Tuesday, October 28, 2008

Kontroversi Hukuman Mati dan Tantangan Etisnya

Masalah hukuman mati sudah didiskusikan di banyak negara oleh para ahli hukum, filsuf, teolog dan para ilmuwan sosial. Dari semua diskusi itu, pertanyaan pokoknya tetap sama: apakah hukuman mati diperbolehkan. Pertanyaan ini bersifat moral. Oleh karena itu, cukup menarik bagi kelompok kami untuk menelusuri lebih jauh dan mendiskusikannya.

Historisitas Pidana Hukuman Mati
Jejak hukuman mati dapat kita telusuri sampai ke tradisi yang sangat kuno. Dalam umat Ibrani kuno ada hukum yang dikenal sebagai hukum Hammurabi. Isi pokok hukum ini menyebutkan bahwa suatu kerugian harus ditebus dengan denda atau retribusi yang sama nilainya: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, hukum ini menerapkan hukuman mati secara tidak pandang bulu. Cara eksekusi yang paling lazim adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Masyarakat Yunani kuno pun mempraktekkan hukuman mati. Kasus Sokrates yang dieksekusi dengan minuman racun adalah salah satu buktinya. Sokrates dihukum mati dengan tuduhan mempraktekkan agama baru dan ajarannya berpengaruh buruk terhadap kaum muda sezamannnya. Dari catatan Plato yang berjudul Euthyphron kita mengetahui bahwa menolak dan menghina dewa yang umum disembah oleh masyarakat suatu polis merupakan bentuk ketidaksalehan dan diancam dengan hukuman mati.

Di Inggris dalam abad ke-13 semua jenis kejahatan tanpa pandang bulu diancam dengan hukuman mati, kecuali kecurangan ringan dan pencurian barang-barang yang tak seberapa merugikan. Hukuman yang berat ini agaknya berhasil menurunkan jumlah kejahatan. Sepanjang abad ke-15, misalnya, tercatat hanya 17 eksekusi mati.
Di Indonesia sendiri hukuman mati masih diakui oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 140 (3) menyatakan: “Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Sedangkan pasal 340 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Pasal-pasal tentang pidana mati tersebut dan juga seluruh KUHP sebenarnya merupakan terjemahan dari kita hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1918. Padahal, di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.


Etiskah hukuman mati itu?
Perdebatan etiskah hukuman mati adalah perdebatan yang terjadi di antara aliran utilitarianisme-retributivisme dan aliran abolisionisme. Aliran utilitarianisme memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di masa depan dari suatu hukuman. Teori ini sebetulnya merupakan bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya. Hukuman sebagai suatu tindakan kepada seorang penjahat dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena terhukum terbukti bersalah melawan hukum, melainkan karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum, korban dan juga orang-orang lain dalam masyarakat. Misalnya, secara positif hukuman dapat membuat jera si terhukum sehingga kelak tidak pernah akan mengulangi kesalahannya; hukuman dapat meredakan perasaan balas dendam pada si korban dan keluarganya; dan hukuman dapat berfungsi sebagai penangkal kejahatan dalam masyarakat. Bila hukuman mati dikenakan pada si terhukum, maka hukuman ini berfungsi preventif ke depan. Maksudnya hukuman ini efektif untuk penjahat-penjahat yang lain; membuat rasa takut (efek penjeraan) untuk melakukan perbuatan yang sama, dan menangkal (efek penangkalan) terjadinya kejahatan yang sama.
Sebaliknya aliran retributivisme mencari pendasaran hukuman dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut teori ini, hukuman diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya. Dengan kata lain, pertimbangan moralnya terletak pada perihal keadilan suatu hukuman. Artinya secara moral suatu hukuman dapat dibenarkan hanya sejauh hukuman itu ditakar sebagai retribusi terhadap kesalahan sudah terbukti. Setiap orang yang sudah terbukti kesalahannya layak dihukum adalah suatu hal yang adil dan karena itu dibenarkan untuk dihukum. Kesalahan yang sudah dibuktikan secara legal merupakan satu-satunya dasar mengapa lembaga negara berhak dan berkewajiban menghukumnya. Keadilan di sini berarti hukuman harus seimbang dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Dua tokoh yang berpengaruh dalam aliran retributivisme adalah Kant dan Hegel. Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut: “Hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karea si individu terhukum terbukti melakukan suatu kejahatan.” Sedangkan Hegel menganggap hukuman sebagai ekspresi General Will. Bagi Hegel bertindak melawan hukum berarti menentang General Will (= kehendak bebas yang sejati dan “absolut” dari si subyek). Hanya, dalam tindakan jahatnya, kehendak bebas sejati itu dilawan dan dikalahkan oleh kebebasan arbitrer. Jadi tindakan kejahatan pada dasarnya tidak saja melukai dan menyengsarakan orang lain (korban), tidak saja hanya menentang general will dan secara tak langsung berarti juga memperlakukan orang lain (masyarakat) secara tidak benar, tetapi juga menentang general will dalam diri si pelaku sendiri dan melukainya. Maka, hukuman dibenarkan tidak saja demi pemulihan si korban dan hukum yang sudah dilanggar, tapi juga demi kepentingan si pelaku sendiri.
Dari kedua aliran ini muncul pertanyaan apakah melalui ancaman hukuman mati dan dengan jenis hukuman ini, kejahatan-kejahatan kriminal yang paling serius dapat ditangkal secara efektif? Pertanyaan ini menjadi bagian dari umpan balik dari kaum abolisionis yang memandang tinggi martabat manusia. Bagi mereka hukuman mati selalu dianggap sebagai suatu kontroversi. Betapa tidak, dalam hukum yang sama, dipatok baik larangan membunuh maupun perintah hukuman mati. Lepas dari sistem hukum yang berlaku, dewasa ini ada semacam pandangan umum bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Argumen abolisionis yang menentang hukuman mati adalah pandangannya mengenai hak untuk hidup. Hukuman mati tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hak untuk hidup yaitu hak yang paling fundamental, absolut dan luhur yang dimiliki oleh setiap manusia dan karena itu harus dihargai bahkan pada seorang pembunuh. Argumen kedua menentang pandangan utilitarian bahwa hukuman mati sebagai bentuk penjeraan tidaklah efektif. Bagaimana mungkin orang yang mati karena dihukum mati akan menjadi jera karena kematian itu sendiri memutuskan kesadaran untuk menjadi jera. Tapi bila hukuman itu diganti dengan hukuman seumur hidup tentu saja aspek penjeraan akan menjadi efektif. Argumen yang lain, hukuman mati sama sekali bertentangan dengan pengakuan terhadap keluhuran hidup manusia. Artinya suatu kehidupan yang bernilai begitu tinggi tidak patut dipakai sebagai sarana penjeraan ataupun sebagai retribusi. Apalagi dalam hal ini nilai hidup kalah daripada nilai penjeraan. Maka dari itu argumen kaum abolisionis inilah yang bisa dipakai untuk menentang hukuman mati.

Studi kasus: Hukuman mati bagi aktor utama peristiwa bom Bali
Sekarang kita melihat ke salah satu contoh yang paling konkret, yakni kasus bom Bali. Beberapa waktu lalu sudah diputuskan bahwa ada 3 pelaku utama pengeboman yang dihukum mati, yakni Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron. Permasalahannya sekarang tidak hanya berkaitan dengan kontroversi hukuman mati itu etis atau tidak, tetapi juga nilai-nilai agamis yang dipegang oleh pelaku. Tetapi, untuk membatasi pembahasan kasus ini, motivasi Amrozi yang bersifat agamis tersebut tidak akan dibahas secara mendetail.
Pertama, dalam kasus ini kita mencermati dan mengkritisi bagaimana hukuman mati dijalankan (proses eksekusi) oleh aparat dimana negara Indonesia menerapkan eksekusi tembak mati. Hukuman ini berlangsung secara tertutup. Bila proses eksekusi ini diterapkan kepada para pelaku bom Bali yang dipidana hukuman mati, kita mempertanyakan sudut utilitariannya. Apakah fungsi penjeraan (utilitarian) akan efektif dengan model eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan secara tertutup? Di banyak negara yang menggunakan hukuman mati, fungsi penjeraan berjalan secara efektif karena dilaksanakan di muka umum, tetapi di Indonesia tidak.
Bila dikaitkan dengan kelompok Amrozi cs yang masih berkeliaran dan suatu waktu akan memanfaatkan suatu momen yang sama demi nilai-nilai yang dihayatinya belum tentu juga akan menjadi takut dan jera untuk tidak melakukan pengeboman. Mengapa? Karena menurut anggapan mereka hukuman mati sudah barang tentu jalan untuk bertemu Tuhan. Jadi bagi mereka hukuman mati itu sendiri tidak mempunyai efek penjeraan dan menakutkan.
Kedua, ditinjau dari sudut retributivisme. Hukuman mati yang dijatuhkan adalah suatu tindakan adil karena sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Tapi kompensasi keadilan ini tetap tidaklah adil karena kita sendiri (masyarakat) yang membuat larangan jangan membunuh justru melakukan pembunuhan dengan dasar hukum (dilegalkan). Ini menunjukkan suatu kontradiksi dalam teori retribusi.
Ketiga, kembali ke teori hukum kodrat, yang dikuatkan oleh kaum abolisionis. Kalau memang hukuman mati yang dijatuhkan kepada Amrozi dkk itu adalah adil, apakah dengan demikian nilai adil lebih tinggi dari nilai kehidupan. Tentu saja, nilai hidup lebih tinggi di atas segala-galanya. Dan sudah sepantasnyalah kalau hukum-hukum yang ada dibuat berdasarkan nilai moral.

