Tuesday, April 12, 2011

Ujian Nasional dan Pentingnya Peran Pendampingan

Tidak sampai seminggu lagi, siswa/i SMA se-Indonesia akan menjalani UAN. Persisnya itu akan dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 18 April 2011. Polemik di seputar pelaksanaan UAN dari tahun ke tahun sudah semakin terminimalisir. Masukan-masukan dari para ahli pendidikan cukup diakomodasi, meski mungkin dalam beberapa hal masih ada sedikit kekurangan, tapi itu tetap perlu dikritisi lagi.

Untuk tahun ini, pemerintah membuat 5 bentuk soal yang berbeda dengan tingkat kesulitan yang sama untuk setiap ruang ujian. Artinya, dari 20 siswa yang akan mengikuti ujian, hanya ada 4 siswa saja yang memiliki soal yang sama. Pemerintah telah menentukan bahwa pemberian soal akan dibuat secara random. Tentu saja, ini adalah sebuah usaha untuk menghindarkan kebocoran soal dan jual-beli jawaban, yang tahun-tahun sebelumnya amat jamak terdengar. Meski mungkin sudah diminimalisir, tentu saja pengawas-sekolah-pemerintah harus tetap berhati-hati. Bukan tidak mungkin bahwa cara baru kecurangan dalam ujian diusahakan oleh oknum-oknum tertentu.

Terlepas dari soal itu, tahun ini pemerintah sudah mengakomodasi ujian sekolah sebagai salah satu komponen penentu kelulusan siswa, meski prosentasenya hanya 40%. Tentu saja ini sebuah langkah maju, karena dengan demikian kekhasan masing-masing sekolah diakomodasi. Hanya saja, kecurangan tetap bisa terjadi, misalnya pihak sekolah melakukan upgrade nilai untuk nilai sekolah, sebagai antisipasi jikalau nilai UAN-nya jeblok. Untung, pemerintah tanggap atas kemungkinan buruk ini. Pemerintah sudah mengancam akan menghukum sekolah yang berlaku demikian jika itu terjadi.

Berbicara tentang Ujian Nasional, saya sendiri merasa ujian itu memang termasuk penting. Ujian Nasional memang bisa dijadikan tolok ukur. Tapi, memang jangan dibuat sebagai tolok ukur satu-satunya. Pada tulisan kali ini, saya mau bercerita tentang pengalaman 3 tahun lalu, ketika UAN masih menjadi satu-satunya tolok ukur kelulusan.

******

Masih membekas dalam ingatan saya, kejadian 3 tahun lalu, persis setelah Ujian Nasional selesai dilaksanakan, seorang siswa, yang pernah saya dampingi membuat pernyataan yang membuat saya agak syok sekaligus tertegun. “Buat apa kami sekolah dan belajar selama 3 tahun, kalau nasib kami hanya ditentukan oleh 5 hari ujian? Mending kami di-drill 1 bulan saja, khusus untuk mempersiapkan ujian ini, sehingga kami bisa lulus!”

Kejadian yang substansinya serupa terjadi lagi setahun lalu, meski dalam bentuk yang berbeda. Seorang siswa, yang juga pernah saya dampingi, menduga bahkan cenderung yakin bahwa beberapa temannya mengambil jalan pintas dengan membeli bocoran jawaban dari pihak-pihak tertentu yang menawarkan jasa kunci jawaban. Sungguh prihatin saya mendengarkan berita ini.

Melihat situasi dan kondisi ini, mungkin Anda juga ikut prihatin. Pertama-tama keprihatinan kita diarahkan pada ujian nasional itu sendiri. Ada oto-kritik langsung terhadap kebijakan itu. Pikiran sesaat yang menyatakan bahwa buat apa susah-susah belajar 3 tahun menandakan keputusasaan terhadap situasi dan keadaan yang ditimbulkan oleh kebijakan itu. Seolah-olah, bagi mereka, target terpenting dari belajar di sekolah adalah agar lulus. Sementara untuk lulus-tidaknya tenggatnya hanya 5 hari saja. Proses 3 tahun yang sudah dilewati sama sekali tak terperhatikan, apalagi untuk diendapkan dan direfleksikan. Bagi mereka, sepertinya, tiga tahun itu tiada gunanya, sia-sia dan membuang waktu. Sungguh miris pernyataan ini bila dibandingkan dengan usaha yang telah kita buat, sebagai guru, mendampingi mereka sekian tahun.

The value is in the process
Terlepas dari diskusi pro-kontra pelaksanaan ujian nasional yang sudah sering kita dengar dan perbincangkan, entah dalam forum apapun, saya dalam refleksi singkat ini ingin menunjukkan bahwa kisah beberapa siswa tadi bisa menjadi cermin refleksi. Menetapkan ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan sebenarnya membuat kita melupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami oleh siswa sendiri, si subyek pelaku pendidikan itu. Kita tampaknya hanya memikirkan bagaimana sistem dan cara yang tepat. Seolah-olah yang paling penting adalah sistemnya. Tapi kita lupa dan sering tidak memperhatikan si subyek yang menjalani sekolah itu sendiri, yang sedang belajar, yakni para siswa.

Tuntutan semu siswa tadi yang menganjurkan agar sebaiknya pendidikannya hanya ditempuh 1 bulan saja, menunjukkan ada value yang hilang dalam cara bagaimana kita mendidik seorang anak. Dalam pernyataan itu, dinamika dan proses belajar seorang manusia diabaikan. Yang terpenting dalam hidup adalah hasil. The goal is the value. Padahal bagi seorang anak, prinsip ini tidak bisa diterapkan, seperti kita bisa menerapkannya dalam suatu perusahaan sebagai bukti sebuah pencapaian.

Sama halnya ketika kita membicarakan sistem pendidikan dasar 9 tahun. Dalam sistem itu, intrinsik bahwa yang terpenting bukan saja seorang anak bisa sekolah dan punya modal ilmu untuk hidup mereka di kemudian hari. Tetapi, di dalam kurun waktu 9 tahun itu tersirat sebuah proses.

Jika kita memperkirakan usia rata-rata seorang anak memulai pendidikan dasar 9 tahun-nya adalah umur 6 tahun, secara psikologis, umur itu adalah tahap matang di mana seorang anak mulai mengenal lingkungannya secara lebih luas. Umur 6 tahun adalah masa di mana seorang anak mulai meninggalkan masa balitanya, meninggalkan masa pertama di mana dia mengenal kehidupan kodratiahnya sebagai manusia. Dia mulai memasuki sebuah wilayah kehidupan yang lebih maju lagi, mulai mengenal pengetahuan di luar lingkungan keluarganya (aspek competence), mengenal teman-temannya (aspek compassion), serta mengenal prinsip-prinsip hidup dan ruang adi-kodrati (aspek conscience). Ibaratnya, anak yang berumur 6 tahun itu masih seperti kertas kosong, yang perlu kita dampingi agar mereka dapat mengisi kertas itu dengan catatan-catatan dan tulisan yang baik, sebagaimana kita mengusahakannya lewat pendidikan mereka.

