Monday, November 24, 2008

Mentalitas Korupsi Mentalitas Pembusukan

Baru saja prahara melanda KPU Nasional. Sebagian besar anggotanya disinyalir terlibat dalam tindak pidana korupsi. Baru saja Abdullah Puteh, Nurdin Halid, dan tokoh-tokoh terkenal lainnya terjerat dalam hukum pidana korupsi. Tetapi, bukan suatu yang aneh, kalau kita mendapatkan banyak kesulitan tatkala kita mengurus KTP di kantor kelurahan atau mengurus berkas-berkas penting lainnya di kantor pemerintahan, kecuali kalau kita tahu diri dan memberikan ‘amplop’ kepada mereka.
Setiap tahun selalu ada tes masuk Pegawai Negeri, tetapi tak jarang posisi-posisi kosong justru diperjualbelikan tanpa mengikuti prosedur yang benar. Setiap tahun selalu ada penerimaan murid baru di sekolah-sekolah, tetapi tak jarang ada pungutan-pungutan liar yang tampaknya kelihatan wajar alih-alih tindakan korupsi juga. Namun, bukan suatu yang aneh, kalau setiap hari justru kita menjumpai praktek-praktek korupsi tingkat kecil-kecilan, seperti pembagian raskin (beras untuk orang miskin) yang tidak merata atau uang suap untuk polisi ketika ditilang.

Dari sini kita sadar bahwa korupsi bukanlah ‘barang’ baru, bukanlah suatu yang aneh dan unik. Setiap ada kesempatan, entah hasilnya besar ataupun kecil, entah terang-terangan ataupun sembunyi tangan, orang tergoda untuk melakukan korupsi.
Sebaliknya, kita tentu masih ingat dengan Edi Tansil di tahun 90-an yang merugikan negara dengan korupsi trilyunan rupiah. Kita juga masih ingat bobroknya Soeharto dan kroni-kroninya yang merugikan negara sebegitu besarnya. Namun, kita tahu Edi Tansil tak pernah tertangkap, dan kita juga tahu Soeharto selalu lolos dari hukuman. Sebenarnya ada apa dengan negara kita? Fenomena apa di balik semua kasus-kasus di atas?

Wajar saja jika masyarakat Indonesia pada umumnya jera dan cenderung apatis berhadapan dengan kasus-kasus korupsi? Kasus-kasus korupsi tersebut tidak pernah sampai pada titik akhir penyelesaian yang memuaskan. Penanganan kasus korupsi sering hanya muncul sebagai berita media yang bombastis, tetapi tidak sampai pada ketuntasannya.
Benturan yang sering terjadi berkisar pada bukti yang belum cukup kuat untuk membawa si terdakwa pada proses hukum. Penyebab lain adalah kurang tangguhnya badan hukum kita sehingga menyebabkan kebanyakan proses terputus di tengah jalan. Tetapi, benarkah alasan-alasan itu saja yang membuat tindak korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti dan para koruptornya tidak pernah jera?

Budaya Korupsi
Tindak Korupsi menjadi masalah klasik yang mau tidak mau turut mempengaruhi identitas bangsa kita meskipun tindakan tersebut bisa dikatakan hanya dilakukan oleh sebagaian dari bangsa ini. Sering dikatakan bahwa alasan orang melakukan korupsi adalah alasan ekonomi (Hendrawan Nadesul, Kompas 12 April 2005), gaji terlalu minim untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, di pihak lain, kita justru menyaksikan orang tetap korup ketika ia sudah memiliki penghasilan lebih dari cukup. Lalu, alasan apakah yang sebenarnya menjadi alasan orang melakukan korupsi?
Dalam pemikiran Susan Rose-Ackerman yang dituangkan dalam bukunya Corruption and Government; Cause, Consequences and Reform dijelaskan alasan mendasar penyebab korupsi adalah faktor budaya. Biasanya korupsi dikaitkan dengan sistem perekonomian. Dalam sistem perekenomian tersebut terkandung dimensi budaya yang ternyata sama di beberapa negara. Sesuai dengan apa yang disebutkan Rose-Ackerman, terdapat pemisahan jelas antara bribes (suap), gifts (hadiah), prices (harga), dan tips (tips). Pemisahan tersebut dapat dilihat pada kolom berikut:
Quid pro Quo Non explicit quid pro quo
Payment to principal Prices (harga) Gifts (hadiah)
Payment to agent Bribes (suap) Tips (tips)

Secara literal, Quid pro quo berarti something for something else atau something given or received for something else. Artinya, sesuatu diberikan oleh seseorang atau lembaga dengan maksud agar penerima memberi sesuatu yang lain pada si pemberi. Prices (harga) adalah pembayaran dengan uang atas nilai suatu barang atau jasa yang diberikan kepada si pemilik yang sah. Sedangkan bribes (suap) tidak seperti harga. Suap adalah suatu pembayaran atas suatu barang atau jasa yang diserahkan kepada ‘pemilik ilegal’ barang atau jasa tersebut. Yang dimasuk pemilik ilegal di sini adalah orang yang dipercaya oleh pemilik legal (sah) untuk menyimpan atau menjaga (bukan menjual) barang atau jasa itu. Maka, bila orang sudah melakukan pembayaran pada orang kepercayaan itu dengan harapan supaya ia melepaskan barang atau jasa itu, si pembayar sudah melakukan apa yang disebut suap.
Sedangkan, Non explicit quid pro quo berarti orang melakukan pembayaran dengan harapan bahwa orang yang menerima pembayaran itu, suatu ketika memberi balasan entah dalam bentuk barang atau jasa. Gifts (hadiah) bisa diberikan oleh seseorang atau badan tertentu kepada orang lain atau badan lain. Pemberian tersebut bisa diartikan bermacam-macam, mulai dari suapan halus sampai pada sekedar ‘demi persahabatan’.
Tips adalah model pembayaran yang akrab di telinga kita. Tips biasanya kita berikan kepada pelayan. Tips termasuk pembayaran kepada pemilik ilegal. Di balik tips tersebut sebenarnya terdapat maksud-maksud tersembunyi, yaitu supaya pemilik ilegal suatu ketika nanti memberikan pelayanan yang sama baiknya dengan yang sudah diberikan kepada si pembayar.
Dari keempat hal di atas dengan jelas kita melihat bahwa tips dan suap memiliki tujuan yang sama, yaitu sebagai enforcement. Bentuk enforcement tersebut salah satunya adalah trust (kepercayaan). Trust biasanya muncul dalam bentuk relasi pribadi. Ackerman dalam hal ini memberi contoh ikatan pribadi yang sering terjadi di sejumlah negara berkembang di Amerika Latin. Di sana terdapat istilah, “A los amigos todo, a los enemigos nada, al extrano la ley” (Bagi teman segalanya akan diberikan, bagi musuh tak sesuatu pun diberikan, dan bagi orang asing, hukumlah yang diberikan). Prinsip ini tentu saja terjadi juga di Indonesia. Ini dilakukan secara umum oleh oknum-oknum dalam lembaga pemerintahan, pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Andaikan saja salah satu dari mereka memiliki proyek yang beorientasi pribadi, mereka akan mendekati temannya yang memiliki posisi dalam pemerintahan atau posisi strategis lainnya. Lewat jalan itulah mereka bisa mengatur segalanya. Dan di sini pulalah korupsi menjadi potensial.
Korupsi, Siapa Takut?
Dalam bukunya Etika Politik dan Kekuasaan, Haryatmoko menyebutkan beberapa alasan mengapa orang tidak takut melakukan tindakan korupsi. Pertama, banyak orang telah melakukannya. Bila banyak orang melakukan berarti hal tersbut menjadi sesuatu yang biasa. Kebiasaan tersebut menciptakan hak. Dan, kalau salah satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab? Alasan ‘banyak yang melakukan’ dijadikan alibi tanggungjawab pribadi. Alasan tersebut juga sering menjadi argumen kuat untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan bersama adalah kebenaran (meskipun sebenarnya belum tentu demikian).
Alasan kedua adalah impunity (kebal hukum atau tiadanya sanksi hukum). Karena korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memegang kendali kekuasaan maka seakan-akan hukum tidak mempunyai taring yang tajam untuk menggigit sang pelaku. Kurangnya pengawasan juga menyebabkan kemungkinan terdeteksinya tindak korupsi semakin kecil. Bila pun ketahuan, masalah tersebut akan melibatkan banyak orang maka lebih baik didiamkan. Ditambah lagi, sering terjadi bahwa tim pembela pelaku korupsi memiliki kepiawaian membuat alibi yang melemahkan bukti hukum dan mementahkan keterangan saksi. Hal inilah yang malah sering menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi koruptor. Semua prosedur hukum kemudian dianggap sudah diikuti dengan benar dan sesuai asas keadilan, meskipun kenyataannya tidak. Dengan cara itu, koruptor terbebas dari rasa salah dan semakin merajalela.
Alasan ketiga adalah korban tindak korupsi sendiri. Dalam literatur bahasa kita, para koruptor sering disebut penjahat berkerah putih. Sebutan ini sebenarnya sudah sedikit meringankan beban si pelaku, sebab, mau tidak mau kita tidak akan menyamakan mereka dengan penjahat jalanan yang kalau tertangkap akan dianiaya massa dan bahkan dibunuh. Selain itu, pihak korban kejahatannya pun berbeda. Seorang penodong memiliki korban jelas—dengan kata lain, pencuri terlibat dalam wilayah private sector (sektor pribadi); sedangkan korban korupsi tidak langsung tampak sebagai pribadi. Kita akan mengatakan negaralah korbannya—dengan kata lain koruptor terlibat dalam ranah publik. Tetapi siapakah negara? Negara tidak pernah terlihat sedih terhadap semua itu. Bila kita mengatakan rakyat, siapakah rakyat itu? Rakyat tidak punya wajah, itu berarti anonim. Wajah yang tidak jelas inilah yang ikut mendukung si koruptor tidak pernah takut korupsi.
Alasan terakhir adalah ‘demi kepentingan umum’. Perasaan takut bersalah karena korupsi bisa saja hilang bila si pelaku memiliki kebiasaan korup (habitus korup). Apalagi bila akhirnya mereka memilki dalih ‘demi kepentingan umum’. Bisa saja bahwa hasil korupsi tersebut disisihkan untuk biaya pembangunan tempat ibadat atau membantu biaya operasional lembaga-lembaga swadaya. Bisa saja uang tilep tersebut digunakan untuk membangun perusahaan atau pabrik baru, dengan harapan kehadiran pabrik tersebut bisa menyerap tenaga kerja baru dan memberi nafkah banyak orang. Alasan ini akhirnya bisa meringankan rasa bersalah si pelaku.

