Friday, April 22, 2011

Perempuan dan Emansipasi Kejahatan


Dalam beberapa minggu terakhir ini, kita disuguhi berita keterlibatan tiga perempuan cantik dalam tindak kriminalitas. Ketiga perempuan itu adalah Melinda Dee, Selly Yustiawati dan Putri Arie Sigit. Melinda Dee melakukan kejahatannya dengan cara memindahkan uang total sebesar 17 milyar dari rekening nasabah-nasabah Citibank, tempat di mana dia bekerja, ke rekening perusahaan pribadinya. Selly Yustiawati melakukan kejahatannya dengan melancarkan aksi penipuan dengan modus jual beli ponsel dan bisnis pulsa kepada ratusan orang. Sementara itu, Putri Arie Sigit melakukan kejahatannya lewat keterlibatannya dalam kasus narkoba bersama temannya di sebuah hotel di Jakarta.

(insert: Foto Sandra Avila Beltran, seorang gembong kartel perempuan dari Meksiko)

Kasus-kasus ini sekilas memperlihatkan peran perempuan dalam tindak kriminalitas. Perempuan tidak lagi menjadi pemain di belakang layar, tetapi sudah menjadi pemain utamanya. Lalu muncul pertanyaan, apakah ini bagian dari sebuah emansipasi?

Secara empiris, dalam sebuah analisa lintas budaya, ada kesimpulan bahwa laki-laki membuat sumbangan lebih tinggi dalam angka kriminalitas dibandingkan perempuan. Faktor umum pemicu kriminalitas itu adalah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan psikologi pribadi yang bersangkutan (Budi Sucahyono, 1966). Lalu, muncul pertanyaan kedua, apakah faktor-faktor itu juga memicu kriminalitas dengan perempuan sebagai aktornya?

Nature dan Nurture
Secara alamiah (nature), laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kodrati yang tidak bisa dipertukarkan. Jenis kelamin, perkembangan fisik antara perempuan dan laki-laki amatlah identik dan itu melekat pada diri sejak lahir. Sementara itu, sifat-sifat yang dibawa oleh laki-laki dan perempuan sebagai sifat diri, yang pada laki-laki identik dengan berani, keras dan rasional, sedangkan pada perempuan identik dengan lemah, lembut dan perasa adalah hasil konstruksi sosial dan budaya (nurture).

Sifat-sifat nurture berbeda dengan sifat kodrati (nature). Sifat-sifat nurture bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Sementara sifat-sifat kodrati (nature) sama sekali tidak bisa dipertukarkan. Kita sering menemukan ada perempuan yang sifatnya berani, keras dan rasional. Sebaliknya, kita juga tidak sulit menemukan laki-laki yang sifatnya lemah, lembut dan perasa. Lalu, apakah itu sebuah keanehan? Senyatanya tidak, karena para aktivis emansipasi perempuan memang memperjuangkan demitologisasi semacam ini, supaya mitos-mitos bentukan budaya yang telah mengakar lambat laun semakin terkikis. Maka dari itu, keterlibatan perempuan dalam sebuah kriminalitas, dalam arti ini, bisa jadi merupakan bagian dari bentuk emansipasi.

Faktor Khusus
Pada dasarnya, motif seorang perempuan melakukan sebuah tindak kejahatan amatlah berbeda dibandingkan dengan motif laki-laki dalam melakukan tindakan kejahatan. Kejahatan yang dibuat laki-laki amat dipengaruhi oleh berbagai alasan. Sementara motif yang dibuat oleh perempuan amatlah terbatas (Pamela Davies, 1999). Davies menyebutkan 4 motif perempuan dalam melakukan tindakan kriminalitasnya. Pertama, faktor ekonomi. Budaya patriarkal yang kuat telah membuat kedudukan perempuan sangat subordinatif, termasuk pula dalam besaran peluang perempuan untuk bisa mengakses sumber-sumber ekonomi. Problem prostitusi, perempuan-perempuan pengutil adalah beberapa contoh kriminalitas yang terjadi karena faktor ekonomi.

