Sunday, September 21, 2008

Dialektika Kelas Atas-Kelas Bawah

Kelas Atas…

Enaknya kalau berada di atas
Walau keluar duit tetap juga masih ada duit
Pekerja udah pergi, tetapi modal tetap utuh

Susahnya jadi kelas atas
Kursi gak pernah tenang
Selalu ada yang berusaha menggoyah

Makanya status quo lebih baik
Yang penting tetap duduk di kursi

Tapi apa pentingnya khotbah-khotbahmu itu
Semua hanya tipuan
Tipuan untuk mengunci mulut-mulut orang kecil

Dasar kelas atas
Enak ataupun senang, kau tetap ada di atas
Goyang…


Kelas Bawah…

Semuanya diterima begitu saja
Tidak tahu kalau itu hanya sebuah permainan
Permainan sang tuan modal

Pernahkah mereka tahu,
Kalau mereka ditipu,
Darimana subsidi BBM
Seolah-olah ada kebaikan dan perhatian dari tuan modal
Tetapi itu hanya untuk membungkam
Agar tidak buka mulut
Agar tidak banyak protes

Dasar kelas bawah
Mudah ditipu

Tuan-tuan berkhotbah
Tetapi mereka hanya bisa mengangguk
Angguk ke atas
Angguk ke bawah

Tak bisa angguk ke kiri
Angguk ke kanan

Wahai kelas bawah,
Usahlah kau percaya lagi khotbah-khotbah itu
Itu hanya khotbah yang penuh dengan buih
Kotor dan busuk


Bluntas, Desember 2005
Read more...

Monday, September 15, 2008

Inginkah Damai Menjelang


Ketika aku melihat lagi
Dari dunia yang berbeda
Mereka bagai hidup di padang lumpur
Ada tangis kelaparan dan juga kesakitan
Ada hawa pembunuhan dan nafsu berkuasa
Tipu menipu, akal mengakal
Saling membunuh ganti berganti
Dan api memburu senjata yang berbicara

Lolongan-lolongan penuh kesesakan, kepedihan dan kesakitan
Seribu derita detik-detik penghabisan
Orang melepaskan nyawa
Suara mereka hampa kedengaran
Suaranya hilang bersenyawa dengan ruang
Tenggelam di lekuk-lekuk bumi

Dengan bisu seribu kata
Mereka sebenarnya berteriak-teriak agar diperlakukan adil
Tapi, angin yang meraung di tengah malam gelap
menambah lagi ketakutan sepi
Ialah yang menyebabkan air mata yang gugur
Yang menyebabkan runtuh segala pasak tubuh

Inginkah
Damai
Menjelang

Bumi telah penuh nisan
Kami hanya bisa meratap,
untuk apa semua terjadi

Ini muka penuh luka siapa punya
Dikikis oleh desingan timah panas
Deru lapis baja yang menteror
Prajurit yang masih tetap berjuang,
dan sama sekali tidak tahu bahwa ia telah mati

sudah, sudah habis semua luluh lantah

Lupakan semua pujian pada perang
Menghidupkan yang semu, menggapai mimpi-mimpi sunyi
Kami hanya bisa meratap, bisu seribu bahasa

Apakah kami cuma tumbal kehidupanAtaukah harus memang begini?
Read more...