Sintesa: The Whole System Corrupted
Melihat analisa di atas, kita semakin bisa memahami mengapa masyarakat Indonesia cenderung apatis terhadap tindakan korupsi. Seolah-olah korupsi bukanlah sesuatu yang jahat, melainkan menjadi bagian dari hidup kita. Koruptor kelas kakap saja bisa lolos, apalagi koruptor kelas teri.
Sikap apatis ini sebenarnya ingin menunjukkan mentalitas masyarakat kita sendiri. Apatis di sini bukan semata-mata ungkapan perasaan dari subjek yang berada di luar orang-orang yang koruptor. Tetapi justru ingin menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, yakni orang yang juga ikut terlibat korupsi, karena turut melanggengkan korupsi itu sendiri.
Apatis juga berarti suatu pengakuan bahwa korupsi adalah hal yang biasa. Dan karena biasa dan menjadi habitus, korupsi menjadi mentalitas umum yang bisa dikatakan juga sebagai budaya. Setidaknya coba kita perhatikan hidup sehari-hari kita. Tidak sedikit orang yang tidak jujur dalam laporan keuangan mereka bahkan di dalam keluarga sendiri antara suami-istri. Tidak sedikit anak-anak berani berbohong kepada orangtuanya tentang laporan pemakaian uang. Dan, tidak sedikit pelajar yang mencontek saat ulangan di sekolah—seringkali mencontek diidentikkan sebagai cikal-bakal dari tindakan korupsi.
Di mana-mana terjadi korupsi: di lembaga pemerintahan, perusahaan, sekolah, masyarakat, dan keluarga. Korupsi terjadi baik di tingkat makro maupun mikro. Semua sistem yang ada—baik nasional maupun privat—terkena virusnya. Jejaring raksasa nasional mengalami pembusukan karena mentalitas korupsi ini. Bak lingkaran setan, sekalipun kita mencoba menghindar, di situ kita akan tetap terjerat oleh korupsi itu sendiri.
Dengan sintesa ini, saya tidak ingin menyederhanakan begitu saja kompleksitas sistem makro maupun mikro dalam masyarakat Indonesia. Atau bahkan menisbikan usaha orang-orang yang benar-benar murni dengan itikad dan niat baik bertindak jujur dalam pekerjaannya. Sebaliknya, saya ingin menegaskan bahwa masalah korupsi bukanlah masalah bagi koruptor kelas kakap dan aparat hukum, melainkan masalah bagi seluruh bangsa Indonesia.


Seluruh Sistem Perlu Dibenahi
Bila seseorang melakukan tindakan korupsi, dampaknya tentu saja mengenai lembaga di mana dia bekerja, dan secara tidak langsung terhadap masyarakat yang menggunakan jasa lembaga tersebut. Tetapi, bila semua sistem melakukan korupsi berarti dampaknya sebegitu besarnya yakni kehidupan masyarakat yang tidak pernah menemui situasi adil dan sejahtera.
Melalui pendekatan struktural, guna melawan mentalitas korupsi, sistem di Indonesia mesti diperbaiki. Sebagaimana Aristoteles katakan, “Polis yang baik akan memberi ruang bagi warganegaranya untuk berkembang.” Maka, seharusnyalah sistem kenegaraan Indonesia ditata dengan baik, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk korupsi tidak terjadi.
Setidaknya ada 4 hal yang akan saya ajukan sebagai saran konstruktif dalam menghadapi sistem yang korupsi. Pertama, perbaikan struktur di setiap lembaga-lembaga, entah milik pemerintah maupun privat. Di lembaga tersebut mesti ada aturan yang jelas, yang tidak memberikan kesempatan bagi siapapun atau pihak manapun untuk mencuri-curi kesempatan melakukan korupsi.
Kedua, penegakan hukum yang jelas dan tegas. Inilah sisi yang paling penting untuk diperhatikan, karena mau tidak mau meliputi semua sistem yang ada—dan tentu saja karena sistem hukum kita masih begitu lemah. Hukum seharusnya tegas, tidak bisa didikte oleh siapapun, bahkan oleh orang yang berduit sekalipun. Hukum juga mesti adil, siapa yang mesti dihukum dan seberapa besar vonis yang diberikan.
Ketiga, perjuangan penuntutan hak warganegara yang terus-menerus. Masyarakat sejahtera adalah harapan semua warganegara, dan merupakan kewajiban negara untuk merealisasikannya. Dengan penuntutan hak ini, pemerintahan selalu dimonitor dalam kinerjanya, wakil-wakil rakyat selalu diingatkan untuk setia dalam memperjuangkan aspirasi rakyat (bukan lebih mengutamakan kepentingan partai atau bahkan kepentingan mereka sendiri). Bentuk perjuangan ini beraneka ragam, bisa lewat demo ataupun lewat kritik-kritik entah secara langsung maupun lewat tulisan di media massa.
Dan keempat, perlunya keterbukaan pers. Pers semestinya memberikan informasi yang benar dan tidak pilih-pilih. Dengan demikian, masyarakat menjadi tahu akan masalah-masalah yang sedang berkembang di Indonesia, dan mampu menanggapi masalah tersebut dengan kritis.

