Thursday, January 1, 2009

Tatoo is not a Crime!!!

Tato? Iiih... mendengar katanya saja sudah membuat merinding. Demikianlah, image bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan tato, pasti berhubungan dengan tindak kriminal sudah tertancap di benak kita. Citra buruk terhadap mereka yang memiliki tato di tubuh telah mengungkung kreativitas sebagian orang. Pasalnya, ada anggapan bahwa semua penjahat yang tertangkap pasti memiliki tanda di tubuhnya yang bernama tato itu.
Tato sebenarnya sudah lama dikenal dalam peradaban manusia. Konon, tato sebagai salah satu ekspresi karya seni telah ada sejak beberapa abad sebelum masehi pada beberapa suku bangsa. Hal ini bisa dibuktikan ketika ditemukan tanda pada tubuh mumi suku bangsa Mesir dan Nubian, yang berasal dari tahun 1300 SM. Ternyata itu adalah tato. Seni ini juga menjangkau beberapa kebudayaan yang berbeda dan membawa arti yang berbeda pula.
Tato atau body painting atau rajah adalah gambar atau simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan simbol itu dihias dengan pigmen berwarna-warni. Zaman dulu, orang-orang masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk mentato seseorang. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang binatang. Sekarang, orang-orang sudah memakai jarum dari besi, yang kadang-kadang digerakkan dengan mesin untuk "mengukir" sebuah tato.
Pada sistem budaya yang berlainan, tato mempunyai makna dan fungsi yang berbeda-beda. Suku Maori di New Zealand membuat tato yang berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Di Kepulauan Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus inisiasi untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka. Orang-orang Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukkan status sosial tertentu.

Di Indonesia sendiri, budaya rajah ini ditemukan pada suku Dayak di Kalimantan, dan suku Mentawai di Sumatera. Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Selain itu, salah satu kedudukan tato adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya.
Dalam perkembangannya di Indonesia, tato menjadi sesuatu yang dianggap buruk. Orang-orang yang memakai tato dianggap identik dengan penjahat, gali (gabungan anak liar) dan orang nakal. Pokoknya, golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman masyarakat. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat "pengesahan" ketika pada tahun 80-an terjadi pembunuhan misterius terhadap ribuan orang gali di berbagai kota di Indonesia. Soeharto dalam otobiografinya, mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat. Bagaimana cara mengetahui bahwa seseorang itu penjahat dan layak dibunuh? Brita L. Miklouho-Maklai menyebutkan bahwa para penjahat kambuhan itu kebanyakan diidentifikasi melalui tato, untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang di sembarang tempat seperti sampah.

Tidak semua orang bertato itu penjahat memang. Tapi mengapa sampai terjadi generalisasi seperti itu? Apa kira-kira dasar alasannya? Apakah dulu kebetulan pernah ada seorang penjahat besar yang punya tato dan lalu dipakai sebagai ciri untuk menggeneralisir bahwa semua orang yang bertato pasti penjahat juga? Sayangnya belum ada studi mendalam yang bisa menguak pergeseran makna tato dari ukiran dekoratif sebagai penghias tubuh dan simbol-simbol tertentu menjadi tanda cap (stereotipe) bagi para penjahat. Tetapi melalui tulisan ini, penulis hendak mencoba mengkajinya melalui sudut psikologi sosial.
Dari pengantar di atas, kita bisa mendapatkan, paling tidak, ada dua kelompok yang terbentuk dari gejala ini. Kelompok pertama adalah orang-orang yang bertato, entah apapun motif mereka menggunakan tato itu. Sedangkan, kelompok kedua adalah orang-orang yang memberi cap negatif kepada orang-orang yang bertato tadi yakni masyarakat pada umumnya. Maka dari itu, pertanyaan mendasar yang relevan, sekaligus mencoba memecahkan masalah di mana letak persoalan stereotipe ini adalah: Bagaimanakah persepsi dan prasangka masyarakat terhadap orang yang bertato? Kemungkinan-kemungkinan atribusi apa sajakah yang terjadi dalam sterotipe itu? Bagaimanakah sikap masing-masing kelompok sehingga semakin melanggengkan stereotipe ini? Dan yang terakhir, bagaimana peran pengaruh sosial dalam gejala ini?

Persepsi dan Prasangka Terhadap Orang Bertato: Bermula dari Stereotipe
Seseorang memakai tato tentu saja mempunyai maksud tertentu. Ada yang ingin menunjukkan kejantanan, status sosial, tanda kesuburan, atau bahkan untuk mempercantik diri. Dalam hal ini tato menjadi sebuah simbol. Namun dari maksud-maksud tadi mesti dibedakan lagi antara orang yang memakai tato karena memang budaya bawaan dari lingkungan mereka (suku tertentu—dengan demikian adalah hal yang biasa) ataukah ingin menonjolkan (salient) sesuatu dari dirinya. Yang disebutkan terakhir sudah barang tentu memiliki suatu maksud, sebab tidak mungkin tato hanya berfungsi sebagai gambar pada dirinya sendiri (an sich).
Tato yang ditonjolkan menjadi suatu lapang persepsi bagi orang lain. Orang lain akan sangat peka dalam hal ini, karena memang berbeda atau lain dari yang lain (menjadi terkesan eksklusif). Orang bertato dicap sebagai penjahat pasti juga tidak terlepas dari maksud-maksud tertentu. Awalnya mungkin hanya sekedar ingin menunjukkan kejantanan, harga diri, atau bahkan bisa membuat percaya diri (pede). Tapi maksud ini disalahgunakan beberapa orang untuk hal-hal yang negatif. Tentu saja dalam hal ini para penjahat. Untuk menambah kegarangannya mereka akan menggunakan tato. Sosok penjahat sendiri sudah menunjukkan kegarangan, tapi dengan dipakainya tato, kegarangan itu semakin kelihatan lebih besar.
Perilaku ini pada awalnya hanya dilakukan beberapa orang saja, tetapi karena tato itu berfungsi sebagai salience maka muncullah steoreotipe bahwa penjahat seringkali memakai tato. Steoreotipe ini diperkuat melalui media massa. Begitu seringnya pelaku kejahatan yang bertato ditampilkan melalui media, terutama dalam konteks Indonesia terjadi pada tahun 1980-an, ketika petrus merajalela, timbullah asumsi bahwa penjahat-penjahat itu selalu bertato. Logika semacam ini memang tidak lurus, karena mengeneralisasikan begitu saja. Parahnya, kesimpulan yang didapat bisa sampai pada anggapan bahwa yang bertato adalah seorang kriminal. Padahal belum tentu orang yang bertato adalah seorang kriminal.
Proses ini menunjukkan bahwa orang-orang yang memakai tato sangat mempengaruhi orang-orang di luar diri mereka untuk memberikan penyimpulan ciri kepribadian. Tato sendiri sudah merupakan tanda, sehingga secara cepat dan otomatis, orang-orang kita pertama kali bertemu dengan mereka akan mencap bahwa mereka orang-orang yang ‘jahat’. Inilah yang disebut negativity effect (orang memberi bobot lebih pada informasi negatif daripada informasi positif dalam mencapai kesan yang lengkap). Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini diakibatkan dari aspek penonjolan dari tato itu.
Stereotipe bahwa orang bertato adalah penjahat menandakan bahwa terjadi suatu prasangka. Prasangka ini dinyatakan oleh masyarakat pada umumnya (in-group) yang menunjukkan sikap dan tingkah laku negatif terhadap orang-orang yang bertato (out-group). Prasangka ini berefek merusak dan meluas. Masyarakat semakin takut untuk dekat dengan orang bertato, apalagi coba-coba untuk memakai tato (walaupun pada awalnya tidak takut). Begitupun sebaliknya, para penjahat semakin menunjukkan eksistensi mereka melalui tato ini. Kalau sebelumnya belum bertato, maka mereka akan memakai tato.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam prasangka, 3 konsekuensi dari in-group begitu jelas: (1) masyarakat mempersepsikan orang-orang yang tidak memakai tato sebagai orang yang lebih sama dengan mereka daripada orang-orang yang bertato , (2) masyarakat cenderung melihat orang-orang bertato sebagai lebih homogen daripada orang-orang yang tidak bertato , dan (3) masyarakat akan bersikap positif bagi yang tidak bertato dan bersikap negatif kepada orang-orang yang bertato. Akibat konsekuensi ini, wajarlah bila komponen-komponen masyarakat lainnya ikut pula memperkuat prasangka ini. Agama malahan menyempurnakan image tato sebagai sesuatu yang dilarang, haram, dan tidak boleh. Perusahaan-perusahan tidak mau menerima pegawai yang ditubuhnya ditemukan tato.

Atribusi
Untuk memahami alasan atas sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap orang-orang yang bertato, akan dipaparkan kemungkinan-kemungkinan atribusi tersebut (locus of causality): ‘peristiwa stereotipe terhadap orang bertato sebagai pelaku kriminal’.

