab, melawan budaya permisif terhadap korupsi sama halnya dengan mengedepankan salah satu nilai dalam cita-cita kemanusiaan kita, yakni nilai kejujuran. Sebagai kata akhir, peganglah diktum ini, “Hentikan budaya permisif!”***
-salah satu artikel dalam buku "Korupsi kemanusiaan" (Andang Listya, ed.)
Read more...

Monday, September 22, 2008

Keluarlah dan Lihatlah! (Irish Murdoch)

Derita dan kesusahan manusia tiada pernah habis-habisnya. Setiap hari, entah lewat media massa maupun media elektronik, kita dengar dan lihat cuplikan peristiwa kecelakaan, bencana alam, peperangan, kerusuhan, penggusuran, dsb. Sontak, –seringkali— berita itu membuat kita merasa kasihan, tergerak hati untuk membantu. Tapi, biasanya, rasa kasihan itu bertahan hanya beberapa menit saja. Obyek perhatian beralih pada berita yang lain. Dan berita kesusahan tadi hilang, seperti dibawa angin.

Mengapa ini bisa terjadi? Ada banyak alasan yang membuatnya demikian. Alasan yang paling dominan dikarenakan orang itu belum pernah merasakannya sendiri dan tidak bersentuhan langsung dengan kejadian itu (jauh dari tempat kejadian). Tetapi, ada juga alasan lain, misalnya menuduh orang yang tertimpa bencana banjir itu karena kesalahan mereka sendiri, tidak memelihara lingkungan dengan baik. Ada juga ungkapan pujian atas penggusuran yang dilakukan karena itu berarti menertibkan lingkungan kota dari sesuatu hal yang mengurangi keindahan. Ada juga dukungan atas perang tertentu karena akan memberikan dampak positif bagi yang lain.
Cuplikan tentang kehidupan sehari-hari di atas dan reaksi di sekitar peristiwa itu memberikan gambaran singkat tentang paradigma moralitas yang dianut oleh manusia yang menjadi pelaku tindakan. Dalam kaitannya dengan filsafat moral Irish Murdoch, reaksi-reaksi di atas tadi mendapat kritikan yang cukup tajam. Reaksi-reaksi di atas sangatlah mementingkan diri sendiri (the enemy is the fat relentless ego). Secara khusus, egoisme ini hendak menunjuk pada sikap orang yang menghiraukan begitu saja peristiwa itu karena belum pernah merasakan sendiri. Bagi Murdoch, kekuatan ego membuat seseorang tertahan pada dirinya sendiri dan karena itu, tindakan yang semestinya dilakukan, dalam hal ini tindakan moral, sama sekali tidak tersentuh.
Demikianpun kritik Murdoch yang juga ditujukan pada sikap utilitarian, yang tampak pada ungkapan pujian atas penggusuran yang dilakukan demi ketertiban dan keindahan kota tanpa mengindahkan faktor kemanusiaan orang-orang yang tergusur. Walaupun aliran utilitarianisme (J.S. Mill) tidak banyak disebutkan dalam buku Murdoch, aliran pasca-Kantian ini dikritik karena sikapnya juga tidak jauh dari sikap egoisme. Sikap utilitarian hanya berdasarkan asas kegunaan dari kepentingan tertentu.
Selain dua kritik yang sudah disebutkan di atas, kritik yang paling tajam tentu saja ditujukan pada filsafat moral pasca-Kantian. Kritik itu diarahkan pada keberpusatan perhatian pada kehendak otonom manusia. Menurut Murdoch, pandangan ini sama sekali tidak mengenai sasaran, atau sama sekali tidak memberikan jawaban atas persoalan yang ada. Dari contoh peristiwa yang sudah diungkapkan pada awal tulisan ini, misalnya tampak pada tuduhan terhadap orang yang tertimpa banjir. Musibah itu terjadi dikarenakan kesalahan para korban sendiri, karena tidak merawat alam sekitarnya. Tuduhan tadi berpijak dari kehendak otonom manusia. Dengan menggunakan akal budinya, dia menangkap dan mengerti bahwa kejadian itu tidak bisa tidak disebabkan oleh (melibatkan) orang-orang yang berada dalam daerah bencana alam itu. Alasan ini bisa diterima dengan masuk akal, karena seringkali kejadian bencana alam didahului oleh tindakan-tindakan buruk manusia di sekitar itu. Tetapi permasalahannya, kehendak otonom ini berhenti pada tuduhan itu saja dan tidak menyentuh pada realitas yang sebenarnya.