Demikianlah seharusnya yang terjadi dalam dinamika proses pendidikan mereka sampai menjelang ujian. Jika proses ini diabaikan, dan kita hanya berpikir yang penting hasilnya saja, sehingga yang penting anak bisa lulus ujian nasional, kita akan menulis sesuatu ‘yang buruk’ dalam diri mereka. Pengalaman itu akan terpatri dalam hidup mereka. Maka wajar saja, kadang kita mengelus dada, melihat generasi muda kita sekarang, menstigmatisasi mereka sebagai generasi instan. Itu bukan salah mereka, sebab sejak kecil mereka memang sudah kita didik demikian.

Belajar untuk Hidup
Mungkin saja ada seorang anak yang benar-benar genius, sehingga ketika dia diberi materi pelajaran tertentu, dia akan dengan mudah mencecap dan mencernanya dengan baik. Sehingga ketika di-drill dalam sebulan, dia bisa siap menghadapi ujian nasional. Tetapi sebagai manusia, dia kehilangan pembelajaran dalam 2 aspek lainnya, yakni aspek compassion dan aspek conscience tadi. Kelak, dia akan menjadi manusia yang tidak terbentuk dan tidak terdidik dengan baik. Dengan analogi kertas kosong tadi, hidupnya sekarang tinggallah kertas yang penuh dengan sobekan. Meskipun di sebagian kertasnya terisi tulisan-tulisan yang baik, yang isinya keberhasilan-keberhasilan saat menjalani ujian, tetapi ada bagian yang sobek, yang menandai sisi kehidupan dirinya yang hilang.

Benarlah ujaran Seneca, sang filsuf Romawi, yang memperingatkan muridnya Lucilius untuk memperhatikan masa studinya. Non scholae sed vitae discimus. Studi di sekolah tidak semata-mata demi raihan nilai dan hasil yang sempurna dengan lulus ujian. Itu memang penting. Tetapi, jangan lupa bahwa yang terpenting dari sekolah adalah untuk mengerti hal-hal yang akan dijalani dalam hidup.

Maka, menjadi guru pertama-tama bukannya memberikan materi dan setelah bahannya habis, tugas kita selesai. Menjadi guru berarti menjadi teman berproses. Berproses dalam arti menenemani mereka bergumul dalam hidupnya selama 3 tahun, di mana mereka belajar mengenal kehidupan secara holistik. Kalau hal itu yang terjadi, hidup studi mereka akan memberikan pencerahan. Kalau kita tidak sadar hal ini, hal sebaliknya yang bisa terjadi, sekolah bisa menjadi bayang-bayang menakutkan dalam hidup mereka. Semoga lewat pengalaman ini kita bisa menjadi guru yang baik, artinya kita mau ikut terlibat dalam proses belajar siswa.***
Read more...

Wednesday, April 6, 2011

Nelayan dan Paradoks Negara Kepulauan

(Tulisan ini dibuat sebagai peringatan Hari Nelayan Nasional, yang jatuh pada hari ini, tanggal 6 April)

Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 6 April adalah Hari Nelayan Indonesia. Pada umumnya, yang kita tahu hanyalah tempat-tempat kuliner yang menyediakan makanan laut (seafood), yang sumber bahannya diperoleh dari para nelayan.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, di mana wilayah lautnya 2/3 dari keseluruhan dan garis pantainya sepanjang 95.181 km, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan lautan yang sangat besar. Apalagi, hampir 65% penduduk Indonesia saat ini tinggal di wilayah pesisir, di mana di situ tumbuh kota-kota besar dan modern. Sebut saja misalnya Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar.

Tetapi, fakta tak bisa dipungkiri. Di tengah potensi besar sumber daya kelautan, kantong-kantong kemiskinan justru berada persis di wilayah pesisir dan pemukiman nelayan. Daerah Muara Angke dan Cilincing di Jakarta, Tambak Mulyo dan Tanjung Mas di Semarang, Kenjeran di Surabaya dan daerah Untia dan Barombong di Makassar adalah kampung-kampung nelayan yang kondisinya amat memprihatinkan. Di sana tampak pemandangan yang berbanding terbalik dengan kota-kota besar, yang kebutuhan pangannya didukung dan ditopang oleh para nelayan. Begitulah paradoks negeri kepulauan ini. Para nelayan mengalami nasib yang berbeda dengan warga kotanya.

Faktor Penyebab
Sebagai negara kepulauan atau negara maritim, Indonesia sampai saat ini tidaklah pernah menjadi negara yang digdaya dalam hal kuantitas produksi hasil perikanan. Fakta menunjukkan bahwa kita masih mengimpor ikan dari luar negeri. Selain itu, kita juga tak pernah kuat di lautan. Kita sering mendengar berita nelayan kita yang justru ditangkap oleh polisi laut negara tetangga. Ditambah lagi dengan sedemikian mudahnya pertahanan laut kita jebol karena aksi pencurian oleh nelayan asing (KIARA, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, 2010).

Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah mengapa dengan kondisi sumber daya laut yang sedemikian besar, masyarakat nelayan kita masih tetap miskin dan terbelakang? Memang ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Faktor pertama adalah kecilnya kesejahteraan yang dihasilkan bila hidup menjadi nelayan. Faktor ini membuat banyak para nelayan atau kelompok masyarakat yang secara tradisi menggantungkan hidup dari penghasilan sebagai nelayan meninggalkan pekerjaan ini. Mereka lebih tertarik bekerja di kota, entah sebagai buruh atau sebagai pedagang. Menurut laporan KIARA, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ada sekitar 1,2 juta nelayan yang sudah meninggalkan laut.

Faktor kedua adalah terbatasnya prasarana dan teknologi penangkapan yang mereka gunakan. Sebagian besar nelayan kita masih menggunakan kapal-kapal kecil dan teknologi sederhana, yang tentunya amat membatasi jumlah tangkapan. Selain itu, keterbatasan sarana ini juga membatasi mereka untuk bisa melaut lebih jauh ke perairan dalam, di mana di daerah itu biasanya jumlah ikannya lebih beragam dan banyak.

Faktor ketiga, kurangnya pengetahuan para nelayan kita. Meski mereka sudah memiliki modal kearifan lokal yang diwarisi secara turun-temurun, seperti bagaimana melaut, kapan waktunya untuk melaut, mereka selayaknya diberi juga pengetahuan lain. Misalnya, pengetahuan teknologi kelautan, supaya mereka bisa mampu meningkatkan hasil tangkapan; cara membaca laporan BMG, agar mereka bisa mengukur sejauhmana mereka tetap bisa melaut dan wawasan lingkungan hidup agar mereka tidak semena-mena mengeksplorasi sumber daya kelautan.