5 Sempurna: Tanggungjawab Pribadi
Banyaknya kasus korupsi di negara kita sekali lagi bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun bisa jadi faktor ekonomilah yang merupakan alasan terkuat dan rasional. Kita perlu juga mencurigai seberapa jauh bangsa kita bermoral. Moral selalu berkaitan dengan hati nurani dan lebih bersifat personal. Dengan demikian, tindak korupsi sudah semestinya merupakan tindakan yang melawan hati nurani karena merugikan orang lain, membuat orang lain miskin dan kelaparan (“Miskin karena korupsi”, Kompas, 16 Maret 2004).
Bila korupsi bersinggungan dengan hati nurani, fenomena yang seharusnya kita lihat adalah ‘rasa malu’ bila ketahuan korupsi. Pada kenyataannya, banyak orang dengan terang-terangan melakukan korupsi. Sebagai contoh dalam kasus kecil yang biasa terjadi kalau kita mengurus KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat penting lainnya di Kelurahan. Jelas-jelas tertulis “Pembuatan KTP tidak dipungut biaya”, pada kenyataannya pegawai kelurahan meminta sejumlah uang untuk satu tanda tangan Pak Lurah dan Pak Camat.
Hati nurani yang tumpul juga terlihat dari alasan-alasan orang yang melakkukan korupsi. Pertama, korupsi sebagai tindakan bersama. Seperti telah disinggung di atas, korupsi yang melibatkan banyak pihak membuat tindakan itu seakan-akan sah-sah saja. Kedua, korupsi hanyalah sarana untuk mengembalikan modal awal. Seringkali terjadi ketika orang yang harus membayar berjuta-juta untuk menjadi pegawai negeri. Korupsi yang dilakukan orang-orang yang sudah mengeluarkan uang banyak tersebut bisa saja dirasa wajar karena toh itu hanya untuk mengembalikan modal mereka.
Kejadian di atas sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sehingga orang melakukannya dengan tanpa rasa malu. Karena hal seperti itu sudah biasa, masyarakat pun menjadi terbiasa dengan cara demikian. Masyarakat selalu akan menyiapakan ‘amplop’ khusus untuk petugas-petugas birokrasi bila berurusan dengan mereka. Di lahan inilah seakan-akan budaya malu menjadi tidak jelas.
Maka dari itu, kesadaran korupsi harus diberantas dengan memulainya dari diri kita sendiri. Kalau masalah korupsi adalah masalah kita bersama, sepantasnyalah kita bersama-sama memulainya dari diri kita sendiri. Seperti kata-kata bijak, “Kejahatan bukan hanya datang karena kehendak, tetapi juga karena kesempatan.” Itu seakan-akan ingin mengingatkan kita bahwa setiap dari kita rentan terhadap kejahatan (korupsi). Maka apa yang dikatakan Aristoteles sangat berarti, “Keutamaan diperoleh bukan semata-mata melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik.” Pernyataan Aristoteles ini sepertinya mau menyangkal pandangan yang mengatakan bila orang tahu, otomatis bisa melakukannya. Seperti kebanyakan dari kita, kita tahu korupsi merugikan banyak pihak (terlebih rakyat), tetapi mengapa kita tidak bisa menghentikannya? Mungkin karena kita tidak memiliki habitus ‘no corruption!’
Read more...

Saturday, November 15, 2008

Menyuarakan Perubahan

Sejak runtuhnya Orde Baru, kebebasan berpendapat dan menentukan pilihan di negeri ini semakin mendapatkan tempatnya. Bahkan tidak tertutup pula kemungkinan adanya ruang kebebasan menentukan pilihan untuk tidak memilih alias golput.
Melihat data pemilu-pemilu yang berlangsung selama 10 tahun terakhir ini, tampak bahwa pertambahan jumlah golput cukup signifikan. Ada benarnya jika banyak pihak memperkirakan golput akan meningkat lagi pada pemilu 2009. Mengapa bisa demikian?

Golput adalah sebuah simbol yang mewakili suatu keadaan riil di dalam perpolitikan suatu negara. Selama partai-partai yang ada tidak mampu menjamin dan menjawab tuntutan kebutuhan dasar masyarakat, maka semakin banyak pula masyarakat yang menjadi ragu untuk mendukung partai tersebut. Apalagi, jika partai itu pernah berkuasa dan kemudian masyarakat menilai partai itu gagal dalam kepemerintahannya, maka masyarakat menjadi skeptis pula untuk memilihnya kembali. Belum lagi jika hal tadi didukung dengan tidak adanya partai alternatif yang diyakini mampu menjawab aspirasi masyarakat.

Tidak adanya figur yang pantas dari daftar calon yang dipilih juga menambah alasan masyarakat untuk menjadi golput. Kepantasan calon pemimpin tergantung dari sejauhmana figur tersebut bisa diterima di hati masyarakat. Pemilihan Presiden Amerika Serikat baru-baru ini bisa menjadi sebuah contoh yang bagus untuk menggambarkan seorang calon pemimpin yang bisa diterima di hati masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat meningkat, dan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu juga lebih besar.
Namun, makna dari simbolisasi pilihan golput tidak hanya itu saja. Di balik skeptisisme masyarakat terhadap calon-calon pemimpin dan partai-partai yang ada, pilihan golput juga mengusung maksud mulia. Orang berani memilih golput karena mereka yakin bahwa sistem kepemerintahan yang berlangsung sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh dari harapan dan keinginan hati masyarakat. Oleh karena itu, golput berarti juga menandakan gerakan masyarakat yang menginginkan suatu perubahan. Semakin banyak orang yang memilih golput, maka semakin menjadi jelas bahwa perubahan itu perlu dilaksanakan dan sifatnya menjadi mutlak.
Permasalahan yang mendasar adalah bahwa golput adalah “partai” yang tidak punya partai, rakyat yang tidak punya wakil rakyat. Seperti nabi yang menyuarakan kritik di tengah hiruk pikuk kekacauan hidup umatnya, maka golput pun sebenarnya bermaksud senada. Mereka menyuarakan perubahan, tetapi seperti “anjing menggonggong kafilah berlalu,” berteriak tetapi tiada yang mendengarkan.
Maka dari itu, fenomena bertambahnya golput merupakan ladang yang subur bagi perkembangan demokrasi suatu negara. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dari kelompok inilah akan muncul calon-calon pemimpin yang mampu membawa perubahan, yang mampu membawa aspirasi rakyat, sekaligus mengusung partai-partai yang berani menjamin kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada masyarakat.
Bagaikan pedang bermata dua, golput menandakan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung, sekaligus gelombang positif dari masyarakat yang menginginkan perubahan. Bila mengharapkan peningkatan minat masyarakat untuk datang ke pemungutan suara, maka calon-calon pemimpin dan partai-partai harus berani menyuarakan perubahan. Semoga!***

Dom Octariano Widiantoro,
Mahasiswa Bacaloreat Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

-kompas yogya, 14 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/14/10373672/menyuarakan.perubahan.
Read more...

