Tuesday, September 30, 2008

Indonesia dalam Pola Pikir Mitos dan Realitas


Memahami Mitos dan Realitas
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dan bermacam ragam suku bangsa. Dibandingkan dengan banyak negara lain yang tidak memiliki keanekaragaman seperti ini, tentu saja letak geografis dan pluralitas penduduk telah cukup membedakan Indonesia di tengah-tengah dunia. Namun, sebagai bangsa manusia, bangsa Indonesia sama dengan bangsa lain, yakni dalam mengalami proses peradaban. Kesamaan proses peradaban itu terletak pada cara pola pikir yang pada mulanya berdasarkan mitos. Mengapa demikian?

Di dalam mitos, manusia dekat dengan daya kekuatan alam, di mana manusia tinggal di dalamnya. Nenek moyang kita atau manusia pertama, kalau boleh dikatakan demikian (tetapi bisa juga manusia zaman ini—kalau masih melakukannya juga), bertanya-tanya dari mana dunia kita ini, dari mana kejadian-kejadian di dalam alam, apa sebab matahari terbit dan terbenam lagi? Dan mitos menjawabnya. Dengan kata lain, sebenarnya, mitos ingin memberikan pedoman dan arah tertentu kepada perilaku manusia, dan merupakan semacam pedoman untuk bertindak bijaksana. Akhirnya, lewat mitos, manusia dapat mengambil bagian dalam kejadian-kejadian di sekitarnya, dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam itu. Keterangan di atas paling sedikit telah menunjukkan bahwa mitos adalah suatu usaha percobaan manusia untuk mengerti kejadian-kejadian di alam.
Pola pikir berdasarkan mitos mengajak manusia untuk berkembang melalui tahap-tahap peradabannya dari menemukan sesuatu yang asing menuju ke sesuatu yang dikenal. Ini adalah suatu hal yang dapat kita katakan sebagai pola kemanusiawian biasa. Implikasinya, berpikir berdasarkan mitos adalah suatu bakat manusiawi, tidak bisa kita hindari. Demikianlah yang dialami oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia, walaupun dapat dipergunjingkan lagi ketika perilaku semacam ini masih bertahan sampai sekarang.
Kuntowijoyo dalam artikelnya Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, menunjukkan dan mempergunjingkan pola pikir berdasarkan mitos. Dia melihat bahwa perilaku ini adalah suatu khurafat nasional yang tidak mampu menghadapi keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum, di mana ketiganya dalam posisi sebagai realitas bangsa—dilawankan dengan mitos. Terlepas dari adanya sisi positif di dalam pola pikir berdasarkan mitos itu (sedikit sudah diungkapkan pada paragraf sebelumnya), salah satunya terkait dengan kemanusiawian kita, kita dapat mulai memahami tulisan budayawan yang satu ini.
Pantas disadari bahwa dalam dunia mitos, manusia belum merupakan seorang individu (subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan ajaib, seolah-olah dia diresapi oleh roh-roh dan daya-daya dari luar. Percobaan untuk mengerti tentang alam baru sekedar luarannya saja. Dengan demikian tampak bahwa belum ada batasan yang jelas antara manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek. Titik kelemahan inilah yang sebenarnya mempengaruhi pola pikir umum bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang masih berpola pikir berdasarkan mitos. Dan yang paling bahaya kalau itu mempengaruhi eksekutif negara, yang notabene akan sangat berpengaruh pada pengelolaan negara. Mengapa?
Ketidakjelasan batasan ini membuat manusia mudah untuk membela diri. Tentu saja bagi manusia yang tidak ingin disentuh apalagi yang berkaitan dengan hal-hal privat akan senang berperilaku berdasarkan mitos. Mitos menjadi sebuah legalitas dan rasionalisasi bagi untouchable person yang berkepentingan untuk menghindar dari rasa sakit. Lihat saja perilaku beberapa pemimpin eksekutif kita yang berpola pikir berdasarkan mitos! Mereka ingin menjauhi dari cercaan, seolah-olah apa yang dilakukan benar adanya, ada yang dimitoskan dan tidak bisa diganggu gugat. Mitos dijadikan sebuah alat bagi bermacam-macam interes pribadi dan kelompok. Akibatnya, permasalahan-permasalah real sama sekali akan tetap ada karena sama sekali tidak disentuh.
Menarik untuk menyimak lebih jauh pandangan dari Kuntowijoyo mengenai mitos dan realitas, walaupun kelihatannya wacana keindonesiaan menjadi agak complicated. Bagaimanapun juga, sebuah perubahan pola pikir dari mitos menuju realitas, yang ditawarkan Kuntowijoyo, adalah suatu hal yang diharapkan agar terjadi perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam tulisan ini, pertama-tama penulis hendak menyimak tulisan Kuntowijoyo dari konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan dan menganalisisnya—selain tentunya, juga membicarakan wacana keindonesiaan. Untuk mudah mengikuti garis besar penulisan, pertanyaan-pertanyaan berikut adalah acuannya: Apa hubungan antara mitos dan konformitas dalam konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan? Apa kecenderuangan umum perkembangan masyarakat Indonesia, konformis atau menyimpang, atau keduanya atau tidak keduanya?

