Tuesday, September 23, 2008

Metafisika Evolusioner Charles Sanders Peirce


Charles Sanders Peirce lahir di Cambridge, Massachusetts. Dia adalah putera dari pasangan Benjamin dan Sarah Hunt Mills Peirce. Ayahnya dikenal sebagai profesor matematika dan astronomi di Harvard. Sejak kecil, Peirce sudah dididik oleh ayahnya sendiri, terutama dalam pelajaran matematika dan sains. Selepas sekolah menengah, dia melanjutkan ke Cambridge dan Harvard. Di universitas ini, dia banyak menggunakan waktu bersama ayahnya (melakukan banyak eksperimen), sehingga dia agak kesulitan dalam kehidupan sosialnya. Lulus dari Cambridge dan Harvard, dia belajar kimia di Lawrence Scientific School. Di sekolah inilah, dia memulai belajar mandiri dan belajar bersama lingkungannya.

Selulus kuliah, dia bekerja sebagai astronom di Harvard dan melanjutkan penelitian sains, membaca dan menulis filsafat secara luas, dan mengajar logika di Universitas John Hopkins. Peirce mempunyai klub Metafisika, dan mengumpulkan teman-temannya untuk mendiskusikan berbagai macam hal tentang filsafat.
Dalam dunia filsafat, terutama dalam filsafat Amerika, dia dikenal sebagai filsuf pragmatis (yang mempengaruhi filsafat William James dan John Dewey). Dia juga dikenal sebagai ‘filsuf dari para filsuf’, sebab filsafatnya berpijak dari hampir semua filsuf sebelumnya (teknik yang tidak biasa dipakai). Dengan alasan itu, tulisannya seringkali sulit dimengerti.
Sebelum memulai filsafat pragmatisnya, Peirce sudah lebih dulu mengembangkan metafisikanya. Metafisikanya berpola pada teori kategori-kategori. Selama hidupnya, ada tiga tahap perkembangan teori kategorinya. Melalui paper inilah, penulis hendak menjabarkan tiga tahap perkembangan teori kategori Pierce.

Formulasi Awal Teori Kategori Pierce (tahun 1855-1869)
Pierce memulai metafisikanya dengan menyebutkan 3 kategori (sama dengan yang diungkapkan Friedrich Schiller ) yakni, I, It, dan Thou (dalam Aesthetische Briefe). Peirce menyusun kembali sistematika Schiller dan menyebutnya dengan I-impuls, It-impuls, dan kesatuan antara keduanya Thou-impuls. Secara sederhana, Peirce mencoba membangun sistem dialektika yang saling berhubungan.
Sistem dialektika di atas tadi sebenarnya hendak memformulasi ulang dari 12 kategori yang dipakai Kant dalam filsafatnya. Dengan kata lain 12 kategori Kant disederhanakan menjadi 3 kategori saja. Segala sesuatu baik di dalam alam semesta (alami) maupun dalam pikiran (akal budi) hanyalah memiliki 3 tahap dengan empat kategori pokok (kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas). Tahap pertama adalah tahap I, atau konsistensi pribadi, yang sering disebut tahap sederhana. Tahap kedua adalah tahap It, yang meliputi ‘lebih atau kurang’, ini adalah tahap tingkatan dan sering disebut sebagai tahap positif atau tahap ‘Human’. Dan tahap ketiga, adalah tahap thou, tahap kombinasi antara dua tahap sebelumnya, dan ini adalah tahap yang sempurna.

Metafisika Eksperimental (1870-1884)
Seperti sudah dikatakan pada bagian pengantar bahwa Pierce adalah ‘filsuf dari para filsuf’ dan latar belakangnya yang adalah seorang ilmuwan ilmu alam, pada kurun waktu tahun 1870-1884, Peirce, dalam mengembangkan filsafatnya tampak sekali menggunakan inter-disiplin ilmu. Pada tahap ini, ia mulai mengembangkan filsafat pragmatisnya (pada paper ini tidak akan dijelaskan tentang filsafat pragmatisnya). Untuk metafisika, hanya terjadi perubahan sedikit, tetapi perubahan itu cukup mencolok, karena metafisikanya berpijak dari pengalaman. Metafisikanya pada tahap ini dikenal dengan metafisika arsitektonik (architectonic).
Alasan mengapa diberi nama metafisika arsitektonik, karena merupakan penggabungan dari metode logika, semiotik dan psikofisik, yang ketiga-tiganya membentuk suatu pola pikir dengan suatu tujuan (teleological thought).

