Monday, September 22, 2008

Catatan Harian Asmir


“Langkah tegap maju, jalan!” Suara lantang itu langsung disambut dengan derap-derap kaki teratur. Prok, prok, prok, prok! Deretan pasukan pengibar bendera berkonsentrasi mengkoordinasikan gerakan kaki dan tangan mereka dengan komando lantang si pemimpin barisan. Senyum manis menyungging di wajah perempuannya serta wajah serius membayang pada wajah lelakinya menutupi rasa lelah dan panas yang mungkin sudah dirasakan dari tadi.
Sudah sejam aku duduk di luar pagar SMU Anak Bangsa menonton latihan paskibra itu. Selama seminggu sudah aku melihat persiapan mereka untuk upacara tujuh belasan nanti. Sudah lama sekali aku tidak ikut upacara bendera. Ya…, sudah 4 tahun yang lalu, sejak putus sekolah lantaran tak ada biaya.

Aku iri sama mereka. Aku juga mau merasakan kebanggaan menaikkan bendera merah putih ke atas tiangnya. Pernah aku kecewa saat tak sengaja mendengar obrolan beberapa siswi paskibra saat istirahat. Mereka mengeluhkan ini-itu. Sepertinya mereka tak rela waktu tidur siang mereka diambil berjam-jam hanya untuk latihan mengibarkan bendera, apalagi di bawah terik matahari yang bisa menghitamkan kulit. Kalau begitu sia-sia saja latihannya.
Tampaknya, mereka menganggap menjadi paskibra tujuh belasan bukanlah suatu pengorbanan yang cukup berarti. Padahal, bagiku, bisa mengibarkan bendera itu merupakan rasa penghargaanku buat bangsa. Biarpun aku tinggal di pinggir kali dan seharian berkeliaran di jalanan, tapi ya, cuma Indonesia ini tanah airku.
Setelah puas menonton, aku bergegas pulang ke “rumah”. Entah tempat yang kutinggali itu layak disebut rumah atau tidak. Hanya seng-seng, plastik, dan kardus bekas dirangkai sedemikian rupa menjadi tempat aku dan ibu berteduh. Kami hidup berdua saja.
“Bu, ada kain merah-putih nggak? Buat bikin bendera, Bu! Lusa kan tujuh belasan!” tanyaku pada ibu. “Ngapain ngurusin bendera? Pake tujuhbelasan segala? Nggak usah sok bangga-banggaan sama negara. Emang kalau gitu apa balesannya ke kita? Ada juga malah diusir-usir sama kamtib!” balas ibu.
“Ye…nggak ada hubungannya sama kamtib yang ngusir-ngusir. Kan intinya tujuh belasan itu peringatan kemerdekaan, perjuangan pahlawan, Bu,” sahutku kembali.
“Alah…, tahu apa kamu soal begituan? Udah lupain. Tuh di situ ada koran setumpuk, Ibu mungut dari tong sampah orang. Jual ke tempat Bang Mamat sana, Mir! Lumayan dapet seribu dua ribuan.” perintah ibu.
Aku menurut saja. Baju yang kupunya cuma 4 lembar, malah ngerepotin ibu minta kain buat bendera. Waktu mau kuangkat koran itu, sempat terbaca berita menarik. Kuambil koran tumpukan teratas dan kubaca berita itu.

NAPAK TILAS PROKLAMASI KEMERDEKAAN
MENTENG- Ratusan murid perwakilan SMA se-Jakarta hadir sebagai peserta lomba lintas sejarah 2003 yang diselenggarakan BEM-UNJ dan KPU DKI Jakarta. Peserta mengunjungi tempat-tempat bersejarah dengan berjalan kaki, start dimulai dari Gedung Joeang 45, menuju Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan berakhir di taman Tugu Proklamasi.
Sejarah ini terkait………

Kubawa tumpukan koran itu ke Bang Mamat, tapi koran dengan berita dari Menteng kutinggalkan di atas tikar.
٭٭٭

Glek, glek, glek…, kutenggak habis air putih dari gelas. Aaahhh…, lega rasanya. Capek memang rasanya berjalan kaki berkilo-kilo meter. Meskipun begitu, hari ini sangatlah berkesan. Tak pernah hatiku merasa campur aduk begini. Senang, sedih, terharu dan cemas jadi satu.
Kuaduk-aduk kardus bekas mie instant yang sekarang jadi lemariku. Pakaian dan beberapa barangku ada di dalamnya. Aku mengambil buku tulis. Ini semacam buku harianku. Si Dadang mengataiku sok ‘sentimentil’, karena kebiasaanku menulis buku harian. Entah darimana ia memungut kata intelek itu, tak mungkin dari sesama anak jalanan, mungkin dari koran, mengingat si Dadang itu memang tukang koran. Kemudian aku mulai menulis dengan pensil tumpul.
٭٭٭