Locus of causality di atas dijelaskan sebagai berikut: (1) orang yang dengan sengaja bertato dengan maksud bahwa dirinya jagoan dan preman, merupakan suatu salience. Salience inilah yang menjadi alasan terjadinya stereotipe; (2) Stereotipe yang pada mulanya sudah ada, dilanggengkan secara terus-menerus melalui proses sosialisasi antar generasi. Tidak bisa dikendalikan karena terjadi begitu saja melalui peristiwa-peristiwa kecil yang seringkali terjadi, misalnya tertangkapnya pencopet yang kebetulan bertato; (3) Kebetulan saja setiap kali melihat tindakan kriminal, pelakunya bertato, padahal ada juga pelaku kriminal lainnya yang tidak bertato atau sebaliknya, ada juga yang bertato tapi bukan seorang kriminal; (4) anggapan umum/stereotipe yang beredar di masyarakat begitu saja diterima mentah-mentah (tak terkontrol) dan akibatnya menjadi anggapan pribadi; (5) stereotipe terjadi ketika masyarakat ingin cepat-cepat mengidentifikasikan seorang penjahat: “orang yang bertato adalah penjahat”; (6) media massa mensosialisasikan setiap peristiwa penangkapan seorang penjahat, dengan meyebutkan ciri-ciri penjahat, di antaranya bertato. Ciri-ciri ini mesti disebutkan karena menginformasikan sesuatu yang penting. Kalau dihilangkan tentu saja ada informasi yang hilang. Ini terjadi begitu saja; (7) sewaktu-waktu pemerintah menggunakan treatment agar para penjahat kapok, dan dalam treatment ini diidentifikasikan bahwa penjahat itu bertato; (8) situasi global juga mempengaruhi, semua kejadian-kejadian tadi tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain, walaupun tidak begitu kentara dan tidak seseringkali dilakukan, karena hanya terjadi di beberapa negara saja.
Sikap

Persepsi negatif atau prasangka masyarakat terhadap orang-orang yang bertato, menjadi sebuah sikap bersama dalam masyarakat sendiri. Sikap ini tidak bisa dilepaskan dari proses belajar masyarakat, karena masyarakat mengkaitkan suatu nilai dengan fakta-fakta yang ada di dalam masyarakat.
Proses belajar ini berkembang melalui asosiasi, penguatan (reinforcement) dan imitasi. Secara asosiasi, diperoleh melalui gambar-gambar yang ditampilkan lewat media massa. Penjahat-penjahat ketika diinterogasi dipaksa bertelanjang dada dan ditunjukkan bahwa mereka memakai tato. Kejadian yang berulang-ulang, membuat masyarakat mengasosiasikan tato dengan kejahatan.
Secara reinforcement, terjadi saat orang-orang mengalami secara langsung kejahatan yang dilakukan orang yang bertato. Misalkan seorang ibu dirampok, kebetulan bahwa perampok itu bertato. Kemudian pada lain peristiwa, ada orang lain dijambret, dan tertangkap basah, dan dihakimi massa. Ibu itu turut menyaksikan peristiwa itu dan melihat pelaku itu pun memiliki tato. Terjadi penguatan kesan dalam diri ibu itu, semula tidak punya prasangka apapun, tetapi dengan tato itu ibu berkesan sekaligus memperkuat kesannya bahwa yang bertato itu jahat, apalagi kalau ibu itu mengalami lagi peristiwa yang sama.
Dan, lewat imitasi, terjadi di mana anak-anak meniru sikap-sikap orangtua mereka, atau sikap orang-orang di sekitar mereka yang berprasangka atas orang-orang yang bertato.

Pengaruh Sosial
Satu pendekatan psikologi sosial yang lain dalam kasus stereotipe terhadap orang yang bertato adalah pengaruh sosial. Dalam kasus ini kita bisa melihat bahwa terjadi suatu konformitas di dalam masyarakat. Keinginan utama untuk melakukan konformitas dalam kasus ini adalah keinginan untuk menjadi benar. Keinginan ini bersumber pada informasi yang berguna, yang diberikan oleh orang-orang lain dalam masyarakat. Prinsip yang berguna ini tidak mengandaikan bahwa informasi itu sungguh-sungguh benar tetapi mengandaikan bahwa informasi itu baik bagi kita.
Pada dasarnya orang yang bertato itu bukanlah seorang kriminal. Tetapi, ketika seseorang menginformasikan bahwa banyak penjahat bertato, orang yang mendapatkan informasi itu akan menelaahnya dan akhirnya menerima informasi ini juga sebagai pegangan atau pandangannya. Informasi inilah yang juga akan dipakainya jika bertemu dengan orang-orang yang bertato. Konformitas ini akan semakin kuat jika orang yang mendapat informasi itu sama sekali tidak tahu tentang tato, baik asal-usulnya maupun fungsi lain dari tato tersebut (misalnya fungsi seni).
Masih dalam lingkup pengaruh sosial, stereotipe yang dikenakan pada orang yang bertato berkembang karena adanya obedience to authority. Otoritas yang terkena dalam hal ini adalah pemerintah yang melegalkan petrus (penembakan misterius), perusahaan-perusahaan yang tidak mau menerima orang yang bertato, dan institusi agama yang menganggap bertato itu tindakan yang haram.

Epilog: Sebuah Tanggapan
Dari penjelasan di atas kita bisa menyimak suatu pergeseran makna yang dibawa oleh tato dari makna seni ke makna kriminalitas. Pendasaran pertama mengapa terjadi pergeseran ini adalah aspek salience dari tato itu. Tentu saja tato itu bukan sekedar gambar. Tato tertera di badan kita pasti akan terlihat orang lain. Mungkin saja, tato ini terletak di dalam bagian dalam tubuh kita yang tertutup pakaian, tetapi ini tidak tertutup kemungkinan akan terlihat juga. Memang, tato yang sebenarnya sudah membawa aspek salience, ketika sang pemiliknya dengan sadar lebih menonjolkan lagi, dengan menunjukkan bahwa ini sebuah tanda kejantanan, tentu saja akan membawa pergeseran makna.
Kasus ini berbeda dengan yang dialami oleh suku-suku bangsa yang juga menggunakan tato. Tato bagi mereka adalah suatu hasil kebudayaan, suatu hal yang biasa, sehingga aspek salience, bagi mereka ditempatkan sesuai dengan tradisi yang berlaku umum dalam kebudayaan mereka, entah itu demi status sosial ataupun menunjukkan hormat mereka pada leluhur mereka (aspek seni).
Pendasaran yang kedua adalah di mana tato itu ditempatkan. Ketika tato juga dipergunakan oleh orang-orang yang tidak memiliki kebudayaan bertato, aspek penonjolan semakin kuat. Aspek penonjolan ini pada akhirnya membentuk persepsi bagi orang lain yang tidak bertato. Lebih lanjut, terjadi pengelompokan orang, ada yang berada dalam in-group (masyarakat) dan out-group (kelompok orang bertato). Ada beberapa orang yang bertato tetap mempertahankan maksud dari tato itu yakni sesuai dengan kebudayaan aslinya, misalnya menggambarkan suatu karya seni. Tetapi, ketika ada yang mempunyai maksud lain dari penggunaan tato itu, misalnya untuk kejantanan status out-group dan in-group mendapatkan penguatan. Apalagi ketika kejantanan itu disalahgunakan untuk tindakan kriminalitas, prasangka yang diciptakan in-group akan semakin kuat. Prasangka ini mungkin awalnya hanya berlaku bagi beberapa orang, tetapi ketika melalui pengaruh sosial dan belajar sosial masyarakat, prasangka ini menjadi anggapan umum.
Praktis, dari pendasaran-pendasaran yang dipakai kita bisa memahami bagaimana psikologi sosial memainkan peranan penting dalam kasus ini. Sekaligus juga di dalamnya kita bisa menemukan akar masalahnya dan untuk itu menjadi suatu kritik atas anggapan umum tadi. Orang yang bertato adalah orang yang jahat telah menutupi orang yang bertato dengan maksud lain yang lebih positif. Akibatnya kalau orang yang punya maksud lain itu tidak betah dengan prasangka-prasangka yang dibuat oleh masyarakat (misalnya tidak boleh bekerja, dianggap haram oleh agama) akan berusaha menghilangkan tato di tubuhnya.

Oleh karena itu, stereotipe bahwa tato adalah sebuah kriminalitas tidaklah benar. Tato belum tentu menunjukkan orang itu penjahat. Adalah faktor kebetulan saja bahwa banyak penjahat itu bertato. Tetapi kita tidak bisa begitu saja mengeneralisasikannya. Banyak bukan berarti semuanya. Banyak hanyalah bersifat partikular. Maka, salah kaprah yang sudah mewabah tadi mesti diperbaiki. Tatoo is not a crime.
Read more...

Thursday, December 4, 2008

Agama Sebagai Realitas Sosial

Buku The Sacred Canopy adalah salah satu usaha Berger memberikan pemahaman secara sosiologis atas agama sebagai produk historis. Bagi Berger buku ini bukanlah “sosiologi agama”. Namun menurut Jeffrey K. Hadden dalam sebuah tinjauannya, buku ini merupakan sumbangan paling penting terhadap studi sosiologi agama setelah terbitnya karya klasik Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Terlepas dari pengakuan itu, buku ini sendiri dibagi menjadi dua uraian, yaitu uraian sistematis dan uraian historis. Uraian sistematis bisa dikatakan sebagai pembahasan teoretis. Sedangkan uraian historis membahas sekularisasi yang memperlihatkan “ganjaran” dari perspektif teoretis dalam kerangka suatu pemahaman atas situasi-situasi sosio-historis spesifik.
Untuk memahami lebih jauh pemikiran Berger, berikut ini penulis memberikan ringkasan penting dari keseluruhan isi buku tersebut.

Sacred Canopy
Agama dalam perspektif Berger dimengerti sebagai hasil konstruksi manusia melalui tiga tahap dialektik, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dunia yang dikonstruksikan tersebut menjadi nomos yang mengatur kehidupan manusia agar terbebas dari ancaman anomi dan khaos.
Melalui proses sosialisasi, agama melakukan pelanggengan dunia yang telah dikonstruksikan manusia. Di samping itu, agama melegitimasi realitas sosial yang ada. Agama membutuhkan struktur plausibilitas atau basis sosial guna mendukung keberadaannya.
Berger menggunakan konsep Teodisi untuk memberikan makna terhadap penderitaan yang dialami manusia di dunia, dengan sekaligus menjanjikan kebahagiaan ‘di dunia sana’. Dalam hubungan ini agama jelas merupakan sebuah kekuatan alienasi. Alienasi oleh Berger dimengerti sebagai terputusnya hubungan dialektik antara individu dengan dunianya. Meski sebaliknya agama juga memiliki kekuatan dealienasi.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat modern, Berger melihat proses sekularisasi sebagai lepasnya berbagai sektor kehidupan masyarakat dari dominasi institusi dan simbol agama. Sedang sekularisasi itu sendiri berakar pada tradisi masyarakat Israel kuno sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Lama. Hal ini jelas terlihat dalam konsep transendentalisasi Tuhan, motif historisasi dan rasionalisasi etis yang sangat mewarnai Perjanjian Lama.
Berger menganggap agama sebagai peta kognitif yang digunakan manusia untuk memahami berbagai kerangka makna. Agama berhasil menjelaskan berbagai realitas sosial, sehingga menjadikan hidup manusia bermakna.