Konformitas atau Penyimpangan
Sebelum menentukan yang manakah konformitas atau penyimpangan antara mitos dan realitas, kita mesti lebih dulu mengerti apa itu konformitas dan penyimpangan. Konsep konformitas merupakan hasil dari proses sosialisasi. Menurut Jon M. Shepard, konformitas merupakan bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok. Misalnya kita berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan karena identitas diri kita sebagai laki-laki atau perempuan diberikan kepada kita melalui sosialisasi.
Sedangkan penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Dalam sosiologi penyimpangan ditambahkan bahwa perilaku penyimpangan bukan penyimpangan yang an sich atau sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Definisi tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam masyarakat ataupun pada masyarakat umum.
Berdasarkan pemahaman konsep sosiologis di atas, kita sudah dapat mendistingsikan antara mitos dan realitas ke dalam konformitas atau penyimpangan. Dari tulisan Kuntowijoyo, Pola pikir berdasarkan mitos adalah sebuah konformitas. Alasan pertama yang dapat mendukung pendapat itu adalah bahwa pola pikir mitos adalah perilaku yang diharapkan kelompok, dalam hal ini mayoritas masyarakat Indonesia. Mayoritas inilah yang turut menentukan identitas bangsa bahkan mempengaruhi sosialisasi kebudayaan orang per orang di dalamnya termasuk terhadap generasi berikutnya. Dan, alasan kedua, berlandaskan ciri konformitas di mana memperlihatkan betapa mudahnya manusia dipengaruhi orang lain, kita bisa melihat fenomena kehidupan politik dalam tulisan Kuntowijoyo, di mana masyarakat Indonesia dipengaruhi untuk percaya pada mitos-mitos politik seperti mitos tentang kembalinya pulung kerajaan dan mitos tentang tumbal. Ini semakin fenomenologis ketika dibuat oleh seorang Soekarno, Soeharto atau bahkan seorang Gus Dur yang merupakan seorang public figur, yang tentu saja memiliki simpatisan.
Sebaliknya, pola pikir berdasarkan realitas merupakan sebuah penyimpangan. Pola pikir ini tidak umum dan tidak normal. Tentunya penilaian ini dinilai oleh orang-orang yang konformis. Lihat saja bagaimana seorang Habibie melakukan tindakan yang berpola pikir berdasarkan realitas. Justru dia mesti didepak dari jabatan ini karena tidak umum.
Pembedaan antara mitos sebagai konformitas dan realitas sebagai penyimpangan, seperti yang sudah diungkapkan di atas, boleh dikatakan sudah mengikuti konsep-konsep sosiologis yang diberikan. Tetapi, kalau melihat secara tajam tulisan Kuntowijoyo, ternyata berlaku sebaliknya. Justru mitos adalah sebuah penyimpangan sedangkan realitas adalah sebuah konformitas. Mengapa?
Kalau semata-mata hanya melihat pada pola penulisannya, kentara sekali, bahwa tulisan ini konformis terhadap pandangan Kuntowijoyo sendiri yang justru mendukung realitas dan sungguh menolak mentah-mentah mitos. Maka dari itu Kuntowijoyo tidak segan-segan menyebutkan titik kelemahan mitos (sebagai sebuah penyimpangan) dan memaparkan proses demitologisasi. Istilah khurafat nasional merupakan istilah yang semakin mendukung bahwa mitos adalah sebuah penyimpangan.
Dengan demikian perlu ditekankan dalam konsep sosiologis ketika akan menilai apakah ini suatu konformitas atau penyimpangan, yakni tergantung pada definisi sosial. Bukan suatu hal yang mustahil bila pendistingsian akan berbeda antara yang berlaku secara umum di masyarakat (kenyataan) dengan kelompok-kelompok kecil atau bahkan seperti tulisan ini sendiri. Dalam pengertian sempit, siapa saja bisa menganggap dirinya konformis karena pastilah pertama kali mengklaimnya (suatu pembelaan diri juga, bukan?), sedangkan orang lain dianggap menyimpang.
Kecenderungan Umum
Tentu saja setelah menyimak pembahasan dan analisis pada bagian sebelumnya, kita dapat mengetahui kecenderungan umum perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini, yakni berpola pikir berdasarkan mitos. Kecenderungan umum yang diidentifikasikan sebagai sebuah konformitas tentu saja tak bisa dilepaskan dari berbagai faktor lain yang mempengaruhinya—selain yang sudah disebutkan di atas mengenai konsep mayoritas. Psikoanalisa Freud bisa membantu memahami prinsip bertindak yang pada umumnya berlaku pada sebuah masyarakat. Dalam psikoanalisanya, Freud menyebutkan bahwa salah satu fungsi masyarakat adalah untuk menghambat dan menekan impuls-impuls naluriah perorangan. Inilah yang kita yakini sebagai sebuah psikologi massa yang memampukan ego-ego seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat.
Sebagai faktor lain yang bisa mempertegas bahwa kecenderungan umum bangsa Indonesia berpola pikir berdasarkan mitos adalah perumpamaan Gua Plato. Perumpamaan ini hendak membicarakan tentang manusia. Adalah beberapa tawanan yang sejak lahirnya terbelenggu, mukanya tidak dapat bergerak dan hanya bisa memandang ke dinding gua. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang orang yang hilir mudik, yang dibentuk oleh cahaya api di belakang mereka. Para tawanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain. Suatu kali ada seorang tawanan yang memberontak. Dia melepaskan diri dari belenggu dan berbalik melihat cahaya api, sekaligus pula keluar dari gua. Pertama-tama, dia merasa baru saja meninggalkan sebuah realitas, tetapi berangsur-angsur ia sadar bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa ia belum pernah memandangnya. Dia kembali kepada teman-temannya dengan maksud untuk mengajak mereka untuk mengalami realitas yang baru saja dirasakannya, tetapi apa jawaban dari temannya? Tak disangka, ternyata memarahi dan tidak percaya, dan seandainya teman-temannya tidak terbelenggu, mereka pasti akan membunuh dia yang hendak melepaskan mereka dari gua.