Kesimpulan
Dengan segala pertimbangan, argumentasi dan analisis yang sudah dibuat, baik yang pro maupun yang kontra, dari sudut pandang etika, hukuman mati bukanlah suatu tindakan etis apalagi dikatakan bermoral. Justru dengan memberikan kesempatan hidup bagi terpidana bom Bali misalnya dengan menjatuhi mereka hukuman penjara, maka poin-poin yang diajukan berbagai paham etika yang berkaitan seperti hukum kodrat, utilitarian, maupun retributif akan terwakili/terjawab. Mengapa? Karena pada dasarnya manusia itu dinamis. Dalam masa menjalani pidana penjara ada kemungkinan di mana terdakwa sadar (jera) akan perbuatannya setelah diberi kesempatan untuk berpikir/berefleksi ulang atas tindakannya. Dia akan mengoreksi tindakannya sebagai suatu kesalahan. Lebih jauh putusan menjatuhi hukuman penjara dan bukan hukuman mati adalah suatu putusan yang adil, karena ini menunjukkan kita (masyarakat) konsisten dengan larangan untuk membunuh. Maka dari itu, sikap penolakan terhadap hukuman mati bagi para pelaku pengeboman/pembunuhan tersebut menunjukkan konsistensi pandangan etika karena lebih rasional, objektif dan universal; apalagi siapakah sebenarnya yang punya kuasa kehidupan, kecuali Sang Kehidupan itu sendiri.
Sebagai catatan tambahan, bila ternyata ada beberapa pihak merasa dirugikan dengan tidak dihukum matinya Amrozi cs (misalnya pihak Australia karena banyak korban adalah warga negara Australia), kami akan bertanya apakah kerugian itu bisa menjawab persoalan hukuman mati sendiri (karena hukuman mati justru tidak akan menebus/mengembalikan kerugian nyawa yang menjadi korban, kecuali malahan menambah korban). Selain itu, bila hukuman mati jadi dilaksanakan sehingga pihak tertentu (misalnya keluarga dari para korban) merasa puas, apakah dengan demikian ‘rasa puas’ itu menjadi tindakan yang pantas dan etis?
Read more...

Saturday, October 4, 2008

Humanisme dan Komputerisasi


Pada Mei 1997, dunia tersentak ketika Deeper Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak dan dengan melihat hasil yang demikian, pada saat itu juga, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.

Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jaringan teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat ISAAC (Software yang mengendalikan mesin-mesin pengganti pekerjaan-pekerjaan fisik di dalam kantor, misalnya mengawasi setiap orang masuk, melayani konsumsi bagi para pegawai kantor, mengatur temperatur ruangan, dsb.) yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi akan banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer. Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih.
Selanjutnya, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya diklik saja maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia itu yang kadang sulit diukur, karena ini akan berdampak lebih jauh pada segi humanisme manusia. Maka dari itu, akan muncul pertanyaan yang lebih detail lagi untuk mendalami permasalahan ini: Siapakah manusia saat ini di tengah-tengah dunia maya ini?
Mengenai teknologi sendiri, kita tidak perlu mempertanyakan lagi perkembangannya sejak awal, karena memang membicarakan teknologi sebenarnya bukanlah suatu yang asing lagi. Sejak zaman manusia purba pun teknologi sudah ada. Benda teknologis pertama adalah alat-alat batu yang digunakan untuk berburu. Pada waktu itu teknologi adalah perpanjangan diri dari manusia atau dengan kata lain hanyalah sebagai objek sekunder saja, sedangkan objek utamanya adalah dunia yang manusia hadapi.
Seiring dengan waktu yang terus bergulir, ilmu pengetahuan semakin berkembang. Puncaknya terjadi pada abad ke-17 di mana di Eropa Barat terjadi percepatan (revolusi) ilmu pengetahuan. Para pemikir mendorong terjadi percepatan itu yakni melalui cara pendekatan yang sama sekali baru mengenai masalah-masalah manusia, yaitu rasionalisme-empirisme. Francis Bacon menganjurkan agar setiap pengetahuan manusia menggarisbawahi manfaatnya guna meringankan beban kehidupan. Ide ini akhirnya melahirkan eksperimen-eksperimen ilmiah, yang hasilnya diterapkan dalam teknologi. Descartes juga menganjurkan metode eksperimen, yaitu pengamatan yang eksak dan objektif terhadap tingkah laku benda. Ini berarti diadakan pengukuran secara matematis. Paham baru ini merupakan sentakan terhadap alam pemikiran abad pertengahan yang masih tradisional. Berkembanglah secara pesat ilmu pengetahuan alam, ilmu pesawat dan ilmu pasti.
Sekitar tahun 1970 mulai berkembanglah teknologi komputer. Perkembangannya begitu pesat. Dunia menjadi terkomputerisasi. Mengapa ini bisa terjadi? Ternyata evolusi komputer sangatlah cepat dibandingkan dengan evolusi alami yang dilewati manusia (selama ribuan tahun). Evolusi komputer tidak perlu memakan waktu ribuan tahun. Bahkan untuk menaklukkan Kasparov pada pertandingan ulang komputer Deep Blue tidak perlu menunggu ratusan tahun, karena program yang lama hanya membutuhkan 1 tahun untuk meningkatkan daya kerjanya.
Sebagai kerangka lanjut tulisan ini, penulis akan lebih menyoroti komputerisasi dalam pengaruhnya terhadap humanisme dengan berpijak pada pertanyaan siapakah manusia di tengah-tengah dunia maya (komputer) ini?

Artificial Intelligence
Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Bila otak manusia sungguh-sungguh merupakan jaringan neuron beserta sel-selnya, neuron dalam perangkat ini adalah sejenis silikon. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead (1995), perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.
Lebih lanjut dikatakan Gates bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja. Sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi, dan Robot (GNR).

Siapakah Kita di Dunia Maya ini?
Pesatnya teknologi terutama berkembanganya komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar memuja-muja teknologi tersebut.
Contoh yang sangat real adalah bagaimana mengukur sebuah kemakmuran suatu negara. Untuk mengukur hal tersebut parameterya adalah seberapa besar perkembangan teknologinya. Suka atau tidak, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa, lebih-lebih sekarang ini. Keterbelakangan sebuah bangsa juga bisa diukur dari tingkat kemajuan teknologinya. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Neil Postman dalam bukunya Technopoly, setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Di sinilah manusia justru didikte oleh teknologi.
Selain bencana yang mengancam itu, teknologi yang dipengaruhi komputer dan terutama mewujud dalam sistem roboter mulai dipertanyakan. Hubungan antar manusia dan teknologi komputer serta robot akan berkembang mengalami dunianya. Menurut arsitek dan ahli fisika Stefan Themerson dunia manusia akan membentuk dunia mesin ultrainteligen. Program komputer kelak mampu belajar, mengubah diri, menyesuaikan diri dengan keadaan yang berganti-ganti.
Tidak perlu menunggu kelak, sekarang sudah ada chips yang bisa menggantikan anggota tubuh yang hilang. Semisal ada orang yang kecelakaan dan kehilangan kaki kanannya. Dia bisa mengganti kaki kanannya dengan kaki palsu sekaligus terdapat chips ini. Kaki yang baru ini akan bekerja seperti kaki yang lama dan chips ini bisa beradaptasi dengan kehendak pemakainya.
Dalam era teknologi juga dikenal istilah manusia bionik. Manusia bionik tentu saja memiliki artificial intelligence. Manusia jenis ini adalah robot yang seluruh bagian tubuhnya terdiri dari chips-chips dan berfungsi seperti anggota tubuh pada manusia biasa. Bahkan dari sudut penampilan, manusia ini hampir tidak ada bedanya dengan manusia biasa.
Bila akhirnya manusia bionik ini dikembangkan, akan muncul pertanyaan apa itu kematian? Pertanyaan ini muncul karena manusia bionik tidak mengenal kematian. Bahkan, manusia bionik ketika dibentuk dengan postur anak-anak, selamanya akan tetap anak-anak dan tidak akan berubah.
Akhirnya siapakah kita di dunia maya ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan begitu saja disamakan antara manusia dan komputer. Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin, padahal kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja. Sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Dengan demikian sebenarnya komputer memutuskan dan menentukan hanya sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria.
Laureate Gerald Edelman, seorang pemenang hadiah Nobel menyatakan bahwa otak manusia tidak sama seperti komputer. Otak manusia terdiri dari jutaan jaringan neurosis yang sangat berbeda dengan komputer. Pada pertandingan catur antara manusia versus mesin, di dalam Deeper Blue ditemukan batas hitam. Sesuai dengan algoritma, komputer ini bisa mengkalkulasi 6 sampai 8 langkah ke depan. Masalahnya adalah komputer ini menggerakkan buah catur hanya berfokus pada 6 sampai 8 gerakan ke depan tersebut, dan sulit untuk mengubah keputusan dalam waktu yang singkat. Tapi kita manusia bisa memainkan catur dengan penuh strategi bahkan bisa merasakan bahaya sebelum bahaya tersebut terjadi. Dalam pertarungan itu, tidak ada banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya Deeper Blue mengalami 3 kali kerusakan.
Lebih jauh lagi, sebenarnya, permasalahan humanisme ini terletak pada manusianya sendiri. Kira-kira 60 % penduduk dunia mengalami sakit mental. Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Berhadapan dengan teknologi komputerisasi yang begitu cepat berkembang, penyakit malas ini menempatkan manusia sebagai objek dari teknologi tersebut.

