Monday, September 22, 2008

Keluarlah dan Lihatlah! (Irish Murdoch)

Derita dan kesusahan manusia tiada pernah habis-habisnya. Setiap hari, entah lewat media massa maupun media elektronik, kita dengar dan lihat cuplikan peristiwa kecelakaan, bencana alam, peperangan, kerusuhan, penggusuran, dsb. Sontak, –seringkali— berita itu membuat kita merasa kasihan, tergerak hati untuk membantu. Tapi, biasanya, rasa kasihan itu bertahan hanya beberapa menit saja. Obyek perhatian beralih pada berita yang lain. Dan berita kesusahan tadi hilang, seperti dibawa angin.

Mengapa ini bisa terjadi? Ada banyak alasan yang membuatnya demikian. Alasan yang paling dominan dikarenakan orang itu belum pernah merasakannya sendiri dan tidak bersentuhan langsung dengan kejadian itu (jauh dari tempat kejadian). Tetapi, ada juga alasan lain, misalnya menuduh orang yang tertimpa bencana banjir itu karena kesalahan mereka sendiri, tidak memelihara lingkungan dengan baik. Ada juga ungkapan pujian atas penggusuran yang dilakukan karena itu berarti menertibkan lingkungan kota dari sesuatu hal yang mengurangi keindahan. Ada juga dukungan atas perang tertentu karena akan memberikan dampak positif bagi yang lain.
Cuplikan tentang kehidupan sehari-hari di atas dan reaksi di sekitar peristiwa itu memberikan gambaran singkat tentang paradigma moralitas yang dianut oleh manusia yang menjadi pelaku tindakan. Dalam kaitannya dengan filsafat moral Irish Murdoch, reaksi-reaksi di atas tadi mendapat kritikan yang cukup tajam. Reaksi-reaksi di atas sangatlah mementingkan diri sendiri (the enemy is the fat relentless ego). Secara khusus, egoisme ini hendak menunjuk pada sikap orang yang menghiraukan begitu saja peristiwa itu karena belum pernah merasakan sendiri. Bagi Murdoch, kekuatan ego membuat seseorang tertahan pada dirinya sendiri dan karena itu, tindakan yang semestinya dilakukan, dalam hal ini tindakan moral, sama sekali tidak tersentuh.
Demikianpun kritik Murdoch yang juga ditujukan pada sikap utilitarian, yang tampak pada ungkapan pujian atas penggusuran yang dilakukan demi ketertiban dan keindahan kota tanpa mengindahkan faktor kemanusiaan orang-orang yang tergusur. Walaupun aliran utilitarianisme (J.S. Mill) tidak banyak disebutkan dalam buku Murdoch, aliran pasca-Kantian ini dikritik karena sikapnya juga tidak jauh dari sikap egoisme. Sikap utilitarian hanya berdasarkan asas kegunaan dari kepentingan tertentu.
Selain dua kritik yang sudah disebutkan di atas, kritik yang paling tajam tentu saja ditujukan pada filsafat moral pasca-Kantian. Kritik itu diarahkan pada keberpusatan perhatian pada kehendak otonom manusia. Menurut Murdoch, pandangan ini sama sekali tidak mengenai sasaran, atau sama sekali tidak memberikan jawaban atas persoalan yang ada. Dari contoh peristiwa yang sudah diungkapkan pada awal tulisan ini, misalnya tampak pada tuduhan terhadap orang yang tertimpa banjir. Musibah itu terjadi dikarenakan kesalahan para korban sendiri, karena tidak merawat alam sekitarnya. Tuduhan tadi berpijak dari kehendak otonom manusia. Dengan menggunakan akal budinya, dia menangkap dan mengerti bahwa kejadian itu tidak bisa tidak disebabkan oleh (melibatkan) orang-orang yang berada dalam daerah bencana alam itu. Alasan ini bisa diterima dengan masuk akal, karena seringkali kejadian bencana alam didahului oleh tindakan-tindakan buruk manusia di sekitar itu. Tetapi permasalahannya, kehendak otonom ini berhenti pada tuduhan itu saja dan tidak menyentuh pada realitas yang sebenarnya.
Lebih lanjut, semua kritik ini dijawab oleh Murdoch dengan idea Kebaikan. Setiap peristiwa, tidak hanya terbatas pada peristiwa kesusahan dan penderitaan, memiliki suatu daya tarik ‘yang baik’. Namun, daya tarik ini hanya bisa kita rasakan bila kita keluar dari diri kita dan melihat dengan mata kita untuk melihat realitas di sekitar kita. Hal yang ditekankan oleh Murdoch sekaligus jawaban atas kritik-kritik terdahulu adalah keluar dan lihatlah (!) idea kebaikan itu.
Idea yang ditawarkan oleh Murdoch ini boleh dikatakan, suatu idea yang tampak baru sama sekali. Moralitas yang dibawa pasca-Kantian, seturut refleksi Murdoch, sama sekali tidak keluar dari dirinya dan melihat realitas sesungguhnya dengan adil dan penuh kasih.
Kembali pada peristiwa di awal tadi. Kalau diaplikasikan, reaksi-reaksi di atas tadi semestinya dimulai dengan sikap seseorang yang memperhatikan (keluar dari dirinya), melihat dengan seksama dan kemudian melakukan sebuah tindakan. Memang, dalam hal ini tindakan seseorang (dalam aliran Murdoch) tidak serta merta mesti sempurna. Karena bagi Murdoch, hidup manusia itu historis, berproses. Sebagaimana yang digambarkan Murdoch dalam pengalaman M terhadap D. M berubah menjadi baik terhadap D melewati suatu proses kesadaran, yakni proses keluar dari dirinya dan melihat realitas sebenarnya.
Bagi Murdoch, idea kebaikan ini adalah idea tertinggi. Dia sempat membandingkan idea ini dengan metafor gua Plato. Idea kebaikan ini sama artinya dengan idea matahari. Seseorang mesti keluar dari dalam gua, melepaskan kenyamanan api yang memberikan pantulan bayangan atas dirinya, dan melihat matahari sebagai suatu idea tertinggi, yang menunjukkan realitas senyata-nyatanya.
Pada akhir tulisannya, Murdoch mengatakan bahwa idea kebaikan ini sangatlah misteri, tidak terdefinisikan. Walaupun pernah juga Murdoch menggambarkan kebaikan ini seperti seorang seniman membuat karya seni yang megah –dalam artian keindahan itu juga tidak terdefinisikan— kita pun dalam kehidupan sehari-hari seringkali menemukan atau menjumpai suatu hal yang tidak bisa dikatakan. Walaupun kedengarannya metafisis, tetapi sebenarnya lebih dari itu, karena Murdoch ingin menunjukkan dimensi transenden dari idea kebaikan itu. Dengan kata lain, idea kebaikan itu tentu saja selalu mengarah pada kebaikan.
Sebagai kata akhir dalam refleksi ini, saya hendak mengatakan bahwa idea kebaikan yang disampaikan oleh Murdoch dengan aplikasi yang menuntut untuk keluar dan lihatlah (!) dengan adil dan penuh kasih, merupakan suatu pandangan filsafat moral yang sangat aplikatif dan justru sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dan tentu saja berkaitan dengan moralitas sendiri –yang berarti apa yang harus kita lakukan— idea kebaikan ini menjawab langsung kebutuhan manusia, tidak jauh-jauh, bahkan tidak mengawang-awang (hanya berhenti pada hasil akal budi saja).

1 comment:

  1. hhmmmm
    tulisane bagus juga ter^^
    *ga nyangka, wkwk*

    ReplyDelete