Lebih lanjut, semua kritik ini dijawab oleh Murdoch dengan idea Kebaikan. Setiap peristiwa, tidak hanya terbatas pada peristiwa kesusahan dan penderitaan, memiliki suatu daya tarik ‘yang baik’. Namun, daya tarik ini hanya bisa kita rasakan bila kita keluar dari diri kita dan melihat dengan mata kita untuk melihat realitas di sekitar kita. Hal yang ditekankan oleh Murdoch sekaligus jawaban atas kritik-kritik terdahulu adalah keluar dan lihatlah (!) idea kebaikan itu.
Idea yang ditawarkan oleh Murdoch ini boleh dikatakan, suatu idea yang tampak baru sama sekali. Moralitas yang dibawa pasca-Kantian, seturut refleksi Murdoch, sama sekali tidak keluar dari dirinya dan melihat realitas sesungguhnya dengan adil dan penuh kasih.
Kembali pada peristiwa di awal tadi. Kalau diaplikasikan, reaksi-reaksi di atas tadi semestinya dimulai dengan sikap seseorang yang memperhatikan (keluar dari dirinya), melihat dengan seksama dan kemudian melakukan sebuah tindakan. Memang, dalam hal ini tindakan seseorang (dalam aliran Murdoch) tidak serta merta mesti sempurna. Karena bagi Murdoch, hidup manusia itu historis, berproses. Sebagaimana yang digambarkan Murdoch dalam pengalaman M terhadap D. M berubah menjadi baik terhadap D melewati suatu proses kesadaran, yakni proses keluar dari dirinya dan melihat realitas sebenarnya.
Bagi Murdoch, idea kebaikan ini adalah idea tertinggi. Dia sempat membandingkan idea ini dengan metafor gua Plato. Idea kebaikan ini sama artinya dengan idea matahari. Seseorang mesti keluar dari dalam gua, melepaskan kenyamanan api yang memberikan pantulan bayangan atas dirinya, dan melihat matahari sebagai suatu idea tertinggi, yang menunjukkan realitas senyata-nyatanya.
Pada akhir tulisannya, Murdoch mengatakan bahwa idea kebaikan ini sangatlah misteri, tidak terdefinisikan. Walaupun pernah juga Murdoch menggambarkan kebaikan ini seperti seorang seniman membuat karya seni yang megah –dalam artian keindahan itu juga tidak terdefinisikan— kita pun dalam kehidupan sehari-hari seringkali menemukan atau menjumpai suatu hal yang tidak bisa dikatakan. Walaupun kedengarannya metafisis, tetapi sebenarnya lebih dari itu, karena Murdoch ingin menunjukkan dimensi transenden dari idea kebaikan itu. Dengan kata lain, idea kebaikan itu tentu saja selalu mengarah pada kebaikan.
Sebagai kata akhir dalam refleksi ini, saya hendak mengatakan bahwa idea kebaikan yang disampaikan oleh Murdoch dengan aplikasi yang menuntut untuk keluar dan lihatlah (!) dengan adil dan penuh kasih, merupakan suatu pandangan filsafat moral yang sangat aplikatif dan justru sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dan tentu saja berkaitan dengan moralitas sendiri –yang berarti apa yang harus kita lakukan— idea kebaikan ini menjawab langsung kebutuhan manusia, tidak jauh-jauh, bahkan tidak mengawang-awang (hanya berhenti pada hasil akal budi saja).
Read more...