Saturday, November 8, 2008

Mumpung Jadi Pejabat

Sudah terlalu jengah kita mendengar pejabat negara menggunakan jurus aji mumpung ketika mereka sedang mengemban mandat dari negara. Entah mereka berasal dari pemerintahan daerah atau pemerintahan pusat, sama saja. Mereka seolah-olah mencari kesempatan dalam kesempitan. Kali ini pelakonnya adalah anggota KPU. Mereka rencananya akan melakukan supervisi dan sosialisasi Pemilu 2009 ke 14 kota di 5 benua, alih-alih sebenarnya hanya bermaksud jalan-jalan selagi mumpung jadi pejabat.

Menurut sejumlah anggota KPU, kunjungan yang akan dijalankan secara estafet ini sangat penting, dan karenanya harus dilaksanakan. Mereka beralasan bahwa kunjungan untuk sosialisasi ini tidak bisa diwakilkan oleh staf setjen KPU atau deplu dan bahkan tidak bisa dilakukan satu orang anggota KPU saja. Mereka yakin dengan hadirnya dua anggota KPU, mereka bisa saling melengkapi dalam menjelaskan detail-detail tentang pemilu.

Suatu hal yang aneh jika memang KPU memaksa diri untuk pergi. Dalam kondisi dan situasi yang cukup mendesak seperti sekarang ini, serta agenda persiapan pemilu yang menumpuk, semestinya KPU harus berani memilah dan memilih prioritas-prioritas. Sosialisasi pemilu ke luar negeri penting tetapi untuk saat ini bukanlah yang terpenting. Sejauh ini persiapan pemilu di dalam negeri justru mengkhawatirkan. Masih banyak persoalan yang masih perlu diperhatikan, antara lain daftar pemilih sementara (DPS), pengajuan calon legislatif, desain surat suara, dan masalah penyusunan kode etik penyelenggara pemilu (Kompas, 8 September). Tapi bila KPU tetap saja menutup mata dan mendengar seperti angin lalu persoalan-persoalan tadi, itu berarti mereka tidak bisa menentukan the priority among priorities.

Selain itu, rencana KPU untuk sosialisasi pemilu ke luar negeri kurang bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, mereka tidak siap. KPU berjanji akan menyelesaikan desain surat suara dan tatacara pemberian suara dalam 1 minggu. Padahal itu tidak mungkin. Persoalan surat suara membutuhkan simulasi dan jika KPU terburu-buru mengesahkan tanpa ujicoba langsung oleh masyarakat, maka akibatnya nanti pada saat hari-H pemilu, akan terjadi kebingungan dan kemungkinan akan banyak surat suara yang tidak sah. Kedua, cara mereka tidak efektif. Dari 14 kota yang akan dikunjungi, rata-rata jumlah pemilih warga Indonesia sangat sedikit. Di Cape Town, Afrika Selatan misalnya, jumlahnya hanya 52 orang. Sementara di Havana, Kuba malahan hanya 43 orang. Bahkan belum tentu semua warganegara Indonesia di negara itu bisa hadir pada saat sosialisasi, sebab berlangsung pada jam kerja. Jumlah itu jelas tidak sebanding dengan besarnya biaya perjalanan yang akan dikeluarkan oleh negara. Lebih baik, sosialisasi ini diserahkan kepada dubes atau konsul dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) negara setempat. Ketiga, anggaran yang dipakai untuk sosialisasi ke luar negeri ini tidak jelas dan tidak transparan. Bagaimana mungkin KPU tetap akan ngotot pergi, padahal dana sosialisasi pemilu di dalam negeri sendiri —prioritas yang lebih penting— malah belum ada.

Meskipun KPU punya legitimasi hukum untuk membenarkan rencana mereka pergi menyosialisasikan pemilu keluar negeri, kerancuan-kerancuan di atas sudah cukup menunjukkan tindakan mereka sebenarnya hanyalah aji mumpung belaka. Ketidaksiapan, ketidakefektifan, ketidakmampuan memilih prioritas jelas di sini menunjukkan yang penting bagi mereka ke luar negeri bukanlah sosialisasinya, tetapi jalan-jalannya. Seperti peribahasa berbunyi “Lain galang, lain perahu yang disorong”, berlainan perbuatan daripada tujuannya.

Tetapi memang cara seperti inilah yang mungkin paling aman dilakukan pejabat pemerintah —seperti KPU— untuk menggunakan anggaran belanja tanpa dituding korupsi. Dalihnya sosialisasi pemilu, dalihnya studi banding tetapi ternyata maksud sesungguhnya (intentio recta) tak pernah kesampaian. Sungguh ironis. Di tengah-tengah usaha kita dalam memperbaiki sistem kepemerintahan, ternyata masih ada saja segelintir orang yang coba-coba mengkhianatinya. Lagi-lagi ya karena mentalitas itu tadi, khan mumpung jadi pejabat!***

Read more...

Sunday, November 2, 2008

Deindividuasi dan Tanggungjawab Hukum

Ibarat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, peluang sekecil apapun pastilah akan digunakan oleh orang yang terkena masalah hukum untuk bebas dari hukum itu, termasuk jika peluang itu terlihat lewat cara mendekati aparat penegak hukum.
Kasus kaburnya seorang koruptor kelas kakap yang disebabkan oleh longgarnya hukum dan adanya konspirasi dari penegak hukum menjadi gambaran betapa buruknya kondisi hukum di Indonesia saat ini. Hal ini semakin diperparah oleh tindakan para penegak hukum sendiri, yang terkesan saling lempar tanggungjawab atas pengusutan kasus tersebut. Padahal, kalau ada semangat kebersamaan yang bertanggungjawab di antara penegak hukum, kecil kemungkinan koruptor bisa kabur. Maka benarlah ucapan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, “….supaya koruptor tidak bisa kabur, pengadilan, kejaksaan, kepolisian jangan suka penangguhan.”

Deindividuasi
Membuka ruang konspirasi, yang lebih dikenal dengan istilah sogokan, terhadap koruptor untuk kabur adalah fenomena penegasan yang membuktikan kurangnya tanggungjawab para penegak hukum terhadap peran yang dipercayakan padanya. Sedangkan tindakan saling melempar tanggungjawab antar penegak hukum lantaran kaburnya seorang koruptor, adalah upaya mereka untuk “cuci tangan” atau mau menghindar dari keburukan tersebut. Lalu siapakah yang mesti bertangungjawab?
Kondisi lemahnya tanggungjawab ini menandakan sebuah gejala deindividuasi dalam kesadaran hukum kita. Deindividuasi adalah hilangnya tanggungjawab pribadi yang menjadikan kepedulian seseorang berkurang terhadap akibat-akibat dari tindakan-tindakannya (Zimbardo, 1970). Akibatnya, seseorang menjadi lemah dalam kesadaran diri untuk melakukan suatu kewajiban moral ataupun hukum. Padahal tanggungjawab hukum bukanlah beban segelintir orang saja, melainkan segenap individu dengan segala tugas dan kedudukan yang diampunya.
Gejala deindividuasi di dalam tubuh penegak hukum mengakibatkan lembaga ini tidak berjalan dengan efektif sebagaimana mestinya. Hukum yang seharusnya ditegakkan sebaliknya malahan dicampakkan. Koruptor yang semestinya dihukum dan dipenjara, malah bisa bebas dengan status tidak bersalah. Keadilan yang semestinya diutamakan dan dijunjung tinggi, malahan ditelantarkan. Maka, jangan kaget jika hukum kita ternyata bisa dihargai dengan sepeser uang.