Mengambil Sikap atas Komputerisasi
Setelah melihat posisi kita di dunia maya tersebut, kita mempunyai tugas untuk mempersiapkan generasi kita selanjutnya agar berani menghadapi dunia yang semakin dipenuhi teknologi canggih. Faktor terpenting dalam persiapan ini adalah pendidikan mengenai teknologi yang diadakan di sekolah. Saat ini, teknologi lebih esensial dibandingkan biologi, kimia dan fisika.
Menurut pendapat pada umumnya, teknologi mempunyai fungsi instrumental. Teknologi dipandang sebagai sarana yang digunakan manusia. Tetapi menurut Heidegger, kita berada dalam suatu situasi yang mengherankan, karena apa yang dirancang manusia sebagai sarana untuk menguasai dunia, menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malahan tidak dapat dikuasai. Anehnya, apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang menguasai manusia. Dalam pemikiran ini, Heidegger tidak bersikap negatif terhadap teknologi. Ia tidak menolak apalagi mengutuk teknologi modern. Ia tidak anti pun juga tidak pro. Ia mencoba mengerti keadaan di mana manusia berada. Namun ia melihat suatu bahaya bahwa manusia akan kehilangan hakekatnya, sebab hakekat manusia adalah keterarahannya pada ketidaktersembunyian.
Inilah yang dapat diterapkan dalam pendidikan bagi generasi kita. Dalam studi tentang teknologi, kita mesti menyadari hakekat kita, yakni keterarahan kita pada realitas kita. Kita merancang teknologi bukan dengan maksud teknologi memperbudak kita dan membuat malas diri kita tetapi teknologi dibuat untuk membantu kita.
Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang menurut kodratnya mendambakan kebahagiaan. Dalam era teknologi ini, pemenuhan kebutuhan kebahagiaan itu terpenuhi oleh adanya mesin-mesin teknologi. Mesin-mesin ini adalah instrumentalisasi yang merupakan suatu istilah kunci. Mula-mula teknologi ini hanya dipraktekkan dalam hubungan dengan alam saja, tetapi lama kelamaan diterapkan juga pada manusia dan seluruh lapangan sosial. Bukan saja benda-benda dan alam diperalat serta dimanipulasikan, tetapi hal yang sama berlangsung juga di seluruh wilayah politik, sosial dan kultural.
Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Marcuse dewasa ini, sistem totaliter bukan berasal dari sesama manusia seperti pada zaman perbudakan. Sistem totaliter justru berasal dari teknologi. Dengan kata lain teknologi sama sekali bukan merupakan sesuatu yang netral, bukan merupakan suatu wilayah yang bebas nilai. Sejauh teknologi memungkinkan kemajuan di bidang sosial-ekonomis, memenuhi kebutuhan manusia, menyenangkan, meringankan dan mengurangi pekerjaan, maka sejauh itu pulalah sikap kritis manusia menciut.
Dalam menyikapi penyakit-penyakit yang dialami manusia seperti di atas dalam menghadapi teknologi pertama-tama Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern sebagai sesuatu yang merugikan atau tidak berguna. Ia tidak mau kembali pada keadaan zaman pra-teknologi. Basis teknologi tetap perlu bagi masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif.
Maka dari itu pembelajaran yang diterapkan pada generasi yang akan datang ditambahkan oleh Marcuse dalam kaitannya dengan masyarakat. Kita tahu sejauh mana dampak negatif teknologi terhadap masyarakat kita, di mana kita menjadi tidak perhatian lagi dengan sesama kita. Kompetisi yang ditimbulkan oleh teknolgi membuat dunia hanya sebatas diri kita saja. Dengan mengubah teknologi menjadi kualitatif mengajak kita untuk memperhatikan kualitas masyarakat kita. Dunia kita ini milik kita bersama bukan milik orang per orangan, maka perlu kita jaga bersama.

Kata Akhir
Sebagai kata akhir untuk menjawab siapakah kita dalam dunia maya dari sudut pandang kita harus mulai dengan menentukan kegiatan-kegiatan manusia dan menggarisbawahi bagaimana kegiatan-kegiatan itu bersifat khas manusia sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan mesin.
Ciri khas manusia adalah asimilasi. Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Mesin pada saat tertentu konstruksinya juga dapat memperlengkapi dirinya, namun hal ini tidak dilakukan melalui asimilasi materi. Bagian-bagian yang melengkapinya, seperti juga bagian-bagian yang sudah dipakai untuk menyusunnya tetap berada di luar dan asing satu sama lain. Bagian-bagian itu tidak diubah menjadi satu substansi yang unik, tidak pula diasimilasikan lewat subjek, karena mesin bukan substansi dan bukan pula subjek. Mesin bukan suatu “ada” yang berkembang dari dalam, tetapi suatu yang melengkapi dirinya dari luar; bukan suatu keseluruhan natural, melainkan suatu kesuluruhan artifisial.
Selain membentuk dan mengembangkan dirinya, manusia juga dapat memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya. Dan dia mengerjakan itu dari substansinya sendiri, dari dalamnya sendiri, dari apa yang dibuat oleh organismenya sendiri. Sebaliknya, tidaklah demikian dengan mesin, karena mesin mengganti bagian-bagian yang rusak dengan bagian-bagian yang sama, yang diambilnya dari luar. Sebab mesin tidak mempunyai interioritas, meskipun dia memiliki sesuatu yang bisa dikatakan “bagian dalam”.
Manusia mempunyai suatu kemampuan lagi yang luar biasa, yaitu: mereproduksikan dan melipatgandakan dirinya, membuat dalam dirinya bibit atau tunas yang akan menjadi suatu mahluk hidup baru, suatu mahluk yang akan menjadi gambarannya, dan menjadi penerus spesiesnya. Sebuah mesin juga dapat menyusun mesin-mesin lain menurut model yang dipergunakan untuk menyusun dirinya sendiri, tetapi dia tidak membuat mereka dari substansinya sendiri. Orang tidak akan mengatakan bahwa mesin-mesin baru itu merupakan keturunan dari mesin lama, atau lahir dari “ada”-nya mesin yang pertama. Mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, jadi tidak akan bisa membuat apa yang disebut keturunan yang sesungguhnya. Dia hanya mengumpulkan materi-materi yang ditemukan di luar dirinya, untuk membuat keseluruhan-keseluruhan artifisial, yang bagian-bagiannya tetap asing satu sama lain, juga sesudah dikumpulkan. Karena mesin tidak mempunyai “ada” yang khas, maka dia tidak bisa mengeluarkan dari dirinya suatu “ada” lain yang serupa dengannya dan yang benar-benar berotonomi.
Lebih lanjut lagi, manusia tak hanya mengembangkan, memperbaiki dan memproduksikan dirinya. Dia juga dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Mesin kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa apa yang mengganggunya, mesin akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali. Seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalananya untuk mencapai dengan pasti tujuan ke manapun mereka diluncurkan. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka. Yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan trampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain ialah manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan, walaupun akhirnya pekerjaan yang dilakuakan oleh mesin-mesin akan lebih baik dibandingkan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia
Read more...

Wednesday, October 1, 2008

"Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta "


Berisi Refleksi Mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta
yang berusaha meretas perbedaan menjalin kerja sama Lintas iman.
Sebuah buku inspiratif yang menggerakkan orang muda untuk bersatu
menata kehidupan masyarakat agar lebih damai, sejahtera dan bahagia.
Tertarik untuk mendapatkannya!!! Hub: didikedu@gmail.com

Harga buku
Rp. 23.000,00
ongkos kirim Rp. 9000,00 (khusus P. Jawa)
Read more...

Tuesday, September 30, 2008

Indonesia dalam Pola Pikir Mitos dan Realitas


Memahami Mitos dan Realitas
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dan bermacam ragam suku bangsa. Dibandingkan dengan banyak negara lain yang tidak memiliki keanekaragaman seperti ini, tentu saja letak geografis dan pluralitas penduduk telah cukup membedakan Indonesia di tengah-tengah dunia. Namun, sebagai bangsa manusia, bangsa Indonesia sama dengan bangsa lain, yakni dalam mengalami proses peradaban. Kesamaan proses peradaban itu terletak pada cara pola pikir yang pada mulanya berdasarkan mitos. Mengapa demikian?