Memahami Sacred Canopy: Agama Sebagai Realitas Sosial
Sosiologi Berger sangat diwarnai oleh pentingnya kedudukan sosiologi pengetahuan. Pendekatannya bersifat eklektik, dan menggunakan metode fenomenologi. Berger memahami agama sebagai sebuah fenomena sentral dalam realitas sosial yang dimengerti dalam konteks sosiologi pengetahuan. Agama merupakan realitas sosial yang dikonstruksikan secara sosial oleh manusia. Dalam proses konstruksi realitas tersebut, manusia melalui tindakan dan interaksinya secara terus-menerus menciptakan realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara faktual dan penuh makna subjektif secara objektif. Sesuai dengan metode fenomenologi yang digunakannya, Berger menganggap bahwa semua pengetahuan manusia tentang fakta objektif dalam dunia ditentukan dan diwarnai oleh lingkungan sosial di mana pengetahuan tersebut dikonstruksikan, ditransmisikan, dan dipelajari. Dengan kata lain, Berger menganggap bahwa manusia tak pernah dapat menangkap realitas yang berada di luar proses yang dialaminya.
Berger beranggapan bahwa manusia melalui proses konstruksi realitas sosial berada dalam dunia konfigurasi makna yang bersifat koheren dan membutuhkan legitimasi yang dirumuskan secara eksplisit. Sejarah umat manusia memperlihatkan bahwa agama memainkan peranan yang sangat penting dalam proses konstruksi dan pemeliharaan dunia. Agama merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang telah mencapai status objektif dan sekaligus memiliki makna subjektif yang mendalam. Agama secara terus-menerus melakukan legitimasi.
Dalam perspektif Berger pengetahuan manusia adalah terbentuk secara sosial. Oleh karena itu, tugas sosiologi pengetahuan adalah menganalisis bentuk-bentuk sosial pengetahuan manusia. Secara umum Berger mendefinisikan sosiologi pengetahuan sebagai sub-disiplin sosiologi yang mempelajari keseluruhan hubungan antara struktur sosial dan kesadaran. Sosiologi pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai bentuk kegiatan ideosinkartik di kalangan sosiologi yang cenderung mengarah pada sejarah ide-ide dan ditempatkan pada bagian paling sentral dalam teori sosiologi.
Konsekuensi rumusan sosiologi pengetahuan sebagaimana tersebut di atas adalah bahwa sosiologi agama dipandang sebagai integral dan sentral dalam sosiologi pengetahuan. Tugas sosiologi agama adalah melakukan analisis kognitif dan normatif yang diperlukan untuk meligitimasikan semesta yang dikonstruksikan secara sosial.
Karena adanya pengetahuan, manusia dan masyarakat dipahami. Dan melalui pengetahuan itu pula individu secara subjektif mengintegrasikan dan mendudukkan dirinya dalam tertib institusional. Dengan demikian institusi dan identitas menjadi bersifat koheren. Berger menekankan bahwa pengetahuan merupakan sarana bagi manusia untuk memahami realitas dan mengorientasikan dirinya.
Dalam perspektif Berger, pengalaman selalu dilegitimasikan secara terus-menerus. Untuk itu, Berger membedakan tingkat-tingkat legitimasi. Legitimasi itu sendiri dimengerti sebagai proses objektivasi makna-makna yang lebih tinggi tingkatnya daripada objektivasi biasa (a second-order objectivation). Melalui legitimasi diciptakan makna-makna baru yang perlu untuk mengintegrasikan makna-makna yang telah ada dengan proses-proses institusional yang berbeda-beda. Sedang fungsi legitimasi adalah untuk menjadikan objektivasi tingkat pertama (first-order legitimation) terdapat secara objektif dan memiliki basis sosial atau plausibilitas secara subjektif.
Legitimasi tidak lagi diperlukan dalam tahap pertama institusionalisasi. Sebab institusi tersebut tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut atau telah diterima begitu saja. Legitimasi dibutuhkan bila sebuah institusi hendak diwariskan kepada generasi berikut, agar institusi tersebut dapat diterima oleh generasi penerima.
Legitimasi menjelaskan tertib institusional dengan cara memberikan kesahihan kognitif terhadap makna yang diojektivasikannya. Legitimasi sekaligus membenarkan tertib institusional dengan memberikan status normatif bagi keharusan-keharusan praktis. Jadi legitimasi memiliki dimensi kognitif dan normatif sekaligus, artinya legitimasi bukan sekedar ‘nilai’ tetapi juga merupakan ‘pengetahuan’ yang harus diikuti.
Berbeda dengan para ahli sosiologi dari tradisi positivistik maupun Marxis, Berger menganggap bahwa agama secara historis adalah tidak bersifat berada di luar realitas yang dapat dipikirkan. Anggapan Berger ini didasarkan pada realitas bahwa agama secara terus-menerus melegitimasi dunia sosial. Legitimasi agama merupakan legitimasi yang paling efektif karena kemampuannya untuk menjelaskan tertib masyarakat dalam kerangka acuan tertib semesta yang sakral. Lebih lanjut, Berger menganggap bahwa agama memiliki kemampuan mentransendentalisasikan faktor-faktor manusiawi ke dalam realitas supra-manusiawi, misalnya sejarah umat manusia ditempatkan dalam konteks waktu yang sakral.

Sekularisasi: Proses Perubahan Sosial
Mengingat bahwa realitas yang dikonstruksikan manusia adalah bersifat rapuh, maka realitas tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan. Dalam sejarah agama-agama, perubahan sosial yang sangat signifikan terdapat dalam proses sekularisasi. Sekularisasi oleh Berger dipandang sebagai proses di mana sektor-sektor masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol agama.
Berger memandang sekularisasi sebagai sebuah situasi yang benar-benar baru. Legitimasi dan plausibilitas agama mengalami kegoncangan yang bersifat global. Namun demikian Berger berbeda dengan para ahli sosiologi zaman Aufklarung maupun para ahli sosiologi Marxis yang menganggap bahwa agama tidak lagi dibutuhkan oleh manusia dan masyarakat. Auguste Comte, sangat yakin bahwa agama hanya merupakan salah satu tahap yang harus dilewati dalam rangkaian tiga tahap perkembangan masyarakat, yaitu tahap teologis, metafisis dan positif. Bila tahap positif telah tiba, maka dengan sendirinya agama akan lenyap dan digantikan oleh pengetahuan positif manusia. Sedangkan para ahli sosiologi Marxis secara sepihak memandang agama sebagai bentuk suprastruktur yang ditentukan oleh infrastruktur masyarakatnya. Perubahan dalam infrastruktur akan mengakibatkan perubahan dalam agama, dan bahkan agama akan lenyap dengan sendirinya.
Pandangan Berger tentang hubungan antara perubahan sosial dan agama adalah bersifat dialektik. Di satu pihak, agama bisa menjadi faktor penentu bagi perubahan sosial, dan di lain pihak agama bisa menjadi sesuatu yang ditentukan. Jelas bahwa dalam hubungan ini Berger banyak memperoleh pengaruh dari Max Weber tentang bagaimana Protestantisme ternyata mampu mempengaruhi proses perubahan sosial masyarakatnya. Tetapi di sisi lain Berger juga menerima pengaruh Karl Marx bahwa agama merupakan bentuk proyeksi manusia. Berger beranggapan bahwa manusia membutuhkan agama bukan semata-mata merupakan pemenuhan realisasi dirinya secara palsu, sebagaimana kata Marx. Tetapi juga karena manusia memang membutuhkan agama sebagai sarana untuk mengatasi ancaman anomi yang melanda dirinya. Di sini sekaligus memperlihatkan pengaruh Durkheim dalam sosiologi agama Berger, bahwa manusia pada dasarnya berada dalam ancaman anomi.
Kekhususan Berger dalam memahami proses perubahan sosial terletak pada interpretasi bahwa sekularisasi bukan merupakan kemerosotan atau kehancuran agama, melainkan proses transformasi dalam agama itu sendiri. Sebagaimana telah dikemukakannya, proses sekularisasi adalah tak terelakkan dalam sejarah perkembangan masyarakat modern. Meskipun demikian, agama tetap berfungsi dalam masyarakat karena hanya agama yang dapat memberikan makna atas keberadaan individu. Perkembangan ilmu dan teknologi memang dapat menjelaskan berbagai fenomena yang semula hanya dapat dijelaskan oleh agama. Tetapi untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan akhir kehidupan dan penderitaan yang harus ditanggung manusia, agama tetap memegang peranan penting. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hingga kini agama tetap belum tergantikan oleh ilmu dan teknologi yang tampaknya secara dominan mempengaruhi kehidupan setiap masyarakat modern.