Anonimitas Pelaku
Faktor kunci dalam deindividuasi adalah anonimitas (Forsyth, 1990). Apa saja yang membuat seseorang menjadi kurang dapat dikenali secara pribadi dapat meningkatkan efek deindividuasi. Makin anonim seseorang, makin berkurang tanggungjawab mereka atas tindakan-tindakan mereka. Akibatnya, anonimitas mendorong terbentuknya tingkahlaku yang tidak bertanggungjawab.
Dengan anominitas pada dirinya, seorang aparat hukum berani berkonspirasi, dengan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang semestinya harus ia kerjakan. Sebaliknya, ia justru berani menerima tawaran untuk bersekongkol, yang tentunya berujung pada sebuah imbalan harga yang layak atas “jasanya” itu. Selanjutnya, anonimitas membuat aparat hukum lepas tangan atas tindakan “buruk” yang dilakukannya itu. Cirinya sangat jelas, yaitu upaya lempar-melempar tanggungjawab. Padahal tanggungjawab itu sebenarnya adalah tanggungan mereka sendiri. Anonimitas menciptakan kekaburan tanggung jawab yang membuat seseorang tidak merasa bersalah atas perbuatan salah yang telah dilakukannya.

Reformasi Menyeluruh
Memang patut disayangkan bahwa di tengah-tengah upaya pemerintah negeri kita untuk semakin memajukan kualitas penegakan hukum, gejala deindividuasi ini masih membudaya. Maraknya pemberitaan di media massa yang menyorot soal koruptor yang dinyatakan bebas tak bersalah tersebut, menunjukkan sebuah realitas yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, persoalan besar itu tidak hanya berdampak di masa sekarang, tetapi dampaknya akan merambat hingga ke masa depan. Kini kita sadar bahwa ada persoalan lain dari lemahnya hukum kita, yaitu sikap deindividuasi ini.
Dalam kesadaran adanya bahaya akibat deindividuasi tersebut, kiranya tidak bijak jika kita menumpahkan semua kesalahan hanya penegak hukum yang melakukan konspirasi itu. Sebab persoalan tanggungjawab hukum bukan hanya sebatas pada penegak hukum saja. Persoalan itu adalah sebuah fenomena gunung es dari kesadaran hukum kita. Gejala deindividuasi sebenarnya lebih meluas dalam masyarakat kita. Kita cenderung begitu mudah untuk tidak bertanggungjawab dan bersikap permisif terhadap kejahatan yang terjadi di depan mata kita. Kita lebih banyak bertindak mengambil jarak dan menempatkan diri dalam posisi aman untuk lepas tangan dari kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya kita tuntaskan bersama itu.
Maka, menjadi semakin jelas bahwa gejala deindividuasi yang mencuat di negeri kita ini, harus dibongkar. Tanggungjawab hukum adalah tanggungjawab bersama semua orang yang mengharapkan sebuah kenyataan hukum yang adil.
Anonimitas tidak jauh beda dari sebuah topeng. Kita sebagai bangsa tentunya tidak mau menjadi bangsa yang tidak punya identitas.
Sekalipun pembongkaran deindividuasi ini lebih banyak dituntut realisasinya pada lembaga penegak hukum kita, tetapi bila kita benar-benar mengharapkan bangsa yang menjunjung tinggi hukum, semestinyalah semua elemen masyarakat ikut serta melakukan reformasi diri. Kita tentu akan semakin bangga menjadi bangsa yang memiliki identitas.
Read more...

Tuesday, October 28, 2008

Kontroversi Hukuman Mati dan Tantangan Etisnya

Masalah hukuman mati sudah didiskusikan di banyak negara oleh para ahli hukum, filsuf, teolog dan para ilmuwan sosial. Dari semua diskusi itu, pertanyaan pokoknya tetap sama: apakah hukuman mati diperbolehkan. Pertanyaan ini bersifat moral. Oleh karena itu, cukup menarik bagi kelompok kami untuk menelusuri lebih jauh dan mendiskusikannya.

Historisitas Pidana Hukuman Mati
Jejak hukuman mati dapat kita telusuri sampai ke tradisi yang sangat kuno. Dalam umat Ibrani kuno ada hukum yang dikenal sebagai hukum Hammurabi. Isi pokok hukum ini menyebutkan bahwa suatu kerugian harus ditebus dengan denda atau retribusi yang sama nilainya: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, hukum ini menerapkan hukuman mati secara tidak pandang bulu. Cara eksekusi yang paling lazim adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Masyarakat Yunani kuno pun mempraktekkan hukuman mati. Kasus Sokrates yang dieksekusi dengan minuman racun adalah salah satu buktinya. Sokrates dihukum mati dengan tuduhan mempraktekkan agama baru dan ajarannya berpengaruh buruk terhadap kaum muda sezamannnya. Dari catatan Plato yang berjudul Euthyphron kita mengetahui bahwa menolak dan menghina dewa yang umum disembah oleh masyarakat suatu polis merupakan bentuk ketidaksalehan dan diancam dengan hukuman mati.

Di Inggris dalam abad ke-13 semua jenis kejahatan tanpa pandang bulu diancam dengan hukuman mati, kecuali kecurangan ringan dan pencurian barang-barang yang tak seberapa merugikan. Hukuman yang berat ini agaknya berhasil menurunkan jumlah kejahatan. Sepanjang abad ke-15, misalnya, tercatat hanya 17 eksekusi mati.
Di Indonesia sendiri hukuman mati masih diakui oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 140 (3) menyatakan: “Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Sedangkan pasal 340 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Pasal-pasal tentang pidana mati tersebut dan juga seluruh KUHP sebenarnya merupakan terjemahan dari kita hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1918. Padahal, di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.


