Monday, September 29, 2008

Paradigma Tindakan Sosial: “Socrates & Mimbar Bebas”


Peradilan Socrates yang dengan jelas menunjukkan rusaknya demokrasi di Athena, adalah usaha dari Socrates sendiri untuk menghidupkan kembali api demokrasi yang tertuang dalam kebebasan berbicara. Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir dengan tindakan-tindakan sosial yang dilakukannya. Dengan pendekatan paradigma tindakan sosial, kita memahami (verstehen) implikasi-implikasi dari perbuatannya. Walaupun peradilan itu sebuah skandal, akhirnya itu bisa memberikan analogi yang tepat untuk keadaan negara kita pada tahun 1996. Walaupun Socrates minum racun, kebebasan bicara tidak bisa dihukum.

***
Sama seperti organ-organ yang bersatu membentuk tubuh, seorang individu bersatu dengan individu-individu lain membentuk masyarakat. Organ-organ itu tidak bekerja sendiri tapi saling bekerjasama, demikianpun juga individu berinteraksi satu sama lain. Interaksi itu bisa berupa konflik, persaingan, pembagian kerja, persahabatan, hirarki, atau berupa bentuk lainnya. Dalam tataran sosiologi mikro, interaksi itu menjadi obyek sosiologi. Banyak ahli sosiologi mengkhususkan diri pada studi interaksi sosial, salah satunya adalah Max Weber, yang mengemukakan bahwa pokok bahasan sosiologi adalah tindakan sosial.
Peradilan Socrates merupakan salah satu momen yang menunjukkan bagaimana seorang Socrates berinteraksi dengan masyarakat Athena pada waktu itu. Dengan mengacu pada paradigma tindakan sosial, tulisan ini akan menjelaskan hubungan interaksi itu.

Inti Permasalahan
Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam artikelnya “Socrates & Mimbar Bebas” menganalogikan Peradilan Socrates untuk melihat demokrasi di Indonesia. Menarik untuk disimak, sebab artikel ini adalah bagian dari kumpulan tulisan dari buku berjudul Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999. Apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1996-1999? Apa yang terjadi pada hari-hari di sekitar tanggal penulisan artikel ini (10 Agustus 1996)?
Menengok sejenak ke belakang, ke pengalaman sejarah bangsa Indonesia, pada kurun waktu itu, terjadi pergeseran politik yang begitu besar dan berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Peristiwa 27 Juli 1996 bisa dikatakan sebagai pemicu, karena melalui peristiwa itu, terlihat jelas bagaimana rusaknya politik negara dan demokrasi macam apa yang sedang berkembang di Indonesia.
Di sinilah letak inti permasalahan yang hendak disampaikan SGA dalam artikel ini. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan:
"Socrates minum racun, namun kebebasan bicara tidak bisa dihukum. Seseorang bisa saja berpikiran salah, tapi ia tak selayaknya dipersalahkan karena berpikir. Untuk bicara lebih lurus: Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir. Tapi dalam setiap zaman di mana digelar sebuah mimbar bebas, selalu masih akan ada risiko ketika pendengarnya tidak mampu berpikir sama sekali – kecuali bahwa telinganya menjadi panas."
Dalam kehidupan berdemokrasi, rakyat diberi kebebasan berbicara. Tapi, kenyataannya pada masa itu, kebebasan berbicara, sulit mendapatkan tempat. Tidak hanya Socrates yang dihukum, tapi banyak orang (manusia Indonesia) yang harus menerima kenyataan dipersalahkan, ditangkap, bahkan dihukum.
Ironinya, masih banyak juga orang yang sudah terindoktrin untuk pasif, dan sama sekali tidak mampu mengungkapkan pikiran pribadinya (NB: Sukab yang gagap bermimpi bicara lancar di mimbar bebas). Kurun waktu berikutnya, semakin terlihat bagaimana demokrasi itu semakin berkembang, di dalam pergeseran politik yang benar-benar mehong (gila).