Di dalam mitos, manusia dekat dengan daya kekuatan alam, di mana manusia tinggal di dalamnya. Nenek moyang kita atau manusia pertama, kalau boleh dikatakan demikian (tetapi bisa juga manusia zaman ini—kalau masih melakukannya juga), bertanya-tanya dari mana dunia kita ini, dari mana kejadian-kejadian di dalam alam, apa sebab matahari terbit dan terbenam lagi? Dan mitos menjawabnya. Dengan kata lain, sebenarnya, mitos ingin memberikan pedoman dan arah tertentu kepada perilaku manusia, dan merupakan semacam pedoman untuk bertindak bijaksana. Akhirnya, lewat mitos, manusia dapat mengambil bagian dalam kejadian-kejadian di sekitarnya, dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam itu. Keterangan di atas paling sedikit telah menunjukkan bahwa mitos adalah suatu usaha percobaan manusia untuk mengerti kejadian-kejadian di alam.
Pola pikir berdasarkan mitos mengajak manusia untuk berkembang melalui tahap-tahap peradabannya dari menemukan sesuatu yang asing menuju ke sesuatu yang dikenal. Ini adalah suatu hal yang dapat kita katakan sebagai pola kemanusiawian biasa. Implikasinya, berpikir berdasarkan mitos adalah suatu bakat manusiawi, tidak bisa kita hindari. Demikianlah yang dialami oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia, walaupun dapat dipergunjingkan lagi ketika perilaku semacam ini masih bertahan sampai sekarang.
Kuntowijoyo dalam artikelnya Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, menunjukkan dan mempergunjingkan pola pikir berdasarkan mitos. Dia melihat bahwa perilaku ini adalah suatu khurafat nasional yang tidak mampu menghadapi keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum, di mana ketiganya dalam posisi sebagai realitas bangsa—dilawankan dengan mitos. Terlepas dari adanya sisi positif di dalam pola pikir berdasarkan mitos itu (sedikit sudah diungkapkan pada paragraf sebelumnya), salah satunya terkait dengan kemanusiawian kita, kita dapat mulai memahami tulisan budayawan yang satu ini.
Pantas disadari bahwa dalam dunia mitos, manusia belum merupakan seorang individu (subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan ajaib, seolah-olah dia diresapi oleh roh-roh dan daya-daya dari luar. Percobaan untuk mengerti tentang alam baru sekedar luarannya saja. Dengan demikian tampak bahwa belum ada batasan yang jelas antara manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek. Titik kelemahan inilah yang sebenarnya mempengaruhi pola pikir umum bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang masih berpola pikir berdasarkan mitos. Dan yang paling bahaya kalau itu mempengaruhi eksekutif negara, yang notabene akan sangat berpengaruh pada pengelolaan negara. Mengapa?
Ketidakjelasan batasan ini membuat manusia mudah untuk membela diri. Tentu saja bagi manusia yang tidak ingin disentuh apalagi yang berkaitan dengan hal-hal privat akan senang berperilaku berdasarkan mitos. Mitos menjadi sebuah legalitas dan rasionalisasi bagi untouchable person yang berkepentingan untuk menghindar dari rasa sakit. Lihat saja perilaku beberapa pemimpin eksekutif kita yang berpola pikir berdasarkan mitos! Mereka ingin menjauhi dari cercaan, seolah-olah apa yang dilakukan benar adanya, ada yang dimitoskan dan tidak bisa diganggu gugat. Mitos dijadikan sebuah alat bagi bermacam-macam interes pribadi dan kelompok. Akibatnya, permasalahan-permasalah real sama sekali akan tetap ada karena sama sekali tidak disentuh.
Menarik untuk menyimak lebih jauh pandangan dari Kuntowijoyo mengenai mitos dan realitas, walaupun kelihatannya wacana keindonesiaan menjadi agak complicated. Bagaimanapun juga, sebuah perubahan pola pikir dari mitos menuju realitas, yang ditawarkan Kuntowijoyo, adalah suatu hal yang diharapkan agar terjadi perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam tulisan ini, pertama-tama penulis hendak menyimak tulisan Kuntowijoyo dari konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan dan menganalisisnya—selain tentunya, juga membicarakan wacana keindonesiaan. Untuk mudah mengikuti garis besar penulisan, pertanyaan-pertanyaan berikut adalah acuannya: Apa hubungan antara mitos dan konformitas dalam konsep sosiologis konformitas dan penyimpangan? Apa kecenderuangan umum perkembangan masyarakat Indonesia, konformis atau menyimpang, atau keduanya atau tidak keduanya?

Konformitas atau Penyimpangan
Sebelum menentukan yang manakah konformitas atau penyimpangan antara mitos dan realitas, kita mesti lebih dulu mengerti apa itu konformitas dan penyimpangan. Konsep konformitas merupakan hasil dari proses sosialisasi. Menurut Jon M. Shepard, konformitas merupakan bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok. Misalnya kita berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan karena identitas diri kita sebagai laki-laki atau perempuan diberikan kepada kita melalui sosialisasi.
Sedangkan penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Dalam sosiologi penyimpangan ditambahkan bahwa perilaku penyimpangan bukan penyimpangan yang an sich atau sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Definisi tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam masyarakat ataupun pada masyarakat umum.
Berdasarkan pemahaman konsep sosiologis di atas, kita sudah dapat mendistingsikan antara mitos dan realitas ke dalam konformitas atau penyimpangan. Dari tulisan Kuntowijoyo, Pola pikir berdasarkan mitos adalah sebuah konformitas. Alasan pertama yang dapat mendukung pendapat itu adalah bahwa pola pikir mitos adalah perilaku yang diharapkan kelompok, dalam hal ini mayoritas masyarakat Indonesia. Mayoritas inilah yang turut menentukan identitas bangsa bahkan mempengaruhi sosialisasi kebudayaan orang per orang di dalamnya termasuk terhadap generasi berikutnya. Dan, alasan kedua, berlandaskan ciri konformitas di mana memperlihatkan betapa mudahnya manusia dipengaruhi orang lain, kita bisa melihat fenomena kehidupan politik dalam tulisan Kuntowijoyo, di mana masyarakat Indonesia dipengaruhi untuk percaya pada mitos-mitos politik seperti mitos tentang kembalinya pulung kerajaan dan mitos tentang tumbal. Ini semakin fenomenologis ketika dibuat oleh seorang Soekarno, Soeharto atau bahkan seorang Gus Dur yang merupakan seorang public figur, yang tentu saja memiliki simpatisan.
Sebaliknya, pola pikir berdasarkan realitas merupakan sebuah penyimpangan. Pola pikir ini tidak umum dan tidak normal. Tentunya penilaian ini dinilai oleh orang-orang yang konformis. Lihat saja bagaimana seorang Habibie melakukan tindakan yang berpola pikir berdasarkan realitas. Justru dia mesti didepak dari jabatan ini karena tidak umum.
Pembedaan antara mitos sebagai konformitas dan realitas sebagai penyimpangan, seperti yang sudah diungkapkan di atas, boleh dikatakan sudah mengikuti konsep-konsep sosiologis yang diberikan. Tetapi, kalau melihat secara tajam tulisan Kuntowijoyo, ternyata berlaku sebaliknya. Justru mitos adalah sebuah penyimpangan sedangkan realitas adalah sebuah konformitas. Mengapa?
Kalau semata-mata hanya melihat pada pola penulisannya, kentara sekali, bahwa tulisan ini konformis terhadap pandangan Kuntowijoyo sendiri yang justru mendukung realitas dan sungguh menolak mentah-mentah mitos. Maka dari itu Kuntowijoyo tidak segan-segan menyebutkan titik kelemahan mitos (sebagai sebuah penyimpangan) dan memaparkan proses demitologisasi. Istilah khurafat nasional merupakan istilah yang semakin mendukung bahwa mitos adalah sebuah penyimpangan.
Dengan demikian perlu ditekankan dalam konsep sosiologis ketika akan menilai apakah ini suatu konformitas atau penyimpangan, yakni tergantung pada definisi sosial. Bukan suatu hal yang mustahil bila pendistingsian akan berbeda antara yang berlaku secara umum di masyarakat (kenyataan) dengan kelompok-kelompok kecil atau bahkan seperti tulisan ini sendiri. Dalam pengertian sempit, siapa saja bisa menganggap dirinya konformis karena pastilah pertama kali mengklaimnya (suatu pembelaan diri juga, bukan?), sedangkan orang lain dianggap menyimpang.
Kecenderungan Umum
Tentu saja setelah menyimak pembahasan dan analisis pada bagian sebelumnya, kita dapat mengetahui kecenderungan umum perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini, yakni berpola pikir berdasarkan mitos. Kecenderungan umum yang diidentifikasikan sebagai sebuah konformitas tentu saja tak bisa dilepaskan dari berbagai faktor lain yang mempengaruhinya—selain yang sudah disebutkan di atas mengenai konsep mayoritas. Psikoanalisa Freud bisa membantu memahami prinsip bertindak yang pada umumnya berlaku pada sebuah masyarakat. Dalam psikoanalisanya, Freud menyebutkan bahwa salah satu fungsi masyarakat adalah untuk menghambat dan menekan impuls-impuls naluriah perorangan. Inilah yang kita yakini sebagai sebuah psikologi massa yang memampukan ego-ego seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat.
Sebagai faktor lain yang bisa mempertegas bahwa kecenderungan umum bangsa Indonesia berpola pikir berdasarkan mitos adalah perumpamaan Gua Plato. Perumpamaan ini hendak membicarakan tentang manusia. Adalah beberapa tawanan yang sejak lahirnya terbelenggu, mukanya tidak dapat bergerak dan hanya bisa memandang ke dinding gua. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang orang yang hilir mudik, yang dibentuk oleh cahaya api di belakang mereka. Para tawanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain. Suatu kali ada seorang tawanan yang memberontak. Dia melepaskan diri dari belenggu dan berbalik melihat cahaya api, sekaligus pula keluar dari gua. Pertama-tama, dia merasa baru saja meninggalkan sebuah realitas, tetapi berangsur-angsur ia sadar bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa ia belum pernah memandangnya. Dia kembali kepada teman-temannya dengan maksud untuk mengajak mereka untuk mengalami realitas yang baru saja dirasakannya, tetapi apa jawaban dari temannya? Tak disangka, ternyata memarahi dan tidak percaya, dan seandainya teman-temannya tidak terbelenggu, mereka pasti akan membunuh dia yang hendak melepaskan mereka dari gua.
Demikianlah kenyataannya, bahwa manusia yang digambarkan secara filosofis oleh Plato, pada dasarnya akan tetap mengindahkan pola pikir berdasarkan mitos. Ini bisa dikenakan kepada bangsa manapun, khususnya dalam hal ini, bangsa Indonesia. Sedangkan, orang yang justru melihat realitas sebenarnya, yang berani keluar, adalah orang yang melakukan suatu tindakan menyimpang.
Di samping kecenderungan umum ini, kita mesti pula mengakui bahwa ada kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat yakni pola pikir berdasarkan realitas. Walaupun ini sebuah penyimpangan—kata orang-orang yang berpola pikir mitos, eksistensi mereka tetap dapat menjadi sebuah momen yang suatu saat akan berkembang menjadi sebuah perilaku atau identitas (kebudayaan) bangsa atau dalam hal ini menjadi suatu konformitas pula.
Mungkin saja tindakan Habibie atau segelintir orang-orang yang berani keluar dari gua, hanya merupakan tindakan-tindakan kecil, tapi dari sinilah awal sebuah perubahan atau demitologisasi yang tentunya akan membawa perubahan pula pada pembangunan bangsa Indonesia.
Analisa Merton
Konsep sosiologis yang cocok untuk menganalisis tulisan Kuntowijoyo adalah konsep sosiologis menurut Robert K. Merton. Sebelum masuk lebih jauh, penulis menangkap bahwa tulisan tersebut terjadi pada jenjang makro, yaitu pada jenjang struktur sosial. Menurut argumen Merton, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku konformis, tetapi menghasilkan pula perilaku menyimpang, struktur sosial menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial; menekan orang tertentu ke arah perilaku nonkonform. Ada 5 tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu yang diidentifikasikan oleh Merton, yakni: konformitas, inovasi, ritualisme, retreatisme dan pemberontakan (rebellion).
Dalam tulisan Kuntowijoyo sendiri, pola adaptasi yang digunakan adalah cara pemberontakan (rebellion). Dalam pola adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain. Tujuan budaya yang ada dianggap sebagai penghalang bagi tujuan yang didambakan. Cara yang tersedia untuk mencapai tujuan pun tidak diakui.
Lebih jauh, muncul pertanyaan mengapa bangsa Indonesia disebut sebagai struktur sosial? Dan mengapa konformitas dan penyimpangan terkait di dalamnya? Menurut Merton pula, ciri dasar dari suatu struktur sosial ialah bahwa status tidak hanya melibat satu peran terkait melainkan sejumlah peran terkait. Bila kita masukkan bangsa Indonesia sebagai suatu struktur sosial, kita bisa melihat sejumlah peran terkait di dalamnya. Peran sebagai bangsa Indonesia tentu saja tidak terkait dalam hal politik dengan pemerintah atau dengan partai atau kelompoknya, tetapi tentu saja terkait dengan orang lain di sekitarnya yang bisa berhubungan secara ekonomi, kebudayaan atau bidang yang lain. Maka karena peran yang saling terkait inilah, tidak bisa dihindari bahwa ada tindakan konformitas dan penyimpangan.
Berikutnya, kita akan melihat mengapa penyimpangan merupakan suatu pola adaptasi pemberontakan (rebellion) terhadap konformitas. Ada 2 determinasi yang dipaparkan oleh Merton dalam tipologi adaptasinya, yakni tujuan budaya dan cara yang diinstitusionalisasikan. Dalam pola pikir berdasarkan mitos, ambil contoh saja anggapan khalayak umum tentang mitos adanya kharisma sang Ratu Adil. Ketika anggapan ini ditempatkan pada seorang Soekarno, masyarakat mempunyai tujuan dan berharap beliau bisa mengatasi krisis dari keterjajahan menuju kemerdekaan. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya. Tujuan itu tidak pernah tergapai, masyarakat malahan dibuai dengan tindakan Soekarno yanng justru menjadi penjajah sendiri, maksudnya, bahwa dengan Demokrasi Terpimpin, sama saja menempatkan Soekarno sebagai penjajah. Masyarakat sadar dan muncul mitos Firaun, dan akhirnya Soekarno lengser. Sama halnya dengan pengganti berikutnya, Soeharto. Pepatah “habis manis sepah dibuang” begitu tepat dikenakan kepada mereka. Garis besarnya, tujuannya pun—baik yang dilakukan oleh Soekarno maupun Soeharto, tak disadari telah menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Kalau tujuannya sudah tidak jelas bagaimana mungkin caranya juga jelas. Implikasi lebih jauh, dengan terus berulangnya kejadian seperti ini, tak pelak lagi, masyarakat mebudayakan pola pikir berdasarkan mitos.
Sebaliknya, dengan adanya penyimpangan—tanda sebuah pemberontakan, bergantilah haluan, menuju pola pikir berdasarkan realitas. Tujuannya pun dipertegas dengan salah satu bentuk demitologisasi yakni dari abstrak menuju konkret, yakni memperbaiki bangsa yang sedang dilanda keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum. Lalu, cara yang digunakan pun diganti—bukan menghindar dan menggunakan simbol, tetapi memperkenalkan ilmu pengetahuan, gerakan puritanisme dalam agama dan pengenalan sejarah dan seni.
Demikianlah kita melihat suatu pemberontakan pola pikir berdasarkan realitas dari pola pikir berdasarkan mitos.