Faktor keempat, kurangnya dukungan pemerintah terhadap pekerjaan mereka. Dengan kondisi harga minyak dunia yang fluktuatif seperti saat ini, sebagian besar dari mereka ketar-ketir jika dalam waktu dekat BBM jadi dinaikkan. Kenaikan harga BBM tentu saja akan berpengaruh pada pemasukan. Selain itu, kurang tegasnya pemerintah dalam mengawasi laut Indonesia membuat nelayan-nelayan kita menjadi seperti tidak mampu menghadapi nelayan-nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah kita. Nelayan-nelayan asing itu sudah pasti menggunakan kapal besar dan peralatan yang lebih canggih, yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nelayan kita. Ditambah lagi faktor pengawasan pasar yang masih kurang. Tidak jarang di antara nelayan kita, hidupnya justru dalam jeratan utang. Mereka dipermainkan oleh para tengkulak dan harga pasar.
Mengubah Nasib
Saat ini, jumlah nelayan Indonesia berkisar sekitar 2,7 juta jiwa. Jumlah ini adalah jumlah yang amat besar untuk negara abaikan. Nah, daripada DPR sibuk menggolkan usulan anggaran pembangunan gedung DPR baru sebesar 1,17 trilyun, lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk mengembangkan potensi kelautan dan memberdayakan hidup para nelayan. Sudah sewajarnyalah, mereka, sebagai wakil rakyat memikirkan nasib para nelayan ini. Jika ke depannya nasib mereka tak pernah berubah, sungguh semakin mirislah hidup para nelayan kita. Sudah hidup dan tinggal jauh di pinggir kota, nasibnya juga tak pernah kunjung berubah. Mati segan, hidup pun tak mampu!***
Read more...

Sunday, March 27, 2011

Membangun Kesadaran Ekologis Warga

(Setelah berkutat dengan kuliah dan kegiatan macam-macam selama hampir setahun lebih, beberapa minggu terakhir ini saya kembali ke minat lama, yakni menulis. Syukur alhamdullilah, satu tulisan dimuat lagi di sebuah harian, yakni Jawa Pos, untuk wacana lokal "Jogja Raya". Selamat membaca!)

Sungguh miris melihat gambar pada cover depan Jogja Raya tanggal 16 Maret 2011. Di salah satu ruas jalan di kota Yogyakarta terpapar ratusan papan reklame, yang saling berlomba unjuk diri. Terlepas dari masalah estetika yang memang mengurangi rasa keindahan salah satu sudut kota, fakta ini menunjukkan sebuah paradoks lain. Sementara ratusan reklame itu semakin menjadi ‘rimba belantara’ tiang-tiang masif, di sisi lain, dari hari ke hari, ruang hijau untuk tumbuhnya pepohonan, yang merupakan rimba belantara sesungguhnya justru semakin berkurang.

Sejumlah Fakta
Pada tahun 2009, Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mencatat suhu tertinggi di Yogyakarta mencapai 37,7 derajat celcius. Suhu tertinggi sebelumnya adalah 35,1 derajat (2004); 35,7 derajat (2005); 35,0 derajat (2007); dan 35,6 derajat (2008). Meningkatnya suhu kota ini berbanding lurus dengan penurunan jumlah pepohonan. Belum lagi menghitung aktivitas manusia yang menciptakan gas rumah kaca sehingga semakin meningkat, seperti lewat pembakaran bahan bakar fosil, yang dibuat oleh industri, transportasi dan rumah tangga. Bapeda DIY sendiri melaporkan bahwa sepanjang tahun 2004-2008 tercatat kasus pencemaran udara sebanyak 14 kali, atau 39 persen dari total kasus pencemaran yang mencuat dalam kurun waktu tersebut. Selain itu, pada kurun waktu yang sama, tercatat seperlima dari total 148 desa di DIY pernah mengalami pencemaran udara karena pengaruh kegiatan di wilayahnya. Alih-alih meningkatkan ruang hijau dan tumbuhnya pepohonan yang mampu menopang kenyamanan hidup warga kota Yogyakarta, kota ini justru lebih banyak memberi ruang tumbuhnya ‘pepohonan’ tiang-tiang reklame.
Menurut Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup D.I. Yogyakarta, diperkirakan sekarang ini ada 1 juta sepeda motor dan 200.000 mobil beredar di kota ini. Jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan pertumbuhan sekitar 5% per tahun, menandakan adanya pertambahan tingkat polusi udara yang dihasilkan kendaraan tersebut. Selain itu, faktor bertambahnya kebutuhan pemukiman di kota Yogyakarta juga semakin memperparah kondisi ekologi yang kritis. Meski tumbuhnya pemukiman menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi penduduk, pada kenyataanya hal ini justru menimbulkan efek samping yang sangat signifikan, yakni hilangnya atau berkurangnya lahan hijau, seperti sawah dan hutan desa. Belum lagi ditambah dengan kebiasaan kecil yang dibuat oleh orang per orang, seperti membuang sampah sembarangan, penggunaan listrik yang boros dan penggunaan air bersih yang tidak efektif. Semua ini semakin menandakan wajah warga kota yang semakin tidak arif terhadap lingkungan.

Langkah Antisipatif
Melihat kenyataan hal ini, penulis hendak menawarkan beberapa hal yang perlu diperhatikan secara khusus untuk membangun kesadaran ekologis warga kota. Pertama, pentingnya usaha penanaman nilai-nilai ekologis di dalam kurikulum pengajaran di sekolah, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Seperti yang dikatakan oleh Daniel Goleman (2009), kecerdasan ekologis adalah salah satu kecerdasan yang perlu dikembangkan, selain kecerdasan kognisi, emosi, dan spiritual. Pendidikan ekologis penting dijadikan muatan di dalam pendidikan karakter, yang akhir-akhir ini semakin diwacanakan dalam pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan ekologis ini sama pentingnya dengan penekanan pendidikan anti-korupsi.

Kedua, pentingnya peningkatan kebijakan publik yang berperspektif ekologis. Program Sego Segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe) yang dicanangkan oleh Herry Zudianto, walikota Yogyakarta adalah program yang pro-lingkungan. Ketiga, perlunya kerjasama antar komponen masyarakat, terutama antar pemuka agama. Masalah lingkungan dan ancaman kerusakan alam bukan saja persoalan sosiologis dan geografis. Ini adalah juga persoalan moral! Maka dari itu, masing-masing pemimpin agama dan umat beriman diharapkan saling berkolaborasi untuk semakin melihat dan menyadari bahwa alam adalah saudara dekat, yang harus kita cintai dan kita rawat. Mereka juga adalah ciptaan Tuhan yang hidup sama seperti manusia.