Hubungan Antara Tindakan Socrates dengan Masyarakat Athena
Menurut Weber, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri, misalnya, tidak dapat kita anggap sebagai tindakan sosial. Tetapi menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain merupakan suatu tindakan sosial. Tindakan ini merupakan kegiatan individu, dan tidak pernah merupakan kegiatan kelompok-kelompok. Menurutnya pula, sosiologi adalah suatu ilmu yang ingin memahami (verstehen) tindakan sosial dengan mengintepretasikannya dan dengan demikian ingin menjelaskannya menurut sebabnya.
Dalam Artikel ini, Socrates memilih untuk minum racun karena mempertahankan kebebasan berbicara (bagian dari demokrasi). Keputusan hukuman mati adalah bagian dari strateginya untuk kalah dan memang dengan sengaja dia memancing kemarahan juri. Socrates mendapatkan kemenangan karena dia mampu membuat mereka mengkhianati demokrasi. Bahkan, dia tidak melepaskan peluang untuk memperlihatkan kebodohan lawan-lawannya: “karena itu saya sangat heran, bagaimana Anda bisa mengatakan saya melakukan kesalahan yang layak dihukum dengan hukuman mati.”
Inilah tindakan sosial yang dilakukan Socrates untuk menggugat praktek demokrasi di Athena. Suatu paradoks: Athena merupakan benteng kehormatan kebebasan bicara, tapi malahan melakukan kesalahan dengan menghukum seseorang yang mempraktekkan kebebasan berbicara.
Tindakan Socrates untuk menghindari segala cara mendapatkan hukuman yang lebih ringan, bahkan kesempatan untuk menang dan bebas adalah suatu tindakan sosial lainnya, yang ia lakukan untuk menghindari kemenangan atas prinsip-prinsip demokrasi yang selalu ia cemoohkan. Socrates sedang berusaha menelanjangi demokrasi Athena. Dia berani mengorbankan dirinya, karena yakin bahwa kebebasan berbicara tidak bisa dihukum.
Hasil memahami (verstehen) tindakan sosial menurut sebab-akibat di atas tidaklah lebih dari sebuah hipotesa. Ini bisa salah. Sebab, kadang-kadang orang yang bertindak itu sendiri tidak mengetahui apa motif yang sesungguhnya. Maka, berikutnya, harus membahas komponen kedua dalam metode Weber, yakni Tipe ideal.
Tipe ideal adalah suatu alat bantu: tipe itu menciptakan ketertiban dengan gejala-gejala, dan orang dapat juga secara sistematis membandingkan kenyataan empiris dengannya, tidak saja agar orang dapat menemukan penyimpangan-penyimpangan, tetapi juga agar dengan demikian orang memperoleh pengertian yang lebih baik tentang situasi sebagaimana kenyataannya.
Tipe ideal sama sekali tidak memasukkan bentuk ideal dari suatu gejala. Tipe ideal harus dapat dipahami secara interpretatif dan lagi pula isinya harus seobyektif mungkin.
Weber telah membangun tipe-tipe ideal dari fenomena historis yang berdiri sendiri, seperti Calvinisme dan Kapitalisme. Tipe-tipe ideal itu ialah konstruksi-konstruksi yang dengan demikian tidak terdapat dalam kenyataan, tetapi yang melayani tujuan penelitian tertentu, misalnya hubungan satu sama lain. Untuk itu perlu dipikirkan implikasi-implikasinya: ke manakah Calvinisme dan Kapitalisme menjurus.
Untuk melihat lebih jelas Peradilan Socrates dengan menggunakan tipe ideal, maka kita mencoba membayangkan diri kita di tempat pelaku sehingga dapat ikut menghayati pengalamannya. Baiklah kita memulainya dengan melihat latar belakang Athena pada abad ke-5 SM. Waktu itu berkembang aliran sofistik (dari kata sophos, artinya cerdik pandai). Lama-kelamaan kata itu berubah artinya menjadi gelar ejekan bagi orang yang pandai memutar lidah, pandai bermain dan bersilat dengan kata-kata.
Para sofis terlalu mengemukakan pendirian yang subjektif, relatif, dan skeptis. Pendapat mereka adalah: “Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah menurut pandangan manusia”. Mereka menerapkan teori relativisme dan bersikap skeptik, sehingga pengaruhnya mengakibatkan orang tak tahu lagi apa yang benar untuk sekarang dan yang akan datang. Retorika menjadi awal dan akhir ajaran sofistik. Retorika jadi alat pembela kebenaran yang dikemukakan. Oleh karena “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”, maka tiap-tiap pendirian dibenarkan dengan memikat perhatian orang banyak. Kalau orang banyak mengakuinya, itu sudah benar. Akibat dari itu, sikap individualisme berkembang.
Fakta inilah yang menyebabkan Socrates memperjuangkan kebenaran. Bagi dia, filosofi merupakan fungsi yang hidup. Tujuan filosofi Socrates ialah “mencari kebenaran yang berlaku selama-lamanya”. Maka, kebenaran itu tetap dan harus dicari. Ini sungguh berbeda dengan para sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif, dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis.
Dengan filosofinya yang teraktualisasi dalam hidupnya ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Ini merupakan suatu tindakan sosial. Ia bertanya jawab dengan para sofis. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Seorang sofis yang semula dipuji banyak orang sebagai guru, lama kelamaan tidak bisa menjawab pertanyaan dari Socrates, dan akhirnya dicemoohkan. Dengan caranya yang berani dan jujur itu Socrates banyak memperoleh teman.
Tetapi tindakan sosial yang telah dilakukannya membuat para sofis terancam, dan mereka menuduh bahwa dia telah mengemukakan dewa baru dan telah merusak jiwa para pemuda. Dia diadili dan dihukum mati pada akhir sidang kedua. Inilah sebuah skandal yang telah dilakukan Athena, yang katanya adalah kota demokrasi.
Keberanian Socrates dalam berbicara adalah keberanian dia untuk melawan penyimpangan yang dilakukan kotanya (rupanya para sofis mengubah Athena dari demokrasi ke anarki melalui ajarannya). Hubungan sebab-akibat semua di atas adalah sebuah konstruksi sejarah yang memperlihatkan hubungan Para Sofis dan skandal Peradilan Socrates. Implikasinya menjurus pada penciptaan masyarakat yang anarkis, dan tidak sama sekali memperjuangkan demokrasi (kebebasan berbicara). Implikasi lainnya, obyek berpikir filsafat yang menekankan pada anthrofomorfis (berpusat pada manusia) menjadi agak kabur. Namun sebaliknya, dengan skandal Peradilan Socrates, demokrasi mulai kembali ditegakkan dan obyek anthrofomorfis dijernihkan, dengan semakin banyaknya murid-murid Socrates (seperti Plato, Aristoteles, dsb).