Catatan Akhir: Kesimpulan
Teori sosiologi agama Berger yang menjadi pokok pembahasan tulisan ini bertolak dari konsep dialektika tiga tahap. Agama, oleh Berger dipandang sebagai salah satu bentuk realitas sosial yang dikonstruksikan oleh manusia. Masalah yang muncul adalah apakah seseorang beragama akan tetap dapat meyakini agamanya setelah ia mengetahui bahwa agama tersebut adalah sebuah konstruksi sosial?
Pada hakekatnya agama bagi para penganutnya ialah bersifat adiduniawi dan mengacu pada realitas yang melampaui realitas kehidupan manusia, maka sosiologi tidak dapat mensahkan atau membatalkan setiap pernyataan keagamaan apapun juga. Berger menganggap bahwa dari sebuah pernyataan sosiologi tidak dapat ditarik sebuah kesimpulan etis. Sikap Berger ini adalah sejalan dengan tradisi humanistik yang terdapat dalam semua sosiologi Berger. Bagi Berger, sosiologi tidak boleh memberikan pedoman moral atau menjadi sebuah doktrin penyelamatan.
Dengan meminjam istilah agama, Berger mengatakan bahwa sosiologi hendaknya dapat menjaga sifatnya yang agnostik, yaitu sifat yang menganggap bahwa rasio manusia adalah tak mampu untuk mengetahui adanya Tuhan. Oleh karena itu, sosiologi agama harus tetap bersifat agnostik sebab apapun yang dikemukakan tentang fenomena agama harus tetap dianalisis secara empirik. Bila sebuah penalaran sosiologis telah dipakai untuk mendukung atau menentang sikap agama tertentu, maka menurut Berger hal tersebut telah menyalahi prosedur metode sosiologi itu sendiri.
Sosiologi agama pada dasarnya merupakan studi tentang aspek ‘neosis’ (kesadaran) keagamaan dan ‘neoma’ (yang disadari dari pengalaman) keagamaan yang hanya muncul dalam bentuk ‘penangguhan’ status ontologis pernyataan-pernyataan agama yang semuanya bersifat di luar jangkauan analisis empirik.
Berger menandaskan keyakinannya bahwa studi ilmiah tentang agama harus menangguhkan kebenaran terakhir sebagaimana dinyatakan oleh subjeknya. Dalam studi tentang realitas agama, Berger menganggap bahwa sebuah definisi agama tidak dapat dikatakan ‘benar’ atau ‘salah’ melainkan apakah definisi tersebut bermanfaat atau tidak. Berger tampak kurang setuju dengan penggunaan definisi fungsional, yaitu definisi yang merumuskan apa yang dilakukan oleh agama dan fungsi-fungsi apa yang dijalankan oleh agama bagi individu dan masyarakatnya. Definisi fungsional tersebut oleh Berger dianggap terlalu luas dan cenderung mengesampingkan makna-makna manusiawi yang terdapat di dalamnya, sebagaimana sangat ditekankan dalam metodologi Weber.
Sebaliknya Berger lebih menyukai definisi agama yang bersifat substantif, yaitu definisi agama yang menyangkut makna dan kompleks makna yang mengacu pada entitas transenden, meliputi Tuhan, dewa, dan kekuatan supraempirik (kesemuanya itu tergolong dalam entitas metaempirik). Berger beranggapan bahwa dengan menggunakan definisi substantif akan dapat memahami makna-makna agama dari dalam dengan tidak mengesampingkan fungsi-fungsi agama bagi individu dan masyarakat.
Keseluruhan sosiologi agama Berger menunjukkan sifat eklektik yang memang merupakan ciri khas Berger. Berger banyak mengambil alih teori Durkheim, Weber dan Marx dalam hal pemahaman realitas sosial dan realitas agama khususnya. Sedangkan berbagai macam asumsi tentang manusia yang berkaitan dengan konstitusi biologisnya, Berger sangat terpengaruh oleh pemikiran Gehlen, Plessner dan Portmann.
Dari Rudolf Otto, seorang ahli fenomenologi agama, Berger mengambil alih konsep bahwa agama merupakan sebuah mysterium tremendum et fascinosum. Sedangkan dari Martin Heidegger, seorang tokoh eksistensialisme, Berger mengambil anggapan bahwa manusia senantiasa hidup dalam keprihatinan dan kecemasan (Sorge und Angst). Berger menganggap bahwa pada dasarnya setiap individu akan selalu cemas menghadapi kematian sebagai peristiwa eksistensial yang tiba-tiba menerobos dalam hidup seseorang. Kecemasan tersebut menurut Berger merupakan dasar mengapa seseorang membutuhkan agama. Agama hingga kini tetap merupakan institusi yang paling mampu menjelaskan realitas kematian. Kematian oleh agama diberi serangkaian makna yang mendalam, sehingga seseorang yang beragama akan tetap menganggap bahwa kematiannya bermakna dan kecemasannya berkurang.
Agama dalam sosiologi Berger dipandang sebagai bagian integral dan penting artinya dalam susunan pengetahuan manusia. Agama merupakan bentuk pengetahuan manusia yang telah mencapai status objektif, tetapi sekaligus mempunyai makna subjektif yang mendalam. Dalam hubungan ini, walaupun Berger secara eksplisit menolak untuk mereduksikan realitas sosial yang satu ke dalam realitas sosial yang lain, tetapi ia telah melakukan reduksi agama ke dalam pengetahuan manusia.
Oleh karena itu, setiap usaha untuk memahami sosiologi agama Berger hendaknya didasari pemahaman yang memadai tentang proses konstruksi realitas sosial. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa agama merupakan stock of knowledge yang terdapat dalam setiap masyarakat. Agama menjadi berarti bukan karena keberadaannya sendiri, melainkan karena fungsi yang dijalankannya dalam pelanggengan dunia.
Read more...

Monday, November 24, 2008

Mentalitas Korupsi Mentalitas Pembusukan

Baru saja prahara melanda KPU Nasional. Sebagian besar anggotanya disinyalir terlibat dalam tindak pidana korupsi. Baru saja Abdullah Puteh, Nurdin Halid, dan tokoh-tokoh terkenal lainnya terjerat dalam hukum pidana korupsi. Tetapi, bukan suatu yang aneh, kalau kita mendapatkan banyak kesulitan tatkala kita mengurus KTP di kantor kelurahan atau mengurus berkas-berkas penting lainnya di kantor pemerintahan, kecuali kalau kita tahu diri dan memberikan ‘amplop’ kepada mereka.
Setiap tahun selalu ada tes masuk Pegawai Negeri, tetapi tak jarang posisi-posisi kosong justru diperjualbelikan tanpa mengikuti prosedur yang benar. Setiap tahun selalu ada penerimaan murid baru di sekolah-sekolah, tetapi tak jarang ada pungutan-pungutan liar yang tampaknya kelihatan wajar alih-alih tindakan korupsi juga. Namun, bukan suatu yang aneh, kalau setiap hari justru kita menjumpai praktek-praktek korupsi tingkat kecil-kecilan, seperti pembagian raskin (beras untuk orang miskin) yang tidak merata atau uang suap untuk polisi ketika ditilang.

Dari sini kita sadar bahwa korupsi bukanlah ‘barang’ baru, bukanlah suatu yang aneh dan unik. Setiap ada kesempatan, entah hasilnya besar ataupun kecil, entah terang-terangan ataupun sembunyi tangan, orang tergoda untuk melakukan korupsi.
Sebaliknya, kita tentu masih ingat dengan Edi Tansil di tahun 90-an yang merugikan negara dengan korupsi trilyunan rupiah. Kita juga masih ingat bobroknya Soeharto dan kroni-kroninya yang merugikan negara sebegitu besarnya. Namun, kita tahu Edi Tansil tak pernah tertangkap, dan kita juga tahu Soeharto selalu lolos dari hukuman. Sebenarnya ada apa dengan negara kita? Fenomena apa di balik semua kasus-kasus di atas?

Wajar saja jika masyarakat Indonesia pada umumnya jera dan cenderung apatis berhadapan dengan kasus-kasus korupsi? Kasus-kasus korupsi tersebut tidak pernah sampai pada titik akhir penyelesaian yang memuaskan. Penanganan kasus korupsi sering hanya muncul sebagai berita media yang bombastis, tetapi tidak sampai pada ketuntasannya.
Benturan yang sering terjadi berkisar pada bukti yang belum cukup kuat untuk membawa si terdakwa pada proses hukum. Penyebab lain adalah kurang tangguhnya badan hukum kita sehingga menyebabkan kebanyakan proses terputus di tengah jalan. Tetapi, benarkah alasan-alasan itu saja yang membuat tindak korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti dan para koruptornya tidak pernah jera?

Budaya Korupsi
Tindak Korupsi menjadi masalah klasik yang mau tidak mau turut mempengaruhi identitas bangsa kita meskipun tindakan tersebut bisa dikatakan hanya dilakukan oleh sebagaian dari bangsa ini. Sering dikatakan bahwa alasan orang melakukan korupsi adalah alasan ekonomi (Hendrawan Nadesul, Kompas 12 April 2005), gaji terlalu minim untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, di pihak lain, kita justru menyaksikan orang tetap korup ketika ia sudah memiliki penghasilan lebih dari cukup. Lalu, alasan apakah yang sebenarnya menjadi alasan orang melakukan korupsi?
Dalam pemikiran Susan Rose-Ackerman yang dituangkan dalam bukunya Corruption and Government; Cause, Consequences and Reform dijelaskan alasan mendasar penyebab korupsi adalah faktor budaya. Biasanya korupsi dikaitkan dengan sistem perekonomian. Dalam sistem perekenomian tersebut terkandung dimensi budaya yang ternyata sama di beberapa negara. Sesuai dengan apa yang disebutkan Rose-Ackerman, terdapat pemisahan jelas antara bribes (suap), gifts (hadiah), prices (harga), dan tips (tips). Pemisahan tersebut dapat dilihat pada kolom berikut:
Quid pro Quo Non explicit quid pro quo
Payment to principal Prices (harga) Gifts (hadiah)
Payment to agent Bribes (suap) Tips (tips)