Catatan Harian Asmir


“Langkah tegap maju, jalan!” Suara lantang itu langsung disambut dengan derap-derap kaki teratur. Prok, prok, prok, prok! Deretan pasukan pengibar bendera berkonsentrasi mengkoordinasikan gerakan kaki dan tangan mereka dengan komando lantang si pemimpin barisan. Senyum manis menyungging di wajah perempuannya serta wajah serius membayang pada wajah lelakinya menutupi rasa lelah dan panas yang mungkin sudah dirasakan dari tadi.
Sudah sejam aku duduk di luar pagar SMU Anak Bangsa menonton latihan paskibra itu. Selama seminggu sudah aku melihat persiapan mereka untuk upacara tujuh belasan nanti. Sudah lama sekali aku tidak ikut upacara bendera. Ya…, sudah 4 tahun yang lalu, sejak putus sekolah lantaran tak ada biaya.

Aku iri sama mereka. Aku juga mau merasakan kebanggaan menaikkan bendera merah putih ke atas tiangnya. Pernah aku kecewa saat tak sengaja mendengar obrolan beberapa siswi paskibra saat istirahat. Mereka mengeluhkan ini-itu. Sepertinya mereka tak rela waktu tidur siang mereka diambil berjam-jam hanya untuk latihan mengibarkan bendera, apalagi di bawah terik matahari yang bisa menghitamkan kulit. Kalau begitu sia-sia saja latihannya.
Tampaknya, mereka menganggap menjadi paskibra tujuh belasan bukanlah suatu pengorbanan yang cukup berarti. Padahal, bagiku, bisa mengibarkan bendera itu merupakan rasa penghargaanku buat bangsa. Biarpun aku tinggal di pinggir kali dan seharian berkeliaran di jalanan, tapi ya, cuma Indonesia ini tanah airku.
Setelah puas menonton, aku bergegas pulang ke “rumah”. Entah tempat yang kutinggali itu layak disebut rumah atau tidak. Hanya seng-seng, plastik, dan kardus bekas dirangkai sedemikian rupa menjadi tempat aku dan ibu berteduh. Kami hidup berdua saja.
“Bu, ada kain merah-putih nggak? Buat bikin bendera, Bu! Lusa kan tujuh belasan!” tanyaku pada ibu. “Ngapain ngurusin bendera? Pake tujuhbelasan segala? Nggak usah sok bangga-banggaan sama negara. Emang kalau gitu apa balesannya ke kita? Ada juga malah diusir-usir sama kamtib!” balas ibu.
“Ye…nggak ada hubungannya sama kamtib yang ngusir-ngusir. Kan intinya tujuh belasan itu peringatan kemerdekaan, perjuangan pahlawan, Bu,” sahutku kembali.
“Alah…, tahu apa kamu soal begituan? Udah lupain. Tuh di situ ada koran setumpuk, Ibu mungut dari tong sampah orang. Jual ke tempat Bang Mamat sana, Mir! Lumayan dapet seribu dua ribuan.” perintah ibu.
Aku menurut saja. Baju yang kupunya cuma 4 lembar, malah ngerepotin ibu minta kain buat bendera. Waktu mau kuangkat koran itu, sempat terbaca berita menarik. Kuambil koran tumpukan teratas dan kubaca berita itu.

NAPAK TILAS PROKLAMASI KEMERDEKAAN
MENTENG- Ratusan murid perwakilan SMA se-Jakarta hadir sebagai peserta lomba lintas sejarah 2003 yang diselenggarakan BEM-UNJ dan KPU DKI Jakarta. Peserta mengunjungi tempat-tempat bersejarah dengan berjalan kaki, start dimulai dari Gedung Joeang 45, menuju Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan berakhir di taman Tugu Proklamasi.
Sejarah ini terkait………

Kubawa tumpukan koran itu ke Bang Mamat, tapi koran dengan berita dari Menteng kutinggalkan di atas tikar.
٭٭٭

Glek, glek, glek…, kutenggak habis air putih dari gelas. Aaahhh…, lega rasanya. Capek memang rasanya berjalan kaki berkilo-kilo meter. Meskipun begitu, hari ini sangatlah berkesan. Tak pernah hatiku merasa campur aduk begini. Senang, sedih, terharu dan cemas jadi satu.
Kuaduk-aduk kardus bekas mie instant yang sekarang jadi lemariku. Pakaian dan beberapa barangku ada di dalamnya. Aku mengambil buku tulis. Ini semacam buku harianku. Si Dadang mengataiku sok ‘sentimentil’, karena kebiasaanku menulis buku harian. Entah darimana ia memungut kata intelek itu, tak mungkin dari sesama anak jalanan, mungkin dari koran, mengingat si Dadang itu memang tukang koran. Kemudian aku mulai menulis dengan pensil tumpul.
٭٭٭