Demikianlah kenyataannya, bahwa manusia yang digambarkan secara filosofis oleh Plato, pada dasarnya akan tetap mengindahkan pola pikir berdasarkan mitos. Ini bisa dikenakan kepada bangsa manapun, khususnya dalam hal ini, bangsa Indonesia. Sedangkan, orang yang justru melihat realitas sebenarnya, yang berani keluar, adalah orang yang melakukan suatu tindakan menyimpang.
Di samping kecenderungan umum ini, kita mesti pula mengakui bahwa ada kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat yakni pola pikir berdasarkan realitas. Walaupun ini sebuah penyimpangan—kata orang-orang yang berpola pikir mitos, eksistensi mereka tetap dapat menjadi sebuah momen yang suatu saat akan berkembang menjadi sebuah perilaku atau identitas (kebudayaan) bangsa atau dalam hal ini menjadi suatu konformitas pula.
Mungkin saja tindakan Habibie atau segelintir orang-orang yang berani keluar dari gua, hanya merupakan tindakan-tindakan kecil, tapi dari sinilah awal sebuah perubahan atau demitologisasi yang tentunya akan membawa perubahan pula pada pembangunan bangsa Indonesia.
Analisa Merton
Konsep sosiologis yang cocok untuk menganalisis tulisan Kuntowijoyo adalah konsep sosiologis menurut Robert K. Merton. Sebelum masuk lebih jauh, penulis menangkap bahwa tulisan tersebut terjadi pada jenjang makro, yaitu pada jenjang struktur sosial. Menurut argumen Merton, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku konformis, tetapi menghasilkan pula perilaku menyimpang, struktur sosial menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial; menekan orang tertentu ke arah perilaku nonkonform. Ada 5 tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu yang diidentifikasikan oleh Merton, yakni: konformitas, inovasi, ritualisme, retreatisme dan pemberontakan (rebellion).
Dalam tulisan Kuntowijoyo sendiri, pola adaptasi yang digunakan adalah cara pemberontakan (rebellion). Dalam pola adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain. Tujuan budaya yang ada dianggap sebagai penghalang bagi tujuan yang didambakan. Cara yang tersedia untuk mencapai tujuan pun tidak diakui.
Lebih jauh, muncul pertanyaan mengapa bangsa Indonesia disebut sebagai struktur sosial? Dan mengapa konformitas dan penyimpangan terkait di dalamnya? Menurut Merton pula, ciri dasar dari suatu struktur sosial ialah bahwa status tidak hanya melibat satu peran terkait melainkan sejumlah peran terkait. Bila kita masukkan bangsa Indonesia sebagai suatu struktur sosial, kita bisa melihat sejumlah peran terkait di dalamnya. Peran sebagai bangsa Indonesia tentu saja tidak terkait dalam hal politik dengan pemerintah atau dengan partai atau kelompoknya, tetapi tentu saja terkait dengan orang lain di sekitarnya yang bisa berhubungan secara ekonomi, kebudayaan atau bidang yang lain. Maka karena peran yang saling terkait inilah, tidak bisa dihindari bahwa ada tindakan konformitas dan penyimpangan.
Berikutnya, kita akan melihat mengapa penyimpangan merupakan suatu pola adaptasi pemberontakan (rebellion) terhadap konformitas. Ada 2 determinasi yang dipaparkan oleh Merton dalam tipologi adaptasinya, yakni tujuan budaya dan cara yang diinstitusionalisasikan. Dalam pola pikir berdasarkan mitos, ambil contoh saja anggapan khalayak umum tentang mitos adanya kharisma sang Ratu Adil. Ketika anggapan ini ditempatkan pada seorang Soekarno, masyarakat mempunyai tujuan dan berharap beliau bisa mengatasi krisis dari keterjajahan menuju kemerdekaan. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya. Tujuan itu tidak pernah tergapai, masyarakat malahan dibuai dengan tindakan Soekarno yanng justru menjadi penjajah sendiri, maksudnya, bahwa dengan Demokrasi Terpimpin, sama saja menempatkan Soekarno sebagai penjajah. Masyarakat sadar dan muncul mitos Firaun, dan akhirnya Soekarno lengser. Sama halnya dengan pengganti berikutnya, Soeharto. Pepatah “habis manis sepah dibuang” begitu tepat dikenakan kepada mereka. Garis besarnya, tujuannya pun—baik yang dilakukan oleh Soekarno maupun Soeharto, tak disadari telah menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Kalau tujuannya sudah tidak jelas bagaimana mungkin caranya juga jelas. Implikasi lebih jauh, dengan terus berulangnya kejadian seperti ini, tak pelak lagi, masyarakat mebudayakan pola pikir berdasarkan mitos.
Sebaliknya, dengan adanya penyimpangan—tanda sebuah pemberontakan, bergantilah haluan, menuju pola pikir berdasarkan realitas. Tujuannya pun dipertegas dengan salah satu bentuk demitologisasi yakni dari abstrak menuju konkret, yakni memperbaiki bangsa yang sedang dilanda keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum. Lalu, cara yang digunakan pun diganti—bukan menghindar dan menggunakan simbol, tetapi memperkenalkan ilmu pengetahuan, gerakan puritanisme dalam agama dan pengenalan sejarah dan seni.
Demikianlah kita melihat suatu pemberontakan pola pikir berdasarkan realitas dari pola pikir berdasarkan mitos.

