Tuesday, April 12, 2011

Ujian Nasional dan Pentingnya Peran Pendampingan

Tidak sampai seminggu lagi, siswa/i SMA se-Indonesia akan menjalani UAN. Persisnya itu akan dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 18 April 2011. Polemik di seputar pelaksanaan UAN dari tahun ke tahun sudah semakin terminimalisir. Masukan-masukan dari para ahli pendidikan cukup diakomodasi, meski mungkin dalam beberapa hal masih ada sedikit kekurangan, tapi itu tetap perlu dikritisi lagi.

Untuk tahun ini, pemerintah membuat 5 bentuk soal yang berbeda dengan tingkat kesulitan yang sama untuk setiap ruang ujian. Artinya, dari 20 siswa yang akan mengikuti ujian, hanya ada 4 siswa saja yang memiliki soal yang sama. Pemerintah telah menentukan bahwa pemberian soal akan dibuat secara random. Tentu saja, ini adalah sebuah usaha untuk menghindarkan kebocoran soal dan jual-beli jawaban, yang tahun-tahun sebelumnya amat jamak terdengar. Meski mungkin sudah diminimalisir, tentu saja pengawas-sekolah-pemerintah harus tetap berhati-hati. Bukan tidak mungkin bahwa cara baru kecurangan dalam ujian diusahakan oleh oknum-oknum tertentu.

Terlepas dari soal itu, tahun ini pemerintah sudah mengakomodasi ujian sekolah sebagai salah satu komponen penentu kelulusan siswa, meski prosentasenya hanya 40%. Tentu saja ini sebuah langkah maju, karena dengan demikian kekhasan masing-masing sekolah diakomodasi. Hanya saja, kecurangan tetap bisa terjadi, misalnya pihak sekolah melakukan upgrade nilai untuk nilai sekolah, sebagai antisipasi jikalau nilai UAN-nya jeblok. Untung, pemerintah tanggap atas kemungkinan buruk ini. Pemerintah sudah mengancam akan menghukum sekolah yang berlaku demikian jika itu terjadi.

Berbicara tentang Ujian Nasional, saya sendiri merasa ujian itu memang termasuk penting. Ujian Nasional memang bisa dijadikan tolok ukur. Tapi, memang jangan dibuat sebagai tolok ukur satu-satunya. Pada tulisan kali ini, saya mau bercerita tentang pengalaman 3 tahun lalu, ketika UAN masih menjadi satu-satunya tolok ukur kelulusan.

******

Masih membekas dalam ingatan saya, kejadian 3 tahun lalu, persis setelah Ujian Nasional selesai dilaksanakan, seorang siswa, yang pernah saya dampingi membuat pernyataan yang membuat saya agak syok sekaligus tertegun. “Buat apa kami sekolah dan belajar selama 3 tahun, kalau nasib kami hanya ditentukan oleh 5 hari ujian? Mending kami di-drill 1 bulan saja, khusus untuk mempersiapkan ujian ini, sehingga kami bisa lulus!”

Kejadian yang substansinya serupa terjadi lagi setahun lalu, meski dalam bentuk yang berbeda. Seorang siswa, yang juga pernah saya dampingi, menduga bahkan cenderung yakin bahwa beberapa temannya mengambil jalan pintas dengan membeli bocoran jawaban dari pihak-pihak tertentu yang menawarkan jasa kunci jawaban. Sungguh prihatin saya mendengarkan berita ini.

Melihat situasi dan kondisi ini, mungkin Anda juga ikut prihatin. Pertama-tama keprihatinan kita diarahkan pada ujian nasional itu sendiri. Ada oto-kritik langsung terhadap kebijakan itu. Pikiran sesaat yang menyatakan bahwa buat apa susah-susah belajar 3 tahun menandakan keputusasaan terhadap situasi dan keadaan yang ditimbulkan oleh kebijakan itu. Seolah-olah, bagi mereka, target terpenting dari belajar di sekolah adalah agar lulus. Sementara untuk lulus-tidaknya tenggatnya hanya 5 hari saja. Proses 3 tahun yang sudah dilewati sama sekali tak terperhatikan, apalagi untuk diendapkan dan direfleksikan. Bagi mereka, sepertinya, tiga tahun itu tiada gunanya, sia-sia dan membuang waktu. Sungguh miris pernyataan ini bila dibandingkan dengan usaha yang telah kita buat, sebagai guru, mendampingi mereka sekian tahun.

The value is in the process
Terlepas dari diskusi pro-kontra pelaksanaan ujian nasional yang sudah sering kita dengar dan perbincangkan, entah dalam forum apapun, saya dalam refleksi singkat ini ingin menunjukkan bahwa kisah beberapa siswa tadi bisa menjadi cermin refleksi. Menetapkan ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan sebenarnya membuat kita melupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami oleh siswa sendiri, si subyek pelaku pendidikan itu. Kita tampaknya hanya memikirkan bagaimana sistem dan cara yang tepat. Seolah-olah yang paling penting adalah sistemnya. Tapi kita lupa dan sering tidak memperhatikan si subyek yang menjalani sekolah itu sendiri, yang sedang belajar, yakni para siswa.