Akhir Kata: Sebuah Refleksi
Bukan tidak mungkin bahwa suatu saat kecenderungan umum yang ada dalam masyarakat Indonesia menempatkan realitas sebagai sebuah konformitas sedangkan mitos sebagai penyimpangan. Kejadian ini tergantung ke arah mana bangsa Indonesia bersikap terhadap kebudayaannya.
Quo vadis Indonesia, menjadi sebuah pertanyaan yang cocok sebagai akhir kata dalam tulisan ini. Tepatlah istilah yang digunakan Kuntowijoyo bahwa kita hanya berjalan di tempat, karena kita sama seperti nenek moyang kita yang berpikir berdasarkan mitos. Sekaligus pula ini sebuah pertanda dan pertanyaan untuk menjawab tanda-tanda zaman (melalui permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia—keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa, dan anarki hukum). Bisa jadi kita tetap mengindahkan mitos sebagai sebuah kemanusiawian (memandang positif) kita. Dan mulai membuka diri terhadap pola pikir berdasarkan realitas. Tentu saja ini semata-mata sebuah wacana keindonesiaan, karena inilah yang sedang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk selanjutnya. Seperti pula dalam perumpamaan Gua Plato, mau kemanakah kita berjalan, tetap di dalam gua atau pergi keluar gua dan menemukan realitas sesungguhnya?
Akhirnya, penulis pun sadar bahwa tulisan Kuntowijoyo adalah sebuah olahan refleksi yang mengamati keadaan masyarakat secara global dengan memperhatikan gejala sosial yang terjadi dalam kultur kebudayaan bangsa. Walahuallam, semoga harapan dari Kuntowijoyo dapat tercapai dan Indonesia meninggalkan khurafat nasional.
Read more...

Monday, September 29, 2008

Paradigma Tindakan Sosial: “Socrates & Mimbar Bebas”


Peradilan Socrates yang dengan jelas menunjukkan rusaknya demokrasi di Athena, adalah usaha dari Socrates sendiri untuk menghidupkan kembali api demokrasi yang tertuang dalam kebebasan berbicara. Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir dengan tindakan-tindakan sosial yang dilakukannya. Dengan pendekatan paradigma tindakan sosial, kita memahami (verstehen) implikasi-implikasi dari perbuatannya. Walaupun peradilan itu sebuah skandal, akhirnya itu bisa memberikan analogi yang tepat untuk keadaan negara kita pada tahun 1996. Walaupun Socrates minum racun, kebebasan bicara tidak bisa dihukum.

***
Sama seperti organ-organ yang bersatu membentuk tubuh, seorang individu bersatu dengan individu-individu lain membentuk masyarakat. Organ-organ itu tidak bekerja sendiri tapi saling bekerjasama, demikianpun juga individu berinteraksi satu sama lain. Interaksi itu bisa berupa konflik, persaingan, pembagian kerja, persahabatan, hirarki, atau berupa bentuk lainnya. Dalam tataran sosiologi mikro, interaksi itu menjadi obyek sosiologi. Banyak ahli sosiologi mengkhususkan diri pada studi interaksi sosial, salah satunya adalah Max Weber, yang mengemukakan bahwa pokok bahasan sosiologi adalah tindakan sosial.
Peradilan Socrates merupakan salah satu momen yang menunjukkan bagaimana seorang Socrates berinteraksi dengan masyarakat Athena pada waktu itu. Dengan mengacu pada paradigma tindakan sosial, tulisan ini akan menjelaskan hubungan interaksi itu.