16 Agustus 2003
Hari ini, aku tidak mengamen seperti biasa. Jam 11 siang dari terminal Blok M naik bis jurusan Cikini. Berbekal sepuluh ribu rupiah dan koran kemarin, aku turun di perhentian pertamaku. Jalan Menteng Raya no. 31. Bangunan kuno ala Belanda itu berdiri dengan kokoh. Gedung Joeang 45.
Suasana sepi menyambut saat aku masuk ke dalam gedung. Foto-foto saat perang kemerdekaan disertai dengan cerita sejarah memenuhi salah satu ruangannya. Ada pula lemari-lemari kaca yang berisi senjata-senjata dan seragam militer jaman itu. Tak ketinggalan bendera-bendera organisasi-organisasi kebangsaan masa itu yang berjuang gigih mendapatkan kemerdekaan.
Aku baru tahu bahwa gedung ini dulu sangat penting, karena pernah dijadikan tempat rapat segolongan pemuda jaman dulu. Memang berbeda pemuda dulu dengan pemuda sekarang. Pemuda dulu begitu giat dan sangat peduli bangsa. Mereka sangat kuat rasa persaudaraannya dan selalu mengutamakan bangsa di atas segalanya karena mereka lahir, hidup, mati di dalamnya, karena itu mereka selalu memperjuangkan yang lebih baik bagi kelangsungan hidup bangsa. Kalau dibandingkan dengan yang sekarang…. Rasa persaudaraan itu sudah rusak karena tawuran merenggutnya. Kemudian narkoba yang terus menggerogoti fisik dan jiwa mereka. Bolos sekolah dan lebih memilih mall (aku sudah sangat bersyukur kalo bisa sekolah lagi) dan yang paling mengecewakanku siswi-siswi paskibra yang tidak memaknai arti bendera. Padahal bendera adalah lambang dari bangsa ini.
Mungkinkah karena jaman sudah berubah? Karena kemudahan-kemudahan fasilitas yang mereka dapatkan? Bayangkan kesulitan-kesulitan saat terjajah, membuat pemuda dulu lebih cepat dewasa dan mengerti kepentingan bangsa sampai-sampai rela menyerahkan apa saja. Mungkin pemuda sekarang harus hidup dalam tekanan kekangan, baru bisa memaknai arti kemerdekaan. Pemuda sekarang terlena dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dunia. Aku sendiri hidup susah. Meskipun hanya anak jalanan yang tidak sekolah tak mengurangi rasa penghargaanku untuk bangsa.
Keluar lewat pintu belakang, berjalan-jalan sebentar melihat 3 mobil yang dulunya dipakai Bung Karno dan Hatta yang berjajar terparkir di dalam sebuah rumah kaca. Lubang-lubang peluru tampak membekas pada pintu salah satu mobil. Kalau saja saat itu mereka terbunuh, apa yang akan terjadi pada masa sekarang?
٭٭٭
Mengikuti pengalaman peserta lomba sejarah itu, aku pun berjalan kaki menuju tempat berikutnya yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Capek juga. Jarak dari Menteng Raya ke Imam Bonjol cukup jauh. Berkat pohon-pohon besar di pinggir jalan, aku tak kena sengat panas matahari. Sampailah aku di bangunan berlantai dua yang dulunya rumah Tadashi Maeda.
Aku beruntung. Hari itu ada rombongan anak-anak SMP sedang karyawisata di situ. Kenapa beruntung? Rombongan itu ditemani pemandu. Jadi aku selalu dekat-dekat mereka sambil mencuri dengar penjelasan si mas pemandu.
Ruang pertama adalah beranda yang luas. Kemudian belok ke kiri (menurut mas pemandu) disebut Ruang Pra Perumusan Naskah Proklamasi. Kecil saja ruangan itu, ada 3 sofa empuk dengan meja di tengahnya. Di situ para proklamator dan Maeda berbincang minta ijin pemakaian rumahnya.
Kemudian ketika aku berdiri di ruang makan yang disebut Ruang Perumusan Naskah Proklamasi, aku dapat membayangkan suasana masa itu, saat Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo merumuskan naskah. Kemudian perdebatan orang-orang di beranda depan dan Sayuti Melik yang dengan serius dan tekun mengetik teks penentu nasib bangsa.
Hatiku berdebar-debar saat mengenang kembali masa itu. Aku terharu sekali. Rasanya apa yang mereka semua perjuangkan belum terbalaskan saat ini. Benar memang kita terbebas dari penjajahan orang asing, tapi setelah itu penjajahan justru datang dari tubuh bangsa sendiri. Penjajah itu KKN dalam tubuh politik. Penjajah itu disintegrasi dalam tubuh persatuan. Penjajah itu kemiskinan dalam kemakmuran. Penjajah itu narkoba dalam kehidupan generasi penerus. Kapankah orang-orang sadar bahwa saat ini mereka sedang dijajah? Akankah mereka akan bersatu mendapatkan kemerdekaan yang sesungguhnya dengan mengatasnamakan Bangsa Indonesia?
٭٭٭