Tuntutan semu siswa tadi yang menganjurkan agar sebaiknya pendidikannya hanya ditempuh 1 bulan saja, menunjukkan ada value yang hilang dalam cara bagaimana kita mendidik seorang anak. Dalam pernyataan itu, dinamika dan proses belajar seorang manusia diabaikan. Yang terpenting dalam hidup adalah hasil. The goal is the value. Padahal bagi seorang anak, prinsip ini tidak bisa diterapkan, seperti kita bisa menerapkannya dalam suatu perusahaan sebagai bukti sebuah pencapaian.

Sama halnya ketika kita membicarakan sistem pendidikan dasar 9 tahun. Dalam sistem itu, intrinsik bahwa yang terpenting bukan saja seorang anak bisa sekolah dan punya modal ilmu untuk hidup mereka di kemudian hari. Tetapi, di dalam kurun waktu 9 tahun itu tersirat sebuah proses.

Jika kita memperkirakan usia rata-rata seorang anak memulai pendidikan dasar 9 tahun-nya adalah umur 6 tahun, secara psikologis, umur itu adalah tahap matang di mana seorang anak mulai mengenal lingkungannya secara lebih luas. Umur 6 tahun adalah masa di mana seorang anak mulai meninggalkan masa balitanya, meninggalkan masa pertama di mana dia mengenal kehidupan kodratiahnya sebagai manusia. Dia mulai memasuki sebuah wilayah kehidupan yang lebih maju lagi, mulai mengenal pengetahuan di luar lingkungan keluarganya (aspek competence), mengenal teman-temannya (aspek compassion), serta mengenal prinsip-prinsip hidup dan ruang adi-kodrati (aspek conscience). Ibaratnya, anak yang berumur 6 tahun itu masih seperti kertas kosong, yang perlu kita dampingi agar mereka dapat mengisi kertas itu dengan catatan-catatan dan tulisan yang baik, sebagaimana kita mengusahakannya lewat pendidikan mereka.

Demikianlah seharusnya yang terjadi dalam dinamika proses pendidikan mereka sampai menjelang ujian. Jika proses ini diabaikan, dan kita hanya berpikir yang penting hasilnya saja, sehingga yang penting anak bisa lulus ujian nasional, kita akan menulis sesuatu ‘yang buruk’ dalam diri mereka. Pengalaman itu akan terpatri dalam hidup mereka. Maka wajar saja, kadang kita mengelus dada, melihat generasi muda kita sekarang, menstigmatisasi mereka sebagai generasi instan. Itu bukan salah mereka, sebab sejak kecil mereka memang sudah kita didik demikian.

Belajar untuk Hidup
Mungkin saja ada seorang anak yang benar-benar genius, sehingga ketika dia diberi materi pelajaran tertentu, dia akan dengan mudah mencecap dan mencernanya dengan baik. Sehingga ketika di-drill dalam sebulan, dia bisa siap menghadapi ujian nasional. Tetapi sebagai manusia, dia kehilangan pembelajaran dalam 2 aspek lainnya, yakni aspek compassion dan aspek conscience tadi. Kelak, dia akan menjadi manusia yang tidak terbentuk dan tidak terdidik dengan baik. Dengan analogi kertas kosong tadi, hidupnya sekarang tinggallah kertas yang penuh dengan sobekan. Meskipun di sebagian kertasnya terisi tulisan-tulisan yang baik, yang isinya keberhasilan-keberhasilan saat menjalani ujian, tetapi ada bagian yang sobek, yang menandai sisi kehidupan dirinya yang hilang.

Benarlah ujaran Seneca, sang filsuf Romawi, yang memperingatkan muridnya Lucilius untuk memperhatikan masa studinya. Non scholae sed vitae discimus. Studi di sekolah tidak semata-mata demi raihan nilai dan hasil yang sempurna dengan lulus ujian. Itu memang penting. Tetapi, jangan lupa bahwa yang terpenting dari sekolah adalah untuk mengerti hal-hal yang akan dijalani dalam hidup.

Maka, menjadi guru pertama-tama bukannya memberikan materi dan setelah bahannya habis, tugas kita selesai. Menjadi guru berarti menjadi teman berproses. Berproses dalam arti menenemani mereka bergumul dalam hidupnya selama 3 tahun, di mana mereka belajar mengenal kehidupan secara holistik. Kalau hal itu yang terjadi, hidup studi mereka akan memberikan pencerahan. Kalau kita tidak sadar hal ini, hal sebaliknya yang bisa terjadi, sekolah bisa menjadi bayang-bayang menakutkan dalam hidup mereka. Semoga lewat pengalaman ini kita bisa menjadi guru yang baik, artinya kita mau ikut terlibat dalam proses belajar siswa.***

No comments:

Post a Comment