Keempat, dalam tataran mikro, sebagai pribadi, kita perlu memperhatikan pola laku dan kebiasaan buruk yang dapat merusak lingkungan. Mulailah untuk mempergunakan listrik seperlunya, membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah organik dan non-organik, dan mulai menggunakan kendaraan bermotor seperlunya. Jika jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, lebih baik menggunakan sepeda atau jalan kaki. Bila keempat hal ini sungguh-sungguh kita perhatikan, kelak kita akan melihat wajah kehidupan kita yang berbeda. Syukur-syukur kota ini tidak hanya menjadi semakin indah tertata, tetapi juga nyaman untuk ditinggali. Memetri bumi anjejagi gesang. Memelihara bumi sama artinya dengan menjaga kehidupan kita sendiri.*

dimuat pada tanggal 26 Maret 2011 di harian Jawa Pos (Jogja Raya)
Read more...

Wednesday, June 3, 2009

Mempertanyakan Berarti Berpikir

Sekilas kata-kata Heidegger di atas membuat kita bertanya, apakah pernyataan ini tepat, logis dan bisa dibuktikan? Apakah berpikir itu berarti tindakan mempertanyakan? Dewasa ini, orang berpendapat bahwa berpikir itu tidak hanya mempertanyakan, tapi justru yang terpenting adalah menemukan jawaban, menemukan ‘temuan’ yang bisa mereduksi pertanyaan-pertanyaan yang selalu membingungkan manusia. Temuan itu akhirnya mempermudah kehidupan dan mengurangi kebingungan manusia, maka wajarlah orang yang berpikir untuk menemukan jawaban (temuan) itu disanjung-sanjung.

Inilah kenyataan pendapat manusia zaman ini. Semakin banyak ilmu-ilmu spesialisasi. Semakin banyak ruang-ruang kecil dalam hidup kita, yang menyulitkan dan membingungkan terjawab.
Tapi, manusia tidak sadar karena terjebak pada pendangkalan kebudayaan. Dengan banyaknya spesialisasi, para spesialis hanya terfokus pada suatu masalah saja, sedangkan masalah lain tidak terpikirkan atau dibiarkan saja, biar orang lain yang menyelesaikan. Ada semacam jurang pemisah antara disiplin ilmu, dan justru semakin menimbulkan banyak pertanyaan yang tak terjawabkan. Di sisi lain, banyak orang yang bukan termasuk spesialis manapun, terkhusus generasi-generasi baru, hanya mendapatkan jawaban-jawaban ‘instant’ melalui teknologi-teknologi yang tidak jelas bagaimana semuanya itu terjadi. Generasi ini hanya tahu memakainya saja, tidak mau bertanya. Di sinilah spesialisasi atau teknologi sebagai hasilnya, membuahkan kekerasan bagi generasi baru manusia.

Filsafat sebagai ilmu ‘kuno’, yang saat ini mungkin tidak diminati oleh banyak orang lagi, tetap akan eksis, karena melalui filsafatlah hubungan antar ilmu menjadi terjembatani. Filsafat mengajak berpikir dengan selalu mempertanyakan. Apakah mempertanyakan pertanyaan itu harus terjawab? Menjawab bukanlah tujuan dari filsafat. Justru, filsafat hadir sebagai ilmu yang mencintai kebijaksanaan, bertindak secara objektif. Filsafat yang adalah berpikir dengan mempertanyakan, terbuka terhadap segala realita hidup manusia, bijaksana terhadap segala masukan dan perubahan, dan membawa manusia menuju pada kehidupan yang lebih baik.
Tepatlah pendapat seorang filsuf, “Ilmu alam (science) itu tidak berpikir karena ia hanya mencoba memahami gejala, hanya para filosoflah yang berpikir karena ia merefleksikan gejala”. Memahami dan merefleksikan merupakan suatu sisi yang berbeda. Memahami berarti menemukan jawaban, sedangkan merefleksikan berarti memantulkan lagi dengan cara mempertanyakan.
Walaupun tidak ada ilmu apapun yang bebas dari nilai di dunia ini, filsafat adalah cara bijaksana untuk bersikap terhadap teknologi/pemikiran yang mengkalkulasi dewasa ini.
“Questioning is The Piety of Thought”. Mempertanyakan berarti berpikir. Berpikir berarti mempertanyakan.
Read more...

Saturday, April 25, 2009

Belajarlah dari Founding Fathers!


Masih ingatkan teman-teman dengan pelajaran sejarah di SD!

Siapa bapak pendiri Negara kita?
Dengan mudah kita bisa menjawab: Soekarno-Hatta.
Perhimpunan orang Indonesia berskala nasional, pertamakali didirikan tahun berapa?
Dengan sedikit berpikir, muncullah jawaban: 1908.
Apa nama perhimpunan itu?
Indische Vereeniging
Lha, apa hubungannya Soekarno-Hatta dengan perhimpunan ini?
Nah, critanya begini:
Seabad yang lalu, asal-muasal ide tentang Negara kita, Negara Indonesia, bermula dari sini. Dua tokoh pemuda yang sedang belajar di negeri Belanda, yakni Sutan Kasayangan dan Noto Suroto, memprakarsai berdirinya Indische Vereeniging. Pada awalnya, kelompok ini adalah hanya semacam kelompok interest dari pelajar-pelajar Indonesia yang sedang belajar di Negeri Kincir Angin tersebut. Namun, berkembang kemudian, dengan masuknya beberapa orang lain, seperti Cipto Mangunkusumo, Ki hajar Dewantara, dan Muhammad Hatta, kelompok ini mulai memikirkan masa depan bangsa kita.
Siapa yang bisa menyangka, karena kelompok kecil inilah, ide tentang Kenegaraan kita terwujud.


Nah, kalo begitu, apa salahnya kalo kita bisa belajar di Belanda.
Di Negara itulah, semangat-semangat perjuangan pemuda Indonesia dahulu dimulai.
Daripada mesti studi di Negara lain, mendingan kita timba ilmu di negeri Kincir angin, kita timba semangat perjuangan yang dulu pernah ada. Apalagi, sekarang, Negara kita sungguh sangat butuh generasi-generasi baru, yang memiliki semangat juang seperti para founding fathers kita itu. Read more...

Saturday, March 14, 2009

Dibutuhkan Segera: Enterpreneur Baru!!!