Setelah itu melanjutkan perjalanan ke taman Tugu Proklamasi. Di situ aku duduk di bawah pohon beringin. Patung dua Proklamator yang besar berwarna coklat adalah tujuan orang berwisata di sini termasuk aku. Tapi aku sendiri kurang sreg dengan keadaannya. Lapangannya gundul dan banyak pohon gersang. Seharusnya pemerintah setempat lebih memperhatikan keadaan taman ini mengingat tugu ini dibangun untuk mengenang proklamator.
Taman Tugu Proklamasi ramai pada siang hari ini. Rupanya peringatan tujuh belasan sudah dilakukan lebih dini. Satu panggung setinggi 1,5 meter dengan alat-alat musik dan si penyanyi di atasnya sudah menunjukkan kebolehannya pada penonton dengan menyanyikan lagu Selendang Sutera.
Penontonnya pun banyak sekali ada yang kebagian duduk di bawah tenda biru yang sudah disediakan panitia, tapi lebih banyak pula yang berdiri kepanasan karena tak kebagian tenda untuk berlindung. Entah siapa penyelenggara acara tujuh belasan yang dirayakan pada tanggal enam belasan ini. Tapi kemudian dari tukang minuman aku tahu bahwa karena banyaknya lomba yang akan diadakan, panitia menyelenggarakannya sampai esok yang benar-benar tujuh belasan pada tanggal tujuh belas.
Rupanya bukan hanya acara lomba menyanyi untuk ibu-ibu dan bapak-bapak saja, tapi ada lomba yang sudah membudaya di masyarakat kita, lomba makan kerupuk dan balap karung. Entah dari mana masyarakat kita dapat ide itu. Segala adegan kocak dapat dilihat di sini.
Kuperhatikan ada sesuatu yang hilang dari acara tujuh belasan ini. Segala kemeriahan dan kesenangan dapat dirasakan di sini. Tapi apakah ada satu orang saja di sini yang mengenang perjuangan mencapai kemerdekaan yang saat ini mereka rayakan? Bagaimana sulitnya masa-masa perjuangan itu dilalui bangsa kita? Mungkin tidak ada sama sekali.
Bukannya aku tidak suka dengan perayaan macam ini. Hanya saja lebih baik jika kita tidak hanya sekedar bergembira tapi juga mengenang masa itu. Bahkan menurutku peringatan kemerdekaan seperti acara ulang tahun di mana orang akan berpikir lebih dewasa dan meninggalkan sifat-sifat buruk pada usia barunya.
Seperti itulah, ketika bangsa ini merayakan usia kemerdekaannya, sepatutnya kita sebagai rakyatnya mulai berpikir dewasa dalam menghadapi segala keterpurukan yang sudah melanda bangsa ini. Kemudian dari dalam kita perbaiki keburukan-keburukannya jangan menggerogoti lebih dalam lagi.
Hari sudah mulai sore saat aku sampai di rumah. Dan sekarang aku mau tidur. Capek berjalan seharian.
( Asmir)
٭٭٭
“Hormaaaaattttt…..grak!”
Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku…………
Ini pertama kalinya sejak 4 tahun yang lalu aku ikut upacara bendera lagi. Meskipun dari luar pagar sekolah, tapi cukup puaslah aku. Orang-orang di jalan memperhatikanku. Mungkin mereka menganggap aku orang gila. Hormat-hormat segala dari luar pagar menghadap tiang bendera.
Aku memang sengaja bangun pagi dan berdiri di depan SMU Anak Bangsa untuk nimbrung upacara meskipun dari luar pagar. Kulihat siswi-siswi yang waktu itu pernah mengecewakanku lewat pikiran mereka waktu itu. Mereka tampak manis-manis dengan seragam putih-putih dihiasi selempang garis-garis merah-putih serta topi hitam dan sarung tangan putih. Dengan khidmat mereka melaksanakan tugas pengibaran itu.
…………Indonesia Raya merdeka merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.
“Tegaaapp…..grak!” dengan lantang pemimpin upacara mengomando peserta upacara.
Aku langsung pergi setelah bendera dikibarkan. Aku meloncat ke dalam bis dan mulai mengamen. Tampak wajah-wajah yang merasa risih dengan kehadiranku dalam bis. Mana ada yang senang dengan pengamen gimbal kayak aku ini?
Aku mulai memberikan kata-kata sambutan, ”Para penumpang yang saya hormati, maaf bila kehadiran saya mengganggu kenyamanan perjalanan anda semua. Saya hanya mau membaca puisi sebagai hadiah untuk bangsa ini pada usia kemerdekaan yang ke-58.”
Aku putra bangsa
Menatap nanap pada ibu pertiwi
Yang terluka oleh putranya sendiri

Perempuan-perempuan menangis
Anak-anak terlantar di jalanan
Di sana penguasa tertawa
Tak Peduli

Di barat sana sedang bergolak
Berjuang untuk perceraian
Akankah kita lepaskan mereka?

Kapan kita sadar akan lukanya?
Saat itu mungkin kita sudah terpuruk

Bangkitlah, bangkit
Tinggallah luka-luka
Rangkullah kami putramu dalam tubuhmu

No comments:

Post a Comment