Etiskah hukuman mati itu?
Perdebatan etiskah hukuman mati adalah perdebatan yang terjadi di antara aliran utilitarianisme-retributivisme dan aliran abolisionisme. Aliran utilitarianisme memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di masa depan dari suatu hukuman. Teori ini sebetulnya merupakan bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya. Hukuman sebagai suatu tindakan kepada seorang penjahat dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena terhukum terbukti bersalah melawan hukum, melainkan karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum, korban dan juga orang-orang lain dalam masyarakat. Misalnya, secara positif hukuman dapat membuat jera si terhukum sehingga kelak tidak pernah akan mengulangi kesalahannya; hukuman dapat meredakan perasaan balas dendam pada si korban dan keluarganya; dan hukuman dapat berfungsi sebagai penangkal kejahatan dalam masyarakat. Bila hukuman mati dikenakan pada si terhukum, maka hukuman ini berfungsi preventif ke depan. Maksudnya hukuman ini efektif untuk penjahat-penjahat yang lain; membuat rasa takut (efek penjeraan) untuk melakukan perbuatan yang sama, dan menangkal (efek penangkalan) terjadinya kejahatan yang sama.
Sebaliknya aliran retributivisme mencari pendasaran hukuman dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut teori ini, hukuman diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya. Dengan kata lain, pertimbangan moralnya terletak pada perihal keadilan suatu hukuman. Artinya secara moral suatu hukuman dapat dibenarkan hanya sejauh hukuman itu ditakar sebagai retribusi terhadap kesalahan sudah terbukti. Setiap orang yang sudah terbukti kesalahannya layak dihukum adalah suatu hal yang adil dan karena itu dibenarkan untuk dihukum. Kesalahan yang sudah dibuktikan secara legal merupakan satu-satunya dasar mengapa lembaga negara berhak dan berkewajiban menghukumnya. Keadilan di sini berarti hukuman harus seimbang dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Dua tokoh yang berpengaruh dalam aliran retributivisme adalah Kant dan Hegel. Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut: “Hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karea si individu terhukum terbukti melakukan suatu kejahatan.” Sedangkan Hegel menganggap hukuman sebagai ekspresi General Will. Bagi Hegel bertindak melawan hukum berarti menentang General Will (= kehendak bebas yang sejati dan “absolut” dari si subyek). Hanya, dalam tindakan jahatnya, kehendak bebas sejati itu dilawan dan dikalahkan oleh kebebasan arbitrer. Jadi tindakan kejahatan pada dasarnya tidak saja melukai dan menyengsarakan orang lain (korban), tidak saja hanya menentang general will dan secara tak langsung berarti juga memperlakukan orang lain (masyarakat) secara tidak benar, tetapi juga menentang general will dalam diri si pelaku sendiri dan melukainya. Maka, hukuman dibenarkan tidak saja demi pemulihan si korban dan hukum yang sudah dilanggar, tapi juga demi kepentingan si pelaku sendiri.
Dari kedua aliran ini muncul pertanyaan apakah melalui ancaman hukuman mati dan dengan jenis hukuman ini, kejahatan-kejahatan kriminal yang paling serius dapat ditangkal secara efektif? Pertanyaan ini menjadi bagian dari umpan balik dari kaum abolisionis yang memandang tinggi martabat manusia. Bagi mereka hukuman mati selalu dianggap sebagai suatu kontroversi. Betapa tidak, dalam hukum yang sama, dipatok baik larangan membunuh maupun perintah hukuman mati. Lepas dari sistem hukum yang berlaku, dewasa ini ada semacam pandangan umum bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Argumen abolisionis yang menentang hukuman mati adalah pandangannya mengenai hak untuk hidup. Hukuman mati tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hak untuk hidup yaitu hak yang paling fundamental, absolut dan luhur yang dimiliki oleh setiap manusia dan karena itu harus dihargai bahkan pada seorang pembunuh. Argumen kedua menentang pandangan utilitarian bahwa hukuman mati sebagai bentuk penjeraan tidaklah efektif. Bagaimana mungkin orang yang mati karena dihukum mati akan menjadi jera karena kematian itu sendiri memutuskan kesadaran untuk menjadi jera. Tapi bila hukuman itu diganti dengan hukuman seumur hidup tentu saja aspek penjeraan akan menjadi efektif. Argumen yang lain, hukuman mati sama sekali bertentangan dengan pengakuan terhadap keluhuran hidup manusia. Artinya suatu kehidupan yang bernilai begitu tinggi tidak patut dipakai sebagai sarana penjeraan ataupun sebagai retribusi. Apalagi dalam hal ini nilai hidup kalah daripada nilai penjeraan. Maka dari itu argumen kaum abolisionis inilah yang bisa dipakai untuk menentang hukuman mati.

Studi kasus: Hukuman mati bagi aktor utama peristiwa bom Bali
Sekarang kita melihat ke salah satu contoh yang paling konkret, yakni kasus bom Bali. Beberapa waktu lalu sudah diputuskan bahwa ada 3 pelaku utama pengeboman yang dihukum mati, yakni Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron. Permasalahannya sekarang tidak hanya berkaitan dengan kontroversi hukuman mati itu etis atau tidak, tetapi juga nilai-nilai agamis yang dipegang oleh pelaku. Tetapi, untuk membatasi pembahasan kasus ini, motivasi Amrozi yang bersifat agamis tersebut tidak akan dibahas secara mendetail.
Pertama, dalam kasus ini kita mencermati dan mengkritisi bagaimana hukuman mati dijalankan (proses eksekusi) oleh aparat dimana negara Indonesia menerapkan eksekusi tembak mati. Hukuman ini berlangsung secara tertutup. Bila proses eksekusi ini diterapkan kepada para pelaku bom Bali yang dipidana hukuman mati, kita mempertanyakan sudut utilitariannya. Apakah fungsi penjeraan (utilitarian) akan efektif dengan model eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan secara tertutup? Di banyak negara yang menggunakan hukuman mati, fungsi penjeraan berjalan secara efektif karena dilaksanakan di muka umum, tetapi di Indonesia tidak.
Bila dikaitkan dengan kelompok Amrozi cs yang masih berkeliaran dan suatu waktu akan memanfaatkan suatu momen yang sama demi nilai-nilai yang dihayatinya belum tentu juga akan menjadi takut dan jera untuk tidak melakukan pengeboman. Mengapa? Karena menurut anggapan mereka hukuman mati sudah barang tentu jalan untuk bertemu Tuhan. Jadi bagi mereka hukuman mati itu sendiri tidak mempunyai efek penjeraan dan menakutkan.
Kedua, ditinjau dari sudut retributivisme. Hukuman mati yang dijatuhkan adalah suatu tindakan adil karena sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Tapi kompensasi keadilan ini tetap tidaklah adil karena kita sendiri (masyarakat) yang membuat larangan jangan membunuh justru melakukan pembunuhan dengan dasar hukum (dilegalkan). Ini menunjukkan suatu kontradiksi dalam teori retribusi.
Ketiga, kembali ke teori hukum kodrat, yang dikuatkan oleh kaum abolisionis. Kalau memang hukuman mati yang dijatuhkan kepada Amrozi dkk itu adalah adil, apakah dengan demikian nilai adil lebih tinggi dari nilai kehidupan. Tentu saja, nilai hidup lebih tinggi di atas segala-galanya. Dan sudah sepantasnyalah kalau hukum-hukum yang ada dibuat berdasarkan nilai moral.

Kesimpulan
Dengan segala pertimbangan, argumentasi dan analisis yang sudah dibuat, baik yang pro maupun yang kontra, dari sudut pandang etika, hukuman mati bukanlah suatu tindakan etis apalagi dikatakan bermoral. Justru dengan memberikan kesempatan hidup bagi terpidana bom Bali misalnya dengan menjatuhi mereka hukuman penjara, maka poin-poin yang diajukan berbagai paham etika yang berkaitan seperti hukum kodrat, utilitarian, maupun retributif akan terwakili/terjawab. Mengapa? Karena pada dasarnya manusia itu dinamis. Dalam masa menjalani pidana penjara ada kemungkinan di mana terdakwa sadar (jera) akan perbuatannya setelah diberi kesempatan untuk berpikir/berefleksi ulang atas tindakannya. Dia akan mengoreksi tindakannya sebagai suatu kesalahan. Lebih jauh putusan menjatuhi hukuman penjara dan bukan hukuman mati adalah suatu putusan yang adil, karena ini menunjukkan kita (masyarakat) konsisten dengan larangan untuk membunuh. Maka dari itu, sikap penolakan terhadap hukuman mati bagi para pelaku pengeboman/pembunuhan tersebut menunjukkan konsistensi pandangan etika karena lebih rasional, objektif dan universal; apalagi siapakah sebenarnya yang punya kuasa kehidupan, kecuali Sang Kehidupan itu sendiri.
Sebagai catatan tambahan, bila ternyata ada beberapa pihak merasa dirugikan dengan tidak dihukum matinya Amrozi cs (misalnya pihak Australia karena banyak korban adalah warga negara Australia), kami akan bertanya apakah kerugian itu bisa menjawab persoalan hukuman mati sendiri (karena hukuman mati justru tidak akan menebus/mengembalikan kerugian nyawa yang menjadi korban, kecuali malahan menambah korban). Selain itu, bila hukuman mati jadi dilaksanakan sehingga pihak tertentu (misalnya keluarga dari para korban) merasa puas, apakah dengan demikian ‘rasa puas’ itu menjadi tindakan yang pantas dan etis?
Read more...

