Sunday, November 2, 2008

Deindividuasi dan Tanggungjawab Hukum

Ibarat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, peluang sekecil apapun pastilah akan digunakan oleh orang yang terkena masalah hukum untuk bebas dari hukum itu, termasuk jika peluang itu terlihat lewat cara mendekati aparat penegak hukum.
Kasus kaburnya seorang koruptor kelas kakap yang disebabkan oleh longgarnya hukum dan adanya konspirasi dari penegak hukum menjadi gambaran betapa buruknya kondisi hukum di Indonesia saat ini. Hal ini semakin diperparah oleh tindakan para penegak hukum sendiri, yang terkesan saling lempar tanggungjawab atas pengusutan kasus tersebut. Padahal, kalau ada semangat kebersamaan yang bertanggungjawab di antara penegak hukum, kecil kemungkinan koruptor bisa kabur. Maka benarlah ucapan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, “….supaya koruptor tidak bisa kabur, pengadilan, kejaksaan, kepolisian jangan suka penangguhan.”

Deindividuasi
Membuka ruang konspirasi, yang lebih dikenal dengan istilah sogokan, terhadap koruptor untuk kabur adalah fenomena penegasan yang membuktikan kurangnya tanggungjawab para penegak hukum terhadap peran yang dipercayakan padanya. Sedangkan tindakan saling melempar tanggungjawab antar penegak hukum lantaran kaburnya seorang koruptor, adalah upaya mereka untuk “cuci tangan” atau mau menghindar dari keburukan tersebut. Lalu siapakah yang mesti bertangungjawab?
Kondisi lemahnya tanggungjawab ini menandakan sebuah gejala deindividuasi dalam kesadaran hukum kita. Deindividuasi adalah hilangnya tanggungjawab pribadi yang menjadikan kepedulian seseorang berkurang terhadap akibat-akibat dari tindakan-tindakannya (Zimbardo, 1970). Akibatnya, seseorang menjadi lemah dalam kesadaran diri untuk melakukan suatu kewajiban moral ataupun hukum. Padahal tanggungjawab hukum bukanlah beban segelintir orang saja, melainkan segenap individu dengan segala tugas dan kedudukan yang diampunya.
Gejala deindividuasi di dalam tubuh penegak hukum mengakibatkan lembaga ini tidak berjalan dengan efektif sebagaimana mestinya. Hukum yang seharusnya ditegakkan sebaliknya malahan dicampakkan. Koruptor yang semestinya dihukum dan dipenjara, malah bisa bebas dengan status tidak bersalah. Keadilan yang semestinya diutamakan dan dijunjung tinggi, malahan ditelantarkan. Maka, jangan kaget jika hukum kita ternyata bisa dihargai dengan sepeser uang.

Anonimitas Pelaku
Faktor kunci dalam deindividuasi adalah anonimitas (Forsyth, 1990). Apa saja yang membuat seseorang menjadi kurang dapat dikenali secara pribadi dapat meningkatkan efek deindividuasi. Makin anonim seseorang, makin berkurang tanggungjawab mereka atas tindakan-tindakan mereka. Akibatnya, anonimitas mendorong terbentuknya tingkahlaku yang tidak bertanggungjawab.
Dengan anominitas pada dirinya, seorang aparat hukum berani berkonspirasi, dengan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang semestinya harus ia kerjakan. Sebaliknya, ia justru berani menerima tawaran untuk bersekongkol, yang tentunya berujung pada sebuah imbalan harga yang layak atas “jasanya” itu. Selanjutnya, anonimitas membuat aparat hukum lepas tangan atas tindakan “buruk” yang dilakukannya itu. Cirinya sangat jelas, yaitu upaya lempar-melempar tanggungjawab. Padahal tanggungjawab itu sebenarnya adalah tanggungan mereka sendiri. Anonimitas menciptakan kekaburan tanggung jawab yang membuat seseorang tidak merasa bersalah atas perbuatan salah yang telah dilakukannya.

Reformasi Menyeluruh
Memang patut disayangkan bahwa di tengah-tengah upaya pemerintah negeri kita untuk semakin memajukan kualitas penegakan hukum, gejala deindividuasi ini masih membudaya. Maraknya pemberitaan di media massa yang menyorot soal koruptor yang dinyatakan bebas tak bersalah tersebut, menunjukkan sebuah realitas yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, persoalan besar itu tidak hanya berdampak di masa sekarang, tetapi dampaknya akan merambat hingga ke masa depan. Kini kita sadar bahwa ada persoalan lain dari lemahnya hukum kita, yaitu sikap deindividuasi ini.
Dalam kesadaran adanya bahaya akibat deindividuasi tersebut, kiranya tidak bijak jika kita menumpahkan semua kesalahan hanya penegak hukum yang melakukan konspirasi itu. Sebab persoalan tanggungjawab hukum bukan hanya sebatas pada penegak hukum saja. Persoalan itu adalah sebuah fenomena gunung es dari kesadaran hukum kita. Gejala deindividuasi sebenarnya lebih meluas dalam masyarakat kita. Kita cenderung begitu mudah untuk tidak bertanggungjawab dan bersikap permisif terhadap kejahatan yang terjadi di depan mata kita. Kita lebih banyak bertindak mengambil jarak dan menempatkan diri dalam posisi aman untuk lepas tangan dari kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya kita tuntaskan bersama itu.
Maka, menjadi semakin jelas bahwa gejala deindividuasi yang mencuat di negeri kita ini, harus dibongkar. Tanggungjawab hukum adalah tanggungjawab bersama semua orang yang mengharapkan sebuah kenyataan hukum yang adil.
Anonimitas tidak jauh beda dari sebuah topeng. Kita sebagai bangsa tentunya tidak mau menjadi bangsa yang tidak punya identitas.
Sekalipun pembongkaran deindividuasi ini lebih banyak dituntut realisasinya pada lembaga penegak hukum kita, tetapi bila kita benar-benar mengharapkan bangsa yang menjunjung tinggi hukum, semestinyalah semua elemen masyarakat ikut serta melakukan reformasi diri. Kita tentu akan semakin bangga menjadi bangsa yang memiliki identitas.

No comments:

Post a Comment