Secara literal, Quid pro quo berarti something for something else atau something given or received for something else. Artinya, sesuatu diberikan oleh seseorang atau lembaga dengan maksud agar penerima memberi sesuatu yang lain pada si pemberi. Prices (harga) adalah pembayaran dengan uang atas nilai suatu barang atau jasa yang diberikan kepada si pemilik yang sah. Sedangkan bribes (suap) tidak seperti harga. Suap adalah suatu pembayaran atas suatu barang atau jasa yang diserahkan kepada ‘pemilik ilegal’ barang atau jasa tersebut. Yang dimasuk pemilik ilegal di sini adalah orang yang dipercaya oleh pemilik legal (sah) untuk menyimpan atau menjaga (bukan menjual) barang atau jasa itu. Maka, bila orang sudah melakukan pembayaran pada orang kepercayaan itu dengan harapan supaya ia melepaskan barang atau jasa itu, si pembayar sudah melakukan apa yang disebut suap.
Sedangkan, Non explicit quid pro quo berarti orang melakukan pembayaran dengan harapan bahwa orang yang menerima pembayaran itu, suatu ketika memberi balasan entah dalam bentuk barang atau jasa. Gifts (hadiah) bisa diberikan oleh seseorang atau badan tertentu kepada orang lain atau badan lain. Pemberian tersebut bisa diartikan bermacam-macam, mulai dari suapan halus sampai pada sekedar ‘demi persahabatan’.
Tips adalah model pembayaran yang akrab di telinga kita. Tips biasanya kita berikan kepada pelayan. Tips termasuk pembayaran kepada pemilik ilegal. Di balik tips tersebut sebenarnya terdapat maksud-maksud tersembunyi, yaitu supaya pemilik ilegal suatu ketika nanti memberikan pelayanan yang sama baiknya dengan yang sudah diberikan kepada si pembayar.
Dari keempat hal di atas dengan jelas kita melihat bahwa tips dan suap memiliki tujuan yang sama, yaitu sebagai enforcement. Bentuk enforcement tersebut salah satunya adalah trust (kepercayaan). Trust biasanya muncul dalam bentuk relasi pribadi. Ackerman dalam hal ini memberi contoh ikatan pribadi yang sering terjadi di sejumlah negara berkembang di Amerika Latin. Di sana terdapat istilah, “A los amigos todo, a los enemigos nada, al extrano la ley” (Bagi teman segalanya akan diberikan, bagi musuh tak sesuatu pun diberikan, dan bagi orang asing, hukumlah yang diberikan). Prinsip ini tentu saja terjadi juga di Indonesia. Ini dilakukan secara umum oleh oknum-oknum dalam lembaga pemerintahan, pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Andaikan saja salah satu dari mereka memiliki proyek yang beorientasi pribadi, mereka akan mendekati temannya yang memiliki posisi dalam pemerintahan atau posisi strategis lainnya. Lewat jalan itulah mereka bisa mengatur segalanya. Dan di sini pulalah korupsi menjadi potensial.
Korupsi, Siapa Takut?
Dalam bukunya Etika Politik dan Kekuasaan, Haryatmoko menyebutkan beberapa alasan mengapa orang tidak takut melakukan tindakan korupsi. Pertama, banyak orang telah melakukannya. Bila banyak orang melakukan berarti hal tersbut menjadi sesuatu yang biasa. Kebiasaan tersebut menciptakan hak. Dan, kalau salah satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab? Alasan ‘banyak yang melakukan’ dijadikan alibi tanggungjawab pribadi. Alasan tersebut juga sering menjadi argumen kuat untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan bersama adalah kebenaran (meskipun sebenarnya belum tentu demikian).
Alasan kedua adalah impunity (kebal hukum atau tiadanya sanksi hukum). Karena korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memegang kendali kekuasaan maka seakan-akan hukum tidak mempunyai taring yang tajam untuk menggigit sang pelaku. Kurangnya pengawasan juga menyebabkan kemungkinan terdeteksinya tindak korupsi semakin kecil. Bila pun ketahuan, masalah tersebut akan melibatkan banyak orang maka lebih baik didiamkan. Ditambah lagi, sering terjadi bahwa tim pembela pelaku korupsi memiliki kepiawaian membuat alibi yang melemahkan bukti hukum dan mementahkan keterangan saksi. Hal inilah yang malah sering menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi koruptor. Semua prosedur hukum kemudian dianggap sudah diikuti dengan benar dan sesuai asas keadilan, meskipun kenyataannya tidak. Dengan cara itu, koruptor terbebas dari rasa salah dan semakin merajalela.
Alasan ketiga adalah korban tindak korupsi sendiri. Dalam literatur bahasa kita, para koruptor sering disebut penjahat berkerah putih. Sebutan ini sebenarnya sudah sedikit meringankan beban si pelaku, sebab, mau tidak mau kita tidak akan menyamakan mereka dengan penjahat jalanan yang kalau tertangkap akan dianiaya massa dan bahkan dibunuh. Selain itu, pihak korban kejahatannya pun berbeda. Seorang penodong memiliki korban jelas—dengan kata lain, pencuri terlibat dalam wilayah private sector (sektor pribadi); sedangkan korban korupsi tidak langsung tampak sebagai pribadi. Kita akan mengatakan negaralah korbannya—dengan kata lain koruptor terlibat dalam ranah publik. Tetapi siapakah negara? Negara tidak pernah terlihat sedih terhadap semua itu. Bila kita mengatakan rakyat, siapakah rakyat itu? Rakyat tidak punya wajah, itu berarti anonim. Wajah yang tidak jelas inilah yang ikut mendukung si koruptor tidak pernah takut korupsi.
Alasan terakhir adalah ‘demi kepentingan umum’. Perasaan takut bersalah karena korupsi bisa saja hilang bila si pelaku memiliki kebiasaan korup (habitus korup). Apalagi bila akhirnya mereka memilki dalih ‘demi kepentingan umum’. Bisa saja bahwa hasil korupsi tersebut disisihkan untuk biaya pembangunan tempat ibadat atau membantu biaya operasional lembaga-lembaga swadaya. Bisa saja uang tilep tersebut digunakan untuk membangun perusahaan atau pabrik baru, dengan harapan kehadiran pabrik tersebut bisa menyerap tenaga kerja baru dan memberi nafkah banyak orang. Alasan ini akhirnya bisa meringankan rasa bersalah si pelaku.

Sintesa: The Whole System Corrupted
Melihat analisa di atas, kita semakin bisa memahami mengapa masyarakat Indonesia cenderung apatis terhadap tindakan korupsi. Seolah-olah korupsi bukanlah sesuatu yang jahat, melainkan menjadi bagian dari hidup kita. Koruptor kelas kakap saja bisa lolos, apalagi koruptor kelas teri.
Sikap apatis ini sebenarnya ingin menunjukkan mentalitas masyarakat kita sendiri. Apatis di sini bukan semata-mata ungkapan perasaan dari subjek yang berada di luar orang-orang yang koruptor. Tetapi justru ingin menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, yakni orang yang juga ikut terlibat korupsi, karena turut melanggengkan korupsi itu sendiri.
Apatis juga berarti suatu pengakuan bahwa korupsi adalah hal yang biasa. Dan karena biasa dan menjadi habitus, korupsi menjadi mentalitas umum yang bisa dikatakan juga sebagai budaya. Setidaknya coba kita perhatikan hidup sehari-hari kita. Tidak sedikit orang yang tidak jujur dalam laporan keuangan mereka bahkan di dalam keluarga sendiri antara suami-istri. Tidak sedikit anak-anak berani berbohong kepada orangtuanya tentang laporan pemakaian uang. Dan, tidak sedikit pelajar yang mencontek saat ulangan di sekolah—seringkali mencontek diidentikkan sebagai cikal-bakal dari tindakan korupsi.
Di mana-mana terjadi korupsi: di lembaga pemerintahan, perusahaan, sekolah, masyarakat, dan keluarga. Korupsi terjadi baik di tingkat makro maupun mikro. Semua sistem yang ada—baik nasional maupun privat—terkena virusnya. Jejaring raksasa nasional mengalami pembusukan karena mentalitas korupsi ini. Bak lingkaran setan, sekalipun kita mencoba menghindar, di situ kita akan tetap terjerat oleh korupsi itu sendiri.
Dengan sintesa ini, saya tidak ingin menyederhanakan begitu saja kompleksitas sistem makro maupun mikro dalam masyarakat Indonesia. Atau bahkan menisbikan usaha orang-orang yang benar-benar murni dengan itikad dan niat baik bertindak jujur dalam pekerjaannya. Sebaliknya, saya ingin menegaskan bahwa masalah korupsi bukanlah masalah bagi koruptor kelas kakap dan aparat hukum, melainkan masalah bagi seluruh bangsa Indonesia.


Seluruh Sistem Perlu Dibenahi
Bila seseorang melakukan tindakan korupsi, dampaknya tentu saja mengenai lembaga di mana dia bekerja, dan secara tidak langsung terhadap masyarakat yang menggunakan jasa lembaga tersebut. Tetapi, bila semua sistem melakukan korupsi berarti dampaknya sebegitu besarnya yakni kehidupan masyarakat yang tidak pernah menemui situasi adil dan sejahtera.
Melalui pendekatan struktural, guna melawan mentalitas korupsi, sistem di Indonesia mesti diperbaiki. Sebagaimana Aristoteles katakan, “Polis yang baik akan memberi ruang bagi warganegaranya untuk berkembang.” Maka, seharusnyalah sistem kenegaraan Indonesia ditata dengan baik, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk korupsi tidak terjadi.
Setidaknya ada 4 hal yang akan saya ajukan sebagai saran konstruktif dalam menghadapi sistem yang korupsi. Pertama, perbaikan struktur di setiap lembaga-lembaga, entah milik pemerintah maupun privat. Di lembaga tersebut mesti ada aturan yang jelas, yang tidak memberikan kesempatan bagi siapapun atau pihak manapun untuk mencuri-curi kesempatan melakukan korupsi.
Kedua, penegakan hukum yang jelas dan tegas. Inilah sisi yang paling penting untuk diperhatikan, karena mau tidak mau meliputi semua sistem yang ada—dan tentu saja karena sistem hukum kita masih begitu lemah. Hukum seharusnya tegas, tidak bisa didikte oleh siapapun, bahkan oleh orang yang berduit sekalipun. Hukum juga mesti adil, siapa yang mesti dihukum dan seberapa besar vonis yang diberikan.
Ketiga, perjuangan penuntutan hak warganegara yang terus-menerus. Masyarakat sejahtera adalah harapan semua warganegara, dan merupakan kewajiban negara untuk merealisasikannya. Dengan penuntutan hak ini, pemerintahan selalu dimonitor dalam kinerjanya, wakil-wakil rakyat selalu diingatkan untuk setia dalam memperjuangkan aspirasi rakyat (bukan lebih mengutamakan kepentingan partai atau bahkan kepentingan mereka sendiri). Bentuk perjuangan ini beraneka ragam, bisa lewat demo ataupun lewat kritik-kritik entah secara langsung maupun lewat tulisan di media massa.
Dan keempat, perlunya keterbukaan pers. Pers semestinya memberikan informasi yang benar dan tidak pilih-pilih. Dengan demikian, masyarakat menjadi tahu akan masalah-masalah yang sedang berkembang di Indonesia, dan mampu menanggapi masalah tersebut dengan kritis.