Saturday, October 4, 2008

Humanisme dan Komputerisasi


Pada Mei 1997, dunia tersentak ketika Deeper Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak dan dengan melihat hasil yang demikian, pada saat itu juga, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.

Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jaringan teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat ISAAC (Software yang mengendalikan mesin-mesin pengganti pekerjaan-pekerjaan fisik di dalam kantor, misalnya mengawasi setiap orang masuk, melayani konsumsi bagi para pegawai kantor, mengatur temperatur ruangan, dsb.) yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi akan banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer. Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih.
Selanjutnya, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya diklik saja maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia itu yang kadang sulit diukur, karena ini akan berdampak lebih jauh pada segi humanisme manusia. Maka dari itu, akan muncul pertanyaan yang lebih detail lagi untuk mendalami permasalahan ini: Siapakah manusia saat ini di tengah-tengah dunia maya ini?
Mengenai teknologi sendiri, kita tidak perlu mempertanyakan lagi perkembangannya sejak awal, karena memang membicarakan teknologi sebenarnya bukanlah suatu yang asing lagi. Sejak zaman manusia purba pun teknologi sudah ada. Benda teknologis pertama adalah alat-alat batu yang digunakan untuk berburu. Pada waktu itu teknologi adalah perpanjangan diri dari manusia atau dengan kata lain hanyalah sebagai objek sekunder saja, sedangkan objek utamanya adalah dunia yang manusia hadapi.
Seiring dengan waktu yang terus bergulir, ilmu pengetahuan semakin berkembang. Puncaknya terjadi pada abad ke-17 di mana di Eropa Barat terjadi percepatan (revolusi) ilmu pengetahuan. Para pemikir mendorong terjadi percepatan itu yakni melalui cara pendekatan yang sama sekali baru mengenai masalah-masalah manusia, yaitu rasionalisme-empirisme. Francis Bacon menganjurkan agar setiap pengetahuan manusia menggarisbawahi manfaatnya guna meringankan beban kehidupan. Ide ini akhirnya melahirkan eksperimen-eksperimen ilmiah, yang hasilnya diterapkan dalam teknologi. Descartes juga menganjurkan metode eksperimen, yaitu pengamatan yang eksak dan objektif terhadap tingkah laku benda. Ini berarti diadakan pengukuran secara matematis. Paham baru ini merupakan sentakan terhadap alam pemikiran abad pertengahan yang masih tradisional. Berkembanglah secara pesat ilmu pengetahuan alam, ilmu pesawat dan ilmu pasti.
Sekitar tahun 1970 mulai berkembanglah teknologi komputer. Perkembangannya begitu pesat. Dunia menjadi terkomputerisasi. Mengapa ini bisa terjadi? Ternyata evolusi komputer sangatlah cepat dibandingkan dengan evolusi alami yang dilewati manusia (selama ribuan tahun). Evolusi komputer tidak perlu memakan waktu ribuan tahun. Bahkan untuk menaklukkan Kasparov pada pertandingan ulang komputer Deep Blue tidak perlu menunggu ratusan tahun, karena program yang lama hanya membutuhkan 1 tahun untuk meningkatkan daya kerjanya.
Sebagai kerangka lanjut tulisan ini, penulis akan lebih menyoroti komputerisasi dalam pengaruhnya terhadap humanisme dengan berpijak pada pertanyaan siapakah manusia di tengah-tengah dunia maya (komputer) ini?

Artificial Intelligence
Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Bila otak manusia sungguh-sungguh merupakan jaringan neuron beserta sel-selnya, neuron dalam perangkat ini adalah sejenis silikon. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead (1995), perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.
Lebih lanjut dikatakan Gates bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja. Sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi, dan Robot (GNR).

Siapakah Kita di Dunia Maya ini?
Pesatnya teknologi terutama berkembanganya komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar memuja-muja teknologi tersebut.
Contoh yang sangat real adalah bagaimana mengukur sebuah kemakmuran suatu negara. Untuk mengukur hal tersebut parameterya adalah seberapa besar perkembangan teknologinya. Suka atau tidak, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa, lebih-lebih sekarang ini. Keterbelakangan sebuah bangsa juga bisa diukur dari tingkat kemajuan teknologinya. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Neil Postman dalam bukunya Technopoly, setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Di sinilah manusia justru didikte oleh teknologi.
Selain bencana yang mengancam itu, teknologi yang dipengaruhi komputer dan terutama mewujud dalam sistem roboter mulai dipertanyakan. Hubungan antar manusia dan teknologi komputer serta robot akan berkembang mengalami dunianya. Menurut arsitek dan ahli fisika Stefan Themerson dunia manusia akan membentuk dunia mesin ultrainteligen. Program komputer kelak mampu belajar, mengubah diri, menyesuaikan diri dengan keadaan yang berganti-ganti.
Tidak perlu menunggu kelak, sekarang sudah ada chips yang bisa menggantikan anggota tubuh yang hilang. Semisal ada orang yang kecelakaan dan kehilangan kaki kanannya. Dia bisa mengganti kaki kanannya dengan kaki palsu sekaligus terdapat chips ini. Kaki yang baru ini akan bekerja seperti kaki yang lama dan chips ini bisa beradaptasi dengan kehendak pemakainya.
Dalam era teknologi juga dikenal istilah manusia bionik. Manusia bionik tentu saja memiliki artificial intelligence. Manusia jenis ini adalah robot yang seluruh bagian tubuhnya terdiri dari chips-chips dan berfungsi seperti anggota tubuh pada manusia biasa. Bahkan dari sudut penampilan, manusia ini hampir tidak ada bedanya dengan manusia biasa.
Bila akhirnya manusia bionik ini dikembangkan, akan muncul pertanyaan apa itu kematian? Pertanyaan ini muncul karena manusia bionik tidak mengenal kematian. Bahkan, manusia bionik ketika dibentuk dengan postur anak-anak, selamanya akan tetap anak-anak dan tidak akan berubah.
Akhirnya siapakah kita di dunia maya ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan begitu saja disamakan antara manusia dan komputer. Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin, padahal kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja. Sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Dengan demikian sebenarnya komputer memutuskan dan menentukan hanya sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria.
Laureate Gerald Edelman, seorang pemenang hadiah Nobel menyatakan bahwa otak manusia tidak sama seperti komputer. Otak manusia terdiri dari jutaan jaringan neurosis yang sangat berbeda dengan komputer. Pada pertandingan catur antara manusia versus mesin, di dalam Deeper Blue ditemukan batas hitam. Sesuai dengan algoritma, komputer ini bisa mengkalkulasi 6 sampai 8 langkah ke depan. Masalahnya adalah komputer ini menggerakkan buah catur hanya berfokus pada 6 sampai 8 gerakan ke depan tersebut, dan sulit untuk mengubah keputusan dalam waktu yang singkat. Tapi kita manusia bisa memainkan catur dengan penuh strategi bahkan bisa merasakan bahaya sebelum bahaya tersebut terjadi. Dalam pertarungan itu, tidak ada banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya Deeper Blue mengalami 3 kali kerusakan.
Lebih jauh lagi, sebenarnya, permasalahan humanisme ini terletak pada manusianya sendiri. Kira-kira 60 % penduduk dunia mengalami sakit mental. Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Berhadapan dengan teknologi komputerisasi yang begitu cepat berkembang, penyakit malas ini menempatkan manusia sebagai objek dari teknologi tersebut.