Kedua, faktor biologis. Kondisi perempuan yang tidak selalu stabil, terutama karena kondisi biologisnya yang setiap bulan harus melewati fase menstruasi, membuat kesadaran psikologis perempuan seringkali mudah terganggu. Pada saat tertentu, terutama pada masa-masa haid, sifat ofensif mudah muncul dalam diri perempuan. Ketiga, faktor keluarga. Latar belakang kehidupan keluarga amatlah rentan mempengaruhi psikologis seorang perempuan. Kurangnya perhatian (afeksi) dari keluarga amat begitu mudah mempengaruhi hidup seorang anak perempuan, dibandingkan kepada anak laki-laki. Faktor perceraian orangtua menjadi pintu yang paling efektif bagi perempuan untuk akhirnya terlibat dalam kriminalitas, seperti misalnya terlibat dalam aktivitas narkoba. Itulah yang terjadi pada Putri Arie Sigit dan Selly.

Keempat, faktor eksistensi diri. Struktur patriarkal yang amat kuat mengesankan bahwa posisi laki-laki dan perempuan amatlah berbeda. Seorang laki-laki akan mengidentifikasikan dirinya sebagai ‘Subyek’ dan ‘Ada yang bebas’. Sementara itu, laki-laki akan menempatkan perempuan dalam ruang ‘Liyan’. Begitulah Simone de Beauvoir (The Second Sex, 1974) menyebutkan. Perempuan diakui sebagai ‘Liyan’, yang menjalankan perannya sebagai subordinasi dari peran laki-laki. Maka dari itu, guna membongkar sumber ketidaksetaraan ini, perempuan akan berusaha merebut kekuasaan yang dipegang laki-laki dengan jalan menunjukkan eksistensinya, lewat pekerjaan-pekerjaan yang biasa dikerjakan laki-laki (pekerjaan-pekerjaan halus). Tidak semua upaya perempuan mengubah dirinya dari ruang ‘Liyan’ dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Pada dasarnya, memang demikianlah yang dibuat oleh mayoritas perempuan modern. Tetapi, beberapa di antaranya menjadi perilaku menyimpang. Apa yang dibuat Melinda, termasuk ke dalam kategori ini. Melinda berusaha menunjukkan eksistensinya sebagai pribadi yang mampu mengikat banyak orang. Tetapi daya pikatnya ini kemudian disalahgunakan untuk memperkaya dirinya dengan cara menipu orang lain.
Kuasa yang Setara

Emansipasi kejahatan yang dibuat oleh tiga perempuan di atas pada dasarnya bukanlah bagian dari perjuangan emansipasi perempuan sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh Kartini dan rekan-rekan aktivis gender. Jika Kartini masih hidup dan melihat ketiga kasus ini, beliau akan heran dan menangis. Apa yang diperjuangkannya adalah upaya yang mulia, sementara yang dibuat oleh ketiga perempuan tadi adalah perilaku yang penuh murka.

Sebagaimana diutarakan Beauvoir, salah satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah memberi kuasa padanya. Posisi perempuan harus diangkat dari posisi ‘Liyan’ menuju setara dengan laki-laki. Dengan demikian, ada kesetaraan di antara keduanya. Kuasa yang setara antara laki-laki dan perempuan membuat keduanya mampu mengambil peran yang seimbang, tanpa mendiskreditkan dan saling men-subordinasi.

Pada dasarnya, sumber-sumber kriminalitas banyak terjadi karena kepemilikan kuasa yang tidak setara. Demikianpun yang terjadi pada sebagian besar faktor pemicu terjadinya kriminalitas perempuan. Bila kesetaraan kuasa itu diupayakan, saya yakin bahwa berbagai bentuk kriminalitas, tidak hanya pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki, akan berkurang secara signifikan.***

No comments:

Post a Comment