Tuesday, May 10, 2011

Jogjakarta, City of Tolerance

(Artikel ini pernah dimuat di harian Jawa Pos-Jogja Raya, tanggal 21 April 2011 yang lalu. Selamat membaca!)

Kota Jogjakarta sudah sedemikian dikenal oleh banyak orang sebagai city of tolerance. Siapapun yang singgah dan tinggal di kota ini bisa merasakan betapa damainya kota ini. Berbagai orang, dengan beragam latar belakang, bisa membaur menjadi satu tanpa ada kecurigaan satu sama lain, saling berbagi dan menerima.


Setiap akhir pekan dan masa liburan sekolah, ribuan orang datang ke Jogjakarta. Mereka datang tidak pertama-tama hanya untuk berwisata, tetapi mereka juga ingin merasakan kedamaian dan keramahan warganya dan ditambah ingin merasakan sejuknya hawa kota Jogjakarta. Sebagai warga Jogjakarta, kita sepantasnya patut bangga dengan predikat city of tolerance ini.



Tetapi, belakangan ini, sebagian dari pengunjung itu mulai resah. Mereka mulai merasakan terjadi banyak perubahan di kota Jogjakarta. Jogjakarta tidak bisa dikatakan lagi sebagai kota yang berhawa sejuk. Kendaraan bermotor sudah terlalu banyak. Pepohonan sudah mulai berkurang banyak. Sawah-sawah mulai berkurang seiring dengan tumbuhnya gedung dan perumahan baru.


Meski sebutan city of tolerance merujuk pada sikap toleran warga dalam menerima kehadiran orang lain, tetapi rujukan itu masihlah kurang. Rujukan toleransi seharusnya juga mewujud dalam sikap toleransi terhadap lingkungan hidup. Selama ini, konsep yang warga pahami dan hidupi lewat city of tolerance baru sampai pada tataran antroposentrisme. Padahal, kita sebagai mahluk Tuhan mesti pula menyadari kesadaran hidup secara holistik. Itu berarti kita mesti memperhatikan matra kehidupan yang lain.


Sikap antroposentrisme pada dasarnya hanya melegitimasi bahwa manusia sajalah yang mempunyai hak untuk mendayagunakan alam ini. Sementara mahluk lain hanyalah infra-human, bukan-manusia, yang tidak pantas punya hak yang sama. Dari sikap semacam inilah, kerusakan dan eksploitasi terhadap alam menunjukkan wajahnya.


James Lovelock dalam teori Gaia (1979), mengatakan bahwa seluruh ciptaan yang ada di bumi ini adalah sebuah satu kesatuan yang tumbuh bersama dan saling melengkapi. Semua unsur membentuk sebuah korelasi yang saling tergantung satu sama lain. Tidak ada yang dominan. Meskipun manusia, adalah mahluk yang paling mampu, itu tidak berarti manusia bisa bebas berbuat apa saja. Justru manusia semestinya menjadi wakil dari seluruh mahluk Tuhan, yang bisa diminta mengedepankan kemaslahatan seluruh ciptaan. Mahluk lain yang non-human, seperti hewan dan tumbuhan adalah kolega dari manusia. Inilah yang dimaksud Lovelock dengan sikap biosentrisme.


Maka dari itu, kota Jogjakarta sebagai city of tolerance mestinya bisa sampai pada sikap biosentrisme ini. Kita mesti bisa menciptakan kesadaran bahwa lingkungan hidup begitu penting bagi kita. Wajah lingkungan hidup adalah wajah kehidupan kita sendiri. Jika kita mengatakan bahwa kota Jogjakarta adalah kota damai, maka itu berarti ada wujud damai juga antara manusia dan lingkungannya.


Miris juga kalau kita melihat fakta empiris di jalan-jalan kota ini. Hampir di sepanjang jalan-jalan utama, kemacetan sedemikian mudah terjadi. Jumlah kendaraan bermotor dari hari ke hari semakin meningkat. Beberapa dekade yang lalu, jarang sekali kita melihat kota ini mengalami kemacetan. Kita masih dengan mudah melihat warga berkendaraan sepeda. Tetapi sekarang, pemandangan itu jarang sekali terjadi. Kota ini telah berubah. Kemacetan menjadi biang polusi udara. Tidaklah mustahil, dalam hitungan beberapa tahun lagi, kota ini akan menjadi seperti Jakarta, di mana kemacetan dan polusi niscaya menjadi santapan harian.

Meskipun pemerintah kota sudah mencanangkan program toleransi terhadap lingkungan dengan gerakan Sego Segawe, tetapi gerakan ini tidak mendapat sambutan yang cukup luas. Meskipun di sebagian ruas jalan sudah dibuat jalur khusus buat pesepeda, dan di perhentian lampu merah dibuat ruang khusus bagi pengguna sepeda, tetapi tetap saja tidak banyak orang yang memilih bersepeda.
Dalam mengembangkan kesadaran biosentrisme di ruang publik, kita bisa memulainya dengan memaksimalkan obyek-obyek eko-wisata yang ada sebagai sarana pendidikan ekologi. Agrowisata Turi, Hutan Wanagama, Taman kota Kotabaru, dan Museum Gunungapi Kaliurang perlu digarap, dikembangkan, dan dipublikasikan dengan baik, sehingga tidak kalah saing dengan obyek wisata yang lain. Pemerintah secara khusus perlu merencanakan penambahan ruang ekologis dalam kota. Satu-satunya hutan kota hanyalah hutan UGM di Bulaksumur. Pemerintah perlu memikirkan untuk membangun taman kota yang apik. Selain itu, ‘gerakan reboisasi’ di jalan-jalan padat reklame mulai perlu dicanangkan. Sementara itu, para warga diharapkan tidak seenaknya menebang pohon dan jika membangun rumah, tidak lupa untuk menyediakan lahan hijau di dekatnya.


Dengan demikian, jika pemerintah dan semua warga sungguh memperhatikan hal ini, maka Jogjakarta sungguh-sungguh telah menjadi city of tolerance, kota yang sungguh berhati nyaman. Tidak hanya orang-orangnya ramah, tetapi lingkungan hidupnya juga bersahabat. Semoga!***

No comments:

Post a Comment