Dari data penelitian terakhir, diperkirakan pada tahun 2012 nanti penduduk Indonesia mencapai 350 juta orang. Saat ini saja, jumlah penduduk Indonesia sudah lebih dari 240 juta orang. Itu berarti ada pertambahan penduduk yang sangat signifikan.
Jika sekarang saja, angka pengangguran berkisar antara 15-20% dari penduduk Indonesia, berarti tahun 2012 nanti, jika tidak terjadi banyak perubahan dalam negara kita, total jumlah pengangguran sebesar 70 juta orang.
Ini angka yang begitu fantastis. Bayangkan 70 juta orang tidak punya pekerjaan! Katanya Indonesia sudah berkembang, tetapi koq nyatanya masih juga banyak rakyat yang belum menikmati kesejahteraannya.
Sebenarnya ada banyak penyebab mengapa pengangguran itu terjadi. Biasanya yang dikritik habis-habisan adalah soal sistem pemerintahan dan sistem ketenagakerjaan yang tidak melindungi kepentingan para pekerja (masyarakat). Selain itu, masalah-masalah di tingkat internasional juga turut mempengaruhinya.
Terlepas dari persoalan penyebab-penyebab itu, ada banyak cara juga agar pengangguran teratasi, atau setidaknya angkanya menurun. Salah satunya adalah menumbuhkan semangat entrepreneur.
Apa itu semangat entrepreneur? Sederhananya, ini adalah semangat untuk mandiri, mengusahakan lapangan kerja dengan berdikari.
Tapi masalahnya, semangat entrepreneur ini justru belum menjadi concern bersama dari bangsa kita, atau setidaknya pemerintah kita.Coba tengok sebentar kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah kita! Seorang anak kelas 1 SMA selama seminggu belajar mesti mempelajari 16-20 mata pelajaran (tergantung juga pada ada tidaknya muatan local). Seolah-olah semua mata pelajaran mesti dikuasai, all around. Apakah mungkin? Saya pikir, tidak. Bukannya mengetahui banyak, alih-alih justru mengetahui sedikit-sedikit saja. Anak-anak Indonesia hanya diajarkan untuk menelan mentah-mentah banyak mata pelajaran yang diberikan. Tidak ada kesempatan untuk memamahnya.
Sebaliknya, andai anak Indonesia bisa memilih apa yang perlu buat mereka, terutama buat hidup mereka, pastilah mereka bisa mengunyahnya secara manusiawi dan mencernanya dengan baik pula. Persoalan entrepreneur mestinya sudah dilatih sejak dini!

Mungkin pemerintah bisa berdalih dengan adanya sistem sekolah kejuruan. Tapi, saya tidak begitu yakin system itu berjalan dengan baik pula. Seberapa banyak sekolah kejuruan yang sungguh-sungguh menyediakan sarana-prasarana yang memadai? Di mana bentuk keseriusan pemerintah. Meskipun dari ke hari sekolah kejuruan bertambah banyak, itu sama sekali tidak menunjukkan kualitas dari sekolah itu.
Kuncinya hanya satu, generasi penerus bangsa itu mesti dilatih semangat entrepreneur. Dan pemerintah mesti serius ke arah itu.
Syukurlah, setidaknya ada beberapa perusahaan besar yang sudah ikut nimbrung memikirkan hal itu. Salah satunya adalah PT Djarum. Setiap tahun perusahaan ini mengadakan konpetisi yang berusaha membangun semangat enterprenuer. Lewat blackinnovationawards, banyak orang muda dipacu untuk mencari karya-karya yang inovatif. Lewat penemuan karya inovatif itulah, jiwa mereka dididik menjadi jiwa enterpeneur. Yang cukup membanggakan lagi, ada juga blackinnovationawards goes to campus. Itu berarti ada concern juga pada bidang pendidikan.
Maka dari itu, hanya ada satu permohonan dari bangsa yang besar ini: “Dibutuhkan Segera: Enterpreneur Baru!”

Read more...

Wednesday, February 4, 2009

Berpikir Ulang Tentang Keindonesiaan di Tengah Kepungan Perubahan Global


Bersyukurlah bahwa para founding fathers kita adalah orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan Bung Tan Malaka. Pola pikir dan praksis yang mereka terapkan telah melahirkan sebuah negara merdeka. Akan jadi seperti apakah Indonesia jika mereka tidak ada. Tetapi sepeninggal mereka, semangat dan perjuangan mereka tidak serta merta dilanjutkan oleh generasi penerus, bahkan tahun-tahun belakangan ini justru muncul pertanyaan, mau ke manakah Indonesia ini.
Mungkin kalau salah satu dari mereka, saat ini masih hidup, akan bergumam dalam hati: “Indonesiaku malang, Indonesiaku tersayang”. Cita-cita dan perjuangan yang mereka kerjakan dulu tampaknya mulai meredup atau bahkan hilang sama sekali. Cita-cita mereka tentang ke-Indonesiaan yang satu dan utuh telah berubah menjadi fragmen-fragmen yang terpecah-pecah. Baru saja Timor-timur memisahkan diri, sekarang Aceh dan Papua meminta yang sama. Baru saja ada kerusuhan di Ambon sekarang sudah muncul gerakan separatis yang mengatasnamakan agama, yang berbuah bom Bali dan Marriot. Malang sekali nasibmu Indonesiaku. Apakah akhirnya gumaman itu akan berakhir sampai di situ saja, tanpa ada rasa terima kasih.
Mereka sebenarnya sama sekali tidak mengharapkan terima kasih dari kita. Yang mereka harapkan adalah rasa tanggungjawab kita terhadap bangsa kita, rasa kebangsaan kita, rasa ke-Indonesiaan kita.
Memang tidak adil rasanya kalau kita begitu saja takluk pada kehebatan para Bung, Bapak pendiri bangsa kita. Tidak adil rasanya kalau kita dicap tidak pernah berjuang sama sekali. Kita lupa ternyata memelihara memang lebih sulit ketimbang memulai. Indonesia hidup dalam sebuah sejarah dan kita tahu bahwa sejarah adalah ‘sungai ada’ yang membawa banyak peristiwa, di mana kita tidak akan pernah masuk pada aliran sungai yang sama.

“Itu semua hanyalah dalih dan pembelaan diri,” sanggah para Bung. Bukan itu maksudnya. Justru semakin bertambah waktu yang dilewati semakin banyak perubahan dan semakin diperlukan pemaknaan baru atas kebangsaan kita. Memang perlu diwaspadai bentuk-bentuk pelencengan, makanya perlu berprinsip back to the basic. Bagaimanakah kita memaknai kebangsaan ini dengan kerangka berpikir yang dicita-citakan para founding fathers tanpa meninggalkan semua realitas yang melingkupi bangsa kita?
Inilah kerangka tulisan yang hendak penulis bahas, yakni berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan di dalam sebuah realitas perubahan global yang begitu cepatnya.