Inti Permasalahan
Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam artikelnya “Socrates & Mimbar Bebas” menganalogikan Peradilan Socrates untuk melihat demokrasi di Indonesia. Menarik untuk disimak, sebab artikel ini adalah bagian dari kumpulan tulisan dari buku berjudul Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999. Apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1996-1999? Apa yang terjadi pada hari-hari di sekitar tanggal penulisan artikel ini (10 Agustus 1996)?
Menengok sejenak ke belakang, ke pengalaman sejarah bangsa Indonesia, pada kurun waktu itu, terjadi pergeseran politik yang begitu besar dan berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Peristiwa 27 Juli 1996 bisa dikatakan sebagai pemicu, karena melalui peristiwa itu, terlihat jelas bagaimana rusaknya politik negara dan demokrasi macam apa yang sedang berkembang di Indonesia.
Di sinilah letak inti permasalahan yang hendak disampaikan SGA dalam artikel ini. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan:
"Socrates minum racun, namun kebebasan bicara tidak bisa dihukum. Seseorang bisa saja berpikiran salah, tapi ia tak selayaknya dipersalahkan karena berpikir. Untuk bicara lebih lurus: Socrates menjadikan dirinya martir kebebasan berpikir. Tapi dalam setiap zaman di mana digelar sebuah mimbar bebas, selalu masih akan ada risiko ketika pendengarnya tidak mampu berpikir sama sekali – kecuali bahwa telinganya menjadi panas."
Dalam kehidupan berdemokrasi, rakyat diberi kebebasan berbicara. Tapi, kenyataannya pada masa itu, kebebasan berbicara, sulit mendapatkan tempat. Tidak hanya Socrates yang dihukum, tapi banyak orang (manusia Indonesia) yang harus menerima kenyataan dipersalahkan, ditangkap, bahkan dihukum.
Ironinya, masih banyak juga orang yang sudah terindoktrin untuk pasif, dan sama sekali tidak mampu mengungkapkan pikiran pribadinya (NB: Sukab yang gagap bermimpi bicara lancar di mimbar bebas). Kurun waktu berikutnya, semakin terlihat bagaimana demokrasi itu semakin berkembang, di dalam pergeseran politik yang benar-benar mehong (gila).

Hubungan Antara Tindakan Socrates dengan Masyarakat Athena
Menurut Weber, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri, misalnya, tidak dapat kita anggap sebagai tindakan sosial. Tetapi menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain merupakan suatu tindakan sosial. Tindakan ini merupakan kegiatan individu, dan tidak pernah merupakan kegiatan kelompok-kelompok. Menurutnya pula, sosiologi adalah suatu ilmu yang ingin memahami (verstehen) tindakan sosial dengan mengintepretasikannya dan dengan demikian ingin menjelaskannya menurut sebabnya.
Dalam Artikel ini, Socrates memilih untuk minum racun karena mempertahankan kebebasan berbicara (bagian dari demokrasi). Keputusan hukuman mati adalah bagian dari strateginya untuk kalah dan memang dengan sengaja dia memancing kemarahan juri. Socrates mendapatkan kemenangan karena dia mampu membuat mereka mengkhianati demokrasi. Bahkan, dia tidak melepaskan peluang untuk memperlihatkan kebodohan lawan-lawannya: “karena itu saya sangat heran, bagaimana Anda bisa mengatakan saya melakukan kesalahan yang layak dihukum dengan hukuman mati.”
Inilah tindakan sosial yang dilakukan Socrates untuk menggugat praktek demokrasi di Athena. Suatu paradoks: Athena merupakan benteng kehormatan kebebasan bicara, tapi malahan melakukan kesalahan dengan menghukum seseorang yang mempraktekkan kebebasan berbicara.
Tindakan Socrates untuk menghindari segala cara mendapatkan hukuman yang lebih ringan, bahkan kesempatan untuk menang dan bebas adalah suatu tindakan sosial lainnya, yang ia lakukan untuk menghindari kemenangan atas prinsip-prinsip demokrasi yang selalu ia cemoohkan. Socrates sedang berusaha menelanjangi demokrasi Athena. Dia berani mengorbankan dirinya, karena yakin bahwa kebebasan berbicara tidak bisa dihukum.
Hasil memahami (verstehen) tindakan sosial menurut sebab-akibat di atas tidaklah lebih dari sebuah hipotesa. Ini bisa salah. Sebab, kadang-kadang orang yang bertindak itu sendiri tidak mengetahui apa motif yang sesungguhnya. Maka, berikutnya, harus membahas komponen kedua dalam metode Weber, yakni Tipe ideal.
Tipe ideal adalah suatu alat bantu: tipe itu menciptakan ketertiban dengan gejala-gejala, dan orang dapat juga secara sistematis membandingkan kenyataan empiris dengannya, tidak saja agar orang dapat menemukan penyimpangan-penyimpangan, tetapi juga agar dengan demikian orang memperoleh pengertian yang lebih baik tentang situasi sebagaimana kenyataannya.
Tipe ideal sama sekali tidak memasukkan bentuk ideal dari suatu gejala. Tipe ideal harus dapat dipahami secara interpretatif dan lagi pula isinya harus seobyektif mungkin.
Weber telah membangun tipe-tipe ideal dari fenomena historis yang berdiri sendiri, seperti Calvinisme dan Kapitalisme. Tipe-tipe ideal itu ialah konstruksi-konstruksi yang dengan demikian tidak terdapat dalam kenyataan, tetapi yang melayani tujuan penelitian tertentu, misalnya hubungan satu sama lain. Untuk itu perlu dipikirkan implikasi-implikasinya: ke manakah Calvinisme dan Kapitalisme menjurus.
Untuk melihat lebih jelas Peradilan Socrates dengan menggunakan tipe ideal, maka kita mencoba membayangkan diri kita di tempat pelaku sehingga dapat ikut menghayati pengalamannya. Baiklah kita memulainya dengan melihat latar belakang Athena pada abad ke-5 SM. Waktu itu berkembang aliran sofistik (dari kata sophos, artinya cerdik pandai). Lama-kelamaan kata itu berubah artinya menjadi gelar ejekan bagi orang yang pandai memutar lidah, pandai bermain dan bersilat dengan kata-kata.
Para sofis terlalu mengemukakan pendirian yang subjektif, relatif, dan skeptis. Pendapat mereka adalah: “Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah menurut pandangan manusia”. Mereka menerapkan teori relativisme dan bersikap skeptik, sehingga pengaruhnya mengakibatkan orang tak tahu lagi apa yang benar untuk sekarang dan yang akan datang. Retorika menjadi awal dan akhir ajaran sofistik. Retorika jadi alat pembela kebenaran yang dikemukakan. Oleh karena “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”, maka tiap-tiap pendirian dibenarkan dengan memikat perhatian orang banyak. Kalau orang banyak mengakuinya, itu sudah benar. Akibat dari itu, sikap individualisme berkembang.
Fakta inilah yang menyebabkan Socrates memperjuangkan kebenaran. Bagi dia, filosofi merupakan fungsi yang hidup. Tujuan filosofi Socrates ialah “mencari kebenaran yang berlaku selama-lamanya”. Maka, kebenaran itu tetap dan harus dicari. Ini sungguh berbeda dengan para sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif, dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis.
Dengan filosofinya yang teraktualisasi dalam hidupnya ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Ini merupakan suatu tindakan sosial. Ia bertanya jawab dengan para sofis. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Seorang sofis yang semula dipuji banyak orang sebagai guru, lama kelamaan tidak bisa menjawab pertanyaan dari Socrates, dan akhirnya dicemoohkan. Dengan caranya yang berani dan jujur itu Socrates banyak memperoleh teman.
Tetapi tindakan sosial yang telah dilakukannya membuat para sofis terancam, dan mereka menuduh bahwa dia telah mengemukakan dewa baru dan telah merusak jiwa para pemuda. Dia diadili dan dihukum mati pada akhir sidang kedua. Inilah sebuah skandal yang telah dilakukan Athena, yang katanya adalah kota demokrasi.
Keberanian Socrates dalam berbicara adalah keberanian dia untuk melawan penyimpangan yang dilakukan kotanya (rupanya para sofis mengubah Athena dari demokrasi ke anarki melalui ajarannya). Hubungan sebab-akibat semua di atas adalah sebuah konstruksi sejarah yang memperlihatkan hubungan Para Sofis dan skandal Peradilan Socrates. Implikasinya menjurus pada penciptaan masyarakat yang anarkis, dan tidak sama sekali memperjuangkan demokrasi (kebebasan berbicara). Implikasi lainnya, obyek berpikir filsafat yang menekankan pada anthrofomorfis (berpusat pada manusia) menjadi agak kabur. Namun sebaliknya, dengan skandal Peradilan Socrates, demokrasi mulai kembali ditegakkan dan obyek anthrofomorfis dijernihkan, dengan semakin banyaknya murid-murid Socrates (seperti Plato, Aristoteles, dsb).

Kritik terhadap Paradigma ini
Melihat analisa paradigma tindakan sosial terhadap hubungan antara Socrates dan masyarakat Yunani, ternyata metode yang digunakan oleh Weber tidak selalu konsisten. Ternyata Weber masih perlu menggunakan pengertian-pengertian yang menunjuk kepada keseluruhan kolektif. Bahkan dalam hal ini menggunakan metode Durkheim, yang melihat sosiologi secara makro.
Para sofis, pada waktu itu bisa dikatakan sudah terinstitusi. Pola berpikir mereka sudah terinstitusionalisasi dan menjadi umum di kalangan masyarakat Athena. Peradilan Socrates sendiri adalah bentuk nyata dari institusi itu. Dengan kata lain ini sebuah fakta sosial. Lalu, harus seberapa konsistenkah paradigma ini?
Weber menambahkan bahwa institusi atau kelompok itu dalam paradigmanya dipakai sejauh itu adalah supra-individual (soziale Gebilde), dalam kasus ini sofis bertindak hanya sebagai anggota dari suatu kelompok para sofis. Tapi, tetap sulit dijadikan batasan, bila itu dilakukan pada penelitian yang lain, misalnya terhadap ketidaksamaan kelompok sosial dalam masyarakat yang menciptakan konflik. Di sinilah letak ketidakkonsistenannya. Weber menggunakan tipe ideal tapi tidak konsisten dengan substantialnya.
Read more...