Tiga Kategori (akhir) Fundamental (1885-1913)
Pada tahap perkembangan terakhir, yakni antara tahun 1885-1913, metafisika Pierce menggunakan 3 kategori lagi, yakni: Pertama, adalah ‘kepertamaan’ (firstness), adalah idea yang tidak memperhatikan yang lain. Peirce menyebutnya sebagai kategori kualitas. Dari sudut pandang fenomenologi kita dapat merasakan sedih, melihat kualitas ke-biru-an, tanpa menunjuk kepada subjek atau objek secara langsung tetapi secara sederhana merupakan sesuatu yang unik. Peirce menyebut kualitas di atas sebagai monad yakni kualitas murni, yang dalam dirinya tidak ada bagian-bagian dan tidak ada perubahan wujud. Istilah monad di sini bukan dalam arti Leibnizian. Bagi Peirce monad bisa dijadikan sebagai contoh dalam kualitas kedua. Ini bisa dimengerti karena ketegori kepertamaan adalah kualitas.
Dalam kasus yang lain, ‘kepertamaan’ adalah suatu ciri-ciri alam semesta yang dapat menembus, mewakili elemen keunikan, kesegaran dan keaslian di manapun berada, dalam setiap fenomena, fakta dan kejadian. Untuk menghasilkan beberapa idea, Peirce mengharapkan kita membayangkan alam semesta sebagaimana Adam pertama kali melihatnya, dan sebelum dia membuat pembedaan dan melakukan ‘refleksi’.
Kategori fundamental yang kedua adalah ‘keduaan’ (secondness). Kategori ini merupakan konsepsi yang relatif, konsepsi yang reaksioner. Dari suatu sudut pandang, ‘keduaan’ adalah fakta, walaupun dari sudut pandang yang lain, ini disebut eksistensi dari yang aktual. Kategori ini meliputi alam semesta. Fakta adalah fakta, sebagaimana kita katakan; dan inilah sebabnya kita kadang mengatakan fakta yang kejam.
Kategori fundamental yang ketiga adalah ‘ketigaan’ (thirdness), dikenal sebagai kategori mediasi. Secara logis berfungsi menjadi mediasi antara objek dan tafsiran. Secara ontologis, ketigaan menengahi antara kepertamaan (dalam kualitas) dan keduaan (dalam fakta, aksi dan reaksi). Ini menunjukkan kontinuitas dan membentuk suatu hukum dari berbagai tipe dan tingkatan.. Sebagai contoh, hukum kualitas pada sistem kualitas pencampuran warna yang dibuat oleh Isaac Newton. Kemudian lagi hukum-hukum regular yang memampukan kita memprediksi masa depan dengan berdasarkan pada kualitas. Dalam berbagai bentuk, kategori ketigaan seperti kepertamaan dan keduaan, meliputi seluruh alam semesta, dan kita dapat mengatakan bahwa segalanya berdiri dalam suatu hubungan dengan yang lainnya.
Sekarang, kualitas dapat dikatakan menjadi suatu sensasi yang permanen, meskipun bebas dari pengalaman subjektif. Dan kita dapat mengatakan bahwa kualitas pertama memberikan suatu model pertama, yang dinamakan kemungkinan nyata, meskipun konsep kemungkinan itu lebih luas daripada kualitas. Pada kategori kedua, aktualitas atau eksistensi memberikan model kedua, yang dinamakan aktualitas sebagai pembeda dari kemungkinan. Dan dengan memasukkan konsep hukum ketegori ketiga terbentuk model ketiga, di mana Peirce menyebutnya sebagai ‘nasib’, sebagai fakta masa depan. Tetapi ini mesti dimengerti bahwa istilah nasib adalah lebih luas daripada konsep tentang hukum.
Melalui penjabaran di atas, kita melihat ada tiga ketegori fundamental dan tiga model/cara menjadi metafisis. Peirce juga membedakan tiga cara atau kategori dari eksistensi atau aktualitas. Yang pertama, disebut ‘kesempatan’, sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan kebebasan dan spontanitas. Cara kedua dalam eksistensi adalah hukum-hukum. Cara ketiga dari eksistensi adalah kebiasaan. Menurut Peirce, segala sesuatu tidak bisa terpisah dari kebiasaan, apakah dia manusia, hewan, tumbuhan atau substansi kimiawi.. Dan hukum-hukum adalah hasil dari kebiasaan.