Persatuan bukan Per-sate-an: Belajar dari Founding Fathers
Dari Soekarno kita belajar banyak pada ide dan praksis ke-Indonesiaan yang bersatu. Dari Hatta kita berhutang pada demokrasi populisnya, yakni demokrasi kerakyatan sampai ke praksis ekonomi koperasi. Dari Syahrir kita menimba nilai kemartabatan kemanusiaan yang merelatifkan nasionalisme sempit. Dan dari Tan Malaka kita belajar menyadari ketotalan transformasi sistem tidak hanya fisik, ekonomis, politis tetapi pula perubahan mentalitas dan kerangka berpikir berhadapan realitas dengan aktif, dialektis dan logis mengolahnya.
Demikianlah pola pikir dan perjuangan kebangsaan yang mereka lakukan. Masing-masing perjuangan ini bukanlah perjuangan perorangan tetapi perjuangan yang saling menopang. Semuanya adalah suatu entitas yang satu walaupun berbeda. Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan yang terjadi karena perbedaan yang saling menopang. Persatuan ini bukanlah anut-grubyug (ikut-ikutan beramai-ramai dengan gerombolan), mangan ora mangan waton kumpul (makan atau tidak, yang penting bersama-sama), salah ora salah pokoke sedulur (salah atau tidak salah, saudara harus dibela), right or wrong is my country, dan segala variannya. Persatuan ini bukanlah persatuan gotong royong tradisional suku tertutup dari orang-orang yang tidak merasa perlu berpikir sendiri selaku pribadi mandiri yang berprinsip. Persatuan semut atau celakanya rayap. Bung Hatta amat tajam tetapi jelas memperoloknya sebagai per-sate-an, rangkaian cuilan-cuilan daging yang ditusuk jadi satu oleh sang maha pemimpin.
Makna persatuan seperti yang disebutkan di atas tadilah yang selayaknya menjadi contoh pola persatuan dan semangat kebangsaan yang diharapkan pula saat ini. Memang Persatuan dan semangat kebangsaan yang dibangun oleh founding fathers di atas adalah dalam konteks memerangi politik divide et impera dari kaum penjajah, lalu persatuan dan semangat kebangsaan yang bagaimana dalam tahap Indonesia menyejarah selanjutnya?

Penyelewengan I: Penindasan Kebangsaan oleh Negara
Sebelum membahas kontekstualisasi kebangsaan kita lebih dalam lagi, penulis sengaja terlebih dahulu menganalisis peristiwa-peristiwa yang justru cenderung menyimpang (menyeleweng) dari semangat kebangsaan yang dicita-citakan oleh founding fathers.
Kebangsaan itu terjadi dan terbentuk sesuai dengan penjadian dan pembentukan sejarah. Karena sejarah itu terbuka, maka pembentukan dan penjadian itu tak mengenal finalitasnya. Celakanya, begitu digabungkan dengan negara menjadi negara-kebangsaan, maka kebangsaan itu mau tak dikenai dengan batasan-batasan.
Kebangsaan itu bukan negara. Akan tetapi, kebangsaan itu mempunyai negara. Dengan kata lain, bukan negara melainkan kebangsaan itulah yang seharusnya menentukan dan mengatur negara. Akan tetapi, yang kebanyakan terjadi, negaralah yang mengatur kebangsaan kita sedemikian rupa sampai negara akhirnya menjadi kebangsaan sendiri. Apa yang dimaukan oleh negara, dan itu sering berarti apa yang dimaukan oleh penguasa harus terjadi pada bangsa. Itulah yang terjadi pada masa Orde Baru di bawah Soeharto maupun Orde Lama di bawah Soekarno Tua.
Sekian lama kebangsaan kita ditindas oleh negara, dengan segala aparat penindasannya, mulai dari ideologi Nasakom, demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, kemudian P4, SARA, ketertiban dan kemanan sampai tentara dan sebagainya di zaman Orde Baru. Kebangsaan kita bukan lagi sejarah tetapi ideologi penguasa. Oleh ideologi itu kebangsaan kita hampir mati tercekik. Bukti kematiannya adalah fakta bahwa hidup berbangsa dan kita demikian homogen sampai di tingkat lokal, padahal di tingkat lokal itu kebangsaan kita sebenarnya demikian heterogen. Pantaslah jika sekarang di tingkat lokallah paling terjadi keresahan dan kegelisahan kelompok masyarakat untuk mencari dan menemukan identitas dan keunikannya sendiri.