16 Agustus 2003
Hari ini, aku tidak mengamen seperti biasa. Jam 11 siang dari terminal Blok M naik bis jurusan Cikini. Berbekal sepuluh ribu rupiah dan koran kemarin, aku turun di perhentian pertamaku. Jalan Menteng Raya no. 31. Bangunan kuno ala Belanda itu berdiri dengan kokoh. Gedung Joeang 45.
Suasana sepi menyambut saat aku masuk ke dalam gedung. Foto-foto saat perang kemerdekaan disertai dengan cerita sejarah memenuhi salah satu ruangannya. Ada pula lemari-lemari kaca yang berisi senjata-senjata dan seragam militer jaman itu. Tak ketinggalan bendera-bendera organisasi-organisasi kebangsaan masa itu yang berjuang gigih mendapatkan kemerdekaan.
Aku baru tahu bahwa gedung ini dulu sangat penting, karena pernah dijadikan tempat rapat segolongan pemuda jaman dulu. Memang berbeda pemuda dulu dengan pemuda sekarang. Pemuda dulu begitu giat dan sangat peduli bangsa. Mereka sangat kuat rasa persaudaraannya dan selalu mengutamakan bangsa di atas segalanya karena mereka lahir, hidup, mati di dalamnya, karena itu mereka selalu memperjuangkan yang lebih baik bagi kelangsungan hidup bangsa. Kalau dibandingkan dengan yang sekarang…. Rasa persaudaraan itu sudah rusak karena tawuran merenggutnya. Kemudian narkoba yang terus menggerogoti fisik dan jiwa mereka. Bolos sekolah dan lebih memilih mall (aku sudah sangat bersyukur kalo bisa sekolah lagi) dan yang paling mengecewakanku siswi-siswi paskibra yang tidak memaknai arti bendera. Padahal bendera adalah lambang dari bangsa ini.
Mungkinkah karena jaman sudah berubah? Karena kemudahan-kemudahan fasilitas yang mereka dapatkan? Bayangkan kesulitan-kesulitan saat terjajah, membuat pemuda dulu lebih cepat dewasa dan mengerti kepentingan bangsa sampai-sampai rela menyerahkan apa saja. Mungkin pemuda sekarang harus hidup dalam tekanan kekangan, baru bisa memaknai arti kemerdekaan. Pemuda sekarang terlena dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dunia. Aku sendiri hidup susah. Meskipun hanya anak jalanan yang tidak sekolah tak mengurangi rasa penghargaanku untuk bangsa.
Keluar lewat pintu belakang, berjalan-jalan sebentar melihat 3 mobil yang dulunya dipakai Bung Karno dan Hatta yang berjajar terparkir di dalam sebuah rumah kaca. Lubang-lubang peluru tampak membekas pada pintu salah satu mobil. Kalau saja saat itu mereka terbunuh, apa yang akan terjadi pada masa sekarang?
٭٭٭
Mengikuti pengalaman peserta lomba sejarah itu, aku pun berjalan kaki menuju tempat berikutnya yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Capek juga. Jarak dari Menteng Raya ke Imam Bonjol cukup jauh. Berkat pohon-pohon besar di pinggir jalan, aku tak kena sengat panas matahari. Sampailah aku di bangunan berlantai dua yang dulunya rumah Tadashi Maeda.
Aku beruntung. Hari itu ada rombongan anak-anak SMP sedang karyawisata di situ. Kenapa beruntung? Rombongan itu ditemani pemandu. Jadi aku selalu dekat-dekat mereka sambil mencuri dengar penjelasan si mas pemandu.
Ruang pertama adalah beranda yang luas. Kemudian belok ke kiri (menurut mas pemandu) disebut Ruang Pra Perumusan Naskah Proklamasi. Kecil saja ruangan itu, ada 3 sofa empuk dengan meja di tengahnya. Di situ para proklamator dan Maeda berbincang minta ijin pemakaian rumahnya.
Kemudian ketika aku berdiri di ruang makan yang disebut Ruang Perumusan Naskah Proklamasi, aku dapat membayangkan suasana masa itu, saat Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo merumuskan naskah. Kemudian perdebatan orang-orang di beranda depan dan Sayuti Melik yang dengan serius dan tekun mengetik teks penentu nasib bangsa.
Hatiku berdebar-debar saat mengenang kembali masa itu. Aku terharu sekali. Rasanya apa yang mereka semua perjuangkan belum terbalaskan saat ini. Benar memang kita terbebas dari penjajahan orang asing, tapi setelah itu penjajahan justru datang dari tubuh bangsa sendiri. Penjajah itu KKN dalam tubuh politik. Penjajah itu disintegrasi dalam tubuh persatuan. Penjajah itu kemiskinan dalam kemakmuran. Penjajah itu narkoba dalam kehidupan generasi penerus. Kapankah orang-orang sadar bahwa saat ini mereka sedang dijajah? Akankah mereka akan bersatu mendapatkan kemerdekaan yang sesungguhnya dengan mengatasnamakan Bangsa Indonesia?
٭٭٭