Kritik terhadap Paradigma ini
Melihat analisa paradigma tindakan sosial terhadap hubungan antara Socrates dan masyarakat Yunani, ternyata metode yang digunakan oleh Weber tidak selalu konsisten. Ternyata Weber masih perlu menggunakan pengertian-pengertian yang menunjuk kepada keseluruhan kolektif. Bahkan dalam hal ini menggunakan metode Durkheim, yang melihat sosiologi secara makro.
Para sofis, pada waktu itu bisa dikatakan sudah terinstitusi. Pola berpikir mereka sudah terinstitusionalisasi dan menjadi umum di kalangan masyarakat Athena. Peradilan Socrates sendiri adalah bentuk nyata dari institusi itu. Dengan kata lain ini sebuah fakta sosial. Lalu, harus seberapa konsistenkah paradigma ini?
Weber menambahkan bahwa institusi atau kelompok itu dalam paradigmanya dipakai sejauh itu adalah supra-individual (soziale Gebilde), dalam kasus ini sofis bertindak hanya sebagai anggota dari suatu kelompok para sofis. Tapi, tetap sulit dijadikan batasan, bila itu dilakukan pada penelitian yang lain, misalnya terhadap ketidaksamaan kelompok sosial dalam masyarakat yang menciptakan konflik. Di sinilah letak ketidakkonsistenannya. Weber menggunakan tipe ideal tapi tidak konsisten dengan substantialnya.

No comments:

Post a Comment