5 Sempurna: Tanggungjawab Pribadi
Banyaknya kasus korupsi di negara kita sekali lagi bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun bisa jadi faktor ekonomilah yang merupakan alasan terkuat dan rasional. Kita perlu juga mencurigai seberapa jauh bangsa kita bermoral. Moral selalu berkaitan dengan hati nurani dan lebih bersifat personal. Dengan demikian, tindak korupsi sudah semestinya merupakan tindakan yang melawan hati nurani karena merugikan orang lain, membuat orang lain miskin dan kelaparan (“Miskin karena korupsi”, Kompas, 16 Maret 2004).
Bila korupsi bersinggungan dengan hati nurani, fenomena yang seharusnya kita lihat adalah ‘rasa malu’ bila ketahuan korupsi. Pada kenyataannya, banyak orang dengan terang-terangan melakukan korupsi. Sebagai contoh dalam kasus kecil yang biasa terjadi kalau kita mengurus KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat penting lainnya di Kelurahan. Jelas-jelas tertulis “Pembuatan KTP tidak dipungut biaya”, pada kenyataannya pegawai kelurahan meminta sejumlah uang untuk satu tanda tangan Pak Lurah dan Pak Camat.
Hati nurani yang tumpul juga terlihat dari alasan-alasan orang yang melakkukan korupsi. Pertama, korupsi sebagai tindakan bersama. Seperti telah disinggung di atas, korupsi yang melibatkan banyak pihak membuat tindakan itu seakan-akan sah-sah saja. Kedua, korupsi hanyalah sarana untuk mengembalikan modal awal. Seringkali terjadi ketika orang yang harus membayar berjuta-juta untuk menjadi pegawai negeri. Korupsi yang dilakukan orang-orang yang sudah mengeluarkan uang banyak tersebut bisa saja dirasa wajar karena toh itu hanya untuk mengembalikan modal mereka.
Kejadian di atas sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sehingga orang melakukannya dengan tanpa rasa malu. Karena hal seperti itu sudah biasa, masyarakat pun menjadi terbiasa dengan cara demikian. Masyarakat selalu akan menyiapakan ‘amplop’ khusus untuk petugas-petugas birokrasi bila berurusan dengan mereka. Di lahan inilah seakan-akan budaya malu menjadi tidak jelas.
Maka dari itu, kesadaran korupsi harus diberantas dengan memulainya dari diri kita sendiri. Kalau masalah korupsi adalah masalah kita bersama, sepantasnyalah kita bersama-sama memulainya dari diri kita sendiri. Seperti kata-kata bijak, “Kejahatan bukan hanya datang karena kehendak, tetapi juga karena kesempatan.” Itu seakan-akan ingin mengingatkan kita bahwa setiap dari kita rentan terhadap kejahatan (korupsi). Maka apa yang dikatakan Aristoteles sangat berarti, “Keutamaan diperoleh bukan semata-mata melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik.” Pernyataan Aristoteles ini sepertinya mau menyangkal pandangan yang mengatakan bila orang tahu, otomatis bisa melakukannya. Seperti kebanyakan dari kita, kita tahu korupsi merugikan banyak pihak (terlebih rakyat), tetapi mengapa kita tidak bisa menghentikannya? Mungkin karena kita tidak memiliki habitus ‘no corruption!’
Read more...

Saturday, November 15, 2008

Menyuarakan Perubahan

Sejak runtuhnya Orde Baru, kebebasan berpendapat dan menentukan pilihan di negeri ini semakin mendapatkan tempatnya. Bahkan tidak tertutup pula kemungkinan adanya ruang kebebasan menentukan pilihan untuk tidak memilih alias golput.
Melihat data pemilu-pemilu yang berlangsung selama 10 tahun terakhir ini, tampak bahwa pertambahan jumlah golput cukup signifikan. Ada benarnya jika banyak pihak memperkirakan golput akan meningkat lagi pada pemilu 2009. Mengapa bisa demikian?

Golput adalah sebuah simbol yang mewakili suatu keadaan riil di dalam perpolitikan suatu negara. Selama partai-partai yang ada tidak mampu menjamin dan menjawab tuntutan kebutuhan dasar masyarakat, maka semakin banyak pula masyarakat yang menjadi ragu untuk mendukung partai tersebut. Apalagi, jika partai itu pernah berkuasa dan kemudian masyarakat menilai partai itu gagal dalam kepemerintahannya, maka masyarakat menjadi skeptis pula untuk memilihnya kembali. Belum lagi jika hal tadi didukung dengan tidak adanya partai alternatif yang diyakini mampu menjawab aspirasi masyarakat.

Tidak adanya figur yang pantas dari daftar calon yang dipilih juga menambah alasan masyarakat untuk menjadi golput. Kepantasan calon pemimpin tergantung dari sejauhmana figur tersebut bisa diterima di hati masyarakat. Pemilihan Presiden Amerika Serikat baru-baru ini bisa menjadi sebuah contoh yang bagus untuk menggambarkan seorang calon pemimpin yang bisa diterima di hati masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat meningkat, dan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu juga lebih besar.
Namun, makna dari simbolisasi pilihan golput tidak hanya itu saja. Di balik skeptisisme masyarakat terhadap calon-calon pemimpin dan partai-partai yang ada, pilihan golput juga mengusung maksud mulia. Orang berani memilih golput karena mereka yakin bahwa sistem kepemerintahan yang berlangsung sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh dari harapan dan keinginan hati masyarakat. Oleh karena itu, golput berarti juga menandakan gerakan masyarakat yang menginginkan suatu perubahan. Semakin banyak orang yang memilih golput, maka semakin menjadi jelas bahwa perubahan itu perlu dilaksanakan dan sifatnya menjadi mutlak.
Permasalahan yang mendasar adalah bahwa golput adalah “partai” yang tidak punya partai, rakyat yang tidak punya wakil rakyat. Seperti nabi yang menyuarakan kritik di tengah hiruk pikuk kekacauan hidup umatnya, maka golput pun sebenarnya bermaksud senada. Mereka menyuarakan perubahan, tetapi seperti “anjing menggonggong kafilah berlalu,” berteriak tetapi tiada yang mendengarkan.
Maka dari itu, fenomena bertambahnya golput merupakan ladang yang subur bagi perkembangan demokrasi suatu negara. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dari kelompok inilah akan muncul calon-calon pemimpin yang mampu membawa perubahan, yang mampu membawa aspirasi rakyat, sekaligus mengusung partai-partai yang berani menjamin kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada masyarakat.
Bagaikan pedang bermata dua, golput menandakan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung, sekaligus gelombang positif dari masyarakat yang menginginkan perubahan. Bila mengharapkan peningkatan minat masyarakat untuk datang ke pemungutan suara, maka calon-calon pemimpin dan partai-partai harus berani menyuarakan perubahan. Semoga!***

Dom Octariano Widiantoro,
Mahasiswa Bacaloreat Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

-kompas yogya, 14 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/14/10373672/menyuarakan.perubahan.
Read more...

Saturday, November 8, 2008

Mumpung Jadi Pejabat

Sudah terlalu jengah kita mendengar pejabat negara menggunakan jurus aji mumpung ketika mereka sedang mengemban mandat dari negara. Entah mereka berasal dari pemerintahan daerah atau pemerintahan pusat, sama saja. Mereka seolah-olah mencari kesempatan dalam kesempitan. Kali ini pelakonnya adalah anggota KPU. Mereka rencananya akan melakukan supervisi dan sosialisasi Pemilu 2009 ke 14 kota di 5 benua, alih-alih sebenarnya hanya bermaksud jalan-jalan selagi mumpung jadi pejabat.

Menurut sejumlah anggota KPU, kunjungan yang akan dijalankan secara estafet ini sangat penting, dan karenanya harus dilaksanakan. Mereka beralasan bahwa kunjungan untuk sosialisasi ini tidak bisa diwakilkan oleh staf setjen KPU atau deplu dan bahkan tidak bisa dilakukan satu orang anggota KPU saja. Mereka yakin dengan hadirnya dua anggota KPU, mereka bisa saling melengkapi dalam menjelaskan detail-detail tentang pemilu.

Suatu hal yang aneh jika memang KPU memaksa diri untuk pergi. Dalam kondisi dan situasi yang cukup mendesak seperti sekarang ini, serta agenda persiapan pemilu yang menumpuk, semestinya KPU harus berani memilah dan memilih prioritas-prioritas. Sosialisasi pemilu ke luar negeri penting tetapi untuk saat ini bukanlah yang terpenting. Sejauh ini persiapan pemilu di dalam negeri justru mengkhawatirkan. Masih banyak persoalan yang masih perlu diperhatikan, antara lain daftar pemilih sementara (DPS), pengajuan calon legislatif, desain surat suara, dan masalah penyusunan kode etik penyelenggara pemilu (Kompas, 8 September). Tapi bila KPU tetap saja menutup mata dan mendengar seperti angin lalu persoalan-persoalan tadi, itu berarti mereka tidak bisa menentukan the priority among priorities.