Akhir Kata: Sebuah Refleksi
Bukan tidak mungkin bahwa suatu saat kecenderungan umum yang ada dalam masyarakat Indonesia menempatkan realitas sebagai sebuah konformitas sedangkan mitos sebagai penyimpangan. Kejadian ini tergantung ke arah mana bangsa Indonesia bersikap terhadap kebudayaannya.
Quo vadis Indonesia, menjadi sebuah pertanyaan yang cocok sebagai akhir kata dalam tulisan ini. Tepatlah istilah yang digunakan Kuntowijoyo bahwa kita hanya berjalan di tempat, karena kita sama seperti nenek moyang kita yang berpikir berdasarkan mitos. Sekaligus pula ini sebuah pertanda dan pertanyaan untuk menjawab tanda-tanda zaman (melalui permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia—keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa, dan anarki hukum). Bisa jadi kita tetap mengindahkan mitos sebagai sebuah kemanusiawian (memandang positif) kita. Dan mulai membuka diri terhadap pola pikir berdasarkan realitas. Tentu saja ini semata-mata sebuah wacana keindonesiaan, karena inilah yang sedang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk selanjutnya. Seperti pula dalam perumpamaan Gua Plato, mau kemanakah kita berjalan, tetap di dalam gua atau pergi keluar gua dan menemukan realitas sesungguhnya?
Akhirnya, penulis pun sadar bahwa tulisan Kuntowijoyo adalah sebuah olahan refleksi yang mengamati keadaan masyarakat secara global dengan memperhatikan gejala sosial yang terjadi dalam kultur kebudayaan bangsa. Walahuallam, semoga harapan dari Kuntowijoyo dapat tercapai dan Indonesia meninggalkan khurafat nasional.

No comments:

Post a Comment