Penyelewengan II: Universalisasi Vs Fortifikasi
Fakta bahwa terjadi keresahan dan kegelisahan kelompok masyarakat dalam menemukan identitas kebangsaan adalah karena realitas baru yang mesti dihadapi oleh bangsa ini. Seperti yang sudah saya katakan dalam pengantar bahwa realita bangsa kita saat ini adalah kepungan perubahan global. Perubahan global ini dinamakan globalisasi.
Globalisasi rupanya telah menghasilkan dua format kebudayaan yakni kebudayaan global yang koheren dan homogen (kekuatan ‘sentripetal’ universalisasi budaya), tetapi juga fragmen-fragmen budaya yang plural dan heterogen (kekuatan ‘sentrifugal’ fortifikasi).
Kekuatan yang pertama akan mendorong pembentukan budaya global –sistem nilai, perilaku, gaya hidup– yang semakin universal dan mengerucut menjadi satu format budaya yang koheren dan homogen. Sementara kekuatan kedua merupakan ekspresi perlawanan dan mekanisme ‘pertahanan diri’ terhadap serangan yang demikian intensif dari arus besar universalisasi dan penyeragaman budaya global tersebut. Kalau universalisasi mendorong terbentuknya homogenitas budaya global, maka fortifikasi ini, justru sebaliknya mendorong terjadinya ‘pembelahan-pembelahan’ budaya global menjadi fragmen-fragmen kecil yang pada akhirnya tentu saja akan mengarah pada pluralitas dan keberagaman. Karena fortifikasi ini, budaya global pada gilirannya akan membentuk semacam mosaik yang begitu sarat dengan ekspresi-ekspresi budaya berdasarkan etnik, tradisi lokal, agama, bahasa, dan sebagainya. Kekuatan yang pertama disebut sentripetal karena mendorong konvergensi dan keseragaman, sementara yang kedua disebut sentrifugal karena memicu divergensi dan keberagaman budaya global.
Universalisasi dan fortifikasi ini bekerja secara simultan, sama kuat pengaruhnya dan bergerak dalam arah yang saling berlawanan. Akan tetapi walaupun saling berseberangan keduanya memiliki semacam ‘love-hate relationship’. Di satu sisi universalisasi merupakan ancaman bagi fortifikasi, di sisi lain, ia sekaligus juga yang menjadikan fortifikasi ini terbarui, tumbuh dan berkembang biak secara luas. Berkembang pesatnya nilai-nilai universal budaya pop Amerika ke seluruh pelosok dunia, misalnya justru memicu dan mendorong –bukannya melemahkan— semakin menguatnya ekspresi budaya-budaya lokal di Indonesia. Sebaliknya fortifikasi memang merupakan sikap penolakan terhadap universalisasi, namun di sisi lain, ia sekaligus juga memperkuatnya. Keduanya sudah seperti layaknya yin dan yang dalam filosofi dualistik Cina. Karena kenyataan ini, format budaya global yang saat ini terus berjalan akan diwarnai oleh adanya paradoks-paradoks sebagai akibat dari adanya benturan pengaruh dua arus besar ini. Paradoks global ini akan berlangsung di level global, level regional, negara dan daerah yang pada gilirannya akan bekerja, baik langsung maupun tidak langsung mempengarungi sistem budaya, sistem nilai (values), dan perilaku (behavior) di level individu.
Di level global, arus universalisasi ini antara lain ditandai oleh munculnya kecenderungan besar ke arah terbentuknya konvergensi cita rasa, perilaku, dan gaya hidup global, yang umumnya banyak bersumber dari budaya Barat, terutama budaya pop Amerika. Beberapa istilah diberikan oleh para pakar untuk menamai kecenderungan ini: “Coca-colonization” (Huntington, 1996) atau “Mcworld” (Barber, 1994). Arus besar yang terutama difasilitasi oleh munculnya globalisasi pasar dan serangan media komunikasi-informal global ini, cenderung mengarahkan siapapun individu di muka bumi ini untuk mengkonsumsi produk-produk global (MTV, Hollywood) dan mengadopsi perilaku dan gaya hidup universal yang umumnya bersumber dari peradaban Barat (individualisme, rasionalitas, sekularisme, kebebasan individu dan sebagainya).
Universalisasi juga ditandai oleh kecenderungan yang makin cepat akselerasinya ke arah pembentukan apa yang oleh Fukuyama (1992) disebut sebagai “universal and homogeneous state”. Berakhirnya Perang Dingin, harus diakui, menyebabkan popularitas konsep demokrasi liberal (demokrasi representatif) sebagai tool untuk mengelola kekuasaan dan politik negara mulai meroket demikian cepat. Di samping itu, konsep free market sebagai formula ampuh untuk mengelola perekonomian negara juga mendapatkan popularitas yang sama. Karena konsistensi keberhasilannya selama beberapa dekade terakhir, dua konsep yang bersumber dari peradaban Barat ini kini mulai dianggap sebagai konsep universal yang diyakini akan mampu mengantarkan negara-negara mencapai kesuksesan. Karena keyakinan ini, tak heran jika kemudian negara-negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan Eropa Timur, satu per satu mulai mengadopsi konsep free market democracy, konsep negara yang menerapkan baik sistem free-market economy maupun representative democracy.
Sementara fortifikasi di level global ditandai oleh adanya kecenderungan maraknya bermunculan kelompok-kelompok yang berupaya memperkuat identitas budayanya yang spesifik berdasarkan kesamaan etnik, tradisi, bahasa, maupun agama. Salah satu bentuk dari kecenderungan ini adalah makin maraknya arus tribalisme, upaya kelompok-kelompok etnik tertentu untuk melepaskan diri dari pengaruh dan kekuasaan negara. Di Uni Soviet, Yugoslavia, Iran, Irak, Filipina, Sudan, Papua New Guinea, Afganistan dan terakhir –tentu saja Indonesia—gerakan tribalisme ini begitu marak yang tidak jarang berakhir dengan pecahnya negara tersebut hingga menjadi belasan negara kecil. Ironisnya, arus tribalisme ini justru didorong oleh arus demokratisasi yang seperti diungkapkan di atas, merupakan komponen penting dari universalisasi. Mengapa? Karena semakin demokratis suatu negara semakin terbuka luas bagi masyarakatnya untuk mengekspresikan hak dan keinginannya, termasuk untuk memisahkan diri dari negara.
Di level regional Asia, tarik-menarik antara arus universalisasi dan fortifikasi ini juga intensif berlangsung, dan semakin menguat menyusul pecahnya krisis ekonomi di kawasan ini sejak 7 tahun lalu. Sebelum krisis meletus, bangsa Asia melihat bahwa kunci dari keajaiban Asia ini adalah Asian values, keluarga patriarkal, konsensus bukannya konfrontasi, hirarki dan social ordering, hormat pada atasan dan penguasa, deference to societal interest, conservatism in social mores.
Namun dengan meletusnya krisis Asia, optimisme dan kepercayaan diri terhadap Asian values ini kemudian merosot drastis. Mereka mulai berbalik pandangan, Asian values merupakan sumber kebobrokan pengelolaan ekonomi bangsa Asia, nilai-nilai keluarga patriarkal memicu menjamurnya nepotisme; personal relationship mendorong tumbuhnya kroni; begitu juga konsensus mendorong berkembangbiaknya korupsi. Berubahnya pandangan ini semakin mendorong bangsa Asia semakin serius menengok sistem yang berlaku di Barat. Beberapa waktu lalu majalah Far Eastern Economic Review misalnya, melaporkan bahwa kini muncul kecenderungan perusahaan-perusahaan besar Asia termasuk Sony, Samsung hingga Acer mulai berlomba mengadopsi pola manajemen Barat dengan mengedepankan corporate governance, praktik pengelolaan yang dulunya kurang begitu tampak di Asia.
Namun kecenderungan yang mendorong universalisasi ini kemudian harus menghadapi arus fortifikasi ketika ternyata proses pemulihan ekonomi Asia berlangsung sangat cepat. Dalam jangka waktu tidak sampai 2 tahun ternyata negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, termasuk tentu Cina mampu pulih dengan reinventing the wheel, dan saat ini, posisi mereka praktis tak jauh berbeda dengan posisi sebelum terjadi krsis. Kondisi ini tentu saja menumbuhkan optimisme dan kepercayaan diri baru di kalangan bangsa Asia mengenai keampuhan Asian values.
Di level nasional, universalisasi yang semula terwujud dalam bentuk Coca-colonization, sejak beberapa tahun terakhir sudah berkembang ke penghormatan HAM dan demokrasi. Akibatnya Indonesia pun kemudian semakin menyatu dengan banyak bagian dunia lain, bukan hanya dalam cita-rasa, perilaku dan gaya hidup tetapi juga mulai berkembang pada sistem nilai, mind-set, dan cara pandang. Yang menarik, timbulnya global shared value berupa penghormatan HAM dan demokrasi ini justru mendorong penghormatan akan keragaman budaya, agama, suku bangsa dan negara bangsa. Oleh sebab itu, meski penduduk di seluruh dunia memiliki semakin banyak kesamaan dalam kebiasaan, sikap dan perilaku tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga berusaha mempertahankan dan memperkuat identitas kelompok berdasarkan agama, tradisi budaya, bahasa ataupun suku bangsa. Akan tetapi karena penguatan identitas tersebut terjadi bersamaan dengan adanya penghormatan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM, ia malah melahirkan pengakuan terhadap kemajemukan. Bukan hanya dalam pola pikir, sistem nilai, tetapi juga cita rasa dan perilaku.
Di Indonesia contoh dari paradoks antara universalisasi dan fortifikasi antara lain tampak dari McDonald’s misalnya yang menyediakan nasi dan ayam goreng, yang kita tahu di negeri asalnya tidak ada. Mengapa? Karena masyarakat Indonesia membutuhkan ‘konteks’ universal-western, sementara ‘konten’-nya lokal.
Universalisasi versus fortifikasi dalam hal cita rasa itu belum apa-apa. Di Indonesia kita juga melihat kenyataan bahwa universalisasi yang berkembang melalui jaringan informasi global dan globalisasi ekonomi ternyata tidak serta merta berujung pada dominannya rasionalitas. Hal ini tampak antara lain dari semakin banyaknya orang Indonesia yang bergantung pada klenik, jin atau tuyul dalam memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi. Berbeda dengan kasus McDonald’s dan Marlboro di atas, belum berkembangnya rasionalitas atau perubahan pola pikir bukan lahir karena kebutuhan akan pengakuan pada identitas yang berbeda tapi lebih karena disorientasi.
Disorientasi ini pula yang menyebabkan universalitas penghormatan HAM dan demokratisasi membuat Indonesia terancam disintegrasi bangsa. Seperti kita lihat, saat ini sejumlah daerah ingin melepaskan diri dari Indonesia dan membentuk sebuah negara sendiri berdasakan kesamaan identitas tertentu. Menariknya, keinginan semacam ini ternyata bukan hanya dipicu oleh fenomena Yugoslavia, Uni Soviet maupun merdekanya Timor Timur, tetapi juga oleh internet dan globalisasi ekonomi. Internet di satu sisi memang merupakan medium tempat bertukar dan berbagi nilai-nilai dan budaya universal, namun di sisi lain ia juga menjadi ajang mengekspresikan dan berbagi nilai-nilai dan budaya etnis atau separatis yang memiliki situs di internet tempat mereka berinteraksi dan mengekspresikan identitas etnik mereka. Bukan hanya warga Basque atau Quebec yang memiliki situs di internet, kini GAM di Aceh pun memiliki situs untuk mengkampanyekan ide pemisahan diri mereka.
Sementara itu globalisasi ekonomi mendorong negara sebagaimana sekarang tampak jelas terjadi di Eropa Barat, semakin kehilangan arti dan relevansinya. Akibat globalisasi ini Jerman atau Perancis misalnya rela untuk tidak lagi punya mata uang sendiri tetapi memakai mata uang bersama Eropa, Euro. Globalisasi ekonomi dengan pembentukan EU ini tak bisa diingkari akan semakin mendorong kelompok-kelompok etnik di kawasan tersebut untuk membentuk negara baru. Alasannya sederhana, kalau Basque misalnya akhirnya merdeka seperti Kroasia dan kemudian bergabung dengan EU, maka ia akan mendapatkan privilese karena akan diperlakukan sama dengan negara besar seperti Jerman. Dengan kata lain, akibat adanya globalisasi ekonomi ini, membentuk sebuah negara baru menjadi semakin mudah.
Akan tetapi harus diingat globalisasi ekonomi sekaligus juga identik dengan keinginan memperluas pasar yang melampaui batas negara. Kroasia, Ukraina, Estonia atau Latvia didukung untuk memerdekakan diri karena memiliki potensi memperluas pasar. Itu pula sebabnya Brunei misalnya yang begitu makmur justru ingin segera ‘menyatu’ dengan Indonesia yang punya penduduk dan pasar begitu besar melalui percepatan AFTA. Dengan kata lain, kalau terbentuknya sebuah negara justru akan menghambat terbentuknya pasar yang lebih luas seperti dalam kasus Aceh, Riau atau Papua, wajar kalau tidak ada negara yang mendukung. Yang terjadi justru adalah banyak negara yang mengharapkan terjaganya integritas teritorial Indonesia. Sama halnya dengan banyak negara yang tidak mendukung Hongkong, Shanghai, Fujian atau Guangdong lepas dari RRC.