Selain itu, rencana KPU untuk sosialisasi pemilu ke luar negeri kurang bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, mereka tidak siap. KPU berjanji akan menyelesaikan desain surat suara dan tatacara pemberian suara dalam 1 minggu. Padahal itu tidak mungkin. Persoalan surat suara membutuhkan simulasi dan jika KPU terburu-buru mengesahkan tanpa ujicoba langsung oleh masyarakat, maka akibatnya nanti pada saat hari-H pemilu, akan terjadi kebingungan dan kemungkinan akan banyak surat suara yang tidak sah. Kedua, cara mereka tidak efektif. Dari 14 kota yang akan dikunjungi, rata-rata jumlah pemilih warga Indonesia sangat sedikit. Di Cape Town, Afrika Selatan misalnya, jumlahnya hanya 52 orang. Sementara di Havana, Kuba malahan hanya 43 orang. Bahkan belum tentu semua warganegara Indonesia di negara itu bisa hadir pada saat sosialisasi, sebab berlangsung pada jam kerja. Jumlah itu jelas tidak sebanding dengan besarnya biaya perjalanan yang akan dikeluarkan oleh negara. Lebih baik, sosialisasi ini diserahkan kepada dubes atau konsul dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) negara setempat. Ketiga, anggaran yang dipakai untuk sosialisasi ke luar negeri ini tidak jelas dan tidak transparan. Bagaimana mungkin KPU tetap akan ngotot pergi, padahal dana sosialisasi pemilu di dalam negeri sendiri —prioritas yang lebih penting— malah belum ada.

Meskipun KPU punya legitimasi hukum untuk membenarkan rencana mereka pergi menyosialisasikan pemilu keluar negeri, kerancuan-kerancuan di atas sudah cukup menunjukkan tindakan mereka sebenarnya hanyalah aji mumpung belaka. Ketidaksiapan, ketidakefektifan, ketidakmampuan memilih prioritas jelas di sini menunjukkan yang penting bagi mereka ke luar negeri bukanlah sosialisasinya, tetapi jalan-jalannya. Seperti peribahasa berbunyi “Lain galang, lain perahu yang disorong”, berlainan perbuatan daripada tujuannya.

Tetapi memang cara seperti inilah yang mungkin paling aman dilakukan pejabat pemerintah —seperti KPU— untuk menggunakan anggaran belanja tanpa dituding korupsi. Dalihnya sosialisasi pemilu, dalihnya studi banding tetapi ternyata maksud sesungguhnya (intentio recta) tak pernah kesampaian. Sungguh ironis. Di tengah-tengah usaha kita dalam memperbaiki sistem kepemerintahan, ternyata masih ada saja segelintir orang yang coba-coba mengkhianatinya. Lagi-lagi ya karena mentalitas itu tadi, khan mumpung jadi pejabat!***

Read more...

Sunday, November 2, 2008

Deindividuasi dan Tanggungjawab Hukum

Ibarat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, peluang sekecil apapun pastilah akan digunakan oleh orang yang terkena masalah hukum untuk bebas dari hukum itu, termasuk jika peluang itu terlihat lewat cara mendekati aparat penegak hukum.
Kasus kaburnya seorang koruptor kelas kakap yang disebabkan oleh longgarnya hukum dan adanya konspirasi dari penegak hukum menjadi gambaran betapa buruknya kondisi hukum di Indonesia saat ini. Hal ini semakin diperparah oleh tindakan para penegak hukum sendiri, yang terkesan saling lempar tanggungjawab atas pengusutan kasus tersebut. Padahal, kalau ada semangat kebersamaan yang bertanggungjawab di antara penegak hukum, kecil kemungkinan koruptor bisa kabur. Maka benarlah ucapan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, “….supaya koruptor tidak bisa kabur, pengadilan, kejaksaan, kepolisian jangan suka penangguhan.”

Deindividuasi
Membuka ruang konspirasi, yang lebih dikenal dengan istilah sogokan, terhadap koruptor untuk kabur adalah fenomena penegasan yang membuktikan kurangnya tanggungjawab para penegak hukum terhadap peran yang dipercayakan padanya. Sedangkan tindakan saling melempar tanggungjawab antar penegak hukum lantaran kaburnya seorang koruptor, adalah upaya mereka untuk “cuci tangan” atau mau menghindar dari keburukan tersebut. Lalu siapakah yang mesti bertangungjawab?
Kondisi lemahnya tanggungjawab ini menandakan sebuah gejala deindividuasi dalam kesadaran hukum kita. Deindividuasi adalah hilangnya tanggungjawab pribadi yang menjadikan kepedulian seseorang berkurang terhadap akibat-akibat dari tindakan-tindakannya (Zimbardo, 1970). Akibatnya, seseorang menjadi lemah dalam kesadaran diri untuk melakukan suatu kewajiban moral ataupun hukum. Padahal tanggungjawab hukum bukanlah beban segelintir orang saja, melainkan segenap individu dengan segala tugas dan kedudukan yang diampunya.
Gejala deindividuasi di dalam tubuh penegak hukum mengakibatkan lembaga ini tidak berjalan dengan efektif sebagaimana mestinya. Hukum yang seharusnya ditegakkan sebaliknya malahan dicampakkan. Koruptor yang semestinya dihukum dan dipenjara, malah bisa bebas dengan status tidak bersalah. Keadilan yang semestinya diutamakan dan dijunjung tinggi, malahan ditelantarkan. Maka, jangan kaget jika hukum kita ternyata bisa dihargai dengan sepeser uang.

Anonimitas Pelaku
Faktor kunci dalam deindividuasi adalah anonimitas (Forsyth, 1990). Apa saja yang membuat seseorang menjadi kurang dapat dikenali secara pribadi dapat meningkatkan efek deindividuasi. Makin anonim seseorang, makin berkurang tanggungjawab mereka atas tindakan-tindakan mereka. Akibatnya, anonimitas mendorong terbentuknya tingkahlaku yang tidak bertanggungjawab.
Dengan anominitas pada dirinya, seorang aparat hukum berani berkonspirasi, dengan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang semestinya harus ia kerjakan. Sebaliknya, ia justru berani menerima tawaran untuk bersekongkol, yang tentunya berujung pada sebuah imbalan harga yang layak atas “jasanya” itu. Selanjutnya, anonimitas membuat aparat hukum lepas tangan atas tindakan “buruk” yang dilakukannya itu. Cirinya sangat jelas, yaitu upaya lempar-melempar tanggungjawab. Padahal tanggungjawab itu sebenarnya adalah tanggungan mereka sendiri. Anonimitas menciptakan kekaburan tanggung jawab yang membuat seseorang tidak merasa bersalah atas perbuatan salah yang telah dilakukannya.

Reformasi Menyeluruh
Memang patut disayangkan bahwa di tengah-tengah upaya pemerintah negeri kita untuk semakin memajukan kualitas penegakan hukum, gejala deindividuasi ini masih membudaya. Maraknya pemberitaan di media massa yang menyorot soal koruptor yang dinyatakan bebas tak bersalah tersebut, menunjukkan sebuah realitas yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, persoalan besar itu tidak hanya berdampak di masa sekarang, tetapi dampaknya akan merambat hingga ke masa depan. Kini kita sadar bahwa ada persoalan lain dari lemahnya hukum kita, yaitu sikap deindividuasi ini.
Dalam kesadaran adanya bahaya akibat deindividuasi tersebut, kiranya tidak bijak jika kita menumpahkan semua kesalahan hanya penegak hukum yang melakukan konspirasi itu. Sebab persoalan tanggungjawab hukum bukan hanya sebatas pada penegak hukum saja. Persoalan itu adalah sebuah fenomena gunung es dari kesadaran hukum kita. Gejala deindividuasi sebenarnya lebih meluas dalam masyarakat kita. Kita cenderung begitu mudah untuk tidak bertanggungjawab dan bersikap permisif terhadap kejahatan yang terjadi di depan mata kita. Kita lebih banyak bertindak mengambil jarak dan menempatkan diri dalam posisi aman untuk lepas tangan dari kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya kita tuntaskan bersama itu.
Maka, menjadi semakin jelas bahwa gejala deindividuasi yang mencuat di negeri kita ini, harus dibongkar. Tanggungjawab hukum adalah tanggungjawab bersama semua orang yang mengharapkan sebuah kenyataan hukum yang adil.
Anonimitas tidak jauh beda dari sebuah topeng. Kita sebagai bangsa tentunya tidak mau menjadi bangsa yang tidak punya identitas.
Sekalipun pembongkaran deindividuasi ini lebih banyak dituntut realisasinya pada lembaga penegak hukum kita, tetapi bila kita benar-benar mengharapkan bangsa yang menjunjung tinggi hukum, semestinyalah semua elemen masyarakat ikut serta melakukan reformasi diri. Kita tentu akan semakin bangga menjadi bangsa yang memiliki identitas.
Read more...

Tuesday, October 28, 2008

Kontroversi Hukuman Mati dan Tantangan Etisnya

Masalah hukuman mati sudah didiskusikan di banyak negara oleh para ahli hukum, filsuf, teolog dan para ilmuwan sosial. Dari semua diskusi itu, pertanyaan pokoknya tetap sama: apakah hukuman mati diperbolehkan. Pertanyaan ini bersifat moral. Oleh karena itu, cukup menarik bagi kelompok kami untuk menelusuri lebih jauh dan mendiskusikannya.

Historisitas Pidana Hukuman Mati
Jejak hukuman mati dapat kita telusuri sampai ke tradisi yang sangat kuno. Dalam umat Ibrani kuno ada hukum yang dikenal sebagai hukum Hammurabi. Isi pokok hukum ini menyebutkan bahwa suatu kerugian harus ditebus dengan denda atau retribusi yang sama nilainya: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, hukum ini menerapkan hukuman mati secara tidak pandang bulu. Cara eksekusi yang paling lazim adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Masyarakat Yunani kuno pun mempraktekkan hukuman mati. Kasus Sokrates yang dieksekusi dengan minuman racun adalah salah satu buktinya. Sokrates dihukum mati dengan tuduhan mempraktekkan agama baru dan ajarannya berpengaruh buruk terhadap kaum muda sezamannnya. Dari catatan Plato yang berjudul Euthyphron kita mengetahui bahwa menolak dan menghina dewa yang umum disembah oleh masyarakat suatu polis merupakan bentuk ketidaksalehan dan diancam dengan hukuman mati.