Kita sekarang dapat menyadari dunia yang aktual dalam terang kategori aktualitas ini: yang pertama, kesempatan; yang kedua, hukum-hukum; dan yang ketiga, kebiasaan. Bagaimana kalau alam semesta ini aslinya tidak ada pembeda, tidak ada kebiasaan, tidak ada hukum? Dari sudut pandang tertentu, determinasi di atas tidak berlaku. Sehingga kemungkinan dari semua determinasi hanyalah ‘yang ada’. Kesempatan yang ada sangatlah spontan, bebas dan kreatif. Tetapi, beberapa kualitas jatuh secara ontologis pada kategori kepertamaan. Dan sebagaimana alam semesta berkembang dan ‘monad-monad’ bekerja dan bereaksi dalam keduaan, kebiasaan terbentuk dan menghasilkan hukum-hukum yang merupakan ketegori ketiga. Proses ini menjadi komplet, hal yang berlawanan tadi justru berubah.
Berdasarkan jalan penalaran di atas, menurut Peirce, kesempatan selalu ada di dunia. Dunia adalah sebuah proses dari kretivitas dan determinasi secara terus-menerus, bergerak dari batas ideal ketidaktentuan absolut menuju ketetapan absolut, dari kemungkinan yang sederhana menuju kemungkinan yang lengkap. Cara ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa evolusi adalah proses kemajuan dari kesempataan absolut yang disadari sebagai suatu khaos, yang tidak bisa dikenali menuju yang murni di dalam sistem rasional yang sempurna. Dengan kata lain, Peirce beranggapan bahwa alam semesta bergerak menuju sebuah perwujudan rasionalitas yang penuh.
Menurut Pierce, sebenarnya kesempatan bukanlah satu-satunya penjelasan terhadap evolusi, karena memang evolusi bukanlah suatu penyebab final. Maka dari itu, Peirce mengadopsi pandangan dari filsuf Yunani, empedokles. Penyebab final dilakukan oleh atraksi dan yang merespon adalah cinta. Terhadap prinsip kesempatan, Peirce manambahkan cinta (dalam hal ini cinta agape) sebagai kategori alam.
Sekarang jika kita menanyakan kepada Peirce, apakah dia percaya pada Tuhan atau tidak, jawabannya adalah positif. Tapi bila ingin menanyakan konsep Tuhan pada bagian filsafatnya, jawabannya lebih kompleks. Prisnsip utamanya adalah filsafat dan agama tidak bisa dicampur. Bukan saja menghindarinya untuk menulis tentang Tuhan, tetapi ketika kita mengatakan bahwa ‘merenung’ sebagai kegiatan akal budi yang memimpin kita menuju Tuhan, dia justru berpendapat bahwa itu bukanlah argumen metafisik seperti pada umumnya dikatakan. Sebagai contoh, mengkontemplasikan surga yang indah, seperti yang dilakukan oleh Kant, membiarkan insting dan hati berbicara, justru dia tidak dapat mempercayai Tuhan. Pertimbangan dari insting sendiri lebih efektif (lebih baik sehingga tidak memerlukan yang lain) daripada argumen. Maka dari itu, kontemplasi adalah argumen yang sia-sia (atau bukan argumen).
Sebagai kesimpulan akhir, teori evolusi yang menempatkan hukum mekanik di atas prinsip perkembangan kreatif akan terjadi permusuhan dengan agama. Maka, dalam sistematika metafisikanya, Peirce memfokuskan diri pada ajaran tentang kategori saja, pandangan yang lebih bersifat umum dan maka dari itu bersifat Teistik.

Penutup
Demikianlah kita sudah melihat dan memperhatikan tiga tahap perkembangan teori kategori Pierce yang pada dasarnya adalah konsep metafisika dari filsafatnya.

No comments:

Post a Comment