Wednesday, September 24, 2008

Mencermati Konflik!

Begitu banyak konflik telah mewarnai sejarah umat manusia sampai masa kini. Konflik-konflik di berbagai belahan dunia seperti di Palestina, Irak, Afganistan ataupun konflik lokal, seperti tragedi bom Bali, perang Aceh, perang jihad, mau tak mau akan membawa kita pada pertanyaan mendasar: Apakah manusia belum puas dan tidak mau belajar dari sejarah hitam masa lalunya sendiri? Bagaimana pahitnya PD I dan PD II bila ternyata sekarang ini manusia mulai lagi dengan konflik-konflik yang baru?

Kisah purba Kain dan Habel rupanya semakin mewujud menjadi bentuk-bentuk konflik yang lebih besar dan kompleks. Konflik-konflik ini seperti menjadi bagian dari hidup yang tidak bisa dielakkan dan dihindari. Memang manusia mencoba belajar dari pengalaman-pengalaman pahit itu, tetapi tampaknya manusia tak pernah jera untuk menciptakan konflik baru lagi.

Heran-Refleksi-Eksplorasi
Apa sebenarnya konflik itu? Konflik adalah ketegangan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih, entah dalam berpendapat atau kepentingan. Konflik ini bisa bersifat kecil saja antarpribadi, tetapi juga bisa menjadi perang besar.
Gabriel Marcel dalam refleksi filosofisnya menjawab persoalan dasar konflik ini. Pemikiran refleksifnya membangun sebuah metode yang berangkat dari kehidupan menuju ke taraf pemikiran, lalu turun lagi ke kehidupan. Metode itu terdiri dari tiga langkah. Pertama, mengagumi dan heran (admiration) akan situasi kita sendiri. Caranya adalah mau terbuka dan mau menerima realitas yang mewahyukan diri kepada kita. Ketidakmampuan orang untuk membuka diri jelas tidak akan menumbuhkan dalam dirinya kemungkinan untuk kagum dan heran. Kedua, refleksi. Ada dua jenis refleksi. Refleksi pertama cenderung memecahkan, mengkotak-kotakkan kesatuan pengalaman yang dialami manusia. Subjek dilepaskan dari situasi konkret. Refleksi ini sangat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahayanya, kalau cara berpikir ini menjadi eksklusif dan terlalu dominan. Maka perlulah refleksi kedua, partisipasi. Refleksi ini menerjunkan kembali manusia dari dunia ide-ide ke dalam dunia yang konkret. Partisipasi membawa sikap kreatif, keterbukaan diri dan bebas. Ketiga, eksplorasi. Dengan mengambil sikap partisipasi terhadap situasi konkretnya, kini terbukalah bagi manusia untuk mengadakan eksplorasi tentang realitas. Dengan cara itu, manusia menjadi mampu untuk menemukan realitas yang aktual.
Bagi Marcel, eksistensi manusia adalah berada-di-dunia. Menurut pendapatnya pengalaman eksistensial yang paling mendasar adalah hubungan manusia sebagai subjek. Maka demi terciptanya suatu hubungan pribadi antara dua subjek atau lebih perlulah pertemuan antarsubjek itu sendiri. Sedangkan pertemuan antarsubjek itu barulah mungkin apabila masing-masing subjek tersebut memakai prinsip partisipasi dalam saling mendekati satu sama lain. Artinya, masing-masing subjek mendekati satu sama lain sebagai misteri.
Hubungan antarpribadi pada gilirannya akan terwujud sempurna dalam cinta. Dalam hubungan cinta aku dan engkau naik ke taraf yang lebih tinggi yaitu menjadi kita. Dalam cinta, aku mengimbau engkau supaya bersatu menjadi kita. Namun kebersamaan dalam cinta itu tidak berlangsung sesaat saja. Kebersamaan cinta menurut kodratnya harus berlangsung terus. Maka perlulah kesetiaan. Merosotnya hubungan terjadi bilamana salah satu pihak mulai memasang berbagai macam penilaian terhadap pihak lainnya. Ikatan persekutuan antarsubjek yang dibangun atas dasar cinta akan mencapai puncaknya. Dalam hubungan ini setiap pihak yang terlibat merasakan dan mengalami kehadiran bersama.
Gagasan dasar Marcel di atas seringkali digunakan dalam menyikapi orang-orang yang terlalu menganggap dirinya menjadi pusat. Untuk itu Marcel mencoba mengajak orang tersebut untuk sadar bahwa: 1) Aku mengenali diriku sebagai manusia jika hanya dalam relasiku dengan orang lain. 2) Aku bukanlah pusat dari segalanya. 3) Adanya aku bukanlah karena aku sebagai pusat segalanya melainkan karena aku menjadi bagian dari orang lain dan mengakui eksistensi seseorang. 4) perlunya keterbukaan hati.

Mencermati Konflik
Fokus yang begitu tajam telah disampaikan oleh Gabriel Marcel dalam membahas hubungan antarpribadi. Betapa pentingnya keselarasan dan keserasian karena manusia hidup selalu bersama dengan orang lain. Tidak mungkin manusia hidup sendirian. Pijakan yang begitu kokoh, yang disampaikan oleh Marcel dalam metodenya ini membawa kita memahami kehidupan kita secara konkret. Dewasa ini kita sungguh membutuhkan dunia damai tanpa konflik. Sudah banyak yang terluka karena konflik. Semakin banyak orang putus asa dan tidak berpengharapan karena mempertanyakan mau kemanakah sebenarnya dunia ini, bagaimanakah mutu manusia ini, apakah masih bermartabat ataukah tidak lagi? Maka, sikap yang ditawarkan Marcel untuk menjunjung kembali martabat manusia adalah suatu upaya untuk memanusiakan lagi manusia.
Konflik bukanlah suatu jalan untuk memecahkan masalah, karena memang akan menghina martabat manusia sendiri dan ke-Mahadaulat-an Allah sebagai pencipta manusia yang di hadapan-Nya semuanya adalah sama. Maka, dalam kondisi apapun, dan situasi bagaimanapun manusia tidak boleh dikorbankan. Setiap manusia harus ditempatkan sebagai subjek bukanlah sebagai objek. Dengan kata lain, manusia harus selalu ditempatkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri.
Read more...

Tuesday, September 23, 2008

Metafisika Evolusioner Charles Sanders Peirce


Charles Sanders Peirce lahir di Cambridge, Massachusetts. Dia adalah putera dari pasangan Benjamin dan Sarah Hunt Mills Peirce. Ayahnya dikenal sebagai profesor matematika dan astronomi di Harvard. Sejak kecil, Peirce sudah dididik oleh ayahnya sendiri, terutama dalam pelajaran matematika dan sains. Selepas sekolah menengah, dia melanjutkan ke Cambridge dan Harvard. Di universitas ini, dia banyak menggunakan waktu bersama ayahnya (melakukan banyak eksperimen), sehingga dia agak kesulitan dalam kehidupan sosialnya. Lulus dari Cambridge dan Harvard, dia belajar kimia di Lawrence Scientific School. Di sekolah inilah, dia memulai belajar mandiri dan belajar bersama lingkungannya.

Selulus kuliah, dia bekerja sebagai astronom di Harvard dan melanjutkan penelitian sains, membaca dan menulis filsafat secara luas, dan mengajar logika di Universitas John Hopkins. Peirce mempunyai klub Metafisika, dan mengumpulkan teman-temannya untuk mendiskusikan berbagai macam hal tentang filsafat.
Dalam dunia filsafat, terutama dalam filsafat Amerika, dia dikenal sebagai filsuf pragmatis (yang mempengaruhi filsafat William James dan John Dewey). Dia juga dikenal sebagai ‘filsuf dari para filsuf’, sebab filsafatnya berpijak dari hampir semua filsuf sebelumnya (teknik yang tidak biasa dipakai). Dengan alasan itu, tulisannya seringkali sulit dimengerti.
Sebelum memulai filsafat pragmatisnya, Peirce sudah lebih dulu mengembangkan metafisikanya. Metafisikanya berpola pada teori kategori-kategori. Selama hidupnya, ada tiga tahap perkembangan teori kategorinya. Melalui paper inilah, penulis hendak menjabarkan tiga tahap perkembangan teori kategori Pierce.

Formulasi Awal Teori Kategori Pierce (tahun 1855-1869)
Pierce memulai metafisikanya dengan menyebutkan 3 kategori (sama dengan yang diungkapkan Friedrich Schiller ) yakni, I, It, dan Thou (dalam Aesthetische Briefe). Peirce menyusun kembali sistematika Schiller dan menyebutnya dengan I-impuls, It-impuls, dan kesatuan antara keduanya Thou-impuls. Secara sederhana, Peirce mencoba membangun sistem dialektika yang saling berhubungan.
Sistem dialektika di atas tadi sebenarnya hendak memformulasi ulang dari 12 kategori yang dipakai Kant dalam filsafatnya. Dengan kata lain 12 kategori Kant disederhanakan menjadi 3 kategori saja. Segala sesuatu baik di dalam alam semesta (alami) maupun dalam pikiran (akal budi) hanyalah memiliki 3 tahap dengan empat kategori pokok (kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas). Tahap pertama adalah tahap I, atau konsistensi pribadi, yang sering disebut tahap sederhana. Tahap kedua adalah tahap It, yang meliputi ‘lebih atau kurang’, ini adalah tahap tingkatan dan sering disebut sebagai tahap positif atau tahap ‘Human’. Dan tahap ketiga, adalah tahap thou, tahap kombinasi antara dua tahap sebelumnya, dan ini adalah tahap yang sempurna.