Di Inggris dalam abad ke-13 semua jenis kejahatan tanpa pandang bulu diancam dengan hukuman mati, kecuali kecurangan ringan dan pencurian barang-barang yang tak seberapa merugikan. Hukuman yang berat ini agaknya berhasil menurunkan jumlah kejahatan. Sepanjang abad ke-15, misalnya, tercatat hanya 17 eksekusi mati.
Di Indonesia sendiri hukuman mati masih diakui oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 140 (3) menyatakan: “Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Sedangkan pasal 340 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Pasal-pasal tentang pidana mati tersebut dan juga seluruh KUHP sebenarnya merupakan terjemahan dari kita hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1918. Padahal, di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.


Etiskah hukuman mati itu?
Perdebatan etiskah hukuman mati adalah perdebatan yang terjadi di antara aliran utilitarianisme-retributivisme dan aliran abolisionisme. Aliran utilitarianisme memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di masa depan dari suatu hukuman. Teori ini sebetulnya merupakan bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya. Hukuman sebagai suatu tindakan kepada seorang penjahat dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena terhukum terbukti bersalah melawan hukum, melainkan karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum, korban dan juga orang-orang lain dalam masyarakat. Misalnya, secara positif hukuman dapat membuat jera si terhukum sehingga kelak tidak pernah akan mengulangi kesalahannya; hukuman dapat meredakan perasaan balas dendam pada si korban dan keluarganya; dan hukuman dapat berfungsi sebagai penangkal kejahatan dalam masyarakat. Bila hukuman mati dikenakan pada si terhukum, maka hukuman ini berfungsi preventif ke depan. Maksudnya hukuman ini efektif untuk penjahat-penjahat yang lain; membuat rasa takut (efek penjeraan) untuk melakukan perbuatan yang sama, dan menangkal (efek penangkalan) terjadinya kejahatan yang sama.
Sebaliknya aliran retributivisme mencari pendasaran hukuman dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut teori ini, hukuman diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya. Dengan kata lain, pertimbangan moralnya terletak pada perihal keadilan suatu hukuman. Artinya secara moral suatu hukuman dapat dibenarkan hanya sejauh hukuman itu ditakar sebagai retribusi terhadap kesalahan sudah terbukti. Setiap orang yang sudah terbukti kesalahannya layak dihukum adalah suatu hal yang adil dan karena itu dibenarkan untuk dihukum. Kesalahan yang sudah dibuktikan secara legal merupakan satu-satunya dasar mengapa lembaga negara berhak dan berkewajiban menghukumnya. Keadilan di sini berarti hukuman harus seimbang dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Dua tokoh yang berpengaruh dalam aliran retributivisme adalah Kant dan Hegel. Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut: “Hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karea si individu terhukum terbukti melakukan suatu kejahatan.” Sedangkan Hegel menganggap hukuman sebagai ekspresi General Will. Bagi Hegel bertindak melawan hukum berarti menentang General Will (= kehendak bebas yang sejati dan “absolut” dari si subyek). Hanya, dalam tindakan jahatnya, kehendak bebas sejati itu dilawan dan dikalahkan oleh kebebasan arbitrer. Jadi tindakan kejahatan pada dasarnya tidak saja melukai dan menyengsarakan orang lain (korban), tidak saja hanya menentang general will dan secara tak langsung berarti juga memperlakukan orang lain (masyarakat) secara tidak benar, tetapi juga menentang general will dalam diri si pelaku sendiri dan melukainya. Maka, hukuman dibenarkan tidak saja demi pemulihan si korban dan hukum yang sudah dilanggar, tapi juga demi kepentingan si pelaku sendiri.
Dari kedua aliran ini muncul pertanyaan apakah melalui ancaman hukuman mati dan dengan jenis hukuman ini, kejahatan-kejahatan kriminal yang paling serius dapat ditangkal secara efektif? Pertanyaan ini menjadi bagian dari umpan balik dari kaum abolisionis yang memandang tinggi martabat manusia. Bagi mereka hukuman mati selalu dianggap sebagai suatu kontroversi. Betapa tidak, dalam hukum yang sama, dipatok baik larangan membunuh maupun perintah hukuman mati. Lepas dari sistem hukum yang berlaku, dewasa ini ada semacam pandangan umum bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Argumen abolisionis yang menentang hukuman mati adalah pandangannya mengenai hak untuk hidup. Hukuman mati tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hak untuk hidup yaitu hak yang paling fundamental, absolut dan luhur yang dimiliki oleh setiap manusia dan karena itu harus dihargai bahkan pada seorang pembunuh. Argumen kedua menentang pandangan utilitarian bahwa hukuman mati sebagai bentuk penjeraan tidaklah efektif. Bagaimana mungkin orang yang mati karena dihukum mati akan menjadi jera karena kematian itu sendiri memutuskan kesadaran untuk menjadi jera. Tapi bila hukuman itu diganti dengan hukuman seumur hidup tentu saja aspek penjeraan akan menjadi efektif. Argumen yang lain, hukuman mati sama sekali bertentangan dengan pengakuan terhadap keluhuran hidup manusia. Artinya suatu kehidupan yang bernilai begitu tinggi tidak patut dipakai sebagai sarana penjeraan ataupun sebagai retribusi. Apalagi dalam hal ini nilai hidup kalah daripada nilai penjeraan. Maka dari itu argumen kaum abolisionis inilah yang bisa dipakai untuk menentang hukuman mati.

Studi kasus: Hukuman mati bagi aktor utama peristiwa bom Bali
Sekarang kita melihat ke salah satu contoh yang paling konkret, yakni kasus bom Bali. Beberapa waktu lalu sudah diputuskan bahwa ada 3 pelaku utama pengeboman yang dihukum mati, yakni Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron. Permasalahannya sekarang tidak hanya berkaitan dengan kontroversi hukuman mati itu etis atau tidak, tetapi juga nilai-nilai agamis yang dipegang oleh pelaku. Tetapi, untuk membatasi pembahasan kasus ini, motivasi Amrozi yang bersifat agamis tersebut tidak akan dibahas secara mendetail.
Pertama, dalam kasus ini kita mencermati dan mengkritisi bagaimana hukuman mati dijalankan (proses eksekusi) oleh aparat dimana negara Indonesia menerapkan eksekusi tembak mati. Hukuman ini berlangsung secara tertutup. Bila proses eksekusi ini diterapkan kepada para pelaku bom Bali yang dipidana hukuman mati, kita mempertanyakan sudut utilitariannya. Apakah fungsi penjeraan (utilitarian) akan efektif dengan model eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan secara tertutup? Di banyak negara yang menggunakan hukuman mati, fungsi penjeraan berjalan secara efektif karena dilaksanakan di muka umum, tetapi di Indonesia tidak.
Bila dikaitkan dengan kelompok Amrozi cs yang masih berkeliaran dan suatu waktu akan memanfaatkan suatu momen yang sama demi nilai-nilai yang dihayatinya belum tentu juga akan menjadi takut dan jera untuk tidak melakukan pengeboman. Mengapa? Karena menurut anggapan mereka hukuman mati sudah barang tentu jalan untuk bertemu Tuhan. Jadi bagi mereka hukuman mati itu sendiri tidak mempunyai efek penjeraan dan menakutkan.
Kedua, ditinjau dari sudut retributivisme. Hukuman mati yang dijatuhkan adalah suatu tindakan adil karena sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Tapi kompensasi keadilan ini tetap tidaklah adil karena kita sendiri (masyarakat) yang membuat larangan jangan membunuh justru melakukan pembunuhan dengan dasar hukum (dilegalkan). Ini menunjukkan suatu kontradiksi dalam teori retribusi.
Ketiga, kembali ke teori hukum kodrat, yang dikuatkan oleh kaum abolisionis. Kalau memang hukuman mati yang dijatuhkan kepada Amrozi dkk itu adalah adil, apakah dengan demikian nilai adil lebih tinggi dari nilai kehidupan. Tentu saja, nilai hidup lebih tinggi di atas segala-galanya. Dan sudah sepantasnyalah kalau hukum-hukum yang ada dibuat berdasarkan nilai moral.

Kesimpulan
Dengan segala pertimbangan, argumentasi dan analisis yang sudah dibuat, baik yang pro maupun yang kontra, dari sudut pandang etika, hukuman mati bukanlah suatu tindakan etis apalagi dikatakan bermoral. Justru dengan memberikan kesempatan hidup bagi terpidana bom Bali misalnya dengan menjatuhi mereka hukuman penjara, maka poin-poin yang diajukan berbagai paham etika yang berkaitan seperti hukum kodrat, utilitarian, maupun retributif akan terwakili/terjawab. Mengapa? Karena pada dasarnya manusia itu dinamis. Dalam masa menjalani pidana penjara ada kemungkinan di mana terdakwa sadar (jera) akan perbuatannya setelah diberi kesempatan untuk berpikir/berefleksi ulang atas tindakannya. Dia akan mengoreksi tindakannya sebagai suatu kesalahan. Lebih jauh putusan menjatuhi hukuman penjara dan bukan hukuman mati adalah suatu putusan yang adil, karena ini menunjukkan kita (masyarakat) konsisten dengan larangan untuk membunuh. Maka dari itu, sikap penolakan terhadap hukuman mati bagi para pelaku pengeboman/pembunuhan tersebut menunjukkan konsistensi pandangan etika karena lebih rasional, objektif dan universal; apalagi siapakah sebenarnya yang punya kuasa kehidupan, kecuali Sang Kehidupan itu sendiri.
Sebagai catatan tambahan, bila ternyata ada beberapa pihak merasa dirugikan dengan tidak dihukum matinya Amrozi cs (misalnya pihak Australia karena banyak korban adalah warga negara Australia), kami akan bertanya apakah kerugian itu bisa menjawab persoalan hukuman mati sendiri (karena hukuman mati justru tidak akan menebus/mengembalikan kerugian nyawa yang menjadi korban, kecuali malahan menambah korban). Selain itu, bila hukuman mati jadi dilaksanakan sehingga pihak tertentu (misalnya keluarga dari para korban) merasa puas, apakah dengan demikian ‘rasa puas’ itu menjadi tindakan yang pantas dan etis?
Read more...