Mengambil Sikap atas Komputerisasi
Setelah melihat posisi kita di dunia maya tersebut, kita mempunyai tugas untuk mempersiapkan generasi kita selanjutnya agar berani menghadapi dunia yang semakin dipenuhi teknologi canggih. Faktor terpenting dalam persiapan ini adalah pendidikan mengenai teknologi yang diadakan di sekolah. Saat ini, teknologi lebih esensial dibandingkan biologi, kimia dan fisika.
Menurut pendapat pada umumnya, teknologi mempunyai fungsi instrumental. Teknologi dipandang sebagai sarana yang digunakan manusia. Tetapi menurut Heidegger, kita berada dalam suatu situasi yang mengherankan, karena apa yang dirancang manusia sebagai sarana untuk menguasai dunia, menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malahan tidak dapat dikuasai. Anehnya, apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang menguasai manusia. Dalam pemikiran ini, Heidegger tidak bersikap negatif terhadap teknologi. Ia tidak menolak apalagi mengutuk teknologi modern. Ia tidak anti pun juga tidak pro. Ia mencoba mengerti keadaan di mana manusia berada. Namun ia melihat suatu bahaya bahwa manusia akan kehilangan hakekatnya, sebab hakekat manusia adalah keterarahannya pada ketidaktersembunyian.
Inilah yang dapat diterapkan dalam pendidikan bagi generasi kita. Dalam studi tentang teknologi, kita mesti menyadari hakekat kita, yakni keterarahan kita pada realitas kita. Kita merancang teknologi bukan dengan maksud teknologi memperbudak kita dan membuat malas diri kita tetapi teknologi dibuat untuk membantu kita.
Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang menurut kodratnya mendambakan kebahagiaan. Dalam era teknologi ini, pemenuhan kebutuhan kebahagiaan itu terpenuhi oleh adanya mesin-mesin teknologi. Mesin-mesin ini adalah instrumentalisasi yang merupakan suatu istilah kunci. Mula-mula teknologi ini hanya dipraktekkan dalam hubungan dengan alam saja, tetapi lama kelamaan diterapkan juga pada manusia dan seluruh lapangan sosial. Bukan saja benda-benda dan alam diperalat serta dimanipulasikan, tetapi hal yang sama berlangsung juga di seluruh wilayah politik, sosial dan kultural.
Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Marcuse dewasa ini, sistem totaliter bukan berasal dari sesama manusia seperti pada zaman perbudakan. Sistem totaliter justru berasal dari teknologi. Dengan kata lain teknologi sama sekali bukan merupakan sesuatu yang netral, bukan merupakan suatu wilayah yang bebas nilai. Sejauh teknologi memungkinkan kemajuan di bidang sosial-ekonomis, memenuhi kebutuhan manusia, menyenangkan, meringankan dan mengurangi pekerjaan, maka sejauh itu pulalah sikap kritis manusia menciut.
Dalam menyikapi penyakit-penyakit yang dialami manusia seperti di atas dalam menghadapi teknologi pertama-tama Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern sebagai sesuatu yang merugikan atau tidak berguna. Ia tidak mau kembali pada keadaan zaman pra-teknologi. Basis teknologi tetap perlu bagi masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif.
Maka dari itu pembelajaran yang diterapkan pada generasi yang akan datang ditambahkan oleh Marcuse dalam kaitannya dengan masyarakat. Kita tahu sejauh mana dampak negatif teknologi terhadap masyarakat kita, di mana kita menjadi tidak perhatian lagi dengan sesama kita. Kompetisi yang ditimbulkan oleh teknolgi membuat dunia hanya sebatas diri kita saja. Dengan mengubah teknologi menjadi kualitatif mengajak kita untuk memperhatikan kualitas masyarakat kita. Dunia kita ini milik kita bersama bukan milik orang per orangan, maka perlu kita jaga bersama.

Kata Akhir
Sebagai kata akhir untuk menjawab siapakah kita dalam dunia maya dari sudut pandang kita harus mulai dengan menentukan kegiatan-kegiatan manusia dan menggarisbawahi bagaimana kegiatan-kegiatan itu bersifat khas manusia sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan mesin.
Ciri khas manusia adalah asimilasi. Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Mesin pada saat tertentu konstruksinya juga dapat memperlengkapi dirinya, namun hal ini tidak dilakukan melalui asimilasi materi. Bagian-bagian yang melengkapinya, seperti juga bagian-bagian yang sudah dipakai untuk menyusunnya tetap berada di luar dan asing satu sama lain. Bagian-bagian itu tidak diubah menjadi satu substansi yang unik, tidak pula diasimilasikan lewat subjek, karena mesin bukan substansi dan bukan pula subjek. Mesin bukan suatu “ada” yang berkembang dari dalam, tetapi suatu yang melengkapi dirinya dari luar; bukan suatu keseluruhan natural, melainkan suatu kesuluruhan artifisial.
Selain membentuk dan mengembangkan dirinya, manusia juga dapat memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya. Dan dia mengerjakan itu dari substansinya sendiri, dari dalamnya sendiri, dari apa yang dibuat oleh organismenya sendiri. Sebaliknya, tidaklah demikian dengan mesin, karena mesin mengganti bagian-bagian yang rusak dengan bagian-bagian yang sama, yang diambilnya dari luar. Sebab mesin tidak mempunyai interioritas, meskipun dia memiliki sesuatu yang bisa dikatakan “bagian dalam”.
Manusia mempunyai suatu kemampuan lagi yang luar biasa, yaitu: mereproduksikan dan melipatgandakan dirinya, membuat dalam dirinya bibit atau tunas yang akan menjadi suatu mahluk hidup baru, suatu mahluk yang akan menjadi gambarannya, dan menjadi penerus spesiesnya. Sebuah mesin juga dapat menyusun mesin-mesin lain menurut model yang dipergunakan untuk menyusun dirinya sendiri, tetapi dia tidak membuat mereka dari substansinya sendiri. Orang tidak akan mengatakan bahwa mesin-mesin baru itu merupakan keturunan dari mesin lama, atau lahir dari “ada”-nya mesin yang pertama. Mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, jadi tidak akan bisa membuat apa yang disebut keturunan yang sesungguhnya. Dia hanya mengumpulkan materi-materi yang ditemukan di luar dirinya, untuk membuat keseluruhan-keseluruhan artifisial, yang bagian-bagiannya tetap asing satu sama lain, juga sesudah dikumpulkan. Karena mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, maka dia tidak bisa mengeluarkan dari dirinya suatu “ada” lain yang serupa dengannya dan yang benar-benar berotonomi.
Lebih lanjut lagi, manusia tak hanya mengembangkan, memperbaiki dan memproduksikan dirinya. Dia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Mesin kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa apa yang mengganggunya, mesin akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali. Seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalananya untuk mencapai dengan pasti tujuan ke manapun mereka diluncurkan. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka. Yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan trampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain ialah manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan, walaupun akhirnya pekerjaan yang dilakuakan oleh mesin-mesin akan lebih baik dibandingkan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia
Read more...

Wednesday, October 1, 2008

"Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta "


Berisi Refleksi Mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta
yang berusaha meretas perbedaan menjalin kerja sama Lintas iman.
Sebuah buku inspiratif yang menggerakkan orang muda untuk bersatu
menata kehidupan masyarakat agar lebih damai, sejahtera dan bahagia.
Tertarik untuk mendapatkannya!!! Hub: didikedu@gmail.com

Harga buku
Rp. 23.000,00
ongkos kirim Rp. 9000,00 (khusus P. Jawa)
Read more...