Metafisika Eksperimental (1870-1884)
Seperti sudah dikatakan pada bagian pengantar bahwa Pierce adalah ‘filsuf dari para filsuf’ dan latar belakangnya yang adalah seorang ilmuwan ilmu alam, pada kurun waktu tahun 1870-1884, Peirce, dalam mengembangkan filsafatnya tampak sekali menggunakan inter-disiplin ilmu. Pada tahap ini, ia mulai mengembangkan filsafat pragmatisnya (pada paper ini tidak akan dijelaskan tentang filsafat pragmatisnya). Untuk metafisika, hanya terjadi perubahan sedikit, tetapi perubahan itu cukup mencolok, karena metafisikanya berpijak dari pengalaman. Metafisikanya pada tahap ini dikenal dengan metafisika arsitektonik (architectonic).
Alasan mengapa diberi nama metafisika arsitektonik, karena merupakan penggabungan dari metode logika, semiotik dan psikofisik, yang ketiga-tiganya membentuk suatu pola pikir dengan suatu tujuan (teleological thought).

Tiga Kategori (akhir) Fundamental (1885-1913)
Pada tahap perkembangan terakhir, yakni antara tahun 1885-1913, metafisika Pierce menggunakan 3 kategori lagi, yakni: Pertama, adalah ‘kepertamaan’ (firstness), adalah idea yang tidak memperhatikan yang lain. Peirce menyebutnya sebagai kategori kualitas. Dari sudut pandang fenomenologi kita dapat merasakan sedih, melihat kualitas ke-biru-an, tanpa menunjuk kepada subjek atau objek secara langsung tetapi secara sederhana merupakan sesuatu yang unik. Peirce menyebut kualitas di atas sebagai monad yakni kualitas murni, yang dalam dirinya tidak ada bagian-bagian dan tidak ada perubahan wujud. Istilah monad di sini bukan dalam arti Leibnizian. Bagi Peirce monad bisa dijadikan sebagai contoh dalam kualitas kedua. Ini bisa dimengerti karena ketegori kepertamaan adalah kualitas.
Dalam kasus yang lain, ‘kepertamaan’ adalah suatu ciri-ciri alam semesta yang dapat menembus, mewakili elemen keunikan, kesegaran dan keaslian di manapun berada, dalam setiap fenomena, fakta dan kejadian. Untuk menghasilkan beberapa idea, Peirce mengharapkan kita membayangkan alam semesta sebagaimana Adam pertama kali melihatnya, dan sebelum dia membuat pembedaan dan melakukan ‘refleksi’.
Kategori fundamental yang kedua adalah ‘keduaan’ (secondness). Kategori ini merupakan konsepsi yang relatif, konsepsi yang reaksioner. Dari suatu sudut pandang, ‘keduaan’ adalah fakta, walaupun dari sudut pandang yang lain, ini disebut eksistensi dari yang aktual. Kategori ini meliputi alam semesta. Fakta adalah fakta, sebagaimana kita katakan; dan inilah sebabnya kita kadang mengatakan fakta yang kejam.
Kategori fundamental yang ketiga adalah ‘ketigaan’ (thirdness), dikenal sebagai kategori mediasi. Secara logis berfungsi menjadi mediasi antara objek dan tafsiran. Secara ontologis, ketigaan menengahi antara kepertamaan (dalam kualitas) dan keduaan (dalam fakta, aksi dan reaksi). Ini menunjukkan kontinuitas dan membentuk suatu hukum dari berbagai tipe dan tingkatan.. Sebagai contoh, hukum kualitas pada sistem kualitas pencampuran warna yang dibuat oleh Isaac Newton. Kemudian lagi hukum-hukum regular yang memampukan kita memprediksi masa depan dengan berdasarkan pada kualitas. Dalam berbagai bentuk, kategori ketigaan seperti kepertamaan dan keduaan, meliputi seluruh alam semesta, dan kita dapat mengatakan bahwa segalanya berdiri dalam suatu hubungan dengan yang lainnya.
Sekarang, kualitas dapat dikatakan menjadi suatu sensasi yang permanen, meskipun bebas dari pengalaman subjektif. Dan kita dapat mengatakan bahwa kualitas pertama memberikan suatu model pertama, yang dinamakan kemungkinan nyata, meskipun konsep kemungkinan itu lebih luas daripada kualitas. Pada kategori kedua, aktualitas atau eksistensi memberikan model kedua, yang dinamakan aktualitas sebagai pembeda dari kemungkinan. Dan dengan memasukkan konsep hukum ketegori ketiga terbentuk model ketiga, di mana Peirce menyebutnya sebagai ‘nasib’, sebagai fakta masa depan. Tetapi ini mesti dimengerti bahwa istilah nasib adalah lebih luas daripada konsep tentang hukum.
Melalui penjabaran di atas, kita melihat ada tiga ketegori fundamental dan tiga model/cara menjadi metafisis. Peirce juga membedakan tiga cara atau kategori dari eksistensi atau aktualitas. Yang pertama, disebut ‘kesempatan’, sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan kebebasan dan spontanitas. Cara kedua dalam eksistensi adalah hukum-hukum. Cara ketiga dari eksistensi adalah kebiasaan. Menurut Peirce, segala sesuatu tidak bisa terpisah dari kebiasaan, apakah dia manusia, hewan, tumbuhan atau substansi kimiawi.. Dan hukum-hukum adalah hasil dari kebiasaan.
Kita sekarang dapat menyadari dunia yang aktual dalam terang kategori aktualitas ini: yang pertama, kesempatan; yang kedua, hukum-hukum; dan yang ketiga, kebiasaan. Bagaimana kalau alam semesta ini aslinya tidak ada pembeda, tidak ada kebiasaan, tidak ada hukum? Dari sudut pandang tertentu, determinasi di atas tidak berlaku. Sehingga kemungkinan dari semua determinasi hanyalah ‘yang ada’. Kesempatan yang ada sangatlah spontan, bebas dan kreatif. Tetapi, beberapa kualitas jatuh secara ontologis pada kategori kepertamaan. Dan sebagaimana alam semesta berkembang dan ‘monad-monad’ bekerja dan bereaksi dalam keduaan, kebiasaan terbentuk dan menghasilkan hukum-hukum yang merupakan ketegori ketiga. Proses ini menjadi komplet, hal yang berlawanan tadi justru berubah.
Berdasarkan jalan penalaran di atas, menurut Peirce, kesempatan selalu ada di dunia. Dunia adalah sebuah proses dari kretivitas dan determinasi secara terus-menerus, bergerak dari batas ideal ketidaktentuan absolut menuju ketetapan absolut, dari kemungkinan yang sederhana menuju kemungkinan yang lengkap. Cara ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa evolusi adalah proses kemajuan dari kesempataan absolut yang disadari sebagai suatu khaos, yang tidak bisa dikenali menuju yang murni di dalam sistem rasional yang sempurna. Dengan kata lain, Peirce beranggapan bahwa alam semesta bergerak menuju sebuah perwujudan rasionalitas yang penuh.
Menurut Pierce, sebenarnya kesempatan bukanlah satu-satunya penjelasan terhadap evolusi, karena memang evolusi bukanlah suatu penyebab final. Maka dari itu, Peirce mengadopsi pandangan dari filsuf Yunani, empedokles. Penyebab final dilakukan oleh atraksi dan yang merespon adalah cinta. Terhadap prinsip kesempatan, Peirce manambahkan cinta (dalam hal ini cinta agape) sebagai kategori alam.
Sekarang jika kita menanyakan kepada Peirce, apakah dia percaya pada Tuhan atau tidak, jawabannya adalah positif. Tapi bila ingin menanyakan konsep Tuhan pada bagian filsafatnya, jawabannya lebih kompleks. Prisnsip utamanya adalah filsafat dan agama tidak bisa dicampur. Bukan saja menghindarinya untuk menulis tentang Tuhan, tetapi ketika kita mengatakan bahwa ‘merenung’ sebagai kegiatan akal budi yang memimpin kita menuju Tuhan, dia justru berpendapat bahwa itu bukanlah argumen metafisik seperti pada umumnya dikatakan. Sebagai contoh, mengkontemplasikan surga yang indah, seperti yang dilakukan oleh Kant, membiarkan insting dan hati berbicara, justru dia tidak dapat mempercayai Tuhan. Pertimbangan dari insting sendiri lebih efektif (lebih baik sehingga tidak memerlukan yang lain) daripada argumen. Maka dari itu, kontemplasi adalah argumen yang sia-sia (atau bukan argumen).
Sebagai kesimpulan akhir, teori evolusi yang menempatkan hukum mekanik di atas prinsip perkembangan kreatif akan terjadi permusuhan dengan agama. Maka, dalam sistematika metafisikanya, Peirce memfokuskan diri pada ajaran tentang kategori saja, pandangan yang lebih bersifat umum dan maka dari itu bersifat Teistik.

Penutup
Demikianlah kita sudah melihat dan memperhatikan tiga tahap perkembangan teori kategori Pierce yang pada dasarnya adalah konsep metafisika dari filsafatnya.
Read more...