Epilog: Sebuah Solusi
Dalam Indonesia menyejarah kita menemukan penyelewengan pertama terjadi justru ketika pemimpin bangsa mengatasnamakan negara menindas bangsanya sendiri dengan ideologi dan pahamnya sendiri. Penyelewengan kedua terjadi ketika bertabrakan dengan kompleksitas realitas yang memasuki dunia global. Di satu sisi terjadi universalisasi, di sisi lain terjadi fortifikasi. Baik ekstrim ini maupun ekstrim itu, kedua-duanya merupakan suatu penyelewengan terhadap cita-cita dan semangat kebangsaan yang diharapkan oleh founding fathers.
Dari landasan ini, ketika mencoba berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan dengan kembali ke semangat founding fathers tanpa meninggalkan segala konsekuensi realistis yang dihadapi, penulis sengaja mencari jawaban ke manakah Indonesia layak berlayar.
Tentu saja jawaban yang pasti adalah menghindari segala kemungkinan yang kembali mengarah pada penyelewengan-penyelewengan yang sudah disebutkan di atas. Maka dari itu, pertama-tama yang mesti diperhatikan adalah kedudukan lembaga eksekutif kepresidenan. Berpijak dari pengalaman Soekarno dan Soeharto yang memerintah sekian lama, dan mengingat kelemahan manusia, maka waktu pemerintahan yang ada mesti dibatasi. Soekarno muda ataupun Soeharto pada awalnya memang mengemban amanat rakyat, tetapi lama-kelamaan menyeleweng. Maka dari itu pembatasan periodik ini adalah suatu hal yang penting. Kemudian perlu ditekankan lagi bahwa sebenarnya kepentingan bangsa mesti di atas segala-galanya atau dengan kata lain bangsa mengatur negara bukan negara mengatur bangsa.
Kedua, dalam universalisai vs fortifikasi, kita mengambil jalan tengah, tidak ekstrim ini maupun tidak ekstrim itu. Mengapa? Karena sama sekali bangsa kita tidak bisa menghindar dari konstelasi dunia, karena memang bangsa kita adalah bagian dari dunia universal. Lalu bagaimana bentuk jalan tengah itu? Kita tidak ingin bangsa ini jatuh pada kehancuran, terpecah-pecah dan memisahkan diri, seperti yang dialami oleh negara-negara Balkan, apalagi keterpecahan ini didasarkan pada sentimen kelompok. Kita juga tidak ingin menjadi negara satu dan besar tetapi menjadi budak bangsa lain di dalam konteks globalisasi. Maksudnya, kita hanya menjadi pasar bagi bangsa-bangsa lain. Selain itu, memang perlu diubah sistem negara kesatuan model UUD’45 yang mendorong penyedotan seluruh kekayaan daerah Nusantara secara memusat ke Jakarta, yang akhirnya timbul konflik laten amat berbahaya antara Jakarta lawan Daerah, Pusat melawan Pinggiran, Jawa melawan Luar Jawa, seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, dsb. Maka dari itu, jalan tengahnya adalah diberikannya otonomi daerah seluas-luasnya atau, janganlah terkejut, dibentuknya negara Republik Indonesia Serikat (federal). Model pemerintahan ini akan mendamaikan pertarungan antara universalisasi vs fortifikasi (ini cocok dengan wacana yang berkembang saat ini ‘mengglobal dengan budaya lokal’).
Dari solusi ini mungkin masih dipertanyakan lagi apakah ini yang namanya berpikir ulang tentang ke-Indonesiaan dengan semangat founding fathers tanpa meninggalkan realitas. Dengan berani saya akan mengatakan memang demikianlah yang diharapkan oleh para pioneer bangsa kita. Semangat kebangsaan demikianlah yang diharapkan. Persatuan bukanlah per-sate-an. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah anut-grubyug.
Read more...