Setelah itu melanjutkan perjalanan ke taman Tugu Proklamasi. Di situ aku duduk di bawah pohon beringin. Patung dua Proklamator yang besar berwarna coklat adalah tujuan orang berwisata di sini termasuk aku. Tapi aku sendiri kurang sreg dengan keadaannya. Lapangannya gundul dan banyak pohon gersang. Seharusnya pemerintah setempat lebih memperhatikan keadaan taman ini mengingat tugu ini dibangun untuk mengenang proklamator.
Taman Tugu Proklamasi ramai pada siang hari ini. Rupanya peringatan tujuh belasan sudah dilakukan lebih dini. Satu panggung setinggi 1,5 meter dengan alat-alat musik dan si penyanyi di atasnya sudah menunjukkan kebolehannya pada penonton dengan menyanyikan lagu Selendang Sutera.
Penontonnya pun banyak sekali ada yang kebagian duduk di bawah tenda biru yang sudah disediakan panitia, tapi lebih banyak pula yang berdiri kepanasan karena tak kebagian tenda untuk berlindung. Entah siapa penyelenggara acara tujuh belasan yang dirayakan pada tanggal enam belasan ini. Tapi kemudian dari tukang minuman aku tahu bahwa karena banyaknya lomba yang akan diadakan, panitia menyelenggarakannya sampai esok yang benar-benar tujuh belasan pada tanggal tujuh belas.
Rupanya bukan hanya acara lomba menyanyi untuk ibu-ibu dan bapak-bapak saja, tapi ada lomba yang sudah membudaya di masyarakat kita, lomba makan kerupuk dan balap karung. Entah dari mana masyarakat kita dapat ide itu. Segala adegan kocak dapat dilihat di sini.
Kuperhatikan ada sesuatu yang hilang dari acara tujuh belasan ini. Segala kemeriahan dan kesenangan dapat dirasakan di sini. Tapi apakah ada satu orang saja di sini yang mengenang perjuangan mencapai kemerdekaan yang saat ini mereka rayakan? Bagaimana sulitnya masa-masa perjuangan itu dilalui bangsa kita? Mungkin tidak ada sama sekali.
Bukannya aku tidak suka dengan perayaan macam ini. Hanya saja lebih baik jika kita tidak hanya sekedar bergembira tapi juga mengenang masa itu. Bahkan menurutku peringatan kemerdekaan seperti acara ulang tahun di mana orang akan berpikir lebih dewasa dan meninggalkan sifat-sifat buruk pada usia barunya.
Seperti itulah, ketika bangsa ini merayakan usia kemerdekaannya, sepatutnya kita sebagai rakyatnya mulai berpikir dewasa dalam menghadapi segala keterpurukan yang sudah melanda bangsa ini. Kemudian dari dalam kita perbaiki keburukan-keburukannya jangan menggerogoti lebih dalam lagi.
Hari sudah mulai sore saat aku sampai di rumah. Dan sekarang aku mau tidur. Capek berjalan seharian.
( Asmir)
٭٭٭
“Hormaaaaattttt…..grak!”
Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku…………
Ini pertama kalinya sejak 4 tahun yang lalu aku ikut upacara bendera lagi. Meskipun dari luar pagar sekolah, tapi cukup puaslah aku. Orang-orang di jalan memperhatikanku. Mungkin mereka menganggap aku orang gila. Hormat-hormat segala dari luar pagar menghadap tiang bendera.
Aku memang sengaja bangun pagi dan berdiri di depan SMU Anak Bangsa untuk nimbrung upacara meskipun dari luar pagar. Kulihat siswi-siswi yang waktu itu pernah mengecewakanku lewat pikiran mereka waktu itu. Mereka tampak manis-manis dengan seragam putih-putih dihiasi selempang garis-garis merah-putih serta topi hitam dan sarung tangan putih. Dengan khidmat mereka melaksanakan tugas pengibaran itu.
…………Indonesia Raya merdeka merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.
“Tegaaapp…..grak!” dengan lantang pemimpin upacara mengomando peserta upacara.
Aku langsung pergi setelah bendera dikibarkan. Aku meloncat ke dalam bis dan mulai mengamen. Tampak wajah-wajah yang merasa risih dengan kehadiranku dalam bis. Mana ada yang senang dengan pengamen gimbal kayak aku ini?
Aku mulai memberikan kata-kata sambutan, ”Para penumpang yang saya hormati, maaf bila kehadiran saya mengganggu kenyamanan perjalanan anda semua. Saya hanya mau membaca puisi sebagai hadiah untuk bangsa ini pada usia kemerdekaan yang ke-58.”
Aku putra bangsa
Menatap nanap pada ibu pertiwi
Yang terluka oleh putranya sendiri

Perempuan-perempuan menangis
Anak-anak terlantar di jalanan
Di sana penguasa tertawa
Tak Peduli

Di barat sana sedang bergolak
Berjuang untuk perceraian
Akankah kita lepaskan mereka?

Kapan kita sadar akan lukanya?
Saat itu mungkin kita sudah terpuruk

Bangkitlah, bangkit
Tinggallah luka-luka
Rangkullah kami putramu dalam tubuhmu
Read more...